Friday, November 5, 2010

ASBAB AL-NUZUL

ASBAB AL-NUZUL
Selengkapnya Click DISINI

A.     Asbab Al-Nuzul dalam Penafsiran Al-Qur’an
Berbicara tentang asbab al-nuzul, sebelumnya perlu dijelaskan bahwa memang dikatakan tidak seluruh ayat Al-Qur’an mempunyai asbab al-nuzul. Mengenai hal ini Al-Ja’bari menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam dua bagian. Bagian pertama berupa prinsip-prinsip yang tidak terikat dengan sebab-sebab khusus, yakni semata sebagai petunjuk bagi manusia. Sementara bagian kedua diturunkan berdasarkan suatu sebab tertentu yang kemudian disebut dengan asbab al-nuzul.[1]
Bagian yang pertama adalah yang secara dominan mewarnai ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu jumlahnya lebih banyak dari pada ayat-ayat hukum yang mempunyai asbab al-nuzul,[2] misalnya ayat-ayat yang mengisahkan tentang umat-umat terdahulu beserta para nabinya, ayat-ayat yang menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau atau menceritakan hal-hal ghaib, yang akan terjadi, atau menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat surga dan siksaan neraka.[3] Sementara  ayat-ayat yang mempunyai asbab al-nuzul jumlahnya lebih sedikit, dalam hal ini ayat-ayat tasri’iyah atau ayat-ayat hukum merupakan ayat-ayat yang mempunyai sebab turun. Dikatakan jarang sekali ayat-ayat hukum yang turun tanpa suatu sebab. [4]
Setelah mencermati konsepsi yang dihasilkan oleh ulama mengenai asbab al-nuzul, sebagaimana yang termuat dalam buku-buku ulum Al-Qur’an atau buku-buku yang berbicara tentang asbab al-nuzul, penyusun mendapatkan bahwa terjadi keragaman pandangan mengenai asbab al-nuzul di antara mereka. Hal ini, tentu saja, merupakan sesuatu yang penting untuk digaris bawahi di sini, karena dari pandangan mereka masing-masing inilah nantinya akan dapat diketahui seberapa jauh signifikansi dari asbab al-nuzul dalam penafsiran Al-Qur’an selama ini. Atau sejauh manakah asbab al-nuzul dipakai dalam penafsiran.
Keragaman pandangan mengenai asbab al-nuzul ini pertama kali dapat dilihat dalam pembahasan tentang pengertian asbab al-nuzul. Dalam pengertian asbab al-nuzul yang ditampilkan oleh ulama ini sebenarnya sudah terlihat atau, paling tidak, sudah tergambar (meskipun tidak jelas betul) bagaimana pandangan mereka terhadap signifikansi asbab al-nuzul.

1.      Pengertian Asbab al-nuzul
Tentang pengertian asbab al-nuzul secara bahasa,[5] barangkali tidak ada persoalan. Tetapi dari pengertian secara terminologislah kita akan melihat bahwa asbab al-nuzul mendapat sambutan yang beragam dari kalangan ulama. Dari pengertian inilah mulai terlihat adanya perbedaan pandangan mengenai asbab al-nuzul, yang kemudian meniscayakan terjadinya perbedaan dalam pengambilan makna. Mereka yang memandang asbab al-nuzul sebagai sesuatu yang tak dapat dieliminir (signifikan), jelas akan menghadirkan makna yang berlainan dengan mereka yang sama sekali tidak peduli dengan ada-tidaknya asbab al-nuzul.
Al-Zarqani mendefinisikan sebagai
 سباب النزول هو مانزلت الاية او الايات متحادثة عنه  او مبينة لحكمه ايام وقوعه[6]
“Sebab al-nuzul adalah suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu ayat”.
Menurutnya, bahwa asbab al-nuzul itu dapat berupa peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi atau berupa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada nabi, kemudian turun ayat Al-Qur’an dari Allah SWT berisi penjelasan tentang suatu yang berkaitan dengan peristiwa tersebut atas pertanyaan-pertanyaan yang dajukan kepadanya.[7] Dalam hal ini al-Zarkasyi juga menerangkan:
 انه قد يحدث سبب من سؤال او حادثة تقتضى نزول اية[8]
“Kadang-kadang terjadi suatu sebab yang berupa pertanyaan atau peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an”.
Sementara itu, Subhi al-Shalih mendefinisikan asbab al-nuzul seperti ini,
مانزلت الاية او الايات بسببه متضمنة له او مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمان
 وقوعه[9] 
 Asbab al-nuzul adalah sesuatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.”
Dari paparan beberapa pengertian tersebut di atas, sesungguhnya pendefinisian asbab al-nuzul yang menggunakan redaksi “sesuatu yang menyebabkan…”, sangatlah riskan karena sangat berpotensi untuk dipahami terdapat hubungan kausalitas atau korelasi logis antara sebab yang berupa peristiwa atau pertanyaan dengan diturunkannya ayat Al-Qur’an.  Pengertian asbab al-nuzul seperti di atas memang akan menimbulkan pemahaman seolah-olah ayat Al-Qur’an tidak akan turun jika tidak terdapat sebab—yang berupa peristiwa atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi  SAW. Dengan definisi semacam di atas sangatlah berpotensi bahwa seolah-olah ayat Al-Qur’an diturunkan hanya karena untuk menjawab pertanyaan yang ada. Tidak jarang ini memicu lahirnya perdebatan teologis, seperti muncul pertanyaan semacam seandainya sebab-sebab tidak ada, apakah lantas Al-Qur’an tidak jadi turun? Apakah Al-Qur’an itu qadim ataukah tidak? Layakkah Tuhan terdekte oleh realitas? Dan lain sebagainya yang biasanya berujung pada kafir-mengkafirkan, murtad-memurtadkan, dan saling mengklaim sebagai yang paling benar (truth claim).
Sungguhpun pengertian mengenai asbab al-nuzul sebagaimana yang dipaparkan di atas sangat riskan untuk dipahami terdapatnya hubungan kausalitas, namun tidak sedikit ulama yang mendefinisikan asbab al-nuzul demikian. Definisi seperti di atas sudah lazim di kalangan ulama meskipun sebenarnya tidak mengandung pengertian ada hubungan kausalitas. Tidak sedikit ulama berikutnya yang mengukuhkan pandangan ulama sebelumnya seperti tersebut di atas. Sungguhpun redaksi yang dipakai berbeda, namun sesungguhnya maksud dari pengertian yang diberikan tidak bergeser dari pengertian yang telah dirumuskan sebelumnya. Seperti konsepsi yang diberikan oleh Manna Khalil al-Qattan,[10] Hasbi ash Shiddiqie[11] dan yang lainnya.[12] Kendati redaksi yang dipakai berbeda, akan tetapi sesungguhnya mengandung maksud yang sama. Bahkan, dalam buku-buku ‘ulum al-Quran dalam edisi bahasa Indonesia, kita akan mendapati definisi yang berupa kutipan dari ulama sebelumnya tanpa ada perubahan. Kalaupun ada perbedaan (kalaupun mereka menambahi), maksud yang dikandung sebenarnya tetap sama (tidak berbeda secara substansial).
 Namun demikian, terdapat juga beberapa ulama yang secara tegas mengatakan untuk tidak memandang asbab al-nuzul dalam kerangka kausalitas. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama seperti Quraisy Shihab. Ia secara eksplisit menegaskan untuk tidak memandang asbab al-nuzul dalam kerangka sebab akibat. Menurutnya, arti “sebab” dalam asbab al-nuzul tidak dipahami dalam arti kausalitas sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang berpaham bahwa “Al-Qur’an qadim”
Al-Qur’an tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama dinyatakan sebagai harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini berarti bahwa arti “sebab” dalam rumusan di atas—walaupun tidak dipahami dalam arti kausalitas, sebagaimamna yang diinginkan olek mereka yang berpaham bahwa “Al-qur’an qadim”—tetapi paling tidak ia menggambarkan bahwa ayat yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa ‘kenyatan’ tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun di pentas bumi itu.[13]
Demikian pula bagi Muhammad Chirzin, dia pun secara tegas menolak untuk menganggap adanya hubungan kausalitas antara asbab al-nuzul dengan ayat yang turun. Menurutnya,
Asbab al-nuzul menggambarkan bahwa ayat-ayat Al-qur’an memiliki hubungan dialektis dengan fenomena sosio kultural masyarakat. Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa asbab al-nuzul tidak berhubungan secara kausal dengan materi yang bersangkutan. Artinya tidak bisa diterima pernyataan bahwa  jika suatu sebab tidak ada, maka ayat itu tidak akan turun.[14]

Senada dengan Shihab dan Chirzin, bagi Aisyah Abdurrahman (Bintusy Syathi’), asbab al-nuzul hanyalah sebagai qarinah-qarinah di sekitar ayat yang tidak merupakan sebab sine qua non (syarat mutlak) kenapa pewahyuan terjadi. Dia memandang bahwa pentingnya pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan peristiwa pewahyuannya.[15]
Paparan definisi yang diberikan oleh ulama kelompok terakhir tersebut memperlihatkan bahwa antara asbab al-nuzul dengan diturunkannya ayat tidak ada hubungan kausalitas. Mereka secara tegas menolak bahwa antara keduanya terjadi hubungan kausalitas, yang satu menyebabkan yang lain. Namun demikian, bukan berarti mereka semua lantas, secara otomatis, dapat disebut sebagai ulama yang menolak dipakainya asbab al-nuzul dalam penafsiran. Karena  ada juga ulama yang menolak memahami asbab al-nuzul dalam kerangka kausalitas tetapi memandang asbab al-nuzul sebagai hal yang tetap signifikan dalam memahami ayat.
Adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai asbab al-nuzul dalam penafsiran akan kentara dalam pembahasan tentang signifikansi berikut ini.

2.      Signifikansi Asbab al-nuzul
Mengenai signifikan-tidaknya asbab al-nuzul dalam penafsiran, penyusun melihat ada tiga macam pandangan. Pandangan yang pertama menganggap bahwa asbab al-nuzul sangat signifikan sehingga tanpa mengetahui asbab al-nuzul memahami ayat dianggap tidak mungkin. Ulama yang masuk dalam pandangan pertama adalah al-Wahidi.  Menurut al-Wahidi, “tidak mungkin dapat menafsirkan ayat tanpa pengetahuan tentang asbab-nuzulnya”.[16] Artinya, dengan tidak memungkinkannya menafsirkan ayat tanpa pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya, maka melepas asbab al-nuzul juga menjadi tidak mungkin. Sehingga di sini, dalam pandangan al-Wahidi, Asbab al-nuzul menjadi mutlak penting dan tidak boleh dieliminir ketika menafsirkan ayat. Dalam hal ini, sebetulnya pendapat al-Wahidi tersebut menyisakan pertanyakan karena tidak semua ayat Al-Qur’an mempunyai sebab turun. Ayat-ayat yang dikatakan bersabab al-nuzul hanyalah sebagian saja. 
Pandangan yang kedua menempatkan asbab al-nuzul sebagai pengetahuan yang dapat membantu (alat bantu) dalam memahami ayat. Ulama yang tergolong dalam kelompok ini  adalah seperti Ibnu Taimiyah dan ibnu Daqiq al-’Id. Menurut Ibnu Taimiyah, “Pengetahuan mengenai asbab al-nuzul dapat membantu memahami ayat karena pengetahuan tentang sebab akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat)”.[17] Sementara menurut al-’Id, “menjelaskan sebab turun ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna Al-Qur’an”.[18]
Pendapat yang senada dengan di atas juga dianut oleh Abu al-Fath al-Qusyairi, Ali Al-Shabuni dan al-Zarqani. Al-Qusyairi tidak berbeda dengan al-‘Id. Menurutnya, mengetahui asbab al-nuzul adalah jalan yang kuat dalam memahami makna-makna Al-Qur’an.[19]  Sementara itu, al-Shabuni memerinci manfaat asbab al-nuzul menjadi empat manfaat,[20] yaitu mengetahui segi hikmah yang mendorong dilaksanakannya suatu hukum, menetapkan hukum (takhsis) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa ibarat itu dinyatakan berdasarkan sebab khusus, menghindarkan prasangka yang menyatakan arti hasr dalam suatu ayat yang zahirnya hasr, dan mengetahui siapa orangnya yang menjadi sebab atau kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keraguan. Pendapat Al-Shabuni ini juga senada dengan pandangan al-Qattan.[21]
Lebih jauh, Al-Zarqani menyebutkan  tujuh signifikansi dari asbab al-nuzul.[22] yaitu pengetahuan tentang asbab al-nuzul membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui al-Qur’an; dapat membantu dalam memahami ayat  dan menghindarkan kesulitannya;  dapat menolak dugaan adanya hasr (pembatasan) dalam ayat yang menurut lahirnya mengandung hasr;  dapat mengkhususkan (takhsis) hukum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman kata; dapat diketahui bahwa sebab turun ayat tidak penah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya (yang mengkhususkannya); dapat diketahui orang yang dengan ayat tertentu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran; dan pengetahuan asbab al-nuzul akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat Al-Qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarkannya jika ia mengetahui sebab turunnnya
Ulama yang juga termasuk dalam kelompok kedua adalah Quraisy Shihab. Sungguhpun  antara ayat dengan realitas (asbab al-nuzul) dipandang olehnya  tidak ada hubungan kausalitas, namun menurutnya asbab al-nuzul tetap signifikan. Asbab al-nuzul tetap harus ditilik ketika menafsirkan ayat mempunyai sabab al-nuzul. Ini berdasarkan bahwa ia menerapkan al-‘ibrah bi khusus al-sabab, yang itu berarti bahwa ia mementingkan adanya sebab-sebab khusus dalam menafsirkan ayat.
Termasuk dalam kelompok kedua adalah Nasr Hamid Abu Zaid. Menurutnya dalam pembacaan teks perlu diperhatikan konteks-konteksnya. Baginya antara teks dengan realitas terdapat hubungan dialektis. Maksudnya, bahwa teks terbentuk di dalam realitas kebudayaannya, namun pada saat yang sama ia sendiri membentuk realitas.[23] Abu Zaid menyebutkan ada lima konteks yang mesti diperhatikan,[24] yaitu konteks sosio-kultural (al-siyaq al saqafi al-ijtima’i); konteks pewacanaan (al-siyaq al-takhatabi) atau konteks ekstern (al-siyaq al-khariji); konteks intern (al-siyaq al-dakhili); konteks narasi (al-siyaq al-lughawi) dan konteks pembacaan (al-siyaq al-qiraat) atau konteks interpretasi (al-siyag al-ta’wil). Dari sekian konteks itu asbab al-nuzul tercakup dalam konteks ekstern atau pewacanaan—konteks pewacanaan ini tidak hanya berisi latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul, tetapi juga meliputi periode dan karakter wacana (makiyyah dan madaniyyah), dan konteks pewacana pertama, yaitu Muhammad SAW. Artinya, dengan tidak dapat ditinggalkannya konteks-konteks tersebut berarti asbab al-nuzul juga tak dapat ditinggalkan atau termasuk sesuatu yang harus diperhatikan, karena ia masuk dalam salah satu konteks dari lima konteks dimaksud. Dalam hal ini dia mengatakan,
..bahwa usaha menemukan makna teks tidak harus memisahkan teks dari realitas yang diungkapkannya (teks), tetapi juga tidak benar apabila dikatakan usaha penemuan tersebut berhenti dan terpaku pada peristiwa-peristiwa itu saja, tanpa memahami karakteristik ujaran bahasa dalam teks serta kemampuannya melampaui realitas-realitas partikular. Kajian atas asbab al-nuzul akan memberi ahli fiqh pengetahuan tentang illah (sebab) di balik hukum-hukum teks. Melalui illat itu, ia dapat menggeneralisasikan hukum terhadap realitas-realitas lain yang serupa.[25]

Dengan demikian, Abu Zaid dapat dikatakan termasuk ulama yang mementingkan asbab al-nuzul sekalipun menurutnya perlu juga diperhatikan syarat-syarat lain.
Tentang asbab al-nuzul ini, sesungguhnya dalam persoalan signifikansi, dapat dikatakan pandangan yang kedua tidak berbeda dengan pandangan yang pertama karena keduanya sama-sama menganggap asbab al-nuzul signifikan. Hanya saja tingkat signifikansinya berbeda antara keduanya, di mana dalam pandangan yang kedua, signifikansi dari asbab al-nuzul dapat dibilang lebih rendah dibanding pada kelompok pertama. Dalam pandangan yang pertama, dalam memahami ayat, tidak dapat tidak, harus diketahui asbab al-nuzulnya karena tanpa asbab al-nuzulnya ayat dianggap tidak akan mungkin dapat dipahami. Sementara bagi kelompik kedua, asbab al-nuzul sifatnya hanyalah membantu dalam memahami ayat. Jadi, sungguhpun kedua kelompok ini sama-sama menganggap penting asbab al-nuzul, tetapi tingkat signifikansi dari keduanya berbeda.
Kalau pandangan pertama dan kedua sama-sama memandang asbab al-nuzul signifikan dalam memahami ayat, maka pandangan yang ketiga tidak mementingkan asbab al-nuzul dan memperbolehkan untuk menafikannya ketika menafsirkan ayat, atau  hanya memakainya ketika asbab al-nuzul dapat membantu atau mendukung makna yang telah dihasilkan sebelumnya.Ulama yang tergolong di sini adalah Bintusy Syathi’. Data untuk ini adalah,
….metode yang diusulkannya menolak menganggap setiap peristiwa dalam asbab al-nuzul tersebut sebagai sebab atau bahkan tujuan turunnya wahyu, tapi sekadar merupakan kondisi-kondisi eksternal dari pewahyuan itu, sehingga penekanannya diletakkan pada universalitas makna dan bukan pada kekhususan kondisi tersebut. Selain itu metode yang diusulkannya memperlakukan laporan-laporan tradisional mengenai “sebab-sebab pewahyuan” dengan cara bebas, hanya untuk melihat dukungan yang mungkin diberikan oleh laporan-laporan tersebut bagi makna-makna yang telah ditemukan tanp bantuannya.[26]

Dalam kutipan tersebut dikatakan bahwa  asbab al-nuzul hanyalah dipakai  sebagai dukungan terhadap makna yang telah dicapai sebelumnya. Artinya, seandainya laporan-laporan tentang asbab al-nuzul yang ada tidak mendukung terhadap makna yang telah dihasilkannya sebelumnya maka ia tidak akan dipakai (ditinggalkan). Asbab al-nuzul hanya akan diambil jika ternyata sesuai dengan makna yang  sudah dihasilkan. Dengan demikian, bagi Bintusy Syathi’, ada atau tidaknya asbab al-nuzul, pada dasarnya adalah sama saja, tidak menjadi persoalan karena hanya dianggap signifikan kalau  bermanfaat untuk mendukung makna yang telah diperoleh sebelumnya.
Dalam hal ini, Thabathaba’i pun dapat dikategorikan dalam pandangan kelompok ketiga. Dia memberi penjelasan tentang lemahnya hadis-hadis asbab al-nuzul. Menurutnya, hadis hadis tentang asbab al-nuzul tidak bisa dipertanggungjawabkan dengan argumen bahwa gaya kebanyakan hadis tentang asbab al-nuzul menunjukkan perawi tidak meriwayatkan asbab al-nuzul secara lisan dan tulisan melainkan dengan meriwayatkan suatu kisah, kemudian menghubungkan ayat-ayat dengan kisah itu. Dan ini berarti asbab al-nuzul tersebut didasarkan pada pendapat, bukan atas pengamatan dan pencatatan, sehingga setiap perawi berusaha menghubungkan suatu cerita yang sebenarnya tidak ada dalam kenyataan.yaitu terbukti dengan banyaknya pertentangan di dalam hadis tentang asbab al-nuzul. Argumen lain yang menyebabkan tidak dapat dipertanggungjawabkannya hadis tentang asbab al-nuzul, menurutnya, adalah bahwa pada masa awal Islam, khalifah melarang penulisan hadis yang larangan ini berlaku sampai akhir abad pertama hijriyah atau selama kurang lebih sembilan puluh tahun. Sehingga, kebiasaan meriwayatkan hadis adalah menurut maknanya (periwayatan bil ma’na)[27]
Sampai di sini menjadi jelas sejauh mana signifikansi dari asbab al-nuzul dapat mempengaruhi pemaknaan ayat. Bagi ulama yang masuk dalam kategori pandangan pertama dan kedua, seperti Al-Wahidi, Ibnu Taimiyah, al-‘Id, al-Qusyairi, Shihab, Abu Zaid, asbab al-nuzul jelas tidak dapat dieliminir (signifikan). Sementara bagi ulama seperti Bintusy Syathi’, asbab al-nuzul hanyalah sebagai bantuan yang tidak penting, atau bukan menjadi hal yang signifikan dalam pemaknaan ayat (karena asbab al-nuzul boleh dilepas).
Selanjutnya, keterangan yang dapat dijadikan data untuk melihat signifikansi atau posisi dari asbab al-nuzul dalam penafasiran selama ini adalah  penjelasan tentang pengoperasionalan kaidah antara al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-lafaz dengan al-‘ibrah bi umum al-lafaz la bi khusus al- sabab.

3.      Keumuman Kata dan Kekhususan Sebab
Al-Qattan menyebutkan bahwa apabila ayat yang diturunkan sesuai dengan sebab secara umum, atau sesuai sebab secara khusus, maka yang umum (amm) diterapkan pada keumumannya dan yang khusus (khass) pada kekhususannya. Dalam hal ini al-Qattan mencontohkan yang pertama dengan Surat Al-Baqarah ayat 222:


ويسألونك عن المحيض قل هو اذى فاعتزلوا النساء بالمحيض ولا تقربوهن حتى يطهرن فاذا تطهرن فأتواهن من حيث امركم الله ان الله يحب التوبين ويحب المتطهرين[28]
Ayat tersebut dikatakan berkaitan dengan orang-orang Yahudi yang tidak mau mendekati dan memberi makan atau minum kepada istri-istri mereka ketika sedang haid. Seperti yang dijelaskan oleh al-Qattan dalam bukunya:
Anas berkata: “Bila istri orang-orang Yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum, dan di dalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah ditanya tentang hal itu, maka Allah menurunkan: Mereka bertanya kepadamu tentang haid…Kemudian kata Rasulullah: جامعوهن فى البيوت, واصنعوا كل شيء الا النكاح (اخرجه مسلم) “Bersama-samalah dengan mereka di rumah, dan perbuatlah segala sesuatu kecuali menggaulinya.”[29]


Sementara yang kedua dicontohkan dengan Surat al-Lail (92) ayat17-21:
وسيجنبها الاتقى الذي يؤتى ماله يتزكى ومالاحد عنده من نعمة تجزى الا ابتغاء وجه ربه الاعلى ولسوف يرضى[30]
Menurut penjelasan Al-Qattan bahwa ayat di atas diturunkan mengenai Abu Bakar. Penjelasannya:
Menurut ‘Urwah, Abu Bakar telah memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa karena membela agama Allah: Bilal, ‘Amir bin Fuhairah, Nahdiyah dan anak perempuannya, Umm ‘Isa dan budak perempuan Bani Mau’il. Untuk itu turunkah ayat “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa itu dari neraka..” sampai dengan akhir surat.
Hal yang serupa diriwayatkan dari ‘Amir bin Abdullah bin Zubair, yang menambahkan: “Maka berkenaan dengan Abu Bakar tersebut turunlah ayat ini (Adapun orang yang memberikan hartanya  dan bertaqwa sampai dengan … Dan kelak ia benar benar mendapatkan kepuasan)”.[31]

Tetapi jika sebab itu khusus sementara ayat yang turun berbentuk umum, ulama usul berselisih pendapat apakah harus berpegang pada kata yang umum ataukah sebab yang khusus.[32]
Terhadap pertanyaan tersebut, menurut al-Qattan, ada dua pandangan. Pandangan pertama adalah yang dianut oleh mayoritas ulama, sementara pandangan kedua adalah apa yang diikuti oleh minoritas ulama. Menurut mayoritas ulama (jumhur ulama) bahwa yang menjadi pegangan adalah kata yang umum, bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari kata yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusus sampai pada hal-hal yang serupa dengan itu. Dia mencontohkan ayat li’an pada  Surat an-Nur (24) ayat 6-9 mengenai li’an yang turun mengenai tudukan Hilal bin Umaiyyah kepada isterinya.
عن ابن عباس: ان هلال بن امية قذف امرئته عند النبي بشريك ابن سحماء, فقال النبى صلى الله عليه وسلم: البينة, والا حد فى ظهرك فقال: يارسول الله, اذا رأى احدنا على امرأته رجلا ينطلق يلتمس البينة؟ فجعل رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: البينة, والا حد فى ظهرك, فقال هلال: و الذى بعثك بالحق ان لصادق, ولينزلن الله ما يبرئ  ظهري من الحد, ونزل جبريل فانزل عليه [والذين يرمون ازواجهم ولم نكن لهم شهداء الا انفسهم فشهادة احدهم اربع شهدة بالله انه لمن الصالحين – النور: 6-9]
“Dari Ibnu Abbas, Hilal bin Umaiyyah menuduh  istrinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma’ di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata:’ Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’Hilal berkata: ‘wahai Rasulullah, apabila seorang di antara kami melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya; apakah ia harus mencari bukti?’ Rasulullah menjawab: ‘Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’ Hilal berkata: ‘Demi yang mengutus engku dengan kebenaran, sesungguhnyalah perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera’ Maka turunlah Jibril  dan menurunkan kepada Nabi: (Dan orang-orang yang menuduh istrinya, sampai dengan…..termasuk orang-orang yang benar).[33]
Menurut penjelasan al-Qattan selanjutnya bahwa  hukum yang diambil dari kata umum tersebut (Dan orang-orang yang menuduh istrinya..) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal, tetapi diterapkan pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Pendapat ini dianggapnya sebagai pendapat yang paling kuat dan sahih.[34] Sementara menurut minoritas ulama, yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan kata yang umum, karena kata yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Sehingga, untuk dapat memberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil seperti qias dan sebagainya.[35]
Bagi mayoritas ulama, karena mereka memegang keumuman kata atau mengikuti paham al-‘ibrah bi ‘umum al-lafaz la bi khusus al-sabab, maka asbab al-nuzul menjadi tidak berarti. Contoh ulama yang memegang keumuman kata adalah Bintusy Syathi. Bagi dia, yang lebih ditekankan adalah universalitas makna, bukan kekhususan sebab. Tetapi sebaliknya, ulama yang memegang kekhususan sebab atau yang memegang kaedah al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-lafaz lebih mementingkan “sabab” ketimbang nash  ketika memaknai ayat. Maka dari itu asbab al-nuzul menjadi signifikan.
Ulama yang memegang kekhususan sebab antara lain adalah Quraisy Shihab. Menurutnya, akan lebih mendukung pengembangan tafsir jika pandangan minoritas  yang ditekankan, yaitu dengan memberikan catatan harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu peristiwa, pelaku dan waktu.[36]
Di sini Quraisy Shihab menekankan untuk memperhatikan faktor waktu, karena kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk dianalogkan. Dan analogi yang dilakukan, menurutnya lagi, hendaknya tidak terbatas oleh analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-mantiq, al-shuri) yang selama ini banyak mempengaruhi para fuqaha kita. Tetapi, analogi yang  lebih luas dari itu, yang meletakkan di pelupuk mata al-mashalih al-mursalah  dan yang mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana pada masa Rasul dan para sahabat[37]
Nasr Abu Zaid juga masuk dalam aliran khusus al-sabab ini. Dalam hal ini ia menggugat pemegang keumuman kata. Menurutnya,
Memegang keumuman kata (ungkapan) dan mengabaikan  kekhususan sebab dalam menghadapi semua teks Al-Qur’an akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang sulit diterima oleh pemikiran agama. Akibat yang paling serius yang disebabkan oleh sikap “berpegang pada keumuman kata” dengan mengabaikan “kekhususan sebab” adalah bahwa sikap ini menyebabkan hikmah tasyri’ diturunkan secara bertahap, seperti masalah-masalah halal dan haram, terutama dalam masalah makanan dan minuman akan terabaikan. Selain itu bahwa memegang keumuman kata dalam menghadapi semua teks yang khusus berkaitan dengan hukum akan menghancurkan hukum itu sendiri.[38]

Bagi dia, usaha menemukan makna teks tidak harus memisahkan teks dari realitas yang diungkapkannya (teks), tetapi juga tidak benar, menurutnya, apabila  dikatakan usaha penemuan tersebut berhenti dan terpaku pada peristiwa-peristiwa itu saja, tanpa memahami karakteristik ujaran bahasa dalam teks serta kemampuannya melampaui realitas-realitas partikular.[39] Artinya  menurut Abu Zaid bahwa kata-kata mendapatkan makna melalui hubungan struktural dan kontekstualnya. Dalam hal ini dia mengambil contoh surat Ali Imran (3) ayat 173. Menurutnya, bahwa makna teks atau ayat tersebut akan dapat terungkap melalui analisis struktur bahasanya dan dengan kembali ke konteks yang memproduksinya. Dia menjelaskan,
Firman Allah:  الذين قال لهم الناس ان الناس قد جمعوا لكم فاحشوهم وزادهم ايمانا وقالوا حسبنا الله ونعم الوكيل ”Orang-orang yang kepada mereka  ada orang yang mengatakan:’mereka telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu sekalian, karena itu takutlah kepada mereka.’ Perkataan ini justru membuat mereka bertambah iman” tidaklah mungkin kalau kata-kata an-nas dalam teks tersebut berarti “semua manusia”. Kalau bermakna demikian maka semua manusia berkata kepada semua manusia bahwa sesungguhnya “semua manusia’ telah mengumpulkan  pasukan untuk menyerang kalian. Struktur teks itu sendiri menegaskan kekhususan acuan dari masing-masing kata an-nas, bahwa (al-nas) yang yang mengatakan  bukan (al-nas) yang menjadi  sasaran bicara. Ini merupakan taraf-taraf kata ganti dalam  ungkapan teks. Huruf alif dan lam pada kedua kata an-nas bukan alif lam yang menunjukkan jenis (li al-jinsi), tetapi alif-lam yang menunjukkan benda yang diketahui (li al-‘ahd), tetapi dalam hal ini untuk mengetahuinya hanya kembali ke asbab al-nuzul. Ini berarti bahwa makna teks dapat terungkap, pertama, melalui analisis struktural bahasanya, dan kedua, dengan kembali ke konteks yang memproduksinya. Mengabaikan salah satu sisi tersebut menyulitkan mufassir untuk menyingkap makna. Memberi fokus hanya pada struktur bahasa tanpa mempertimbangkan konteks budaya akan menjerumuskan kita ke dalam kesesatan analisis yang tertutup. Sementara memberikan fokus hanya pada konteks tanpa mempertimbangkan struktur teks akan mengembalikan kita ke konsep “mimetik” (peniruan).[40]

Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, bagi Abu Zaid, selain Asbab al-nuzul, struktur teks sendiri juga perlu diperhatikan. Menurutnya, “Mereka tidak menyadari bahwa di dalam teks senantiasa ada tanda-tanda yang apabila dianalisis apa yang berada  di luar teks dapat diungkapkan. Oleh karenanya, asbab al-nuzul dapat diungkapkan dari dalam teks”.[41]
Dari sini dapat disimpulkan, bagi ulama penganut kaidah al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum al-lafaz, asbab al-nuzul sangat signifikan meskipun asbab al-nuzul tidak harus dipahami secara kausalitas atau meskipun perlu juga mempertimbangkan struktur teksnya
Sebelum mengakhiri perbincangan tentang kaidah ini, barangkali tidak ada salahnya jika di sini juga dipaparkan argumen yang dibangun oleh masing-masing pemegang kaidah, baik oleh ulama mayoritas ataupun minoritas. Mayoritas (jumhur ulama) mengemukakan tiga macam dalil:
1.        Lafaz syari’ (pembuat syari’at) saja yang menjadi hujjah dan dalil (argumen), bukan sesuatu yang mengelilinginya berupa pertanyaan atau sebab. Karena itu tidak ada jalan un tuk mengkhususkan lafaz pada sebab. Alasan mayoritas mengatakan bahwa hanya lafaz syari’ (pembuat syari’at) sebagai hujjah adalah keadaan syari’ kadang-kadang memalingkan pandangan dari pertanyaan yang dihadapkan kepada nabi kepada jawaban tentang sesuatu yang lebih penting dari pertanyaan tersebut. Sebagai contoh, dalam surat al-Baqarah ayat 215 diterangkan bahwa nabi ditanya tentang sesuatu yang akan mereka nafkahkan. Akan tetapi, Allah menjawab tentang orang-orang yang seharusnya menerima nafkah itu
2.        Menurut kaidah asal, lafaz-lafaz itu ditanggungkan kepada maknanya yang segera tertangkap selama tidak ditemukan  sesuatu yang memalingkannya dari makna tersebut. Dalam hubungan ini, tidak ada sesuatu yang memalingkannnya dari maksud keumumannya. Dengan demikian, secara otomatis lafaz itu tetap pada keumumannya. Kekhususan sebab semata tidak harus mengeluarkan selain sebab dari cakupan lafaz yang umum
3.        Para sahabat dan mujtahid di segala masa dan tempat berhujjah (menjadikan argumen) dengan keumuman lafaz-lafaz yang datang lantaran sebab-sebab yang khusus pada peristiwa dan kejadian yang banyak tanpa memerlukan qias atau mencari alasan dengan dalil lain. Bahkan, kebanyakan pokok-pokok syari’at lahir dari sebab-sebab yang khusus. Bagaimanapun khususnya sebab itu, mereka memahami dari lafaz-lafaz itu hakikat keumumannya. Kemudian, dari keumuman lafaz-lafaz tersebut mereka bentuk banyak kaidah-kaidah umum pula.

Adapun kelompok minoritas yang berpegang pada kaidah  al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al lafaz, mereka mengemukakan lima alasan sebagai berikut:
1.        Ijma’ telah berlaku atas ketidakbolehan mengeluarkan sebab dari hukum lafaz yang umum yang datang lantaran sebab yang khusus sekalipun terdapat mukhassis (yang mengkhususkan). hal demikian mengharuskan bahwa lafaz yang umum terbatas pada person-person sebab dan tidak menjangkau yang lainnya. Sebab, sekiranya lafaz-lafaz yang umum itu tidak terbatas pada person-person sebab, tentunya person-person ini sama statusnya dengan person-person lainnya dalam hal boleh mengeluarkannya ketika ada mukhassisnya. Padahal, yang demikian itu terlarang menurut ijma’
2.        para periwayat telah meriwayatkan asbab al-nuzul. Mereka telah memberikan perhatian yang besar terhadapnya dan membukukannya. Semua usaha itu tidak bermakna kecuali dengan mengikuti jalan pikiran minoritas yang mewajibkan terbatasnya lafaz yang umum pada person-person sebabnya yang khusus.
3.        penangguhan keterangan dari terjadinya suatu peristiwa dan munculnya pertanyaan pada lafaz umum yang datang  lantaran suatu sebab, meunjukkan bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab. Sebab, penangguhan lafaz Syari’ sampai sesudah terjadinya sebabnya memberikan pengerian bahwa sebablah satu-satunya yang diperhatikan syari’ dalam menetapkan hukumnya dengan lafaz yang turun mengenainya. Kjika demikian, maka Allah tidak mempertalikannya dengan sebab itu, dan bahkan akan menurunkannya sebelum peristiwa berlangsung atau memperlambatnya.
4.        Para  ahli fiqh sepakat atas bahwa seseorang yang diundang dengan kata-kata “makan sianglah di tempatku”, maka ia menolaknya dengan bersumpah: “ Demi Allah, saya tidak akan makan siang”—tidak kena kaffarat sumpah jika  ia makan di tempat orang lain. Pendapat ini tidak lahir kecuali dengan memandang bahwa lafaz yang umum ini telah tertentu bagi sebabnya, yaitu kalimat “makan sianglah di tempatku” yang dengannya pengundang menghususkan dirinya. Dalam hal ini, orang yang bersumpah seolah-olah berkata: “ saya tidak makan siang di tempatmu saja”. Karena itu, dia tidak berdosa untuk makan di tempat orang lain.
5.        Persesuaian antara pertanyaan dam jawaban wajib dalam pandangan hikmat dan ketentuan balaghah (sastra). Persesuaian ini tidak akan jadi melainkan dengan persamaan antara lafaz yang umum dengan sebabnya yang khusus. Sedangkan persamaan, tidak mungkin terjadi kecuali jika lafaz yang umum di takhshish (dijadikan khusus) dengan sebabnya yang khusus.[42]

Dalam penjelasan di atas, argumen nomor dua yang diajukan oleh ulama minoritas menarik untuk dipertanyakan. Argumen dipakainya kaidah bi khusus al-sabab demi penghargaan kepada ulama yang telah mencurahkan perhatian yang begitu besar terhadap asbab al-nuzul, bagi penyusun, adalah argumen naif dan tidak seharusnya dijadikan alasan untuk menguatkan pemakaian kaidah tersebut. Argumen dalam pemilihan pemakaian kaedah, seharusnya lebih atas pertimbangan makna yang akan dihasilkan nantinya, atau seharusnya lebih karena pertimbangan implikasi yang akan timbul darinya, bukan karena sikap etis kepada tokoh atau golongan tertentu yang telah terlanjur menghasilkan sebuah rumusan tertentu. Sikap seperti itu malahan akan menyebabkan stagnasi dalam pemikiran. Lagi pula, alasan seperti itu juga akan memperlihatkan bahwa argumen yang diajukan menjadi terkesan dipaksakan, hanya  demi mendukung kaidah yang dipakainya.
Tapi paling tidak, signifikansi asbab al-nuzul telah dapat terlihat melalui pemaparan pemakaian kaedah. Kalau yang dianut adalah paham al-‘ibrah bi ‘umum al- lafaz la bi khusus al-sabab, maka asbab al-nuzul kurang diperankan atau tidak diperankan sama sekali. Sementara kalau paham yang dipakai adalah al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ’umum al-lafaz, maka asbab al-nuzul menjadi signifikan. 
Selanjutnya, pembahasan yang perlu juga disampaikan dalam pemaparan asbab al-nuzul di sini adalah tentang cara mengetahui asbab al-nuzul dan sigat-sigat tentang asbab al-nuzul.

4.      Bentuk- bentuk Redaksi dan Cara Menentukan Asbab al-nuzul
Sungguhpun bagi segolongan ulama asbab al-nuzul begitu signifikan, namun tidak semua riwayat dapat dikatakan sebagai asbab al-nuzul. Untuk mengetahui apakah riwayat itu menunjukkan asbab al-nuzul atau sekadar menunjukkan hukumnya atau menunjukkan sesuatu yang lain, ulama melihatnya dari redaksi yang digunakan. Menurut ulama ada dua bentuk redaksi yang dapat dijadikan ukuran apakah itu menerangkan sebab nuzul atau menerangkan hukum atau makna ayatnya atau lainnya.
Bentuk pertama, berupa pernyataan tegas bahwa itu adalah asbab al-nuzul ayat. Dalam hal ini asbab al-nuzul disebutkan dengan ungkapan yang jelas, seperti sababu nuzuli hazihil ayati kaza (sebab turun ayat ini adalah begini), atau sabab nuzul tidak ditunjukkan dengan lafaz sebab, tetapi dengan mendatangkan lafazfa”  yang masuk kepada ayat yang dimaksud secara langsung setelah pemaparan suatu peristiwa atau kejadian. Ungkapan seperti ini juga menunjukkan bahwa peristiwa itu adalah sebab bagi turunnya ayat tersebut. Jika redaksinya berbentuk demikian maka secara definitif dianggap menunjukkan sabab al-nuzul dan tidak mengandung kemungkinan makna lain.[43]
Bentuk kedua yaitu sabab al-nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara jelas juga tidak dengan mendatangkan “fa” yang menunjukkan sebab, tetapi dengan redaksi: “nazalat hazihil ayatu fi kaza” ( ayat ini turun mengenai ini), atau ahsibu hazihil ayata fi kaza  (aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini), atau ma ahsibu hazihil ayata nazalat illa fi kaza (aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini). Dengan  bentuk redaksi seperti ini perawi tidak memastikan sabab al-nuzul. tetapi dianggapnya mengandung suatu kemungkinan, mungkin menunjukkan sebab, mungkin menunjukkan hukum atau lainnya.[44] Al-Zarkasyi menyebutkan bahwa telah dimaklumi dari kebiasaan para sahabat dan tabi’in bahwa jika salah seorang mereka berkata: “ayat ini turun tentang demikian”, maka  yang dimaksud adalah  hukum suatu ayat, bukan sebab bagi turunnya ayat tersebut.[45] Sementara menurut al-Zarqani, satu-satunya jalan untuk menentukan salah satu dari dua makna yang terkandung dalam ungkapan itu adalah konteks pembicaraannya.[46]
Mengenai asbab al-nuzul ini, Al-Qattan menjelaskan bahwa terkadang suatu ayat mempunyai banyak asbab al-nuzul. Terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas dan terkadang sebagiannya tidak tegas sedang sebagian lainnya tegas dalam menunjukkan sebab. Maka dalam hal ini yang ditempuh mufassir terhadapnya adalah:
·        Jika semuanya tidak tegas dalam menunjukkan sebab maka dipandang sebagai tafsir atau kandungan ayat.
·        Jika sebagian tidak tegas sementara sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yang tegas
·        Jika semuanya tegas maka tidak terlepas kemungkinan bahwa salah satunya sahih atau semuanya sahih. Apabila salah satunya sahih sedang yang lain tidak, maka yang sahih itulah yang menjadi pegangan.
·        Jika  semuanya sahih maka dilakukan pentarjihan bila mungkin. Bila tidak mungkin maka dipadukan. Bila tidak mungkin juga maka dipandanglah ayatnya turun beberapa kali dan berulang.[47]
Paparan di atas menunjukkan bahwa pedoman dasar dalam mengetahui asbab nuzul adalah melalui riwayat, yaitu riwayat sahih yang berasal dari rasulullah atau dari sahabat. Menurut Al-Wahidi “tidak diperbolehkan berpendapat mengenai sebab-sebab turunnya Al-Qur’an kecuali melalui periwayatan”.[48] Dan menurut al-Suyuti, bila ucapan seorang tabiin secara jelas menunjukkan sabab al-nuzul maka ucapannya dapat diterima dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari sahabat seperti Mujahid, Ikrimah dan Sa’id bin Jubair serta didukung oleh hadis mursal yang lain.Jika riwayat itu berasal dari tabi’in maka syaratnya bahwa ucapan tabi’in itu secara jelas menunjukkan asbab al-nuzul.[49] Sementara menurut Abu Zaid, pengetahuan tentang asbab al-nuzul merupakan masalah ijtihad. Oleh karenanya, ia menyarankan mufasir-mufasir muda untuk menikmati kesempatan berijtihad ini[50]


[1]Lihat  Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an  (Riyad: Mansyurat al- ‘Asr al- Hadis, t. t.), hlm. 78.
[2]Fahd Bin Abdur Rahman al-Rumi, ‘Ulumul Qur’an: Studi kompleksitas Al-Qur’an, terj. Amirul Hasan dan Muhamad Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997). hlm. 179.
[3]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, edisi revisi (Surabaya: Karya Abdi Tama, 1997), hlm. 38.
[4]Fahd Bin Abdur Rahman al-Rumi, Ulumul Qur’an…, hlm. 179. Lihat juga Masjfuk Zuhdi, ibid., hlm. 36.
[5]Secara bahasa (etimologis) kata asbab al-nuzul terdiri dari dua suku kata, yaitu asbab dan al-nuzul. Kata asbab adalah bentuk plural dari kata sababa yang berarti sebab atau alasan. Sedangkan kata al-nuzul adalah bentuk masdar dari kata nazala yang berarti turun Lihat Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab (Bairut, Dar al-Qutb al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I, hlm. 458. Lihat juga Ahmad Warson Muawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 602 dan 1409.
[6]Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an (t.t.p, Isa al-Bab al-Halabi, t.t), jilid I, hlm. 106.
[7]Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, ibid.. 
[8]Lihat Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid I (Kairo: Isa al-Bab al-Halabi), hlm.31.
[9]Subhi al-Salih, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut: Dar al-‘Ilm li al Malayin, 1988), hlm. 132.
[10]Asbab al-nuzul didefinisikan olehnya sebagai sesuatu hal yang karenanya Al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan. Lebih jelas lihat  Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an …, hlm. 78, atau lihat terjemahannya dalam Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir AS. (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2000), hlm. 110.
[11]Menurutnya, asbab al-nuzul adalah kejadian yang karenanya diturunkan Al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalamnya Al-Qur’an diturun kan serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik dituriunkan langsung sesudah terjadi sebab itu ataupun kemudian, lantaran sesuatu hikmah. Lihat dalam M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang,1990), hlm. 64. atau lihat dalam Jalaluddin al-Suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat Suci al-Qur’an, terj. A. Musthofa (Semarang: Asy Syifa’, 1993), hlm.54.
[12]Pandangan mereka ini dapat dilihat dalam Masjfuk Zuhdi, Pengantar ‘Ulum Al-Qur’an…,hlm. 36; Muhammad ‘Ali Ash-Shabbunie, Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Saikhul Islam, (Surabaya: Al-Ihklas, 1983), hlm. 51; Dawud al-Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, terj. Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 127;  Ahmad van Denffer, Ilmu Al-Qur’an: Pengenalan Dasar, terj. Ahmad Nashir Budiman (Jakarta: Rajawali Press, 1988), hlm. 101, juga Fahd bin ‘Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an…, hlm. 181.
[13]Lihat  Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 88-89.

[14]Lebih jelas lihat Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 31.
[15]Issa J. Boullata, “Tafsir Al-Qur’an Moderen: Studi atas Metode Bintusy Syathi’” dalam  Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintusy Syathi’ (Bandung: Mizan,1996), hlm. 12-13.
[16]Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut: Dar Ibnu Kasir, 2000), jilid I, hlm. 93. Pendapat dari al-Wahidi ini banyak dikutib oleh ulama. Lihat,  Ahmad van Denffer, Ilmu Al-Qur’an: Pengenalan Dasar…., hlm. 102; A. Mudjab Mahaly, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an (Jakarta: Rajawali Press, 1989), hlm. vii, Muhammad ‘Ali Ash-Shabbunie, Pengantar Ilmu…., hlm. 43; Masjfuk Zuhdi, Pengantar ‘Ulum Al-Qur’an…, hlm. 41; Ramli ‘Abdul Wahid, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hlm. 49, Azyumardi Azra (ed.), Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 78 dan Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu…, hlm. 113.

[17]Jalaluddin ‘Abdurrahman al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum…, ibid.. Pendapatnya  juga banyak dikutip oleh ulama. Lihat, Fahd bin ‘Abdurrahman al-Rumi, Ulumul Qur’an: Studi ..., hlm. 186; Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar…,hlm. 64;  A. Mudjab Mahaly, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman … ,hlm.viii; Muhammad ‘Ali Ash-Shabunie, Pengantar Ilmu-Ilmu …,.hlm.43; Masjfuk Zuhdi, Pengantar ‘Ulum…, hlm.41; Ramli ‘Abdul Wahid, Ulumul…, hlm. 49 dan al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu… ,hlm.113.
[18]Jalaluddin ‘Abdurrahman al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum…,ibid..
[19]Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum…, hlm.22.
[20]Jalaluddin al-Suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat Suci…, hlm.57.
[21]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu…, hlm.110-115.
[22]Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hlm. 109-114.

[23]Mengenai hubungan dialektik ini dicontohkan dengan adanya konsep wahyu dan jin yang diadopsi oleh Al-Qur’an dari masa pra Islam yang kemudian diperbarui atau dikonsep oleh Al-Qur’an dengan cara yang berbeda dengan konsep pada masa pra Islam. Lihat  Ali Harb, “ Nasr Hamid Abu Zaid: Wacana yang melawan Fundamentalisme namun Masih Berpijak pada Buminya”, dalam  Kritik Nalar Al-Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 327. Sementara pembahasan mengenai konsep wahyu dan jin itu sendiri dapat dilihat dalam Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Analisis Semantik terhadap Weltanschauung Al-Qur’an (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm.  6-7 dan 171.
[24]Penjelasan tentang masing-masing konteks secara lebih jelas, lihaI, Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan ( Yogyakarta: Elsaq, 2003), hlm. 103-118. Lihat juga Nars Hamid Abu Zaid, Dekonstruksi Gender: Kritik wacana Perempuan dalam Islam, terj.Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi  (Yogyakarta: SAMHA, 2003), hlm. 182-182.
[25]Lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta:LKIS, 2002), hlm. 123-124.
[26]Lebih jelas lihat kembali  Issa J. Boullata, “Tafsir Al-Qur’an Moderen…”, hlm. 15.
[27]Tabataba’i, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, terj. Machasin dan Hamim Ilyas (Bandung: Mizan, 1992),  hlm. 121-123.

[28]Q.S. Al-Baqarah: 222, terjemahannya lihat pada lampiran. 
[29]Lihat, Manna Khalil al-Qattan, Studi …, hlm.116.
[30]Q.S. al-Lail:17-21, terjemahannya lihat pada lampiran.
[31]Lihat, Manna Khalil al-Qattan, Studi …, hlm. 118.
[32]Ibid., hlm. 115-118.
[33]Ibid., hlm. 119.
[34]Ibid., hlm. 119.
[35]Ibid, hlm. 118-120.

[36]Quraisy Shihab, Membumikan…, hlm. 89.
[37]Ibid..
[38]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas…, hlm 124-125.
[39]Ibid., hlm. 122-123.

[40]Ibid., hlm. 129.
[41]Ibid., hlm. 134.
[42]Ramli Abdul Wahid, Ulumul …, hlm. 75-77, atau lihat dalam Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil  al-‘ Irfan…, hlm. 127-134.
[43] Lihat Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu…, hlm.  120.
[44]Lihat Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu…, hlm.  121.
[45]Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkazsyi, Al-Burhan fi ‘Ulum …, hlm.31-32.
[46]Ramli Abdul Wahid, Ulumul …, hlm. 49.
[47]Manna Khalil al-Qattan, ibid., hlm.31-132.

[48]Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum…, hlm. 99.
[49]Ibid.,  hlm.101.
[50]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas…, hlm. 134.

No comments: