Monday, December 20, 2010

HASSAN HANAFI


HASSAN HANAFI :
KEHIDUPAN INTELEKTUAL DAN  KARYANYA

Selengkapnya Click  DISINI

A.     Latarbelakang Kehidupan dan Intelektual Hassan Hanafi

Hassan Hanafi –untuk berikutnya ditulis Hanafi- dilahirkan di kota Kairo, Februari 1935 M.[1] Keluarganya berasal dari Bani Suwayf, sebuah provinsi yang berada di pedalaman Mesir, kemudian berurban ke Kairo, ibu kota Mesir.[2] Mereka mempunyai darah keturunan Maroko.[3] Kakeknya berasal dari Maroko, sementara neneknya dari kabilah bani Mur yang di antaranya, menurunkan bani Gamal ‘Abd Al-Nasser, Presiden Mesir kedua. Kakeknya –setelah menikahi neneknya- memutuskan untuk menetap di Mesir. Ketika pulang dari pelajaran menunaikan ibadah haji,[4] mereka menetap di Mesir Tengah.
Sejak menjelang umur 5 tahun, Hanafi kecil mulai menghafal al-Qur’an. Menghafal al-Qur’an ini, dilalui bersama gurunya Syaikh Sayyid di jalan al-Benhawi, kompleks bab al-Sya’riyah, sebuah kawasan di Kairo bagian selatan. Pendidikan dasarnya dimulai di Madrasah Sulaiman Gawisy, bab al-Futuh, kompleks perbatasan Benteng S}alah al-Di>n al-Ayyubi selama 5 tahun.[5] Setamatnya dari pendidikan dasar, Hanafi kecil masuk sekolah pendidikan guru, al-Mu’allimin. Setelah 4 tahun dia lalui, Hanafi kecil kemudian memutuskan untuk pindah ke Madrasah al-Silahdar, yang berada di kompleks Masjid al-H}aki>m bi Amri’illa>h dan langsung diterima di kelas dua, mengikuti jejak kakaknya hingga tamat. Di sekolahnya yang baru ini, Hanafi banyak mendapat kesempatan (opportunity) untuk belajar bahasa asing.[6]
Hanafi dalam menempuh pendidikan menengah atasnya, lebih senang melalui Madrasah Tsanawiyyah Khalil Agha, di jalan Faruq al-Ghaisy, selama 5 (lima) tahun. Empat (4) tahun untuk memperoleh bidang kebudayaan, dan 1 tahun untuk bidang kependidikan.[7] Walaupun usia masih relatif muda, Hanafi sudah mulai terlibat dengan berbagai diskusi wacana gerakan, seperti gerakan Ikhwanul Muslimin. Sejak saat itu, Hanafi mulai tertarik dengan aktivitas sosial, dari sanalah Hanafi mulai bergesekan dengan berbagai pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan Islam, dan sejak saat itulah, ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial.
Sebenarnya, jika dilihat dari kaca mata lain, Hanafi dibesarkan dalam lingkungan keluarga musisi. Hal ini terbukti bahwa Hanafi pernah bercita-cita ingin menjadi seorang musisi.[8] Menurut Hanafi, musik adalah suatu wadah untuk mengekspresikan keadaan jiwa di hati seseorang. Namun, pada perkembangan berikutnya, Hanafi bergeser cenderung ke kajian filsafat. Di dalam filsafat Romantisme, Hanafi menemukan perpaduan antara keduanya, yakni intelektualitas dan estetika. Nuansa Filsafat ini, dapat ditemukan dalam filsafat Hegel, Fichte, Schelling, Kierkegard dan Bergson.[9]
Gelar kesarjanaan Hanafi, diperolehnya dari Fakultas Adab (Sastra Arab) Universitas Kairo Jurusan Filsafat.[10] Di tahun 1952, tercatat bahwa Hanafi pernah mengalami masa transisi dari kehidupan akademisnya. Yakni masa perpindahannya dari jenjang menengah atas ke jenjang kuliah. Saat inilah dia harus memilih spesialisasinya, yakni antara sains dan sastra, atau antara filsafat dan eksak. Akhirnya, dia memilih yang kedua, yakni eksak dan filsafat. Dia memilih eksak, karena dia sangat menyenangi Matematika.[11] Sedangkan angan-angannya melirik ke filsafat, karena menurutnya, berfilsafat bisa membuat berpikir bebas.[12]
Pada tanggal 11 Oktober 1956 M, Hanafi berangkat meninggalkan Mesir,[13] menuju Sorbonne, Prancis. Ia menetap selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun di “kandang” orientalis Barat. Tak pelak jika kebudayaan, tradisi dan pemikiran serta keilmuan Barat berhasil dia kuasai dengan cukup baik.[14]
Di perguruan tinggi inilah, Universitas Sorbonne Paris, Prancis, Hanafi merasakan perkembangan dan pencerahan pemikiran serta dimulainya berlatih berpikir secara metodologis. Selama di Prancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu, di antaranya adalah metode berpikir (‘Ilmu Mantiq), perubahan dan sejarah dari Gitton, seorang reformis Katholik Roma. Hanafi juga belajar fenomenologi dari Paul Ricour. Belajar tentang analisa kesadaran pada Husserl dan belajar bidang perubahan pada Massignon yang juga selaku pembimbing.[15]
Pada tahun 1961 M, disertasinya tentang ushul fiqih dinyatakan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir. Disertasi setebal 900 halaman itu berjudul “Esai tentang Metode Penafsiran” (Essai sur la methode d’Exegese).[16] Setelah menyandang gelar doktor, pada tahun 1966 M, Hanafi kembali pulang ke Mesir  mengajar di Fakultas Sastra, Jurusan Filsafat, Universitas Kairo hingga tahun 1971.  Di samping berbagai kesibukannya di Universitas Kairo, jabatan sebagai dosen terbang pun ia miliki.
Adapun perguruan tinggi yang pernah disinggahi oleh Hanafi untuk visi misi pengajaran ke-ilmuan, antara lain; di Perancis pada tahun 1969, di Belgia tahun 1970, di Temple University Philadelpia Amerika Serikat tahun 1971–1975,[17] di Universitas Kuwait tahun 1979, di Universitas Fez Maroko tahun 1982-1984, dan di Persatuan Emirat Arab tahun 1985.
Pada tahun 1985 sampai 1987, Hanafi diangkat menjadi penasehat program pada Universitas PBB di Jepang. Hanafi juga pernah menjadi dosen di Universitas Tokyo dan Universitas PBB bertempat di Jepang dari tahun 1985 sampai 1988.[18] Menjadi dosen di Universitas Los Angeles, Amerika Serikat. Terakhir tercatat, bahwa Hanafi sempat mengajar di Universitas Cape Town, Afrika Selatan. Sepulangnya dari berbagai negara dunia untuk misi pendidikan baik belajar maupun mengajar, Hanafi kembali lagi mengajar di Fakultas Sastra Universitas Kairo, dan sempat diangkat sebagai Ketua Jurusan Filsafat hingga diberhentikan pada tahun 1995.[19]
Dari berbagai kesibukan di dunia akademis, Hanafi masih tetap aktif di organisasi kemasyarakatan lainnya; seperti menjadi sekretaris umum persatuan masyarakat filsafat Mesir, menjadi anggota ikatan penulis se-Asia Afrika, menjadi anggota gerakan solidaritas Asia-Afrika serta menjadi presiden persatuan masyarakat Arab.[20]

B.     Corak Pemikiran Hassan Hanafi.
Hanafi, selain merupakan filsuf hukum Islam, ia juga dikenal sebagai pemikir Islam dan guru besar pada Fakultas Filsafat, Universitas Kairo. Ia memperoleh gelar doktor dari Sorbonne University, Paris, pada tahun 1966. Pengetahuan Barat banyak yang diserapnya. Ia mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran Barat pra modern dan modern.[21] Meskipun ia menolak dan mengkritik Barat, akan tetapi tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ide-ide liberalisme, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan Barat, telah mempengaruhi pikiran-pikirannya. Tak pelak, jika banyak yang menyoroti bahwa Hanafi tergolong seorang Modernis-Liberal seperti seorang Lut}fi al-Sayyid, Taha Husain dan al-Aqqad. Hanafi, sebenarnya merupakan sosok yang sangat mempunyai keprihatinan yang cukup besar terhadap Islam. Hal tersebut terlihat, bagaimana Hanafi mempunyai kepedulian melanjutkan perubahan untuk membuat dunia Islam agar bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh.[22]
Selanjutnya -kembali ke awal- bahwa untuk menentukan model atau corak pemikiran Hanafi, penulis mencoba menggunakan analisis yang telah dipakai Kazuo Shimogaki; yakni bahwa corak pemikiran Hanafi dijelaskan dengan tiga episode. Hal ini dilakukan olehnya dalam rangka memantapkan posisi pemikiran Hanafi dalam dunia Islam.[23] Episode Pertama, adalah peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner. Dalam hal ini, setelah revolusi Islam Iran menang, Hanafi meluncurkan Kiri Islam.[24] Salah satu tugasnya adalah untuk mencapai Revolusi Tauhid (keesaan, pengesaan). Untuk hal ini, ia dapat dikategorisasikan sebagai pemikir Islam revolusioner, sebagaimana Ali Syari’ati yang telah menjadi pemikir yang menjadi tulang punggung revolusi Islam Iran, juga seperti Imam Khomeini yang senantiasa telah memimpin revolusi dengan sukses. Episode Kedua, adalah sebagai seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik. Dalam hal ini, ia mirip posisi Muhammad Abduh.[25] Yakni Sebagai seorang reformis tradisi Islam. Ia tergambar sebagai orang rasionalis sebagaimana ‘Abduh.[26]
Episode Ketiga, adalah penerus gerakan Al-Afghani (1838-1896). Al-Afghani adalah pendiri gerakan Islam modern, yang disebut sebagai suatu perjuangan melawan imperalisme Barat dan untuk mempersatukan dunia Islam. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hanafi di dalam Kiri Islamnya yang hampir sama sebagaimana al-Afghani menyebutnya: yakni perjuangan melawan imperalisme kultural Barat dan penyatuan dunia Islam.[27]
Lebih dari itu, Hanafi, sebagaimana diungkap Kazuo Shimogaki merupakan seorang pemikir modernis, tetapi lebih layaknya sebuah definisi, Kazuo Shimogaki menyadari penuh bahwa hal tersebut tidak seluruhnya benar, hal ini disebabkan karena Hanafi sering menggunakan pisau analisis fenomenologi yang muncul di Barat untuk digunakan melawan modernisme.
Selanjutnya, selain dari pemetaan pemikiran Hanafi di atas, pemetaan lain terhadap sosok Hanafi juga pernah dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih dulu mengkaji pemikiran tokoh ini. Hanafi dalam hal ini di petakan dalam skala periode. Periode pertama, berlangsung pada tahun 1960-an, sebagai seorang sarjana bermutu tinggi. Periode kedua, pada tahun 1970-an, sebagai seorang ideolog yang cemerlang. Periode ketiga, dari tahun 1980-an hingga sekarang, sebagai seorang pemikir[28] yang rumusan-rumusan pemikirannya berbasis pada suatu metodologi yang tegar.[29]  Uraian sebagai berikut:[30]
1.      Periode pertama (1960-an), sebagai seorang sarjana bermutu
            tinggi.

Pada awal tahun 1960-an, pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh paham-paham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu Nasionalistik-Sosialistik-Populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan-Arabic. Situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967, telah mempengaruhi pemikirannya.
Pada awal tahun antara 1956-1966, Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Perancis. Di Perancis, Hanafi lebih banyak menekuni bidang-bidang ilmu sosial dan filsafat dalam kaitannya dengan upaya merekonstruksi pemikiran-pemikiran Islam.[31] Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama ia berada di Perancis, ia mengadakan penelitian tentang metode interpretasi sebagai upaya pembaruan bidang us}u>l fiqh (teori hukum Islam) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realita kontemporer. Karya yang setebal 900 halaman tersebut, sebagaimana diungkap oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam pengantarnya “Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya” dalam Kiri Islam,[32] bahwa Hanafi melakukan hal itu adalah tiada lain untuk menghadapkan ilmu ushul fiqih pada madzhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.
Pada fase awal pemikirannya ini, tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa nantinya, ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan.[33] Untuk menjadikan Islam dapat membawa masyarakat pada perubahan dan keadilan sosial sebagai ukuran utama, maka fungsi pembebasan merupakan syarat utama. Struktur berpikir yang populistik ini merupakan manivestasi kehidupan dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.[34]

2.      Periode kedua (tahun 1970-an), sebagai seseorang yang
mempunyai ideologi cemerlang.

Pada awal periode 1970-an ini, Hanafi mencoba memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dari perang melawan Israel tahun 1967. Hal ini terlihat dari tulisannya yang dari dulunya sekedar bersifat ilmiah murni, waktu itu -seketika- menjadi lebih bersifat ideologis.
Potret sejarah mendokumentasikan bahwa di awal periode 1970-an ini, ia banyak menulis artikel di media masa, seperti; al-Kati>b, al-Ada>b, al-Fikr al Mu’as}I>r, dan Mimba>r Isla>m. Pada tahun 1976, tulisan-tulisannya diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qad}a>ya> Mu’a>s}irah fi< Fikrina> al-Mu’as}ir. Deskripsi tentang realita dunia Arab saat itu pun terkupas dalam buku tersebut selain analisisnya tentang tugas para pemikir dalam menanggapi problem umat, serta pentingnya membawa pemikiran Islam untuk menghidupkan kembali khazanah tradisional Islam.[35]
Menginjak tahun 1977, Hanafi menerbitkan buku Qad}{a>ya> Mu’a>s}irah fi< al-Fikr al-G{arbi<.  Dalam buku ini, ia bermaksud mengupas pemikiran para pemikir Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan dan realita masyarakatnya yang kemudian diikuti dengan mengadakan gerakan perubahan (revolution). Dalam buku yang kedua ini, Hanafi berusaha merangkum dua pokok item pendekatan analisis; analisa bagaimana memahami posisi umat Islam yang lemah dan yang kedua posisi Barat yang superior.[36] Untuk yang pertama, penekanannya diberikan kepada pemberdayaan umat, terutama dari segi pola pikiran, dan bagi yang kedua, Hanafi berusaha menunjukkan bagaimana menekan superioritas Barat dalam segala aspek kehidupan.[37] Dari kedua pendekatan inilah, nantinya akan melahirkan dua pokok pemikiran baru yang bakal tertuang dalam kedua buah karyanya, yaitu al-Tura>s| wa al-Tajdidan Muqaddimah fi< ‘Ilmi al-Istig}ra.[38]
Pada periode ini, yakni antara 1971-1975, Hanafi mengkaji sebab-sebab ketegangan antara berbagai kepentingan di Mesir, terutama antara kekuatan Islam radikal dan pemerintah yang pada saat itu juga, situasi politik Mesir sedang mengalami ketidakstabilan yang ditandai dengan beberapa peristiwa penting. Peristiwa ini semisal berkaitan dengan Anwar Sadat yang posisinya pro dengan Barat dan karena posisi pro itulah dia memberikan kelonggaran pada Israel, sampai pada akhirnya Anwar Sadat terbunuh pada Oktober 1981.[39]
Keadaan tersebut membawa Hanafi pada pemikiran bahwa seorang ilmuan juga harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap nasib bangsanya. Dari peristiwa itulah, Hanafi menulis sebuah buku al-Di< Mis}r 1952-1981.[40] Dalam buku ini, Hanafi menganalisa bahwa salah satu penyebab utama konflik yang berkepanjangan di Mesir adalah disebabkan -salah satunya- adanya tarik menarik antara ideologi Islam dan Barat, sebagaimana ideologi sosialisme. Dalam hal ini, ia memberikan bukti penyebab munculnya berbagai tragedi politik yang kemudian berujung menganalisa tentang radikalisme.
Pergulatan analisis pemikiran Hanafi tersebut, pada akhirnya memunculkan dua buku baru yang ditulisnya pada tahun 1978, dan diberi judul Religious Dialogue and Revolution dan Dira>sah Isla. Dalam buku yang pertama tersebut, ia (Hanafi) merekomendasikan metode hermeneutiknya sebagai metode dialog antara Islam, Kristen dan Yahudi. Sedangkan dalam buku yang kedua, Dira>sah Isla>miyyah, ia berusaha memotret deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilmu Islam klasik, seperti ushul fiqih, ilmu ushuluddin dan filsafat Islam. Dalam buku ini pula, dengan menggunakan pendekatan historis, Ia berupaya merekonstruksi atas ilmu-ilmu di atas untuk disesuaikan dengan realitas kontemporer.

3.      Periode ketiga (Tahun 1980-an sampai dengan 1990-an) : Hassan Hanafi berposisi sebagai seorang pemikir yang tegar.

Pada periode ini, dengan dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif stabil ketimbang pada masa-masa sebelumnya, Hanafi memusatkan diri untuk berkonsentrasi menulis buku dengan judul al-Tura>s wa al-Tajdi>d yang kemudian diterbitkan pada tahun 1980.[41] Buku-buku semisal al-Yasa>r - al-Isla>mi>, juga merupakan bagian dari periode ketiga ini. Kemudian disusul buku Min al-‘aqi>dah Ila al-s|aurah yang terbit pada tahun 1988.[42] Dalam buku al-Yasa>ru - al-Isla>mi>, tulisan Hanafi lebih cenderung menjadi sebuah manifesto politik yang berbau ideologis.[43] Sedang dalam buku Min al-‘Aqi>dah Ila al-S|aurah, Hanafi sedikit berpacu dalam usaha merekomendasikan bentuk teologi atau ilmu kalam yang bersifat antroposentris, populis dan transformatik.
Buku-buku Hanafi pun pada tahun-tahun berikutnya, bermunculan seperti Islam In The Modern World (2jilid). Sekilas, selain mengupas tentang filsafat dan kajian keagamaan, ia juga (dalam buku ini) mengupas megenai kajian ilmu sosial seperti ekonomi dan tekhnologi. Hal ini disebabkan, adanya upaya Hanafi untuk meletakkan agama serta fungsinya dalam bangunan negara-negara dunia ketiga.  Pada perkembangan selanjutnya, Hanafi tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu, melainkan berbicara mengenai paradigma baru yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan kebutuhan warga umat Islam.[44]

C.     Metodologi Pemikiran Hassan Hanafi

Dalam pembahasan metodologi pemikiran seorang Hanafi, akan dikemukakan terlebih dahulu metodologi yang mempengaruhi pemikirannya secara umum, hal ini dilakukan agar didapatkan gambaran teoritisnya. Hal tersebut mencakup empat hal : 1) Tradisi Pemikiran Filsafat Marxisme melalui Metode Dialektika, 2) Metode Hermeneutika, 3) Metode Fenomenologi dan 4) Metode Eklektik.[45]
  1. Metode Dialektika
Hanafi adalah salah seorang pemikir Arab yang sangat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran filsafat Materialisme Historis.[46] Dengan metode dialektika,[47] Hanafi bermaksud mengadakan sistematisasi dan penyatuan semua aspek pengetahuan dan pengalaman kemudian menyusunnya ke dalam satu keutuhan yang inklusif. Pemikiran Hanafi dalam hal ini bisa disebut marxis[48] walaupun tidak harus menjadi marxisme.[49]
Hanafi terpengaruh oleh dialektika Marx, yang ia jadikan sebagai metode untuk melihat sejarah perkembangan perjuangan Islam. Dengan bantuan metode dialektika historis dari Marx, Hanafi mencoba melihat kembali sejarah perkembangan perjuangan Islam. Dalam artikelnya "Fundamentalisme dan Modernitas", dia menunjukkan bahwa gerakan Islam zaman sekarang merupakan tahap sejarah yang ketiga dari sejarah kebudayaan Islam, di mana massa harus bangkit atas dasar imannya.
Kemudian Hanafi menggunakan dialektika untuk menggagas teologi sebagai antropologi yang merupakan cara "ilmiah" untuk mengatasi keterasingan teologi itu sendiri.[50]
Cara ini dilakukan Karl Marx terhadap filsafat Hegel. Menurutnya dialektika Hegel berjalan pada kepalanya, artinya; agar dialektika itu bisa dipahami dengan benar, ia harus diletakkan di atas kakinya. Dengan dialektika materialnya, Marx mengajak untuk menjadi normal lagi, yaitu berjalan dengan kaki.[51] Upaya Hanafi dalam artikelnya “Ideologi dan Pembangunan," lewat sub-sub judul: dari Tuhan ke bumi, dari ke abadian ke waktu, dari takdir ke kehendak bebas, dari otoritas ke akal, dari teori ke tindakan, dari karisma ke partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dan dari eskatologi ke futurologi. Cara yang sama mengenai hal ini juga diarahkan kepada sufisme yang dinilai pasif, yaitu: dari jiwa ke tubuh, dari rohani ke jasmani, dari etika individual ke politik sosial, dari meditasi ~menyendiri ke tindakan-terbuka, dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik, dari nilai pasif ke nilai aktif, dari kondisi-kondisi psikologis ke perjuangan sosial, dari vertikal ke horizontal, dari langkah moral ke periode sejarah, dari dunia lain ke dunia ini, dan dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata.[52]

2.      Metode Hermeneutik
Hermeneutik[53] merupakan salah satu tema penting dalam pemikiran Hanafi. Bahkan ia menjadi bagian integral dari wacana pemikirannya baik dalam filsafat maupun teologi untuk memahami suatu teks.



[1] Lihat, M. Ridlwan Hambali, “Hassan Hanafi: Dari Islam Kiri, Revitalisasi Turats,” dalam Islam Garda Depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Ed: M. Aunul Abid Shah, hlm. 219.   
[2] Di Bani Suwayf inilah nantinya, Hassan Hanafi “ABG” [anak baru gede], sering melihat sekaligus menikmati pemandangan alam yang masih alami; menikmati alam pedesaan yang serba sederhana. Ibid., hlm. 221.
[3] Hassan Hanafi –seperti dicatat Boulatta- dilahirkan dari leluhur Berber dan Badui Mesir. Lihat. Azyumardi Azra, “ Menggugat Tradisi Lama, Menggapai Modernitas: Memahami Hassan Hanafi”, Kata Pengantar dalam buku Hassan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman Ismail, dkk. (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. Xi.
[4] Sejak kecil, Hanafi bersama keluarganya, selalu menghabiskan masa liburannya di musim panas untuk mudik ke kampung halaman keluarganya. Hal ini dilakukan untuk sekedar menghindari polusi Kairo yang sering berkecamuk lantaran perang antara kubu pembela kemerdekaan dengan kubu Kolonialis Inggris. Lihat. M. Ridlwan Hambali, op. cit.
[5] Selain gemar menghafal al-Qur’an dan gemar pula akan ilmu eksak dan filsafat nantinya, Hanafi kecil juga gemar melukis. Beberapa orang besar yang pernah dilukisnya adalah Beethoven, Schopenhauer, Muhammad ‘Abduh, Hafidz, Syauqi, dan Raja Faruq yang akhirnya diabadikan di sekolahnya setelah keluar sebagai juara. Selain itu pula, seni, musik, dan logika telah menyatu dalam jiwanya. Lihat. M. Ridlwan Hambali, Ibid, hlm. 223.
[6] Ibid., hlm. 23
[7] Ibid,  hlm. 220.
[8] Bahkan tidak hanya sekedar menjadi sebagai Musisi, Hanafi, berkeinginan menjadi Komposer yang dengan menjadi Komposer tersebut ia (Hanafi) bisa menggerakkan perasaan manusia dengan irama-irama baru. Lihat. Hassan Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, terj. Kamran As’ad Irsyadi, (Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003), hlm. 48.
[9] Lihat. Hassan Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Terj. M.Najib Buchori, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 231.
[10] Di bangku kuliah Hassan Hanafi tidak saja mempelajari buku-buku filsafat, tetapi juga ilmu-ilmu ke-islaman dan teori-teori sosial. Lihat. John L. Esposito, The Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 98.
[11] Kesenangannya terhadap Ilmu Matematika inilah, dalam suatu pikirannya terlintas ada keinginan menjadi insinyur. Lihat M. Ridlwan Hambali, op. cit., hlm.  222. 
[12] Bebas berpikir keilmuan apapun. Dan karena senangnya Hassan Hanafi akan ilmu logika [filsafat], dia pernah mendapat hadiah LE. 20,00,- [kurang lebih cukup besar untuk ukuran saat itu], dari keikutsertaannya mengikuti lomba “orientasi” filsafat dan mendapat juara I. Lihat. M. Ridlwan Hambali, Ibid, 222.
[13] Ibid, 220.
[14] Pernah dalam satu artikelnya, dia mengatakan “….itulah Barat yang aku pelajari, aku kritik, aku cintai, dan akhirnya aku benci.” Lihat. M. Ridlwan Hambali, Ibid, 220.
[15] Lihat. Abdul Kodir, “Konsep Oksidentalisme Hassan Hanafi”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah Filsafat, 2001. hlm. 24.
[16] Lihat Abdurrahman Wahid, “Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”, Kata Pengantar,  dalam, Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, (Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2000), cet. IV, hlm. xi.
[17] Hijrahnya Hanafi ke Amerika Serikat sebagai dosen tamu tersebut, sebenarnya lebih disebabkan karena perselisihannya dengan Anwar Sadat yang memaksa untuk meninggalkan Mesir. Sedangkan hijrahnya ke Maroko adalah karena diminta untuk merancang berdirinya Universitas Fez. Lihat. John L. Esposito, op. cit., hlm. 98.
[18] Di tahun pertengahan inilah, kira-kira tahun 1986, Hanafi pernah menjadi pelopor berdirinya organisasi Himpunan Filosof Mesir. Organisasi ini diketuai oleh Dr. Abu Al-Wafa’ Al-Taftazani, yang kemudian digantikan oleh Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, dan sementara Hassan Hanafinya bertindak sebagai Sekretaris Jendralnya. Lihat. M. Ridlwan Hambali: Hassan Hanafi; op. cit., hlm. 221.
[19] M. Ridwan Hambali, Ibid, hlm. 221
[20] Abdul Kodir, op. cit., hlm. 25. Meskipun benar-benar memperhatikan massa kaum Muslimin, Hanafi tidak pernah menjadi panutan rakyat. Dia hanya berpengaruh pada kalangan akademis, Mahasiswa dan Intelektal lainnya. Lihat. Issa. J. Boulatta, Hasan Hanafi, dalam The Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 149.
[21] Hal ini terbukti ketika Hanafi dalam beberapa bukunya memperkenalkan beberapa pemikir Barat, seperti Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Max Weber, Edmund Husserl, Unamuno, Karl Jasper dan Herbert Mercuse. Mengenai pemikir Barat yang disenangi oleh Hanafi bisa dilihat semisal di buku-bukunya semisal “From Orientalism to Ocidentalism”, dalam Islam in the Modern World. Tradition, Revolution and Cultur, vol. II (Egypt: Dar Kebaa Bookshop, 2000), hlm 395-408. Oksidentalime: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori, (Jakarta: Paramadina, 2000). Hassan Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, terj. Kamran As’ad Irsyadi, dkk. (Yogyakarta: Islamika, 2003)
[22] Ibid..
[23] Lihat Kazuo Shimogaki, Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M.Imam Aziz dan M.Jadul Maula, (Yogyakarta: Penerbit LKis Yogyakarta, 2000), cet. IV. (selanjutnya disebut “Kiri Islam: Antara Modernisme”), hlm. 4-5.
[24] Mengenai faham kiri, istilah ini kerap digunakan dalam terminologi politik. Hal ini karena sejak revolusi Perancis kelompok radikal, kelompok Jakobin, mengambil sisi kiri dari kursi Ketua Kongres Nasional. Sejak saat itulah, kanan dan kiri sering digunakan dalam terminologi politik. Lihat. Christopher Hibbert,, The French Revolution, (London: Allen Lane, 1980), hlm. 109. Begitu juga secara umum, kiri digunakan sebagai partai yang cenderung radikal, sosialis, anarkhis, reformis, progresif, atau liberal. Dengan kata lain, kiri selalu menginginkan sesuatu yang bernama kemajuan [progresif], yang memberikan inspirasi bagi keunggulan manusia atas sesuatu yang bernama “takdir sosial”. Lihat. Carl Oglesby, ed. The New Left Reader (New York:  Grove Press, 1969), hlm. 1 
[25] Muhammad Abduh adalah seorang pemikir Mesir terkemuka pada tahun 1849-1905. Nama aslinya adalah Muhammad bin Hasan bin Hasan Khairullah. Abduh lahir pada tahun 1849. kelahiran Abduh ditandai dengan terjadinya krisis di Mesir. Lihat. Muhammad Rasyid Ridha, Tari>kh Usta>z al-Ima>m al-Syaikh Muhammad ‘Abduh, Juz I, (Kairo: Dar al-Manar, 1931), hlm. 13.  
[26] Dalam ungkapan lain, Hanafi dipetakan sebagai salah satunya tokoh intelektual yang berhaluan rasional-liberal yang paling produktif. Lihat. Komaruddin Hidayat, “Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat”, Kata Pengantar dalam buku Hassan Hanafi Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. xviii.
[27] Kazuo Shimogaki, op. cit., hlm. 4 -5.
[28] Jika dalam sebuah wawancara yang lain jauh sebelum ini Hanafi pernah mengatakan bahwa dirinya lebih pantas disebut ideologi ketimbang seorang pemikir, maka makna pernyataan tersebut tidak lain merefleksikan konsennya yang begitu besar pada persoalan-persoalan ril umat Islam, seperti ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan penjajahan dipelbagai bagian bumi Islam. Sensitivitas semacam itu mungkin hanya dapat dimiliki oleh pemikir-aktivis semacam ideologi Iran yang juga sahabat Hanafi semasa di Paris, Ali Syari’ati, atau dalam beberapa hal juga dimiliki oleh aktivis-pemikir Ashgar Ali Engineer di India, pemikir peradaban Basam Tibi di Jerman, dan sosiolog Maroko Malek ben Nabi. Lihat. Amin Abdullah, “Kata Pengantar” dalam Buku Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi. (Bandung: Mizan, Teraju, 2002), hlm. xvii.
[29] Taufiq Ramdhani, “Konsep Dialektika Ego dan The Other” dalam gagasan Oksidentalisme Hassan Hanafi,” Skripsi, Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002. hlm. 29. 
[30] Periodesasi ini diambil dari keterangan yang ada dalam skripsi Taufik Ramdhani, Ibid. hlm 29-32
[31] E. Kusnadingrat, Teologi dan Perubahan; Gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi. (Jakarta, LkiS, 1999), hlm.54.
[32] Abdurrahman Wahid, Kata Pengantar “Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya,” op. cit., hlm. xi.
[33] Ibid, hlm. xii.
[34] Ibid., hlm. xi.
[35] E. Kusnadingrat, op. cit., hlm. 55
[36] Lihat. Taufik Ramdhani, op. cit., hlm. 34.
[37] Ibid, hlm. 34.
[38] Ibid.
[39] E. Kusnadingrat, op. cit., hlm. 57.
[40] Karya ini terdiri dari 8 jilid yang kesemuanya merupakan kumpulan dari artikel-artikelnya yang ditulis antara tahun 1976-1981. Artikel-artikel ini kemudian diterbitkan pada tahun 1987 untuk yang pertama kalinya. Karya ini berisi tentang gambaran dan analisis tentang kebudayaan nasional dan hubungannya dengan agama, hubungan agama dengan nasionalisme dan berisi tentang gagasan-gagasan mengenai gerakan kiri keagamaan yang membahas tentang gerakan-gerakan keagamaan kontemporer, fundamentalisme Islam serta kiri Islam dan intergritas nasional. Lihat. E. Kusnadingrat. op. cit., hlm. 57.
[41] Buku ini merupakan landasan teoritis yang memuat dasar-dasar ideologi pembaharuan dan langkah - langkahnya.
[42] Hassan Hanafi dalam buku ini, memuat uraian-uraian terinci tentang pokok pembaruan yang dicanangkan dalam dua karyanya terdahulu, hal terpenting dalam buku ini adalah gagasannya mengenai usaha rekonstruksi ilmu kalam.
[43] E. Kusnadingrat, op. cit.,hlm. 58.
[44] Taufiq Ramdhani, op. cit. hlm. 34.
[45] Untuk pemetaan empat hal ini, penulis mengutip pemetaan yang telah dilakukan oleh A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi tentang Reaktualisasi Tradisi dan Keilmuan Islam, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 18.
[46] Materialisme historis adalah filsafat sejarah Marxisme-Leninisme yang terdiri atas pandangan Marx tentang hukum perkembangan masyarakat. Dalam prinsip dasar pandangan Materialis Sejarah dapat dirumuskan bahwa “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka”. Lihat. Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 270 dan 138.
[47] Dialektika adalah suatu teori mengenai proses perubahan. Menurut pandangan ini, segala sesuatu saling berhubungan dan senantiasa mengalami perubahan. Proses perubahan itu berjenis khusus, dan terjadi melalui pertentangan di antara hal-hal yang berlawanan. Dialektika bisa diartikan sebagai istilah yang kadang-kadang digunakan untuk menamakan cabang logika yang mengemukakan aturan-aturan dan cara penalaran dengan tepat, juga untuk menunjukan analisis sistematis-logis, serta untuk memperlihatkan apa yang dikandungnya. Ia identik dengan logika formal dengan studi tentang bentuk dan hukum pemikiran manusia sebagaimana adanya. Lihat.Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 162.  
[48] Marxis adalah sebutan bagi ajaran/kepercayaan, aliran/gerakan yang menganut Marxisme. Lihat. Frans Magnis Suseno, op. cit., hlm. 269.
[49] Sedangkan Marxisme adalah semua aliran/gerakan/kelompok/pendapat yang mengaku bersumber atau berdasarkan pemikiran atau ajaran Marx. Ibid, hlm. 270.
[50] Hassan Hanafi, Ideology and Development (Ohio: Cincinnati, 1982), hlm. 2-7. 
[51] Dialektika Marx diambil dari Hegel. Marx dan Engels sama-sama menolak idealisme Hegel, akan tetapi mereka menerima hampir seluruh metodologi filsafatnya. Namun demikian, dialektika Marx berbeda dengan Hegel, bahkan bertentangan. Pertentangannya terletak pada dasarnya bukan pada metodologi filsafatnya. Filsafat Hegel berdasakan sifat idealis, sedangkan filsafat Marx berdasarkan materialisme. Filsafat Marx bisa dikatakan sebagai usaha untuk memutarbalikan idealisme Hegel dan dengan demikian pada dasarnya meneruskan pola-pola pemikiran Hegel. Lihat K. Bertens. Filsafat Abad XX Prancis (Jakarta: Gramedia, 1996). hlm 235. Berbeda dengan Hegel, Marx memandang ide itu tidak lain dari pada dunia material yang direfleksikan oleh pikiran manusia dan diterjemahkan dalam bentuk—bentuk pemikiran. Oleh karena itu Marx menyatakan bahwa dialektika Hegel berjalan pada kepalanya, yakni agar dialektika bisa dipahami dengan benar, ia harus diletakkan di atas kakinya. Maksudnya ialah, bahwa Hegel, dialektikanya adalah dialektika idea, dan Marx berkeinginan menjadikannya sebagai dialektika materi. Kalau bagi Hegel dan idealisme pada umumnya alam merupakan buah hasil “Roh”, tetapi bagi Marx dan Engels, segala sesuatu yang bersifat rohani merupakan buah hasil materi. Lihat K. Bertens. Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 80.
[52] Hanafi. “Tasawuf dan Pembangunan”, dalam Agama, Ideologi dan Pembangunan (Jakarta: P3M, 1991). hlm 76-100.
[53] Hermeneutika Hanafi memiliki keterkaitan erat dengan hermeneutik pada umumnya. Hermeneutik secara etimologis berasal dari Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan, Lihat penjelasan pada bab III dari skripsi ini.

No comments: