A. Pengertian Hak dan Kewajiban
1. Pengertian dan Macam-macam Hak
Sebelum membahas secara panjang lebar tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga, ada baiknya penyusun terlebih dahulu menjelaskan pengertian seperlunya terkait dengan hak dan kewajiban. Dalam bahasa latin untuk menyebut hak yaitu dengan ius, sementara dalam istilah Belanda digunakan istilah recht. Bahasa Perancis menggunakan istilah droit untuk menunjuk makna hak. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah law untuk menunjuk makna hak.
Secara istilah pengertian hak adalah kekuasaan/wewenang yang dimiliki seseorang untuk mendapatkan atau berbuat sesuatu.[1] Sementara menurut C.S.T Cansil hak adalah izin atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.[2] Menurut van Apeldoorn hak adalah hukum yang dihubungkan dengan seseorang manusia atau subyek hukum tertentu, dengan demikian menjelma menjadi suatu kekuasaan.[3]
Dalam pengertian ini, C.S.T. Cansil membagi hak ke dalam hak mutlak (hak absolut) dan hak relative (hak nisbi).[4]
a. Hak Mutlak (hak absolut)
Hak mutlak adalah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, hak mana bisa dipertahankan kepada siapapun juga, dan sebaliknya setiap orang harus menghormati hak tersebut.[5]
Sementara itu macam-macam hak mutlak dibagi ke dalam tiga golongan:[6]
1) Hak Asasi Manusia
2) Hak Publik Mutlak
3) Hak Keperdataan
Sedangkan macam-macam hak keperdataan yaitu antara lain sebagai berikut:[7]
a) Hak Marital[8]
b) Hak/Kekuasaan Orang Tua
c) Hak Perwalian
d) Hak Pengampuan
b. Hak Relatif (hak nisbi)
Hak relatif adalah hak yang memberikan wewenang kepada seseorang tertentu atau beberapa orang tertentu untuk menuntut agar supaya seseorang atau beberapa orang lain tertentu memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.[9]
Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf bahwa hak terdiri dari dua macam yaitu hak Allah dan hak Adam:[10]
a. Hak Allah[11]
b. Hak Manusia (hak adam)[12]
2. Pengertian Kewajiban
Sedangkan kewajiban berasal dari kata wajib yang berarti keharusan untuk berbuat sesuatu. Jadi pengertian kewajiban yaitu sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang oleh karena kedudukannya. Kewajiban timbul karena hak yang melekat pada subyek hukum.
B. Nas{ Sekitar Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Dalam Islam, untuk menentukan suatu hukum terhadap sesuatu masalah harus berlandaskan atas Nas{ al-Qur’an dan sunnah Nabi.[13] Kedua sumber ini harus dirujuk secara primer untuk mendapatkan predikat absah sebagai suatu hukum Islam. Oleh karena itu, usaha untuk menemukan Nas{ yang sesuai dengan masalah yang akan dibahas adalah bagian dari aktifitas penemuan hukum yang tidak kalah pentingnya dengan menentukan hitam putihnya sebuah hukum. Dalam al-Qur’an tidak semua permasalahan manusia bisa diketemukan ketentuannya, namun pada biasanya, dalam menyikapi masalah cabang (furu‘iyah) yang tidak ada penjelasan rincinya, al-Qur’an hanya memberikan ketentuan secara umum.
Ketentuan umum yang ada dalam al-Qur’an tersebut adakalanya mendapatkan penjelasan dari al-Qur’an sendiri di tempat yang lain, dan adakalanya mendapatkan penjelasan sunnah Nabi (sebagai fungsi penjelas), namun adakalanya tidak ada penjelasan dari dua sumber primer tersebut. Masalah hak dan kewajiban suami isteri relatif mendapatkan banyak penjelasan baik yang berupa prinsip-prinsipnya maupun detail penjelasannya. Terkait dengan masalah hak dan kewajiban suami isteri dalam rumah tangga, kiranya beberapa ketentuan-ketentuan al-Qur’an di bawah ini akan membantu menjelaskan.
Sementara itu mengenai hak dan kewajiban bersama antara suami isteri, penyusun tidak menemukan ketentuan al-Qur’an yang mengatur secara khusus, bahkan Khoiruddin Nasution dan Ahmad Azhar Basyir misalnya, berbeda pendapat tentang dalil mana yang mengatur tentang hak dan kewajiban bersama tersebut. Namun sebagai pertimbangan dalam memperkaya dalil-dalil tentang hak dan kewajiban bersama antara suami isteri akan dikemukakan beberapa dalil yang dipakai Khoiruddin Nasution dan Ahmad Azhar Basyir yang antara lain sebagai berikut:
والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء ولا يحل لهن أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن إن كنّ يؤمنّ بالله واليوم الأخر وبعولتهن أحق بردهنّ في ذلك إن أرادوا إصلحا، ولهنّ مثل الذي عليهنّ بالمعروف وللرجال عليهنّ درجة، والله عزيز حكيم[14]
وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعفا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا[15]
يأيها الذين أمنوا لايحل لكم أن ترثوا النساء كرها ولا تعضلوهن لتذهبوا ببعض ما أتيتموهنّ إلاّ أن يأتين بفحشة مبينة، وعاشروهنّ بالمعروف، فإن كرهتموهنّ فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا[16]
Tiga ayat di atas menjelaskan tentang hak dan kewajiban bersama antara suami dan isteri. Selanjutnya mengenai ketentuan kewajiban memberi maskawin oleh suami yang menjadi hak isteri dalam al-Qur’an dijumpai di beberapa tempat antara lain:[17]
والمحصنت من النساء إلا ما ملكت أيمنكم، كتب الله عليكم، وأحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأمولكم محصنين غير مسفحين، فما استمتعتم به منهنّ فأتوهنّ أجورهنّ فريضة، ولا جناح عليكم فيما ترضيتم به من بعد الفريضة، إن الله كان عليما حكيما[18]
Ayat di atas menjelaskan tentang kewajiban suami memberikan maskawin kepada isterinya. Tentang kewajiban suami dalam hal maskawin Allah berfirman juga dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
يأيها النبي إنا أحللنا لك أزواجك التي أتيت أجورهن وما ملكت يمينك مما أفاء الله عليك وبنات عمّك وبنات عمتك وبنات خالك وبنات خلتك التي هاجرن معك وامرأة مؤمنة إن وهبت نفسها للنبي إت أراد النبي أنيستنكححا خالصة لك من دون المؤمنين، قد علمنا ما فرضنا عليهم في أزواجهم وما ملكت أيمنهم لكيلا يكون عليك حرج، وكان الله غفورا رحيم[19]
Sedangkan dalam sunnah Nabi, Nabi bersabda kepada salah seorang sahabat, “nikahlah kamu sekalipun dengan cincin dari besi.”[20] Kemudian tentang kewajiban suami yang menjadi hak isteri dalam hal nafkah dijumpai dalam firman Allah:
لينفق ذوسعة من سعته، ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما أته الله، لا يكلف الله نفسا إلا ما أتها سيجعل الله بعد عسر يسرا[21]
والولدت يرضعن أولدهنّ حولين كاملين، لمن أراد أن يتم الرضاعة، وعلى المولود له رزقهنّ وكسوتهن بالمعروف لاتكلف نفس إلاوسعها، لاتضارّ ولدة بولدها ولا مولود له بولده، وعلى الوارث مثل ذلك، فإن أرادا فصالا عن تراض منهما وتشاور فلاجناح عليهما، وإن أردتم أن تسترضعوا أولدكم فلاجناح عليكم إذا سلمتم ما أتيتم بالمعروف، واتقوا الله واعلموا أن الله بما تعملون بصير[22]
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أمولهم، فالصلحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ الله، والتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن، فإن أطعنكم فلاتبغوا عليهن سبيلا، إن الله كان علياّ كبيرا[23]
Lebih lanjut dalam masalah hak-hak isteri yang ditalak, al-Qur’an memberikan ketentuan sebagai berikut:
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضارّوهنّ لتضيقوا عليهنّ، وإن كنّ أولت حمل فأنفقوا عليهنّ حتى يضعن حملهنّ، فإن أرضعن لكم فأتوهنّ أجورهنّ وأتمروا بينكم بمعروف، وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى[24]
لاجناح عليكم إن طلقتم النساء مالم تمسوهنّ أوتفرضوا لهنّ فريضة، ومتعوهنّ على الموسع قدره وعلى المقتر قدره متاعا بالمعروف، حقا على المحسنين[25]
C. Hak dan Kewajiban Suami Isteri
1. Asas Hukum
Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Bruggink,[26] asas hukum dapat didefinisikan sebagai pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.
Menurut C.W. Paton, asas adalah a principles is the broad reason, which lies at the base of a rule of law (asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum).[27] Sedangkan menurut Chainur Arrasjid asas adalah dasar, pokok tempat menemukan kebenaran dan sebagai tumpuan berfikir.[28]
Dari ketiga pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur asas meliputi:
1. Alam pikiran
2. Dasar untuk membentuk norma hukum
Para ahli hukum sepakat bahwa asas hukum mestilah tidak berbentuk istilah operasional layaknya norma hukum, karena ia akan dijadikan dasar pembentukan norma hukum yang sifatnya konkrit. Sebagaimana dikatakan van Eikema Hommes bahwa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkrit, tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.[29]
Senada dengan van Eikema, The Liang Gie sebagaimana dikutip oleh Chainur Arrasjid berpendapat bahwa asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan hukum.[30]
Dari berbagai pandangan para ahli di atas dapat disimpulkan disini bahwa asas memiliki peran penting dalam pembentukan norma hukum. Asas yang benar akan membentuk norma hukum yang benar, sedangkan asas yang salah akan membentuk norma hukum yang salah pula. Asas hukum meniscayakan tujuan yang ingin dicapai oleh hukum itu sendiri.
Dalam norma hukum positif adakalanya bahwa asas-asas hukum suatu norma hukum disebutkan secara eksplisit, namun adakalanya tidak disebutkan. Menurut hemat penyusun ketentuan dalam Pasal 30-34 tentang hak dan kewajiban suami isteri dalm Undang-Undang Perkawinan, termasuk norma hukum yang menyebutkan secara eksplisit asas hukumnya. Terutama pada Pasal 31 ayat (1) yang menyebutkan bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.[31]
Tingkat idealitas hukum yang tercermin dalam asas-asas yang melandasi suatu norma hukum terkadang berjalan secara kontra-produktif dengan prakteknya di lapangan. Hal ini disebabkan salah satunya oleh kurangnya tingkat penerimaan masyarakat terhadap tradisi hukum baru yang ingin diciptakan oleh pembuat hukum (policy maker). Oleh karena itu, tidak jarang maksud dan tujuan pembuatan suatu hukum oleh policy maker tidak diketahui oleh khalayak ramai.
Sedangkan dalam tradisi hukum Islam, untuk menunjuk asas dan tujuan suatu hukum, antara asas dan tujuan digunakan secara bergantian, walaupun untuk menunjuk objek yang khusus. Misalnya tentang asas hukum perkawinan dalam Islam yaitu salah satunya musyawarah dan demokrasi,[32] dan menciptakan rasa aman dan tenteram dalam keluarga.[33]
Dalam asas hukum perkawinan terkandung juga asas pokok hukum Islam secara umum, misalnya asas untuk memelihara agama dan memperbaiki keturunan. Satu ketentuan hukum dalam Islam, disamping memiliki asas normatif temporalnya, juga memiliki asas universal.
2. Hukum Islam Tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Dalam Islam, perkawinan dipandang sebagai suatu perbuatan yang luhur dan suci. Perkawinan bukan hanya perbuatan akad biasa sebagaimana dikenal dalam perkawinan perdata,[34] lebih dari itu perkawinan merupakan perbuatan yang memiliki nilai keakhiratan (falah oriented). Sedangkan hukum melakukannya bergantung pada kondisi subyek hukumnya.[35]
Pada setiap perkawinan, masing-masing pihak (suami dan isteri) dikenakan hak dan kewajiban. Pembagian hak dan kewajiban disesuaikan dengan proporsinya masing-masing. Bagi pihak yang dikenakan kewajiban lebih besar berarti ia akan mendapatkan hak yang lebih besar pula.[36] Sesuai dengan fungsi dan perannya.[37]
Selanjutnya mengenai hak dan kewajiban suami isteri, al-Qur’an telah secara rinci memberikan ketentuan-ketentuannya. Ketentuan-ketentuan tersebut diklasifikasi menjadi:
a. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban bersama antara suami isteri
b. Ketentuan mengenai kewajiban suami yang menjadi hak isteri
c. Ketentuan mengenai kewajiban isteri yang menjadi hak suami.
Secara teoretik, untuk menetapkan suatu hukum dalam Islam harus merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai sumber primer.[38] Al-Qur’an digunakan sebagai petunjuk hukum dalam suatu masalah kalau terdapat ketentuan praktis di dalamnya. Namun apabila tidak ditemukan, maka selanjutnya merujuk kepada sunnah Nabi.
Sementara itu terkait dengan ketentuan praktis mengenai hak dan kewajiban antara suami dan steri, banyak ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an. Dalil-dalil tersebut meliputi hak dan kewajiban bersama antara suami dan isteri, kewajiban suami terhadap isteri, kewajiban isteri terhadap suami.
Al-Qur’an tidak menentukan secara khusus tentang hak dan kewajiban bersama suami isteri.[39] Namun Khoiruddin Nasution berpendapat bahwa surat al-Baqarah (2): 228[40] dan surat al-Nisa>’ (4): 9[41] adalah dalil untuk menetapkan hak dan kewajiban bersama.[42]
Sedangkan Ahmad Azhar Basyir menggunakan surat al-Nisa>’ (4): 19[43] sebagai dalil untuk menetapkan adanya hak dan kewajiban bersama antara suami isteri dalam keluarga atau rumah tangga.
Dari ketiga ayat al-Qur’an tersebut di atas, baik surat al-Baqarah (2): 228 dan surat al-Nisa>’ (4): 9 dan 19 diperoleh ketentuan hak dan kewajiban suami isteri sebagai berikut:[44]
a. Bergaul dengan baik sesama pasangan
b. Ada jaminan hak sesuai dengan kewajiban
c. Halal bergaul antara suami isteri, dan masing-masing dapat bersenang-senang satu sama lain.
Sedangkan katentuan yang berhubungan dengan kewajiban suami terhadap isteri dalam keluarga dijelaskan dalam firman Allah:
والمحصنت من النساء إلا ما ملكت أيمنكم، كتب الله عليكم، وأحل لكم ما وراء ذلكم أن تبتغوا بأمولكم محصنين غير مسفحين، فما استمتعتم به منهنّ فأتوهنّ أجورهنّ فريضة، ولا جناح عليكم فيما ترضيتم به من بعد الفريضة، إن الله كان عليما حكيما[45]
Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban suami membayar kepada isterinya. Suami tidak boleh meminta mahar (pada hari-hari berikutnya) dengan jalan paksa, namun apabila isterinya memberikan dengan sukarela, maka suami dibenarkan untuk mengambilnya. Mahar untuk selanjutnya menjadi hak penuh isteri apabila telah dicampuri.[46]
Rasulullah juga bersabda bahwa maskawin dan apa saja yang diberikan suami kepada isterinya adalah menjadi hak isteri sepenuhnya.[47]
يأيها النبي إنا أحللنا لك أزواجك التي أتيت أجورهن وما ملكت يمينك مما أفاء الله عليك وبنات عمّك وبنات عمتك وبنات خالك وبنات خلتك التي هاجرن معك وامرأة مؤمنة إن وهبت نفسها للنبي إت أراد النبي أنيستنكححا خالصة لك من دون المؤمنين، قد علمنا ما فرضنا عليهم في أزواجهم وما ملكت أيمنهم لكيلا يكون عليك حرج، وكان الله غفورا رحيما[48]
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kegunaan mahar adalah untuk menghalalkan hubungan badan antara suami dan isteri.
لينفق ذوسعة من سعته، ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما أته الله، لا يكلف الله نفسا إلا ما أتها سيجعل الله بعد عسر يسرا[49]
Sedangkan ayat ini menjelaskan tentang kewajiban suami untuk mencukupi nafkah isteri. Kadar nafkah yaitu disesuaikan dengan kemampuannya. Menurut Azhar Basyir bahwa batas minimal kewajiban nafkah yaitu meliputi keperluan makan, pakaian, perumahan dan sebagainya. Ketentuan ma‘ru>f dalam al-Qur’an juga berlaku untuk ketentuan nafkah, yaitu batas kewajaran (sedang, tengah-tengah, tidak kurang dari kebutuhan tetapi tidak pula berlebihan)[50]
والولدت يرضعن أولدهنّ حولين كاملين، لمن أراد أن يتم الرضاعة، وعلى المولود له رزقهنّ وكسوتهن لاتكلف نفس إلاوسعها، لاتضارّ ولدة بولدها ولا مولود له بولده، وعلى الوارث مثل ذلك، فإن أرادا فصالا عن تراض منهما وتشاور فلاجناح عليهما، وإن أردتم أن تسترضعوا أولدكم فلاجناح عليكم إذا سلمتم ما أتيتم بالمعروف، واتقوا الله واعلموا أن الله بما تعملون بصير[51]
Ayat ini mengokohkan ayat sebelumnya yang memuat kewajiban suami untuk memenuhi nafkah isteri-isterinya. Sekali lagi dalam ayat ini ditegaskan bahwa kadar nafkah yaitu disesuaikan dengan kemampuan suami. Kata بالمعروف sebagai pembatas kadar nafkah yang tidak boleh berlebihan, apalagi memang tidak mampu untuk memberikan nafkah secara berlebihan.
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أمولهم، فالصلحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ الله، والتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن، فإن أطعنكم فلاتبغوا عليهن سبيلا، إن الله كان علياّ كبيرا[52]
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضsارّوهنّ لتضيقوا عليهنّ، وإن كنّ أولت حمل فأنفقوا عليهنّ حتى يضعن حملهنّ، فإن أرضعن لكم فأتوهنّ أجورهنّ وأتمروا بينكم بمعروف، وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى[53]
Dua ayat di atas menjelaskan tentang hak isteri yang ditalak untuk mendapatkan tempat tinggal. Menjadi kewajiban suamilah untuk memberikan rumah tempat tinggal dan nafkah sampai masa persalinan.
لاجناح عليكم إن طلقتم النساء مالم تمسوهنّ أوتفرضوا لهنّ فريضة، ومتعوهنّ على الموسع قدره وعلى المقتر قدره متاعا بالمعروف، حقا على المحسنين[54]
Ayat ini menjelaskan tentang hak mut’ah isteri. Sedangkan kadar ukurannya yaitu disesuaikan dengan kemampuan suami. Kalau suaminya tergolong orang kaya maka harus diberikan dengan ma‘ru>f.[55]
Sedangkan kewajiban isteri terhadap suami diatur dalam firman Allah sebagai berikut:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أمولهم، فالصلحت قنتت حفظت للغيب بما حفظ الله، والتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن، فإن أطعنكم فلاتبغوا عليهن سبيلا، إن الله كان علياّ كبيرا[56]
Menurut Azhar Basyir, berdasarkan dari penjelasan surat an-Nisa’ (4): 34 tersebut di atas dapat diperoleh ketentuan sebagai berikut:
1. Isteri supaya bertempat tinggal bersama suami di rumah yang telah disediakan
2. Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali melanggar larangan Allah
3. Suami berhak memberi pelajaran.
Selanjutnya dalam Ensiklopedi Wanita Muslimah disebutkan bahwa akhlak isteri terhadap suami yaitu meliputi:[57]
1. Wajib mentaati suami, selama bukan untuk bermaksiat kepada Allah.
2. Menjaga kehormatan dan harta suami.
3. Menjaga kemuliaan dan perasaan suami, yaitu berpenampilan di rumah dengan penampilan yang memikat suami, berbicara dengan tutur kata yang ramah dan selalu membuat perasaan suami senang dan bahagia.
4. Melaksanakan hak suami, mengatur rumah dan mendidik anak.
5. Tidak boleh menerima tamu yang tidak disenangi suaminya.
6. Tidak boleh melawan suaminya.
7. Tidak boleh membanggakan sesuatu tentang diri dan keluarganya di hadapan suami, baik kekayaan, keturunan maupun kecantikannya.
8. Tidak boleh menilai dan menganggap bodoh suaminya.
9. Tidak boleh menuduh kesalahan atau mendakwa suaminya, tanpa bukti dan saksi-saksi.
10. Apabila melepas suami pergi bekerja, lepaslah dengan sikap kasih dan apabila menerima suami pulang krja, sambutlah kedatangannya dengan muka manis, pakaian bersih dan berhias.
11. Harus pandai mengatur urusan rumah tangga.
Setelah melihat ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an yang disebutkan di atas, secara keseluruhan dapat disebutkan hak-hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga menurut Islam yaitu sebagai berikut:[58]
1. Kewajiban Bersama Suami dan Istri
a. Halal bergaul antara suami dan isteri dan masing-masing dapat bersenang-senang satu sama lain
b. Terjadi mahram semenda
c. terjadi hubungan waris mewarisi
d. bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga tercipta kehidupan harmonis dan damai
2. Kewajiban Suami Terhadap Isteri
a. Memberi Maskawin (mahar)
b. Memberi nafkah sesuai kemampuannya
2. Kewajiban Istri Terhadap Suami
a. Taat kepada suami
b. Berdiam di rumah, tidak keluar kecuali seizin suami
c. Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin suami.
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan al-Qur’an di atas dalam kaidah fikih dijelaskan:
الضرر يدفع بقدر الإمكان[59]
Dari kaidah ini dapat diketahui bahwa adanya kewajiban menghindarkan akan terjadinya suatu kemud{aratan atau dengan kata lain bahwa usaha agar jangan terjadi suatu kemud{aratan dengan segala upaya yang mungkin untuk diusahakan.
Tidak jarang dalam suatu perbuatan bergantung pada perbuatan yang lain. Dan tak jarang pula perbuatan inti sangat bergantung pada perbuatan perantara. Seperti dalam perkawinan, bahwa tujuan perkawinan adalah mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuan tersebut tidak akan terwujud manakala tidak ada pembagian tugas-tugas dalam kehidupan rumah tangga. Seperti misalnya semua tugas-tugas yang berkaitan dengan rumah tangga dikerjakan oleh suami atau isteri saja, sementara kemampuan isteri atau suami sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukan adanya pembagian tugas-tugas yang berbentuk hak dan kewajiban(sebagai langkah preventif), dan masing-masing pihak bertindak atas haknya.
[1] Kamus Hukum, J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, cet. VI (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 60
[2] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. VIII (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 119-120
[3] Dikutip oleh C.S.T. Cansil dari van Apeldoorn dalam Ibid., hlm. 120
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm. 121
[8] Hak marital adalah hak seorang suami untuk menguasai isterinya dan harta bendanya. Hak marital timbul oleh sebab adanya ikatan perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dan wanita. Lihat dalam Ibid.
[9] Ibid.
[10] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Noer Iskandar al Barsany, Moh. Tolchah Mansoer, Ed. I., cet. VII (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 340
[11] Hak Allah yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syari’at, yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Adapun pelaksanaannya dipertanggungjawabkan oleh penguasa pemerintah. Ibid.
[12] Hak manusia adalah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syari’at yang bertujuan untuk mukallaf secara khusus. Ibid.
[13] Semua ulama (Imam Hanafi, Imam Maliky, Imam Syafi’I, dan Imam Hanbaly) sepakat dalam menempatkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber primer, setelah itu beberapa sumber sekunder yang lain. Dalam tradisi Imam Hanafi ditemukan misalnya sebagai sumber sekunder dalam menetapkan hukum yaitu, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, adat yang telah berlaku di dalam masyarakat umat Islam. Imam Malik menambahkan sumber hukum dengan Ijma’, qiyas, dan istislah atau masha>lihul mursalah. Kemudian Imam Syafi’I menambahkan selain al-Qur’an dan as-Sunnah dengan ijma’, qiyas, dan istidlal. Sementara Imam Hanbaly menambhakan dengan fatwa sahabat, hadi mursal dan hadis\ da’if , dan qiyas. lihat dalam hlm. Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab (Hanafy, Maliky, Syafi’iy, Hanbaly) cet. Ke-III (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 73, 127, 220, 296
[14] Al-Baqarah (2): 228
[15] Al-Nisa>’ (4): 9
[16] Al-Nisa>’ (4): 19
[17] Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi Dengan Perbandingan UU Negara Muslim (Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2004), hlm. 241
[18] Al-Nisa>’ (4): 24
[19] Al-Ah{zab (33): 50
[20] Diriwayatkan oleh Waki’ dari Sufyan dari Abi> Ha>zim dari Sahl Bin Sa’id, lihat Imam Abi> ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim, Shahih Bukhari, jilid IV (Istanul: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 137.
[21] Al- T{ala>q (65): 07
[22] Al-Baqarah (2): 233
[23] Al-Nisa>’ (4): 34
[24] Al- T{alaq (65): 6
[25] Al-Baqarah (2): 236
[26] J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief Sidharta, cet. ke-II (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 119-120
[27] Dikutip oleh Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, cet. IV (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 36
[28] Ibid.
[29] Dikutip oleh Chainur Arrasjid, dalam Ibid., hlm. 37
[30] Ibid.
[31] Tentang asas keseimbangan yang menjadi landasan Pasal 31 ayat (1) ini lihat misalnya penjelasan C.S.T. Cansil dalam C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 226
[32] Dengan adanya asas musyawarah dan demokrasi berarti bahwa dalam segala aspek kehidupan dalam rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan berdasarkan hasil musyawarah minimal antara suami dan isteri. Sedang maksud demokrasi adalah antara suami dan isteri harus saling terbuka untuk menerima pandangan dan pendapat pasangan. Demikian juga antara orang tua dan anak harus menghargai dan menerima pandangan dan pendapat daari keluarga lain. Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri…, hlm. 52
[33] Menciptakan rasa aman dan tenteram dalam keluarga yaitu dalam kehidupan rumah tangga harus tercipta suasama yang merasa saling kasih, saling asih, saling cinta, saling melindungi dan saling sayang. Ibid., 57
[34] Dalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan, “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.” Lihat juga R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ed. revisi, cet. XXXIV (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hlm. 8
[35] Perkawinan menjadi wajib apabila seseorang memiliki keinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam hidup perkawinan serta ada kekhawatiran (apabila tidak kawin) akan berbuat zina. Perkawinan sunnah yaitu perkawinan bagi seseorang yang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban dalam perkawinan dan tidak ada kekhawatiran berbuat zina. Perkawinan mubah yaitu perkawinan bagi seseorang yang sudah memiliki harta, tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata kawin pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajibannya terhadap isteri. Perkawnan makruh yaitu perkawinan bagi seseorang yang telah mampu dalam segi material, cukup mempunyai daya atahan mental dan agama hingga tidak khawatir akan berbuat zina, tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap isterinya. Sedangkan perkawinan haram yaitu perkawinan bagi seseorang yang belum berkeinginan serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup perkawinan sehingga apabila mereka kawin juga akan berakibat menyusahkan isterinya. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 14-16
[36] Menurut hemat penulis, bahwa Islam menganut asas proporsionalitas dalam persoalan hak dan kewajiban suami isteri. Islam tidak memandang satu pihak lebih inferior dari pihak yang lain. Realitas perjalanan Islam yang memperlakukan perempuan sebagai manusia kelas dua setelah laki-laki disebabkan oleh penyeragaman makna terhadap posisi perempuan yang subordinat tersebut. kalau tidak dipengaruhi oleh setting historis turunnya Islam di masyarakat yang kebudayaannya kurang menguntungkan terhadap perempuan. Model penyeragaman makna terhadap semua ketentuan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan hak dan kewajiban suami isteri yang dilakukan oleh kitab-kitab fiqih konvensional diakui pula oleh Hilman Hadikusuma. Menurut Hilman, ketentuan dalam surat al-Baqarah (2): 228, memang mengesankan adanya kelebihan laki-laki (suami), akan tetapi tidak berlaku untuk semua hal dan kedudukan suami dan isteri. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, cet. I (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 115-116. Lihat juga Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, bahasa oleh Agus Nuryanto, cet. I, alih bahasa Agus Nuryanto (Yogyakarta: LKiS, 2003), 37-65
[37] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia…, hlm. 115
[38] Sebagai sumber sekunder ulama mazhab berbeda pendapat, misalnya imam Hanafy menambahkan dengan fatwa-fatwa para sahabat, qiyas, istihsan dan adapt sebagai tambahan sumber sekunder. Imam Maliki menambahkan dengan ijma’ para ulama ahli Madinah di kala itu, qiyas dan istishlah atau mashlahah mursalah. Imam Syafi’i menambahkan ijma’ dan qiyas sebagai sumber sekunder sedangkan imam Hanbaly menambahkan dengan fatwa sahabat baik ijma’ maupun yang masih diperselisihkan, hadis mursal dan hadis d{a‘if dan qiyas. Lihat Munawar Khalil, Biography Empat Serangkai Imam Mazhab (Hanafy, Maliky, Syafi’iy, Hanbaly) cet. III (Jakarta: Bulan Bindang, 1977), hlm. 295-296, bandingkan dengan Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, cet. III (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 50
[39] Adapun yang dimaksudkan dengan al-Qur’an tidak menyebutkan secara khusus di sini yaitu bahwa al-Qur’an tidak menentukan detail bagian-bagiannya. Akan tetapi bahwa dalam al-Qur’an terdapat ketentuan hak dan kewajiban, kiranya para ulama sepakat dengan pernyataan tersebut.
[40] والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء ولا يحل لهن أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن إن كنّ يؤمنّ بالله واليوم الأخر وبعولتهن أحق بردهنّ في ذلك إن أرادوا إصلحا، ولهنّ مثل الذي عليهنّ بالمعروف وللرجال عليهنّ درجة، والله عزيز حكيم
[41] وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعفا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا
[42] Lihat Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri…, hlm. 241
[43] يأيها الذين أمنوا لايحل لكم أن ترثوا النساء كرها ولا تعضلوهن لتذهبوا ببعض ما أتيتموهنّ إلاّ أن يأتين بفحشة مبينة، وعاشروهنّ بالمعروف، فإن كرهتموهنّ فعسى أن تكرهوا شيئا ويجعل الله فيه خيرا كثيرا
[44] Bandingkan antara Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Isteri…, hlm. 241 dengan Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 53
[45] Al-Nisa>’ (4): 24
[46] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 54
[47] Abu Abdur Rahman Ahmad An-Nasa’iy, Tarjamah Sunan an-Nasa’iy, alih bahasa Bey Arifin, dkk., jilid III (Semarang, Asy-Syifa’, 1993), hlm. 525, diriwayatkan dari ‘Amr ibnu Syu’aib dari ayahnya dari Abdullah ibnu Amr berkata, “Rasulullah berkata: “wanita manapun yang diikat degnan maskawin atau pemberian atau mafakah yang diberikan sebelum akad nikah, maka semua itu menjadi haknya. Adapun sesuatu yang diberikan setelah akad nikah, maka wanita itu menjadi milik suami yang memberinya, dan suaminya itu lebih berhak menguasainya”.
[48] Al-Ah}za>b (33): 50
[49] Al- T{ala>q (65): 07
[50] Lihat Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm.57-58
[51] Al-Baqarah (2): 233
[53] Al-T{alaq (65): 6
[54] Al-Baqarah (2): 236
[55] Ma‘ru>f berasal dari kata ‘urf yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Jadi kadar mut’ah yang diberikan kepada isteri, bagi suami yang kaya disesuaikan dengan lazimnya dipraktekkan masyarakat sekitar.
[56] Al-Nisa>’ (4): 34
[57] Haya binti Mubarak al-Barik, dalam Ummu Hanin, Ensiklopedi Wanita Muslimah, alih bahasa oleh Amir Hamzah Fahrudin, cet. XII (Jakarta: Darul Falah, 2006), hlm. 126-127
[58] Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri…, hlm. 241, lebih detail lihat juga Muhammad Baqir al-Habsyi sebagaimana dikuti oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia…, hlm. 183-184
[59] Asjmuni Abdurrahman, Qaidah-Qaidah Fiqih, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1976), hlm. 84.
No comments:
Post a Comment