Monday, October 25, 2010

JILBAB DALAM LINTASAN SEJARAH ISLAM

JILBAB DALAM LINTASAN SEJARAH ISLAM

  1. Pengertian dan Sejarah Jilbab
Jilbab atau hijab merupakan bentuk peradaban yang sudah dikenal beratus-ratus tahun sebelum datangnya Islam. Ia memiliki bentuk yang sangat beragam. Hijab bagi masyarakat Yunani memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat Romawi. Demikian pula halnya dengan hijab pada masyarakat Arab pra-Islam. Ketiga masyarakat tersebut pernah mangalami masa keemasan dalam peradaban jauh sebelum datangnya Islam. Hal ini sekaligus mamatahkan anggapan yang menyatakan, bahwa hijab hanya dikenal dalam tradisi Islam dan hanya dikenakan oleh wanita-wanita muslimah saja. Dalam masyarakat Yunani, sudah menjadi tradisi bagi wanita-wanitanya untuk menutup wajahnya dengan ujung selendangnya, atau dengan mengunakan hijab khusus yang terbuat dari bahan tertentu, tipis dan bentuknya sangat baik.[1]
Peradaban Yunani tersebut kemudian ditiru oleh bangsa-bangsa disekitarnya. Namun, akhirnya peradaban tersebut mengalami kemerosotan dan kemunduran karena kaum wanitanya dibiarkan bebas dan boleh melakukan apapun, termasuk pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki. Sementara itu dalam masyarakat Romawi, seperti diungkapkan Farid Wajdi, kaum wanita sangat memperhatikan hijab mereka dan tidak keluar rumah kecuali dengan wajah tertutup. Bahkan mereka masih berselendang panjang yang menjulur menutupi kepala sampai ujung kaki.[2]
Peradaban-peradaban silam yang mewajibkan pengenaan hijab bagi wanita tidak bermaksud menjatuhkan kemanusiaannya dan merendahkan martabatnya. Akan tetapi, semata untuk menghormati dan memuliakannya, agar nilai-nilai dan norma-norma sosial dan agama mereka tidak runtuh. Selain itu juga untuk menjaga peradaban dan kerajaan mereka agar tidak runtuh.
Gereja-gereja terdahulu dan biarawati-biarawatinya yang bercadar dan berkerudung memakai kebaya panjang, menutupi seluruh tubuhnya sehingga jauh dari kekejian dan kejahatan.[3]
Dalam masyarakat Arab pra-Islam, hijab bukanlah hal baru bagi mereka. Biasanya, anak wanita yang sudah mulai menginjak usia dewasa, mengenakan hijab sebagai tanda bahwa mereka minta untuk segera dinikahkan. Di samping itu bagi mereka, hijab merupakan ciri khas yang membedakan antara wanita merdeka dan para budak atau hamba sahaya. Dalam syair-syair mereka, banyak dijumpai istilah-istilah khusus yang kesemuanya mengandung arti yang relatif sama dengan hijab. Di antara istilah-istilah yang sering mereka gunakan adalah niqab, khimar, qina', khaba, dan khadr.[4] Ada lagi bentuk-bentuk hijab yang lain seperti sarung, selimut, baju besi dan jilbab. Bangsa Arab pra-Islam mewajibkan wanitanya berhijab. Mereka menganggapnya sebagai tradisi yang harus dilakukan. Dan ketika Islam datang, ia mensyahkan tradisi tersebut.
Hijab berasal dari kata dasar h-j-b, bentuk kata kerjanya hajaba yang diterjemahkan dengan "menyelubungi, memisahkan, menabiri, menyembunyikan, dan menutupi". Hijab diterjemahkan dengan ”penutup, selubung, tirai, tabir, pemisah". Merujuk pada Ibn Manzur dalam Lisan al-'Arab, hijab berarti as-Satr (sekat, pembatas, penutup). Hijab menurutnya adalah nama sesuatu yang dipakai untuk menutupi atau memisahkan antara dua hal.[5]
Allah berfirman:  

و من بيننا و بينك حجاب
Hijab yang bentuk jamaknya al-hujub menurut istilah adalah sesuai dengan pemaknaan di dalam segi bahasanya. Yang dimaksudkan ialah sekat yag menjadi  pembatas antara laki-laki dan perempuan untuk menghindari terjadinya fitnah.[6]
Sedangkan jilbab kata jalaba berarti mengalihkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Sedangkan jilbab menurut Ibn Manzur adalah pakaian panjang yang lebih lebar dari khimar (kerudung), bukan selendang dan bukan pula selimut kain besar, yang menutupi kepala, punggung, dada, dan seluruhnya dengan jilbab tersebut.[7] Jilbab juga diartikan sebagai pakaian yang dipakai wanita untuk menutupi kepala, punggung dan dada.[8]
Merujuk pada istilah terebut di atas, pada dasarnya antara hijab dan jilbab memiliki arti yang sama, yaitu bahwa keduanya merupakan pakaian wanita yang menutup bagian tubuh sehingga tidak terlihat. Jadi, jilbab yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah jilbab yang secara umum dimaknai sebagai baju kurung yang longgar disertai kerudung yang menutup bagian kepala, punggung dan dada perempuan.
Ibn Khaldun menggunakan kata hijab dengan pergertian tabir dan keterpisahan bukan penutup.[9] Sedangkan kata jilbab yang jamaknya jala>bi>b ialah pakaian yang menutup seluruh tubuh dari kepala sampai kaki atau menutupi sebagian besar tubuhnya dipakai di bagian luar sekali seperti halnya baju hujan.[10]
Dalam al-Qur'an, kata-kata hijab terdapat di delapan  tempat (QS 7:46, 35:53, 38:32, 41:5, 17:45, 19:17, 83:15)[11] yang pada umumnya memiliki arti sebagai pemisah seperti tirai dan tabir. Sebagaimana dalam ayat berikut, hijab menunjukkan tabir tempat Maryam mengasingkan diri dari orang-orang sekitarnya.
فاتخذ من دونهم حجابا فأرسلنا إليهم روحنا فتمثل لها بشرا سويا[12]   
Istilah hijab juga merujuk pada tabir yang dibentangkan dirumah Rasulullah dan digunakan pertama kali untuk memisahkan antara istri-istri beliau dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Hal ini tercatat dalam ayat berikut:
وإذا سألتموهن متاعا فسألوهن من وراء حجاب [13]
Dalam bidang fiqh, salah satu pengertian hijab adalah segala sesuatu yang menghalagi atau menutupi aurat perempuan dari pandangan mata,[14] sehingga perempuan yang berhijab disebut Mahjubah. Hal tersebut berkaitan dengan surat an-Nur ayat 31 dan surat al-Ahzab ayat 59 tentang keharusan bagi mukminat untuk menutup auratnya dari laki-laki yang bukan muhrimnya dengan memakai pakaian yang sering disebut dengan terminologi jilbab. Al-Albani kemudian memandang bahwa jilbab merupakan bagian dari hijab.[15]
Abu 'Abdullah al-Qurtubi memberikan pengertian bahwa jilbab adalah baju kurung longgar atau lebar dan lebih lebar dari selendang atau kerudung.[16] Dan di dalam kamus al-Munawwir dijelaskan juga bahwa jilbab adalah baju kurung panjang sejenis jubah panjang.[17]
Dengan merujuk pada kata hijab yang terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 53, Abu Syuqqah berpendapat bahwa ada dua bentuk hijab yaitu tirai (tabir) yang ada di dalam rumah Rasulullah untuk membatasi atau memisahkan antara istri-istri beliau ketika berbicara dengan laki-laki yang bukan muhrimnya dan pakaian yang dikenakan oleh istri-istri beliau untuk menutupi seluruh tubuhnya termasuk wajah ketika mereka keluar rumah.[18]
Menurut Fatima Marnissi, konsep hijab mengandung tiga dimensi yang ketiganya saling memiliki keterikatan. Dimensi pertama adalah dimensi visual yakni suatu dimensi yang punya pengertian untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan orang. Sesuai dengan akar kata hijab yang berarti menyembunyikan. Dimensi kedua adalah bersifat ruang yang berarti untuk memisahkan, untuk membuat batas dan untuk mendirikan pintu gerbang. Dimensi ketiga adalah sebagai bagian dari etika yang berkaitan dengan persoalan larangan.[19]
Dan jilbab merupakan fenomena simbolik yang sarat makna. Di Indonesia jilbab pernah mencuat kepermukaan pada tahun 1980-an, karena dikesankan sebagai suatu identitas untuk komunitas yang punya idiologi tertentu.
Jika yang dimaksud jilbab sebagai penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah menjadi wacana dalam code Bilalama (3000 SM) kemudian berlanjut dalam code Hamurabi (2000 SM) dan code Asyiria (1500 SM).[20] Pada waktu ada debat tentang jilbab di Prancis tahun 1989, Maxime Radison, seorang ahli Islamologi terkemuka dari Prancis mengingatkan bahwa di Asyiria ada larangan berjilbab bagi wanita tuna susila. Dua abad sebelum masehi, Tertullen, seorang penulis Kristen apologetik, menyerukan agar semua wanita berjilbab atas nama kebenaran.[21]
Penggunaan jilbab pertama kali, menurut kalangan antropologis bukan berawal dari perintah dan ajaran kitab suci, tapi dari suatu kepercayaan yang beranggapan bahwa si mata iblis (the evil eye) harus dicegah dalam melakukan aksi jahatnya dengan cara mengenakan cadar. Penggunaan jilbab dikenal sebagai pakaian yang digunakan oleh perempuan yang sedang mengalami menstruasi guna menutupi pancaran mata dari cahaya matahari dan sinar bulan. Pancaran mata tersebut diyakini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan di dalam lingkungan alam dan manusia. Penggunaan kerudung yang semula dimaksudkan sebagai pengganti gubuk pengasingan bagi keluarga raja atau bangsawaan. Keluarga raja tersebut tidak lagi harus mengasingkan diri ketika ketika menstruasi di dalam gubuk pengasingan yang dibuat khusus, tapi cukup dengan memakai pakaian khusus yang dapat menutupi anggota badannya yang dianggap sensitif. Dan dahulu perempuan yang mengenakan jilbab jelas dari keluarga terhormat dan bangsawan.[22]
Modifikasi menstrual hut menjadi cadar (menstrual hoot) juga dilakukan di New Genuine, British Columbia, Asia dan Afrika bagian tengah, Amerika bagian tengah dan lainnya. Selain menggunakan cadar, perempuan haid juga menggunakan zat pewarna (cilla') pada daerah sekitar mata guna mengurangi ketajaman pandangan mata. Ada lagi yang menambahkan dengan memakai kalung dan bahan tertentu seperti dari logam, manik-manik dan bahan dari tengkorak manusia.[23]
Nasiruddin juga mamaparkan, bahwa masyarakat tradisional dahulu kala telah  muncul perdebatan yang seru tentang jilbab. Apakah boleh wanita yang bukan bangsawan mengenakan jilbab sebagai pengganti pengasingannya di gubuk menstruasi. Agama Yahudi, Kristen, dan agama kepercayaan sebelum Islam juga telah mewajibkan jilbab bagi para wanita, yang jelas tradisi berjilbab, kerudung, dan cadar telah ada jauh sebelum ayat-ayat mengenai hijab diturunkan.[24] Hanya saja diskursus jilbab dalam Islam berbeda dengan agama dan kepercayaan sebelumnya. Sebagaimana halnya ayat-ayat haid, ayat-ayat hijab dalam surat al Ahzab: 59 dan an-Nur: 31 tidak berbicara dalam konteks teologi, dalam arti dikaitkan dengan asal-asul darah sakral menstrual taboo, sebagaimana dalam agama Yahudi dan Kristen serta kepercayaan animisme.
Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua, seperti Mesopotamia, Babylonia dan Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya budak perempuan dilarang mengenakannya. Dalam perkembangan selanjutnya, jilbab menjadi simbol kelas menengah atas masyarakat kawasan tersebut.
Ketika terjadi perang antara Romawi-Bizantium dengan Persia, rute perdagangan antara pulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah perperangan,. Kota di tepi pesisir jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai wilayah transit perdagangan.[25]
Institusionalisasi jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di kedua kota penting tersebut. Peda periode ini, jilbab yang hanya merupakan pakaian pilihan (accasional costume) mendapat legitimasi (institusionalized) menjadi pakaian wajib bagi perempuan Islam.[26]

B. Latar Belakang Turun Ayat Jilbab
Berkaitan dengan diperintahkannya jilbab, para ahli tafsir menyatakan bahwa kaum wanita pada zaman pra-Islam dulu biasa berjalan di depan kaum laki-laki dengan leher dan dada terbuka serta lengan telanjang. Mereka biasa meletakkan kerudung mereka di belakang pundak dengan membiarkan dadanya terbuka. Hal ini acapkali mendatangkan keinginan dari kaum laki-laki untuk menggodanya, karena mereka terkesima dengan keindahan tubuh dan rambutnya. Kemudian Allah memerintahkan kepada wanita untuk menutupkan kain kerudungnya pada bagian yang biasa mereka perlihatkan, untuk menjaga diri mereka dari kejahatan laki-laki hidung belang.[27]
Di jazirah Arab pada zaman dahulu bahkan sampai kedatangan Islam, para laki-laki dan perempuan berkumpul  dan bercampur-baur tanpa halangan. Para wanita pada waktu itu juga mengenakan kerudung, tapi yang dikerudungi hanya terbatas pada bagian belakang saja, adapun leher, dada, dan kalungnya masih kelihatan. Oleh karena tingkahnya tersebut dapat mendatangkan fitnah dan dapat menimbulkan kerusakan yang banyak, dan dari hal itulah Allah lalu menurunkan peraturan sebagaimana terdapat dalam surat an-Nur: 31 dan al-Ahzab: 59.[28]
M. Quraisy Shihab menyatakan, bahwa wanita-wanita muslim pada awal Islam di Madinah memakai pakaian yang sama secara general dipakai oleh semua wanita, termasuk wanita tuna susila dan hamba sahaya. Mereka semua juga memakai kerudung, bahkan jilbab, tapi leher dan dadanya mudah terlihat dan tak jarang juga mereka memakai kerudung tapi ujungnya dikebelakangkan hingga leher telinga dan dada mereka terus terbuka. Keadaan inilah yang digunakan oleh orang-orang munafik untuk mengoda wanita muslimah. Dan ketika mereka diingatkan atas perlakuan yang mereka perbuat mereka mengatakan "kami kira mereka hamba sahaya". Hal ini disebabkan oleh karena pada saat itu identitas wanita muslimah tidak terlihat dengan jelas, dan dalam keadaan inilah Allah memerintahkan kepada wanita muslimah untuk mengenakan jilbabnya sesuai dengan petunjuk Allah kepada Nabi saw dalam surat   al-Ahzab: 59.[29][30]
Menurut pendapat yang lain, ayat-ayat hijab turun secara bertahap. Pertama kali Allah memperingatkan kepada istri-istri Nabi saw, supaya tidak berbuat dan berprilaku seperti wanita kebanyakan ketika itu. Firman Allah dalam ayat berikut:
يا نساء النبي لستن كأحد من النساء إن اتقيتن فلا تخضعن بالقول فيطمع الذي في قلبه مرض و قلن قولا معروفا [31]

Kemudian Allah berfirman dalam ayat berikut:
وقرن في بيوتكن و لا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى [32]
Setelah Allah memerintahkan kepada istri-istri Nabi saw, Allah meneruskan dengan satu larangan supaya tidak berhadapan langsung dengan laki-laki yang bukan mahram, sebagaimana firman-Nya :
وإذا سألتموهن متاعا فاسألوهن من وراء حجاب ذالكم أطهر لقلوبكم وقلوبهن [33]

Selanjutnya istri-istri Nabi saw juga perlu keluar rumah untuk menunaikan hajatnya, maka Allah memerintahkan mereka untuk menutup aurat apabila hendak keluar rumah. Firman-Nya :
 يأيها النبي قل لأزوجك و بناتك و نساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذالك أدني أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما [34]

Dan menurut satu pendapat bahwa penetapan syari'at tentang pemakaian jilbab ini bertahap, ketententuannya turun secara berangsur-angsur sehingga manusia tidak dikejutkan dengan perubahan ketentuan dalam masalah aurat. Yang pertama, dalam surat al-A'raf ayat 26 dijelaskan bahwa Allah telah menurunkan (menyediakan) pakaian bagi manusia untuk menutup auratnya. Kedua, dalam surat an-Nur ayat 30, Allah memberi petunjuk agar kaum mukminin menahan diri dari untuk tidak melihat wanita yang bukan mahramnya dan memelihara kemaluannya (naluri seks). Sebaliknya pada surat an-Nur ayat 31, para mukminat juga diperintahkan agar tidak memandang kepada laki-laki dan menjaga kemaluannya. Bahkan dalam kelanjutan ayat ini para wanita juga dianjurkan untuk tidak menampakkan perhisannya selain apa yang biasa nampak kecuali kepada laki-laki mahramnya. Ketiga, pada surat al-Ahzab ayat 33, Allah menganjurkan kepada istri-istri Nabi agar tetap di rumah dan tidak berhias seperti orang-oarng jahiliyah yang cenderung mempertontonkan perhiasannya/ tubuhnya. Maksud dari larangan ini adalah untuk menghilangkan dosa dari keluarga Rasulullah. Keempat, dalam surat al-Ahzab ayat 59, Allah dengan tegas memerintahkan kepada Nabi agar mengatakan kepada istri-istrinya, anak-anaknya dan perempuan mukminat agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya. Dalam ayat ini juga menjelaskan tujuan dari perintah-Nya tersebut, yaitu (a) supaya mereka lebih mudah dikenal sebagai perempuan baik-baik, merdeka dan telah berkeluarga, (b) supaya mereka tidak diganggu, disakiti, atau diperlakukan tidak senonoh oleh laki-laki, untuk membendung terjadinya perbuatan yang diharamkan.[35]
Dengan hal ini dapat diketahui bahwa jilbab bukanlah milik Islam tapi ia merupakan warisan dari masa-masa sebelumnya yang kemudian mendapat legitimasi keagamaan dalam ajaran Islam.

C. Wacana Jilbab dalam Islam
            Ada dua istilah yang digunakan dalam al-Quran yang digunakan untuk penutup kepala yaitu khumur dan jalabib, keduanya dalam bentuk jamak dan generik. Kata khumur (QS an-Nur: 31) bentuk jamak dari kata khimar dan jalabib (QS al-Ahzab: 59) bentuk jamak dari kata jilbab.
            Al-Qur'an dan al-Hadis tidak pernah secara khusus menyinggung bentuk pakaian penutup muka. Bahkan, dalam al-hadis, muka termasuk dalam pengecualian dan dalam suasana ihram tidak boleh ditutupi. Lagi pula, ayat-ayat yang berbicara tentang penutup kepala tidak satu pun disangkutpautkan dengan unsur mitologi dan strata sosial. Dua ayat tersebut di atas merupakan tanggapan terhadap kejadian khusus yang terjadi pada masa Nabi. Penerapan ayat seperti ini menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama usul fiqh, apakah yang dijadikan pengangan, apakah lafaznya yang bersifat umum ataukah sebab turunnya yang bersifat khusus.
            Dua ayat tersebut dalam konteks keamanan dan kenyamanan kaum perempuan. Bandingkan dengan tradisi chador dalam tradisi Sasania-Persia, dianggap sebagai pengganti kemah menstrual (menstrual hut), tempat pengasingan perempuan menstruasi di luar perkampungan. Sedangkan dalam tradisi Yunani, jilbab dianggap sebagai indentitas kelas sosial tertentu.
            Ayat khimar turun untuk menanggapi model pakaian perempuan yang ketika itu menggunakan penutup kepala (muqani'), tetapi tidak menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan. Menurut Muhammad Sa'id al-'Asymawi, Surat al-Nur 24:31 turun untuk memberikan pembedaan antara perempuan mukmin dan perempuan selainnya, tidak dimaksudkan untuk menjadi format abadi (uridu fihi wadl' al-tamyiz, wa laisa hukman muabbadan).
            Ayat jilbab juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat yang bermaksud membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab, maka datanglah laki-laki iseng mengganggu karena dikira budak. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya surat al-Ahzab 33:33. Menurut Al-'Asymawi dan Muhammad Syahrur, terkait dengan alasan dan motivasi tertentu (illat); karenanya berlaku kaidah: Suatu hukum terkait dengan illat, di mana ada illat di situ ada hukum. Jika illat berubah, maka hukum pun berubah.
            Ayat hijab, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama beberapa istrinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (perlu diingat, ayat hijab ini turun setelah kejadian tuduhan palsu hadis al-ifk terhadap 'Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab: hijab) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi, tidak lama kemudian turunlah ayat hijab.
            Sedangkan, hadis yang berhubungan langsung dengan penggunaan jilbab hanya ditemukan dalam dua hadis ahad, hadis yang diriwayatkan perorangan, bukan secara kolektif dan massif (masyhur atau mutawatir). Hadis pertama bersumber dari Aisyah, Rasulullah bersabda, "Tidak diperkenankan seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Rasulnya jika sudah sampai usia balig menampakkan (anggota badannya) selain muka dan kedua tangannya sampai di sini," sambil menunjukkan setengah hasta.
            Hadis kedua dari Abu Daud yang diterima dari Aisyah, yang menceritakan ketika Asma binti Abi Bakr masuk ke rumah kediaman Rasulullah SAW, lalu Rasulullah mengatakan kepadanya, "Wahai Asma, sesungguhnya perempuan jika sampai usia balig, tidak boleh dipandang kecuali yang ini," sambil Rasulullah menunjukkan wajah dan telapak tangannya.
            Menurut al-'Asymawi, kedua hadis tersebut termasuk hadis ahad, bukan mutawatir atau masyhur. Berdasar dengan hadis ahad memang kontroversial di kalangan ulama Usul Fiqh. Salah satu hadis tersebut di-mursal-kan (jaringan penutur terputus sampai pada tabaqat sahabat) oleh Abu Daud, karena bersumber dari Khalid ibn Darik yang bukan hanya tidak berjumpa (mu'asarah) tetapi juga tidak ketemu (liqa') dengan Aisyah.[36] Di samping itu, hadits ini mulai populer pada abad ketiga Hijriah., dipopulerkan oleh Kha>lid ibn Darik, yang kemudian dimonumentalkan dalam Sunan Abu Daud. Kalau sekiranya hadis ini direpresentasikan pada umat Islam, maka sejak awal jilbab menjadi tradisi kolektif keseharian (sunnah mutawatirah bi al-fi'l), bukannya dengan kualifikasi hadis ahad-mursal. Tradisi jilbab di kalangan sahabat dan tabi'in, menurut al-'Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.
            Muhammad Syahrur dalam bukunya Al-Kitab wa al-Qur'an juga pernah menyatakan hijab hanya termasuk dalam urusan harga diri, bukan urusan halal atau haram.[37] Pada awal abad ke-19 Qasim Amin dalam Tahrir al-Mar'ah sudah mempersoalkan hal ini. Namun perlu ditegaskan, meskipun pemikir itu berpandangan kritis terhadap jilbab, tetapi mereka tetap mengidealkan penggunaan jilbab bagi perempuan. Inti wacana mereka adalah bagaimana jilbab tidak membungkus kreativitas dan produktivitas perempuan, bukannya melarang atau menganjurkan pembukaan jilbab.
Ketika gerakan para mullah mulai marak di Iran pada tahun 1970-an dan mencapai puncaknya ketika Imam Khomeini berhasil menggusur Reza Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah, maka Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam terhadap boneka Barat. Simbol-simbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini dan komunitas Black Veil menjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh dunia. Semenjak itu jilbab mulai menghiasi kampus dunia Islam, tidak terkecuali Indonesia. Identitas jilbab seolah sebagai lambang kemenangan.
Perkembangan berikutnya, ketika perang dingin blok Timur dan blok Barat usai berbarengan dengan semakin pesatnya kekuatan pengaruh globalisasi, maka timbul kecemasan lebih kompleks dari kalangan umat Islam. Islam dan berbagai pranatanya berhadapan langsung dengan dunia Barat. Apa yang dilukiskan Huntington benturan Barat-Islam akan terjadi pada pasca benturan Timur-Barat, menunjukkan adanya tanda kebenaran, terutama setelah peristiwa 11 September 2001.
Sebagian umat Islam percaya bahwa untuk mengembalikan kekuatan Islam seperti zaman kejayaan dulu, umat Islam harus kembali kepada formalisme keagamaan dan sejarah masa lampaunya. Semangat mengembalikan simbol dan identitas Islam masa lalu terus dipompakan, termasuk di antaranya penggunaan jilbab bagi kaum perempuan dan pemeliharaan kumis dan jenggot bagi laki-laki.
Kadar proteksi dan ideologi di balik fenomena jilbab di Indonesia tidak terlalu menonjol. Fenomena yang lebih menonjol ialah jilbab sebagai tren, mode, dan privacy sebagai akumulasi pembengkakan kualitas pendidikan agama dan dakwah di dalam masyarakat. Lagi pula, bukankah salah satu ciri budaya bangsa dalam potret perempuan masa lalu adalah kerudung? Tidak perlu over estimate atau fobia bahwa fenomena jilbab merupakan bagian dari jaringan ideologi tertentu yang menakutkan. Jilbab tidak perlu dikesankan seperti "imigran gelap" yang selalu dimata-matai, seperti yang pernah terjadi pada masa lalu yaitu fenomena jilbab dicurigai sebagai bagian dari ekspor Revolusi Iran. Sepanjang fenomena jilbab tumbuh di atas kesadaran sebagai sebuah pilihan dan sebagai ekspresi pencarian jati diri seorang perempuan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah saja. Tidakkah manusiawi jika seseorang menentukan pilihannya secara sadar?
Pada masa sekarang, jilbab yang dicitrakan sebagai sebuah indentitas muslimah yang baik mengalami semacam distorsi yang bergeser dari aturan yang melingkupinya. Kaidah atau aturan berbusana semakin jauh dari etika islam. Jilbab yang semula merupakan hal yang boleh dikatakan harus, sekarang berubah menjadi semacam aksesoris pelengkap yang mendukung penampilan para wanita islam. Hal ini mengkhawatirkan. Berkaitan dengan latar belakang turunnya ayat jilbab yang meluruskan tradisi jilbab wanita pra-Islam yang melilitkan jilbabnya kepunggungnya, agar dijumbaikan ke depan dadanya, agar tidak memancing laki-laki iseng mengganggu, karena menganggap mereka adalah budak. Namun hal ini kembali terjadi pada masa belakangan ini. Berapa banyak kita menyaksikan para muslimah yang memakai jilbab dengan mencontoh kembali cara berjilbabnya wanita jahiliyyah. Seakan-akan dengan telah memakai jilbab dengan seadanya mereka telah memenuhi kewajiban mereka menutup aurat. Jilbab yang berkembang belakangan disebut dengan kudung gaul atau kudung gaya selebritis. Islam secara spesifik memang tidak menentukan bentuk dari busana muslimah, namun yang jelas menetapkan kaidah yang jelas untuk sebuah busana agar disebut sebagai busana muslimah.
            Syarat-syarat busana muslimah menurut Al Albani adalah: (1) Busana yang meliputi seluruh badan selain yang dikecualikan (muka dan telapak tangan). (2) Busana (jilbab) yang tidak merupakan bentuk perhiasan kecantikan. (3). Merupakan busana rangkap dan tidak tipis. (4) Lebar dan tidak sempit, sehingga tampak bagian dari bentuk tubuh. (5) Tidak berbau wangi-wangian dan tidak tipis. (6) Tidak menyerupai busana laki-laki. (7) Tidak menyerupai busana wanita-wanita kafir. (8) Tidak merupakan pakaian yang menyolok mata atau aneh dan menarik perhatian.[38]
            Sedangkan menurut H. RAy Sitoresmi Prabu Ningrat, jilbab lebih merupakan produk sejarah, karena ajaran Islam sendiri tidak memberikan corak atau model pakaian secara rinci. Karena ia lebih merupakan mode, maka bisa berbeda atara daerah satu dengan daerah lainnya. Dan lagi menurutnya berdasarkan dari ajaran Islam yang terkandung dalam surat al-A'raf ayat 26, al-Ahzab ayat 59 dan an-Nur ayat 31 diketahui bahwa esensi dari pakaian yang bernafaskan taqwa bagi wanita mukminah mengandung unsur sebagai berikut, (a) menjauhkan wanita dari gangguan laki-laki jahat dan nakal, (b) menjadi pembeda antara wanita yang berakhlaq terpuji dengan wanita yang berakhlaq tercela, (c) menghindari timbulnya fitnah seksual bagi kaum laki-laki dan (d) memelihara kesucian agama dari wainta yang bersangkutan. Pakaian yang memenui empat prinsip ini seharusnya memiliki syarat-syarat sebagai berikut, yaitu, menutupi seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan, bahan yang digunakan tidak terlalu tipis sehingga tembus pandang atau transparant dan berpotongan tidak ketat hingga dapat menimbulkan semangat erotis bagi yang memandangnya.[39]
            Berkaitan dengan fungsi jilbab yang disyari'atkan dalam Islam ini adalah menutup aurat wanita yang diwajibkan menutupnya. Sampai seberapa ukuran tubuh yang harus ditutup dengan jilbab akan sangat tergantung dengan pemahaman ulama terhadap nas}-nas al-Qur'an dan Sunnah yang bersifat zanni (dapat ditafsirkan), dan pendapat para fuqaha' dalam ijtihad mereka tentang batas aurat wanita sebagaimana yang digariskan dalam surat an-Nur ayat 31:"wala yubdina zinatahunna illa ma zahara minha...". Perbedaan pendapat ulama tentang aurat tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Jumhur fuqaha', diantaranya mazhab-mazhab Maliki, Syafi'i, Ibn Hazm, Syi'ah Zaidiah, yang masyhur dari Hambali dan salah satu riwayat dari mazhab Hanafi dan Syi'ah Imamiah yang diriwayatkan dari tingkatan tabi'in seperti Ata' dan Hasan Basri dan tingkatan sahabat seperti 'Ali ibn Abi Talib, A'isyah dan Ibn Abbas berpendapat bahwa:"hanya muka dan kedua telapak tangan saja yang bukan termasuk aurat wanita."
  2. Sufyan as-Sauri, Mazin dan salah satu kalangan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa, muka dan kedua talapak tangan dan telapak kaki tidak termasuk aurat bagi kaum wanita.
  3. Salah satu pendapat dari kalangan mazhab Hambali dan sebagian Syi'ah Zaidah dan Zahiri berpendapat bahwa hanya muka saja dari tubuh wanita yang tidak ternasuk aurat.
Salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibn Hambal dan berpendapat Abu Bakar ibn 'Abdu ar-Rahman dari kalangan tabi'in mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa pengecualian adalah aurat.[40]


[1]. Muhammad Farid Wajdi, Dairat al-Ma'arif al-Qarn al-Isyrin, Jil. III, (Bairut: Dar al-Ma'rifah, 1991), hlm. 335.
[2]. Ibid, hlm. 336
[3]. Abd Rasul Abd Hasan al-Ghaffar, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, terj. Baurhanuddin Fanani, (Bandung: Pustaka Hidayat, 1984), hlm. 38.
[4]. Ibid, hlm. 41. Lihat juga dalam Fenomenologi Jilbab oleh Nasirudin Umar dalam http://www.smu-net.com/main.php?&act=ag&xkd=50 akses tanggal 5 Juli 2004.
  

[5]. Abu al-Fadl Jamal Al-Din Muhammad ibn Makram Ibn Manzur, Lisan al-Arab, (Bairut: Dar as}-S{adr, 1414 H - 1994 M), I: 298. Lihat juga IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 317.
[6]. Al-Ghaffar, Wanita Islam, hlm. 36.
[7] . Ibn Manzu>r, Lisa>n al-'Arab, hlm. 273.
[8]. Tim Penyusun Pustaka Azet, Leksikom Islam, (Jakarta: PT Pustakazet-Perkasa,1998), hlm. 298.
[9]. Murtad}a Mut}ahari, Hijab, Gaya Hidup wanita Islam, hlm. 12.  
[10]. Hayya binti Muba>rak al-Barik: Ensiklopedi Wanita Muslimah, terj. Amir Hamzah Fahrudiin, (Jakarta: Darul Falah, 1997), hlm. 149.
[11]. Muh}ammad Fuad al-Baqi, Al-Mu'ja>m al-Mufah}ra>s} li Alfa>z}  al-Qur'a>n  al-Kari>m, (Bairut: Da>r al-Fikr, 1994), hlm. 246.
[12]  Maryam (19):17.

[13] Al-Ah}za>b  (33): 53.
[14]. Pengertian lainnya adalah orang yang gugur hak warisnya untuk menerima warisan baik secara keseluruhan atau sebagiannya yang disebabkan adanya orang yang lebih berhak menerima. Lihat Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), II: 545.
[15]. Muh}ammad Nasi>r al-Di>n al-Alba>ni>, Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Hawin Murtadho, (Solo: at-Tibyan,2001), hlm. 29.
[16] . Abu> Abdullah  al-Qurt}u>bi>, al-Jami' li ah}ka>m al-Qur'a>n, cet. ke-1, (Bairut: Da>r al-Kutu>b al-'A<liyah, 1993), hlm. 156.
[17]. Ahmad Warso Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 199
[18] . Abd H{ali>m Abu> Syuqqah, Kebebasan Wanita, IV: 44.
[19] . Fatima Marnissi, Wanita di Dalam Islam, terj. Yaziar Rudianti, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 118.
[20]. Nong Darol Mahmada dalam pengantar Kritik Atas Jilbab  karya Al-Asymawi, hlm. viii

[21] . KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2002), Pengantar Dr. Andre Feillanrd, hlm. xix
[23]. Nasiruddin Umar, Konstruksi Seksual: Menstrual Taboo dalam Kajian Kultural dan Islam,makalah dalam seminar Nasional tentang Islam, Seksualitas dan Kekerasan terhadap Perempuan, 2000, hlm. 12. lihat juga Nashiruddin Umar dalam Perspektif Gender dalam Islam, http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/5kaki.html, akses tanggal 5 Juni 2004.
[24]. Ibid.
[26]. Nog Darol Mahmada, pengantar KirtikJilbab atas Jilbab..., hlm. xiii 
[27]. Muh}ammad 'Ali> as}-S{abu>ni>, Sofwah at-Tafa>si>r, (Bairut: Da>r al-Fikr, t. t ), II: 336.
[28]. Fazlurrahman, Nasib Wanita sebelum Islam, cet. ke-1,  (Jatim: Putra Pelajar, 2000),  hlm. 112-113.
[29].  M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur'an Tafsir Maudhu'I atas berbagai Persoalan Umat, cet.ke-8, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 171-172.
[31]  Al-Ah}za>b (33): 32:

[32]  Al-Ah}za>b (33): 33
[33]  Al-Ah}za>b (33): 53.
[34] > Al-Ah}za>b (33): 59.
[35]. Abdul Aziz Dahlan (ed),  Ensiklopedi Islam, cet. ke-1, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1993), III: 317.
[36]  Al-'Asyma>wi>, Kritik atas Jilbab, hlm. 66.
[37]  Muh}ammad Syah}ru>r,  al-Kita>b wa al-Qur'a>n: Qiraah Mu'as}irah, (Damaskus: al- Ahalli li at}-T{iba>'ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi', 1990), hlm. 607.
[38]  Lihat al-Albani, Jilbab Wanita Muslimah, cet. ke-10, (Yogyakarta: Media Hidayat, 2002).
[39]. H. RAy Sitoresmi Prabuninggrat, Sosok Wanita Muslimah, cet. ke-2, (Yogyakarta: PT. Duta Wacana, 1997), hlm. 39-40.
[40]. Abdul Aziz Dahlan (ed),  Ensiklopedi Islam, cet. ke-1 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1993), III: 318.   

No comments: