Friday, December 17, 2010

KREDIT (AL-QARD) DALAM HUKUM ISLAM

KREDIT (AL-QARD) DALAM ISLAM

Selengkapnnya Click  DISINI

A.     Kredit

1.      Pengertian
Kredit dilihat dari segi bahasa mengandung arti kepercayaan, nama baik, pinjaman uang[1]. Dari pemahaman terhadap pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dasar kredit adalah kepercayan. Seseorang atau suatu badan yang memberikan kredit, percaya bahwa penerima kredit dimasa mendatang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan.[2] Apa yang telah dijanjikan untuk dipenuhi itu dapat berupa barang, uang, ataupun jasa.[3]
Istilah kredit juga berasal dari bahasa lain Creditumyang berarti kepercayaan akan kebenaran. Dalam praktek sehari-hari pengertian ini selanjutnya berkembang lebih luas lagi yaitu, kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan jangka waktu yang disepakati.[4]
Perjanjian kredit atau perjanjian pinjaman uang juga tercantum dalam Kitab undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd) yaitu pasal 1754 yang berbunyi:
Pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.[5]
Sedangkan menurut Undang-undang no. 10 Tahun 1989 dinyatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.[6]  
Pengertian kredit dalam arti ekonomi yaitu suatu penundaan pembayaran. Artinya uang atau barang diterima sekarang dan dikembalikan pada masa yang akan datang. Kredit juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada masa yang akan datang disertai dengan suatu kontra prestasi berupa bunga.[7] 
Dari beberapa pendapat tentang arti kredit diatas dapat disimpulkan bahwa kredit adalah hutang-piutang antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, dimana pihak peminjam  (debitur) berkewajiban membayar atau melunasi hutangnnya setelah jangka waktu tertentu.

2.      Unsur-unsur dan Prinsip-prinsip Kredit
Jika dilihat dari pengertiannya, ada beberapa unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit. Adapun unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Kepercayaan
Yaitu suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa uang, barang atau jasa) akan benar-benar diterima kembali dimasa tertentu dimasa datang. Kepercayaan ini diberikan oleh bank, dimana sebelumnya sudah dilakukan penelitian penyelidikan tentang nasabah baik secara intern maupun ekstern. Penelitian dan penyelidikan tentang kondisi masa lalu dan sekarang terhadap nasabah pemohon kredit.
b.      Kesepakatan
Disamping unsur percaya di dalam kredit juga mengandung unsur kesepakatan antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian yang masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.
c.       Jangka waktu
Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu tersebut bisa berbentuk jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang.
d.      Resiko
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu resiko tidak tertagihnya/ macet pemberian kredit. Semakin panjang suatu kredit semakin besar resikonya, demikian pula sebaliknya. Resiko ini menjadi tanggungan bank, baik resiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai, maupun oleh resiko yang tidak sengaja. Misalnya terjadi bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur kesengajaan lainnya.
e.       Balas jasa
Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang dikenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan biaya administrasi kredit ini merupakan keuntungan bank. Sedangkan bagi bank yang berdasarkan prinsip syari’ah balas jasanya ditentukan dengan bagi hasil.[8]

Agar kegiatan perkreditan dapat terlaksana dengan baik, maka ada beberapa prinsip yang perlu dipenuhi sebelum kredit disalurkan. Adapun prinsip-prinsip tersebut dikenal dengan istilah “5 C”, yaitu:
a.      Character
Suatu keyakinan bahwa sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya, hal ini tercermin dari si nasabah baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi seperti: cara atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga, hoby dan social standing-nya. Ini semua merupakan ukuran kemauan membayar.
b.      Capacity
Untuk melihat nasabah dalam kemampuannya dalam bidang bisnis yang dihubungkan dengan pendidikannya, kemampuan bisnis juga diukur dengan kemampuannya dalam memahami tentang ketentuan- ketentuan pemerintah. Begitu pula dengan kemampuannya dalam menjalankan usahanya selama ini. Pada akhirnya akan terlibat kemampuannya dalam mengembalikan kredit yang disalurkan.
c.       Capital
Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif, dilihat laporan keuangan (neraca dan laporan rugi laba) dengan melakukan pengukuran seperti dari segi likuiditas, solvabilitas, rentabilitas dan ukuran lainnya. Capital juga harus dilihat dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini.
d.      Collateral
Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya, sehingga jika terjadi suatu masalah maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin.
e.       Condition
Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik sekarang dan di masa akan datang sesuai dengan sektor masing-masing, serta prospek usaha dari sektor yang ia jalankan. Penilaian prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik, sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil.[9]

3.      Tujuan dan Fungsi Kredit
Pemberian suatu fasilitas kredit mempunyai tujuan tertentu. Tujuan dari kredit adalah memperoleh hasil berupa keuntungan yang diperoleh dari pengambilan jasa.[10] Tujuan dari pemberian kredit tersebut tidak akan terlepas dari misi lembaga keuangan yang bersangkutan. Adapun tujuan utama pemberian kredit adalah:[11]
a.       Mencari keuntungan
Dalam dunia bisnis, pada umumnya kredit diberikan untuk memperoleh hasil berupa keuntungan atas pemberian jasa. Hasil tersebut pada umumnya berbentuk bunga yang diterima bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah. Dalam perbankan yang menggunakan prinsip syari’ah keuntungan yang diperoleh atas jasa peminjaman uang diistilahkan dengan imbalan atau “bagi hasil”.
b.      Membantu Usaha Nasabah
Yaitu membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun untuk modal kerja.[12] Dengan dana tersebut pihak debitur akan dapat mengembangkan dan memperluas usahanya.
 c.       Membantu Pemerintah
Bagi pemerintah, semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka akan semakin bernilai positif mengingat semakin banyak kredit berarti ada peningkatan pembangunan di berbagai sektor.
Disamping memiliki tujuan-tujuan sebagaimana di atas, pemberian fasilitas kredit juga memiliki beberapa fungsi antara lain:
a.       Untuk meningkatkan daya guna uang
Adanya kredit dapat meningkatkan daya guna uang maksudnya jika uang hanya disimpan saja tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit.
b.      Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya sehingga suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya
c.       Meningkatkan peredaran barang
Kredit dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya, sehingga jumlah barang yang beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan barang yang beredar.
d.      Sebagai alat stabilitas ekonomi
Pemberian kredit dapat dikatakan sebagai stabilitas ekonomi karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat. Kemudian kredit dapat pula membantu dalam mengekspor barang dari dalam negeri ke luar negeri sehingga meningkatkan devisa negara.
e.       Untuk meningkatkan kegairahan berusaha
Bagi si penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan dalam berusaha, apalagi bagi nasabah yang modalnya memang pas-pasan.
f.        Untuk meningkatkan pemerataan pendapatan
Semakin banyak kredit yang disalurkan maka akan semakin baik terutama dalam hal meningkatkan pendapatan. Jika sebuah kredit diberikan untuk membangun pabrik, maka pabrik tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja, sehingga dapat pula mengurangi pengangguran.[13]
Selanjutnya kredit juga mempunyai fungsi praktis, diantaranya relatif mudah diperoleh jika memang usahanya feasible (benar-benar dapat dikerjakan), dan biaya untuk memperoleh kredit (bunga, administrasi expense) dapat diperkirakan dengan tepat sehinggga memudahkan para pengusaha menyusun rencana kerjanya untuk masa yang akan datang.[14]

B.     Kredit Dalam Fiqh Mu’a>malah (Qard})
1.      Pengertian, Dasar Hukum dan Hikmah
a.      Pengertian
Al-qard} secara bahasa (etimologis) berarti potongan (ﻊﻄﻘﻟﺍ) yaitu istilah yang diberikan untuk sesutau yang diberikan sebagai modal usaha. Sesuatu itu disebut qard} sebab ketika seseoarang memberikannya sebagai modal usaha, maka sesuatu itu terputus atau terpotong. Sehubungan dengan itu, aktivitas pencarian modal diistilahkan dengan (ﺽﺍﺭﻘﺘﺴﻹﺍ).[15]
Adapun al-qard} secara istilah (terminologis) para ulama berbeda pendapat sesuai dengan mazhabnya masing-masing.
1) Maz\hab H{anafi>
Mereka berpendapat bahwa qard}} adalah sesuatu yang diberikan sebagai modal untuk dijalankan dengan syarat bahwa harta itu ketika dikembalikan kepada pemiliknya harus semisal. Batasan semisal adalah asal jenisnya tidak jauh berbeda. Kategori ini meliputi kesamaan untuk ditakar, ditimbang dan dihitung jumlahnya.[16]
2) Maz\hab Ma>liki>
Mereka berpendapat bahwa qard} adalah penyerahan dari seseorang kepada pihak lain berupa sesuatu yang bernilai kebendaan.. Pemberian modal  yang bagi pemberinya berhak mengambil barang tersebut dari  orang yang mendapatkan modal.
            Pengertian tersebut dapat dijelaskan lebih rinci sebagai berikut :
                                                                           i.      Sesuatu itu bernilai kebendaan dan bukan merupakan hal yang remeh.
                                                                         ii.      Pemberian bersifat murni, maksudnya seluruh keuntungan atau manfaat dari modal itu kembali atau menjadi milik pihak yang menjalankan usaha.
                                                                        iii.      Tidak mengijinkan transaksi peminjaman yakni penerima modal tersebut tidak mempunyai kebebasan dalam memanfaatkan modal tersebut sebagaimana seorang peminjam.
                                                                       iv.      Menggambil barang pengganti. Hal ini sebagai pembeda dengan hibah yakni suatau pemberian yang tidak mengharapkan adanya pengganti.
                                                                         v.      Barang pengganti tidak berbeda jenis dengan modal. Hal ini dimaksudkan sebagai pembeda dari transaksi salam.[17]
3) Maz\hab Sya>fi’i>
Mereka berpendapat bahwa qard} adalah sesuatu yang diberikan sebagai pinjaman modal. Qard} merupakan pemberian pinjaman modal yang bersifat menjalankan kebaikan/ sosial. Qard} bisa dipersamakan dengan transaksi salaf yaitu pemilikan sesuatu untuk diberikan kembali dengan sesuatu yang serupa menurut kebiasaan yang berlaku.[18]
4) Maz\hab H{ambali>
Mereka berpendapat bahwa qard} adalah menyerahkan modal pinjaman kepada orang yang menggunakannya dan modal itu akan dikembalikan berupa barang penggantinya. Qard bagi mereka merupakan jenis dari transaksi salaf. Sebab penerimaan modal pinjaman mengambil manfaat dari modal tersebut. Hal ini merupakan transaksi yang lazim terjadi. Jika modal telah diserahkan maka pemberi modal tidak boleh mengambil manfaat dari modal tersebut, sebab modal itu  tidak lagi menjadi miliknya, namun ia berhak mendapat gantinya.[19]
5) Abu> Sura>’i> Abd al-Ha>di>
Menurutnya qard} atau pinjaman adalah suata transaksi yang menyempurnakan jalan pemilikan harta kepada pihak lain secara sukarela untuk dikembalikan lagi kepadanya dengan hal yang serupa atau seseorang menyerahkan harta kepada pihak lain untuk dimanfaatkan dan kemudian orang tersebut mengembalikan penggantinya.[20]  
6) Sayyid Sa>biq
Menurut beliau qard} adalah harta yang diberikan seorang pemberi pinjaman kepada orang yang meminjam untuk kemudian dikembalikan yang semisal setelah mampu.[21]
Dari beberapa pendapat tentang  definisi qard} di atas,  dapat diambil kesimpulan bahwa kredit atau qard} adalah sutau transaksi atau perikatan antara pihak kreditur (pemberi pinjaman) dengan debitur (penerima pinjaman) berupa uang atau barang yang merupakan suatu jenis pinjaman pendahuluan untuk kepentingan peminjam dengan maksud akan mengembalikan yang semisal sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati, misalnya satu minggu, satu bulan, enam bulan atau satu tahun.
Dengan demikian praktek perkreditan yang dilakukkan para usahawan kecil melalui program Kredit Usaha Mikro di Perum Pegadaian Cabang Ngupasan Yogyakarta, jika ditinjau dari fiqh Islam dapat dikategorikan ke dalam qard yaitu adanya modal berupa uang yang diberikan oleh pihak pegadaian kepada para nasabah untuk mengembangkan usahanya dengan kewajiban mengembalikannya pada waktu yang telah disepakati.

b.   Dasar Hukum
1).  Ayat al-Qur’an
Ayat-ayat al-Qur’an yang mendasari kredit (qard}) ini diantaranya:
(a).  Al-Baqarah (2): 245.

1.    من ذاالذي يقرض الله قرضا حسنا فيضعفه له أضعافا كثيرة  والله يقبض

2.     ويبصط وإليه ترجعون [22]

(b). Al-Muzzamil (73): 20.

3.               وأقيمواالصلاة وأتوالزكاة وأقرضواالله قرضا حسنا وماتقدموا لأنفسكم من خير تجدوه

4.    عند الله هو خيرا وأعظم أجرا وأستغفروا الله إن الله غفور رحيم [23]

E.                                         

2). Hadis Nabi SAW                    
(a). Hadis riwayat al-Bukha>ri>
و من كان في حاجة اخيه كا ن الله في حاجته ومن فرج عن مسلم قرضا كربة فرج الله كربة من كربات يوم القيامة[24]
(b). Hadis riwayat Ibn Ma>jah
[25] ﺓﺭﻤ ﺎﻬﺗﻘ ﺪﺼﮐ نﺎﻜ ﻻﺇ ﻦﻴﺘﺮﻤ ﺎﺿﺭﻘ ﻪﻟﻟﺍﺾﺭﻗﻴ ﻡﻠﺴﻤ ﻥﻤ ﺎﻣ
            Dari keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwa qard}  ada dalam ajaran Islam. Lebih dari itu Allah SWT akan memberikan pahala yang berlipatganda bagi mereka yang meng-qirad}-kan harta di jalan-Nya. Qirad} juga merupakan pekerjaan yang mulia, sehingga bisa menolong kesusahan orang lain. Orang yang membantu sesamanya dalam kesusahan niscaya Allah SWT akan menolongnya di akhirat kelak.

3). Ijma>’
Para ulama sepakat bahwa qard}  merupakan perbuatan yang dibenarkan. Hal ini didasari oleh tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu pinjam-memnjam sudah menjadi suatu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.[26]
c.  Hikmah
Hikmah adanya qar}d (pinjaman modal) adalah menghilangkan kesusahan, memberi bantuan bagi yang membutuhkan dan menguatkan rasa cinta kasih di antara sesama manusia.[27] Orang yang menghilangkan kesusahan dari orang yang membutuhkan akan menjadi orang yang dekat dengan rahmat Allah.[28] Disamping itu qard juga dapat melunakkan hati, menyuburkan kasih sayang dan sebagainya. Sifat-sifat yang demikian merupakan sifat yang sangat diharapkan dalam pergaulan hidup manusia  di manapun juga.

2.  Rukun dan  Macam-macam Qard}
a.      Rukun dan Syarat Qard}
Rukun dan syarat merupakan sesuatu yang harus ada dalam setiap perjanjian dalam mu’amalat. Adapun rukan dan syarat perjanjian kredit (qard}) adalah sebagai berikut:
a)      Adanya pihak yang memberikan pinjaman (kreditur) dan pihak menerima pinjaman (debitur) yang disyaratkan harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum.
b)      Obyek (barang yang dipinjam).
Barang yang dipinjam disyaratkan berbentuk barang yang dapat diukur atau  diketahui jumlah maupun nilainya. Disyaratkan hal ini agar pada waktu pembayarannya tidak menyulitkan, sebab harus sama jumlah atau nilainya dengan jumlah atau nilai barang yang diterima.
c)      Lafaz\ yaitu adanya pernyataan (i>ja>b-qabu>l) baik dari pihak yang meberikan pinjaman (kreditur) maupun dari pihak yang menerima pinjaman (debitur).[29]


[1] M. Dahlan al-Bairy, Kamus Ilmiah Popular (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 377. Begitu pula dalam bahasa latin kredit berarti “credere”, yang artinya percaya. Maksud dari percaya bagi si pemberi kredit adalah ia percaya kepada penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit merupakan penerimaan kepercayaan sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu. Lihat Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi revisi, cet. ke-6 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 93.
[2] Thomas Suyatno, dkk., Dasar-dasar Perkreditan , cet. ke-5 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 12.
[3] Indra Darmawan, Pengantar Uang dan Perbankan, cet. ke-1 (Jakarta: Rineka Cipta 1992), hlm.88. Kredit dapat diartikan sebagai metode penjualan barang dengan pembayaran angsuran atau ditangguhkan,  pinjaman yang pengembaliannya dilakukan secara berangsur. Lihat Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1991), hlm. 776.
[4] Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersial, cet. ke-3 (Yogyakarta: BPFE, 1989), hlm. 9.
[5] Subekti dan Tjitro Sudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, cet. ke-31 (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm.451.
[6] Undang-undang No. 10 Tahun 1989 tentang Perbankan, pasal 1 ayat (11).
[7] Muhdarsyah Sinungan, Dasar-dasar, hlm. 11-12.
[8] Kasmir, Bank, hlm. 94- 95.
[9]  Ibid.,  hlm. 104- 105.
[10] Muchdarsyah, Dasar-dasar, hlm.14.
[11] Kasmir,Bank, hlm. 96.
[12] Kredit investasi biasanya digunakan untuk keperluan usaha/ membayar proyek/ pabrik baru/ untuk keperluan rehabilitasi. Misalnya untuk membangun pabrik atau membeli mesin-mesin. Pendek kata pemakaiannya untuk suatu periode yang relatif lebih lama. Kredit modal kerja merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya.misalnya untuk membeli bahan baku, membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses produksi perusahaan. Dilihat dari segi tujuannya, kedua kredit tersebut termasuk kredit produktif. Ibid, hlm. 99-100.
[13] Ibid, hlm. 97- 98.
[14] Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen, hlm.56.
[15] Ali> Fikri>, al-Mu’a>mala>t al-Ma>diyah al-Adabiyyah (Kairo: Mustafa al-Bab al- Halabi, 1357), I: 344.
[16] Abd. al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘Ala> Maz\a>hib al-Arba’ah (Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyyah al-Kubra>, t.t.), II: 338.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.,  hlm, 339.
[20] Abu>  Sura>’i> Abd. al-Ha>di>, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa: Muhammad Thalib (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hlm. 125.
[21] As-Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, cet. ke-3 (Beirut:Dar al-Fikr,1983), III: 182.
[22] Al-Baqarah (2): 245.
[23] Al-Muzzamil ( 73): 20.
[24] Abu> Abdi>llah Muh}ammad Ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S{ah}I>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: 66. Hadis dari Abdullah ibn Umar. Hadis ini dnilai s}ah}i>h} oleh para ulama.
[25] Abu> Abdilla>h Muh}ammad Ibn Yazi>d al-Qazwimi> Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: 81. Hadis dari Ibn Mas’ud. Ada yang menilai hadis ini h}asan.
[26] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hlm. 135.
[27] Ali Fikri, al-Mu’a>malat,  hlm.347.
[28] Ali> Ah}mad al-Jurjawi>, Hikmat al-Tasyri>’ wa Falsafatuhu  (t.t.p.:Dar al-Fikr, t.t.), II: 185.
[29] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafindo,1996), hlm. 137.

No comments: