Tuesday, November 23, 2010

PERJANJIAN DALAM ISLAM

PERJANJIAN DALAM ISLAM

Selengkapnya Click DISINI

A.     Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian

Istilah perjanjian dalam bahasa Arab lazim disebut عقد berasal dari عقديعقد -  عقدyang berarti mengikat, mengumpulkan.[1] عقد yang asal katanya berarti mengikat, mengumpulkan ini pengertiannya adalah “mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain hingga bersambung, lalu keduanya bersambung menjadi sebagai sepotong benda.[2] Para fuqaha memakai juga istilah akad untuk sumpah, perjanjian maupun persetujuan jual beli.
Adapun menurut istilah syara’, Dr. as- Sanhury dalam kitabnya Nazariyyah al- ‘Aqd mengutip dari kitab Mursyid al- Hairan sebagai berikut:
العقد هو عبارة إرطباط الإيجاب الصّادر من إحد العاقدين بقبول الآخر على وجه يثبت أثره في المعقود عليه       [3]


19
 
Dalam istilah lain, Ahmad Azhar Basyir mendefinisikan akad sebagai berikut:
Suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan sedang kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.[4]

Dengan memperhatikan pengertian-pengertian di atas, dapat diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua belah pihak berdasar kesediaan masing-masing dan mengikat pihak-pihak di dalamnya dengan beberapa hukum syara’ yaitu hak dan kewajiban yang diwujudkan oleh akad tersebut.
Selain itu ada pula yang memberi pengertian akad lebih luas, mencakup juga segala tindakan orang yang dilakukan dengan niat dan keinginan kuat dalam hati, meskipun merupakan keinginan satu pihak seperti wakaf, hibah dan sebagainya.[5]
Akad yang merupakan perikatan ijab dan kabul ini merupakan salah satu sebab tamallu’ (memiliki) harta benda yang hukumnya diperbolehkan dalam Islam. Sebagai dasar hukumnya secara umum dapat ditelusuri dari firman Allah:
يآيّها الذين امنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلاّ أن تكون تجارة عن تراض منكم     [6]               
Ayat di atas memberi pengertian, bahwa hukum asal dalam memiliki harta orang lain atau menghalalkan memiliki harta orang lain adalah kerelaan pemiliknya, baik secara tukar menukar, jual beli maupun dengan jalan pemberian.
Selanjutnya, akad atau perjanjian yang dilakukan dengan dasar suka sama suka tersebut mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang membuatnya. Allah berfirman:
يآيّها الذين امنوا أوفوا بالعقود    [7]
Maksudnya, bahwa manusia diwajibkan memenuhi/menunaikan segala akad atau perjanjian yang dibuatnya.
Sebagai penjelas/bayan al- Qur’an, as- Sunnah banyak memberikan ketentuan-ketentuan umum di bidang akad atau perjanjian antara lain mengenai keharusan memenuhi syarat-syarat yang dibuat dalam suatu perjanjian. Rasulullah bersabda:
المسلمون على شروطهم إلاّ شرطاحرّم حلالا أوأحلّ حراما    [8]
Dalil-dalil di atas merupakan dasar pelaksanaan akad atau perjanjian secara umum yang dapat mencakup segala macam akad. Di samping itu, masih ada dasar-dasar yang bersifat khusus, yaitu dasar-dasar yang menunjuk kepada akad atau perjanjian tertentu saja, seperti jual beli, sewa menyewa, nikah dan sebagainya.
Sebagaimana diketahui, bahwa aturan-aturan yang tercantum dalam al- Qur’an dan Hadis bersifat global, sehingga tidak mungkin menyebutkan secara terperinci tentang hukum akad dalam segala seginya. Oleh karena itu, untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum akad dalam mencakup segala aspek yang diperlukan harus ada usaha pemikiran para ulama yang disebut ijtihad.
Di samping ketiga hal di atas, di antara yang dapat dijadikan landasan hukum perjanjian adalah pertimbangan suatu adat/kebiasaan yang telah berlaku dalam peri kehidupan masyarakat yang bersifat positif. Hal ini sesuai dengan kaidah yang telah penyusun sebutkan dalam bab pendahuluan, bahwa adat (kebiasaan) itu dapat menjadi suatu ketetapan hukum.
Adat (kebiasaan) disebut juga ‘urf, sebagaimana telah dikemukakan oleh ‘Abd al- Wahhab Khallaf dalam kitabnya ‘Ilm Usul Fiqh:
العرف هو ما تعارفه النّاس وساروا عليه من قول أو فعل أو ترك ويسمّى العادة.  وفى لسان الشّرعيّين : لافرق بين العرف والعادة                 [9]
Adapun ‘urf /adat ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.    Adat yang sahih, yaitu apa yang sudah biasa diketahui oleh manusia secara umum dan mereka melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan barang yang haram atau tidak mengharamkan barang yang halal.
2.    Adat yang fasid adalah apa yang sudah diketahui manusia secara umum dan dijalankan, tetapi bertentangan dengan syara’.
Menurut ‘Abd al- Wahhab Khallaf, memelihara adat yang sahih adalah wajib dalam syari’at Islam dan bagi hakim dalam mengambil keputusan (pengadilan). Sedang adat yang fasid tidak wajib dipelihara, karena bertentangan dengan dalil atau membatalkan hukum syara’.[10]

B.     Rukun dan Syarat Perjanjian

Dengan memperhatikan pengertian akad (perjanjian) di atas, dapatlah diketahui bahwa suatu akad terbentuk dengan adanya beberapa hal, yaitu:
a.    ‘Aqid (pihak-pihak yang berakad). Mengenai ‘aqid ini masing-masing pihak dapat terdiri dari satu orang, dua orang ataupun beberapa orang.
b.    Mahallu al- ‘aqdi atau ma’qud ‘alaihi. Yaitu benda yang berlaku padanya hukum akad atau disebut juga dengan objek akad.]
c.     Maudhu’u al- ‘aqdi. Yaitu tujuan diadakannya akad atau maksud pokok dari akad tersebut. Dalam hal ini tujuan akad tetap satu, tidak berbeda-beda dalam akad yang serupa.
·        Rukun akad (ijab dan kabul).
Ijab dan kabul dinamakan sigat al- ‘aqdi yaitu ucapan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak. Sigat al- ‘aqdi ini memerlukan tiga syarat:
1.    Harus terang pengertiannya.
2.    Harus bersesuaian antara ijab dan kabul.
3.    Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan.[11]
Rukun merupakan unsur mutlak yang harus ada dalam suatu hal, peristiwa ataupun tindakan. Dengan demikian, suatu akad dipandang batal/tidak sah jika tidak memenuhi apa yang menjadi rukun-rukunnya.
Dalam kitab al- Milkiyyah wa Nazariyyah al- ‘Aqdi karangan Muhammad Abu Zahrah disebutkan bahwa rukun akad adalah ijab dan kabul, karena ijab dan kabul merupakan hakikat suatu akad. Ijab adalah penjelasan yang terbit dari salah satu pihak yang berakad (pernyataan dari pihak pertama), sedang kabul merupakan kesepakatan dari pihak yang lain (pihak kedua).[12]
 Selanjutnya agar ijab dan kabul benar-benar mempunyai akibat hukum diperlukan batasan-batasan sebagai berikut:
·        Berada dalam satu majelis.
·        Adanya kesesuaian  antara ijab dan kabul.
·        Hendaknya ijab dan kabul tidak ditarik kembali sebelum adanya kabul.[13]
Adapun yang dikemukakan oleh Ahmad Azhar Basyir, untuk sahnya ijab dan kabul diperlukan syarat-syarat:
1.    Ijab dan kabul harus dinyatakan oleh orang yang sekurang-kurangnya telah mencapai tamyiz yang menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan, sehingga ucapan-ucapannya itu benar-benar menyatakan keinginan hatinya. Dengan kata lain, ijab dan kabul harus dinyatakan dari orang yang cakap melakukan tindakan-tindakan hukum.
2.    Ijab dan kabul harus tertuju pada suatu objek yang merupakan objek akad.
3.    Ijab dan kabul harus berhubungan langsung dalam suatu majelis apabila dua belah pihak sama-sama hadir, atau sekurang-kurangnya dalam majelis diketahui ada ijab oleh pihak yang tidak hadir. Hal yang terakhir ini terjadi apabila ijab dinyatakan kepada pihak ketiga dalam ketidakhadiran pihak kedua. Dengan demikian, pada saat pihak ketiga menyampaikan kepada pihak kedua tentang adanya ijab itu, berarti bahwa ijab itu disebut dalam majelis akad juga dengan akibat bahwa bila pihak kedua kemudian menyatakan menerima (kabul), akad dipandang telah terjadi.[14]
        Dari syarat-syarat di atas dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang berakad harus benar-benar merupakan orang yang cakap melakukan tindakan hukum. Dengan demikian, tidak sah akad yang dilakukan oleh orang gila ataupun anak kecil yang belum mencapai tamyiz. Hal ini sesuai dengan sabda nabi:
رفع القلم عن ثلاثة : عن النّائم حتّى يستيقظ وعن الصّغير حتّى يكبر وعن المجنون حتىّ يعقل أو يفيق      [15]   
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa ijab dan kabul dinamakan sigat al- ‘aqd yaitu suatu perkataan yang menunjukkan kehendak kedua bela pihak. Dengan kata lain, sigat al- ‘aqd adalah cara bagaimana ijab dan kabul yang merupakan pernyataan kehendak itu dinyatakan.
                Menurut Ahmad Azhar Basyir, sigat akad dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya ijab dan kabul, dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan kabul.[16]
d.    Sigat secara lisan.
Merupakan cara alami untuk menyatakan keinginan hati seseorang. Oleh karena itu, telah dipandang sah atau terjadi apabila ijab dan kabul dinyatakan secara lisan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun mengenai bahasa yang dipergunakan tidak terikat oleh aturan-aturan khusus asal dapat dipahami oleh pihak-pihak di dalamnya, agar tidak menimbulkan perselisihan atau persengketaan di kemudian hari.



[1] Ahmad Warson Munawwir, al -Munawwir Kamus Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm.953.
[2] T.M. Hasbi ash- Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, cet. I, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm.26.
[3] ‘Abd ar- Razzaq as- Sanhury, Nazariyyah al- ‘Aqd, (Beirut: Dar al- Fikr, t.t. ), hlm. 83.
[4] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press, 2000), hlm. 65.
[5] Ibid, hlm. 66.
[6]An- Nisa’ ( 4  ) : 29.
[7] Al- Māidah ( 5 ) : 1.
[8] Imam at Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, ( Beirut: Dar al- Fikr, 1978 ), II : 403, hadis nomor 1363, Kitab al- Ahkam, Bab fi as- Sulh baina an- Nas. Hadis hasan sahih riwayat Tirmizi dari Kasir bin ‘Auf al Muzani dari ayahnya dari kakeknya.
[9] ‘Abd al- Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul Fiqh, cet. 8, ( Kuwait: Dar al- Qalam, 1978), hlm.88.

[10] Ibid, hlm.89-90.
[11] T.M. Hasbi ash- Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, hlm. 28-29.
[12] Al- Imam Muhammad Abu Zahrah, al- Milkiyyah wa Nazariyyah al- ‘Aqdi fi asy- Syari’ah al- Islamiyah, (Beirut: Dar al- Fikr, 1977), hlm.202.
[13] Ibid, hlm. 204.

[14] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum mu’amalat, hlm. 66-67.
[15] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah,  (Beirut: Dar al- Fikr, t.t. ) I : 629. Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ali Abi Thalib.
[16] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Mu’amalat, hlm. 68.

No comments: