Tuesday, October 26, 2010

Sejarah Paham Dualisme

SEJARAH PAHAM DUALISME
oleh: Muh Bahrul Ulum

Download> DISINI

A. Dualisme: Definisi dan Kelahirannya
Dalam diskursus filsafat, paham dualisme dianggap suatu varian dari paham idealisme. Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan adanya dua substansi yang mendasari dunia. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Dalam sejarahnya, kendati bentuk dari paham dualisme ini, dalam konteks kefilsafatan, telah ada sejak zaman Plato (427-347 SM), namun istilah dualisme sendiri baru secara umum digunakan sejak Thomas Hyde memperkenalkan istilah ini pada sekitar tahun 1700 untuk menunjuk kepada konflik antara baik dan jahat, yakni antara Omzard dan Ahriman, dalam Zoroastrianisme, doktrin masyarakat Iran kuno yang secara penuh terbentuk pada abad ke-7 SM.[1]
Doktrin dualisme ini secara khusus meresap ke dalam pemikiran masyarakat Yunani melalui orang-orang Persia, dan ajaran tersebut terutama dikenal lebih sebagai hal yang bersifat teologis daripada hal yang dapat dipahami secara filosofis, di mana pertentangan antara Omzard (Penguasa Kebajikan; disebut juga sebagai Ahura Mazda) dan Ahriman (Penguasa Kejahatan) ini dipercaya mengejawantah dan mendasari kejadian-kejadian di alam semesta yang merupakan medan pertempuran dari kedua roh besar itu.[2]
Adalah Christian Wolff (1679-1754), seorang filosof monis, yang kemudian menerapkan istilah tersebut secara resmi untuk menunjukkan oposisi metafisis antara pikiran dan materi. Istilah dualisme semenjak itu menjadi terminologi filsafat dan diterapkan pada banyak oposisi dalam agama, metafisika dan epistemologi.[3] Pada umumnya, dualisme diterapkan dalam konteks gagasan-gagasan yang menyangkut pengamatan terdalam mengenai keberadaan/hubungan antara jiwa dan raga.
Gagasan filosofis tentang dualitas jiwa dan raga berasal setidaknya sejak jaman Plato. Gagasan ini berhubungan dengan spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijaksanaan. Plato berpendapat bahwa "kecerdasan" seseorang (bagian dari pikiran atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik. Artinya, pikiran dan tubuh adalah dua entitas yang berbeda namun saling berhubungan dan keduanya sama-sama eksis,[4] satu sama lain tidak bersifat saling meniadakan.
Dualisme, pada umumnya, berbeda dengan monisme, mempertahankan perbedaan-perbedaan mendasar yang ada dalam realitas; antara eksistensi yang kontingen dan eksistensi yang absolut (misal: antara dunia dan Allah), antara yang mengetahui dan yang ada dalam bidang kontingen, antara materi dan roh (atau antara materi dan kehidupan yang terikat pada materi), antara substansi dan aksiden, dan lain sebagainya.
Dari sekilas uraian di atas maka, secara definitif, dualisme dapat dipahami sebagai pandangan filosofis yang menegaskan eksistensi dari dua bidang (dunia) yang terpisah, tidak dapat direduksi dan unik. Contoh: adikodrati/kodrati, Allah/alam semesta, roh/materi, jiwa/badan, dunia yang kelihatan/dunia yang tidak kelihatan, dunia inderawi/dunia intelektual, realitas aktual/realitas kemungkinan, dunia noumenal/dunia fenomenal, kekuatan kebaikan/kekuatan kejahatan, dan lain sebagainya. Dalam pandangan para penganut paham dualisme, alam semesta dapat dijelaskan dengan kedua bidang (dunia) itu.[5]

B. Dualisme Metafisis Plato
Adalah Plato (427-347 SM), yang tidak dapat dipungkiri merupakan salah seorang filosof terbesar yang pikiran-pikirannya juga sangat banyak meninggalkan pengaruh terhadap tradisi-tradisi filsafat setelahnya. Dalam kaitannya dengan tradisi filsafat Islam, jejak-jejak Neoplatonisme dapat dirasakan sangat kental dalam pemikiran berbagai tokoh, seperti Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037M), dan lain sebagainya. Pandangan-pandangan filsafat Neoplatonisme yang menekankan kesatuan yang tak terkatakan dan transendensi Tuhan dianggap banyak memiliki keserupaan / kecocokan dengan doktrin-doktrin agama (Islam) yang didasarkan pada wahyu, seperti halnya yang tertera di dalam al-Qur’an mengenai Żat Tuhan yang unik: ”Tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya,” (Q.S. 42 : 11). [6]
Atas dasar kemiripan dan kecocokan-kecocokan inilah maka gagasan-gagasan Plato yang mengakar kuat dalam tradisi filsafat Neoplatonisme kemudian dapat mengalir dengan derasnya dan segera menjadi warna yang dominan dalam dinamika pemikiran di dunia Islam. Untuk alasan ini pula, yakni karena pengaruhnya yang begitu mendalam pada filsafat Islam, maka penulis menganggap pentingnya meletakkan pembahasan mengenai Plato, khususnya tentang dualismenya, dalam suatu sub tersendiri dari bab ini.
Contoh klasik dari cara pandang mengenai realitas secara dualistik ini dapat kita temukan dengan gamblang dalam gagasan Plato mengenai “dua dunia”. Satu “dunia”, menurutnya, mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indera. Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan.[7] Air yang semula hangat akan menjadi dingin, bunga yang mekar akan menjadi layu, siang berganti malam, muda menjadi tua, yang hidup akan berakhir dan mati, dan seterusnya. Dunia inderawi ditandai oleh pluralitas. Dalam konteks ini cocoklah apa yang dimaksudkan oleh Plato dengan ajaran Herakleitos (hidup sekitar tahun 500 SM) mengenai perubahan yang senantiasa itu (panta rhei kai uden menei[8]).
Di sisi yang lain dari dunia jasmani tadi terdapat suatu dunia lain yang disebut sebagai “dunia absolut”, yang terdiri dari gugusan ide-ide yang sempurna. Dalam “dunia ideal” ini perubahan tidak terjadi; semuanya tetap dan abadi. Perlu ditekankan di sini bahwa ide-ide dalam pemahaman Plato memiliki maksud yang lain daripada arti yang dimaksudkan orang modern dengan kata “ide”.
Dalam pemahaman yang umumnya berkembang sampai saat ini, ide dipahami sebagai suatu gagasan atau tanggapan yang hanya berlaku di dalam alam pikiran saja. Jika demikian, maka apa yang disebut ide dalam pemaknaan modern sangatlah dekat dengan subjektifitas. Sebaliknya, dalam pandangan Plato, ide-ide adalah objektif. Mereka berdiri sendiri dan terlepas dari subjek yang berfikir. Jadi, suatu pemikiran bukan merupakan landasan bagi kemunculan ide-ide, malah sebaliknya, pemikiran itulah yang bergantung kepada ide-ide, dan pemikiran itu dimungkinkan justeru karena adanya ide-ide yang berdiri sendiri tersebut. Maka tidak heran jika bagi Pato proses berpikir sesungguhnya merupakan proses “mengingat kembali” terhadap Ide-ide yang telah ada di dalam dunia absolut tadi.
Sebagaimana dimaklumi, dunia filsafat pada masa-masa awalnya di Yunani merupakan reaksi yang ditujukan dalam rangka menolak sejumlah mitos yang berlaku dalam pandangan umum mengenai alam semesta (kosmos). Dalam pandangan masyarakat Yunani kuno, fenomena-fenomena alam dipahami dalam ketergantungannya terhadap sejumlah mitos. Petir yang menyambar, misalnya, atau peristiwa-peristiwa natural lainnya, dianggap sebagai dampak dari perbuatan dewa-dewa tertentu. Dari sini filsafat mengambil titik tolak sejarahnya.
Apa yang secara umum dilakukan dalam dunia filsafat pada saat itu adalah suatu upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dicerna akal mengenai misteri-misteri tedalam yang terkandung dalam realitas alam semesta. Maka kosmologi mendapat perhatian yang besar di masa-masa awal pemikiran filsafat, dan benar jika tokoh-tokoh filosof pada kurun waktu tertentu dalam periode filsafat Yunani (yakni pada kisaran paruh awal abad ke-5 SM) dikatakan sebagai filosof alam, mengingat bahwa tema besar dalam seluruh pembicaraan yang terjadi dalam filsafat pada masa itu berkutat di seputar wilayah pengetahuan tentang alam (kosmologi).
Berkenaan dengan gagasan Plato mengenai dunia Ide seperti yang telah dikemukakan di atas, memang boleh jadi bahwa pemikiran itu merupakan hasil dari rangkaian upaya pemecahan teka-teki mengenai apakah dasar dari keberadaan alam semesta, yang dalam konteks pertanyaan ini kita dapat melihat bahwa para filosof terdahulu sebelum Plato memahaminya sebatas hal-hal yang sifatnya kosmis dan material. Namun semenjak Plato, pemikiran mengenai kosmos segera mengalami lompatan dengan mulai dibicarakannya hal-hal yang berada di luar jangkauan inderawi. Dunia Ide adalah bentuk dunia yang berada di luar jangkauan inderawi itu.
Filsafat, sejak itu, mengalami banyak perubahan karekter, dari yang semula lebih bersifat kosmologis dan berkait erat dengan pengetahuan-pengetahuan inderawi, berubah ke arah pembicaraan akan hal-hal yang sifatnya tak kasat mata dan berada di balik fenomena yang fisik. Maka dari sinilah metafisika (studi mengenai hal-hal yang berada di balik / melampaui yang fisik) selanjutnya mendapatkan titik pijak; dan kendati istilah tersebut (metafisika) baru dikenal setidaknya pasca Aristoteles (384-322 SM)[9], namun gagasan tentang dunia Ide dari Plato tadi secara gamblang dapat kita lihat juga merupakan gagasan akan hal-hal yang melampaui dunia fisik. Dalam hal ini pembedaan antara hal-hal yang berada di luar keterjangkauan inderawi dan hukum-hukum fisis dengan hal-hal yang bersifat fisis telah menunjukkan terjadinya dualitas dalam filsafat Plato tersebut.
Dualisme, seperti yang telah dijelaskan tadi, sangat terlihat jelas dan begitu berpengaruh dalam keseluruhan konstruksi filsafat Plato, terutama pada bagian di mana ia membangun ajarannya tentang manusia. Cara pandang yang demikian itu secara kritis dikomentari oleh banyak pemikir, salah satunya seperti yang dikemukakan K. Bertens bahwa
“...Plato tidak berhasil menerangkan manusia sebagai kesatuan yang sungguh-sungguh, tetapi memandangnya sebagai “dualitas’: suatu makhluk yang terdiri dari dua unsur yang kesatuannya tidak dinyatakan. Dan memang begitulah pendapat Plato. Tubuh dan jiwa tidak merupakan kesatuan.”[10]
Gagasan Plato mengenai dua “dunia” itu menjuruskan pula pada pemikirannya mengenai pengenalan, di mana menurutnya pengenalan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pengenalan akan Ide-ide dan pengenalan tentang benda-benda jasmani (inderawi). Pengenalan, bagi Plato, selalu memiliki sifat-sifat yang sama dengan objeknya, dalam arti jika objek dari pengenalan merupakan hal-hal yang bersifat teguh, jelas, tak berubah dan abadi, maka pengenalannya pun bersifat demikian. Pengenalan yang tak terpengaruh oleh hukum-hukum perubahan dan kebaharuan ini adalah pengenalan jenis pertama, di mana objeknya adalah dunia Ide yang juga tak mengalami perubahan, statis dan mutlak.
Pengenalan jenis kedua, yakni pengenalan tentang benda-benda jasmani, memiliki sifat yang juga sama dengan objeknya: dinamis, selalu mengalami perubahan. Jika dibandingkan dengan pengenalan yang disebutkan pertama tadi, maka pengenalan jenis kedua ini dianggap lebih rendah karena ketidakmampuannya untuk menghasilkan kepastian. Plato menamakan pengenalan seperti ini sebagai doxa (pendapat, opinion).
Gagasan Plato tentang dua jenis “dunia” dan dua jenis pengenalan itu berkembang dan memengaruhi pandangannya tentang dualisme dalam diri manusia, yakni jiwa dan badan. Argumen-argumen utama Plato mengenai hal ini terdapat dalam karya-karyanya (berupa dialog) yang lebih awal. Menurutnya, jiwa ada sebelum kelahiran terjadi (praeksistensi jiwa). Ketika proses kelahiran terjadi, maka jiwa turun dan menempati tubuh. Namun demikian, meski jiwa dan tubuh telah menyatu dan saling terkait secara harmonis, keduanya tidak dapat dianggap sebagai kesatuan yang hakiki. Jiwa dan tubuh tetaplah dua hal yang berbeda, sedangkan kesatuan yang terjadi antara keduanya semata-mata merupakan aksiden saja.[11] Di sisi lain, Plato menganggap bahwa dalam kesatuan aksidental itu kepentingan jiwa lebih utama dari pada kepentingan tubuh –suatu konsekuensi logis dari pendapatnya yang mengatakan bahwa Ada yang hakiki itu ialah Ide-ide. Dalam sejarah filsafat, dualisme metafisis yang berasal dari Plato inilah bentuk tertua dari dualisme.

C. Dualisme Plato : Pengaruhnya dalam Ranah Pemikiran Islam
Sebelum membahas lebih lanjut pengaruh pemikiran Plato, dalam hal ini secara khusus berkenaan dengan dualismenya, kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud ranah pemikiran Islam. Kepentingan untuk menjelaskan hal tersebut adalah agar dapat dibidik secara tepat konteks yang relevan dengan tema sentral kajian ini.
Pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah ciri khas dari beberapa karateristik yang terkemuka dalam keseluruhan bangunan pemikiran Islam. Dalam hal ini yang penulis maksudkan adalah bahwa terdapat beberapa prinsip yang tidak sama yang berlaku pada masing-masing produk pemikiran dalam tradisi Islam. Misalnya, prinsip-prinsip yang berlaku dalam sistem yurisprudensi Islam (fiqh) tentu tidak dapat dibandingkan dengan prinsip-prinsip yang diterapkan dalam pemikiran teologi (kalām). Oleh karenanya perkara-perkara yang muncul dalam keseluruhan proses perkembangan pemikiran Islam sejak kelahirannya hingga saat ini mestilah diletakkan dan dikaji dengan memerhatikan konteks yang tepat relevansinya dengan masing-masing perkara tersebut.
Sachiko Murata membagi setidaknya ada tiga tradisi besar dalam pemikiran Islam, yakni tradisi fiqh, tradisi intelektual –yang dalam hal ini diasosiasikan dengan kalām– dan tradisi ḥikmah (tasawwuf).[12] Ketiganya masing-masing memiliki karakter dan sistem yang berbeda dalam memandang realitas, meski tidak dipungkiri bahwa dalam keseluruhan tradisi pemikiran itu al-Qur’an dan Hadis tetap menjadi pondasi utama yang sama-sama dipertahankan.
Mengikuti kategorisasi yang dipaparkan Murata, dengan memerhatikan pemetaan ketiga ranah tersebut, pengaruh filsafat pada umumnya –dan secara lebih khusus yakni paham dualisme– dalam konteks pembahasan ini dengan mudah dapat ditentukan relevansinya dengan perkembangan tradisi ḥikmah. Namun dalam diskursus keislaman sendiri, tidak jarang para sufi melancarkan kritik yang sangat pedas terhadap kalangan filosof sembari menegaskan posisi yang berbeda dari kalangan mereka –para filosof itu.
Para filosof, bagi kebanyakan kalangan sufi, dianggap terlalu dangkal memahami realitas hanya sebatas melalui rasio. Memang, seperti dijelaskan Murata, para ḥukamā’ (ahli ḥikmah) acap kali menggunakan bahasa filsafat dalam mengemukakan gagasannya; namun jelas bahwa dalam aturan main yang mereka terapkan akal (rasio) bukanlah pondasi bagi kebenaran yang dicari, melainkan mata batin yang jernih dan lurus yang berjalan dalam tuntunan agama. Posisi akal dalam tradisi ḥikmah ini dengan demikian semata-mata berfungsi sebagai alat pelengkap yang ketajamannya pun dapat dan boleh diungguli oleh ketajaman mata batin yang tersingkap (kasyf).
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka benar adanya apabila para ḥukamā’ disebut juga sebagai teosof[13] dan bukan teolog atau –lebih-lebih– filosof. Atau dengan kata lain, sistem filsafat yang menggunakan rasio sebagai pondasi dalam menemukan kebenaran, menurut hemat penulis sebaiknya diposisikan dalam –jika menggunakan istilah Murata– tradisi intelektual Islam, sebanding dengan posisi para ahli kalām, meski dalam beberapa hal tertentu filsafat dan teologi (kalām) juga memiliki perbedaan yang cukup signifikan.
Meskipun, seperti yang baru dijelaskan, pada sisi yang lain tidak terelakkan lagi bahwa banyak sufi yang menggunakan bahasa filsafat sebagai alat penjelas dan posisi mereka layaknya dipahami secara tersendiri dalam konteks pemikiran Islam. Akan tetapi betapapun berbedanya tradisi hikmah dengan tradisi filsafat pada umumnya, sumbangsih filsafat dalam meletakkan pondasi berupa buah-buah pemikiran yang terdahulu mestilah diakui. Lagi pula, usia filsafat jauh lebih tua dibandingkan Ibn ‘Arabī atau tokoh-tokoh ahli hikmah lain sebelum maupun sesudahnya, atau bahkan lebih tua dari Islam sendiri. Untuk itu, pembahasan tentang pengaruh filsafat dalam ranah pemikiran Islam tidak kehilangan urgensitasnya, mengingat dari sinilah tradisi pemikiran dalam dunia Islam berkembang ke arah yang lebih luas.

1.    Filsafat vis a vis Islam : Mencari Titik Temu Dua Tradisi
Secara historis, masuknya gagasan-gagasan mengenai cara pandang terhadap dunia (world view) yang dualistik, yang telah kita ketahui bahwa benihnya berasal  dari Plato, itu ke dalam konteks filsafat Islam tidak dapat dipahami melainkan dengan merujuk pada konteks pertemuan dunia Islam dengan tradisi-tradisi filsafat yang telah berkembang jauh sebelum kedatangan Islam sendiri.
Filsafat adalah suatu cara hidup yang ditemukan oleh orang-orang Yunani pada kisaran abad ke-6 SM sebagai upaya untuk memberikan pemahaman interpretatif tentang realitas manusia dan alam, serta bagaimana posisi manusia di dalamnya. Usaha pemahaman ini tidak didasarkan pada kepercayaan-kepercayaan yang ilusif dan supernatural-mitologis, tetapi bertolak dari kepercayaan kuat terhadap the power of human reason.[14]
Dalam hal penyebaran filsafat ke dunia Islam, Alexander Agung, seorang panglima perang yang juga murid Aristoteles, tak diragukan lagi memiliki peran sebagai tokoh kunci. Ekspansi besar-besaran yang dilakukannya terhadap negeri-negeri Timur, yang diawali dengan menaklukkan kerajaan Parsi pada tahun 331 SM, membuka keran pengetahuan yang luas bagi penduduk negeri-negeri taklukannya di kemudian hari. Dalam rentang waktu yang panjang, tradisi filsafat disebarluaskan ke seluruh wilayah taklukan, mulai dari Persia, Alexandria, Syria, Mesopotamia, dan sebagainya. Di berbagai wilayah-wilayah taklukan Alexander Agung dan penerus-penerusnya itulah filsafat tumbuh dan berkembang seiring pertemuannya dengan tradisi-tradisi baru yang dijumpai di masing-masing wilayah yang berbeda. Di antara wilayah-wilayah transmiter kultur Yunani itu, Alexandria menempati posisi terpenting sebagai wilayah di mana tradisi filsafat berkembang dengan sangat pesat hingga bahkan menyaingi Athena.
Poin penting dari Alexandria adalah bahwa kota ini berperan tidak hanya sebagai pusat kultur dan kesarjanaan Yunani, namun juga merupakan tempat terjadinya akulturasi besar-besaran antara kultur Yunani dengan kekuatan filsafatnya dengan kultur oriental (negeri-negeri Timur) dengan kekuatan mitologi dan mistisismenya. Hasil perkawinan antara kedua kultur ini merupakan cikal-bakal dari berkembangnya peradaban sintetik yang dikenal sebagai Hellenisme. Di sini pula lahir filosof-filosof Neoplatonis, salah satunya adalah Plotinus (lahir 200 M.), yang berpengaruh kuat dalam perkembangan paham itu berikutnya.
Seiring waktu, Islam pun datang dan dengan segera menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke daerah-daerah di mana tradisi Yunani itu telah bertumbuh-kembang berabad-abad sebelumnya. Salah satu momen penting di sini adalah penaklukan Alexandria, yang telah disebutkan tadi merupakan tempat tersubur bagi pertumbuhan tradisi Yunani di Timur. Sejak itulah proses akulturasi antara kultur Islam di satu sisi dan unsur-unsur Yunani dalam kultur Hellenisme Alexandria di sisi yang lain, terjadi secara lebih massif.
Jalan bagi terbentuknya filsafat Islam dibentangkan oleh dua lingkungan yang sama-sama meletakkan sendi-sendi kajian rasional Islam. Pertama, yakni lingkungan kaum penerjemah yang memasok dunia Islam dengan buah pemikiran klasik, baik yang berasal dari Timur maupun Barat. Gerakan penerjemahan Islam mengarah sedemikian rupa kepada hikmah dan filsafat, sehingga berhubungan dengan kebudayaan Hindu Persia dan menerjemahkan dari literatur-literatur Brahmanisme, Samaniyah, Zarathustra, Mazdakiyah dan Manaisme. Para penerjemah memberikan perhatian khusus kepada filsafat Yunani, sehingga dengan jasa merekalah dapat dikenal pendahulu-pendahulu Socrates, kaum Sophis, Stoa, Seneca dan tokoh-tokoh aliran Alexandria.
Lingkungan kedua yaitu lingkungan aliran-aliran teologis (kalam) Islam, di mana dalam kaitannya dengan perkembangan filsafat Islam, kelahiran aliran Mu’tazilah pada sekitar permulaan abad kedua Hijrah di Basrah[15] memiliki peran sangat penting, terutama disebabkan oleh keteguhan prinsip rasionalnya dalam menanggapi problem-problem teologis. Kelompok-kelompok aliran kalam, sejak tahun-tahun terakhir abad pertama Hijrah, mengangkat ke permukaan persoalan-persoalan filsafat, di antaranya pertentangan antara determinisme (jabbariyyah) dan indeterminisme (qadariyyah), mortalitas atau immortalitas jiwa, dan sebagainya, termasuk problematika alam dan manusia. Melalui hal tersebut muncullah pembedaan-pembedaan antara ada dan tiada, substansi dan aksidensi, zat dan sifat, tubuh dan jiwa, baik dan buruk, dan seterusnya.[16] Dari sini kita bisa melihat terjadinya pembauran antara teologi dan filsafat, atau lebih dari itu, berbeda dengan sejarah kelahiran filsafat Yunani yang berangkat dari pemberontakan atas mitos-mitos, dapat kita saksikan bahwa filsafat Islam terbentuk justeru untuk menanggapi –dan di lain sisi dipakai untuk menjelaskan– problem-problem teologis yang mengemuka setelah terjadinya kekosongan posisi otoritatif dalam wilayah keagamaan sepeninggal Rasulullah SAW.
Filsafat lahir di dunia Islam, pada satu sisi, sebagai keniscayaan sejarah dan konsekuensi logis dari pertemuan serta dialog peradaban antara Islam, Yunani dan Paganisme, dan, pada sisi yang lain, menjadi tuntunan interpretasi atas problematika realitas dan “kewahyuan”, sehingga memungkinkannya untuk tumbuh dan berkembang secara subur. Keterbukaan budaya Islam merupakan alasan bagi proses perkembangan pemikiran filosofis, di mana watak liberalnya mendorong pemikir-pemikir Islam untuk terus-menerus merekonstruksi gagasan-gagasan filosofis yang telah terdahulu dengan tidak mengabaikan dimensi naql (wahyu). Disertakannya dimensi naql inilah yang merupakan ciri khas dari filsafat Islam hingga saat ini. Maka tidak salah jika, dalam sudut pandang tertentu, filsafat Islam disebut juga sebagai teosofi.
Pertemuan dua tradisi, yakni Islam di satu sisi dengan keyakinannya akan kekuatan wahyu, dengan tradisi filsafat (yang berasal dari Yunani) yang meyakini kekuatan akal pikiran, menimbulkan suatu pembauran yang unik, di mana kedua hal tersebut (wahyu dan akal) tidak dibiarkan saling menegasikan satu sama lain, melainkan dipadukan sedemikian rupa sehingga muncullah apa yang –meminjam (dengan memodifikasi) istilah Majid Fakhry– disebut sebagai produk unik genius-genius Islam[17], yakni filsafat Islam itu sendiri.
Dalam perkembangannya pada saat itu, tentu pro dan kontra mewarnai proses kelahiran filsafat Islam, baik itu berupa pro dan kontra dalam hal saling menanggapi argumentasi-argumentasi filosofis yang dikemukakan oleh berbagai pemikir, atau pun pro dan kontra dalam hal perlu-tidaknya (atau absah-tidaknya) sistem pemikiran filsafat dimasukkan dan menjadi bagian dalam diskursus keislaman[18]. Namun apa yang dilakukan para pemikir muslim pada saat itu dengan mengambil bagian dalam diskursus filsafat (dan dengan demikian berarti mempelajari serta mengembangkannya pula) adalah dalam rangka menerjemahkan atau menemukan sisi-sisi rasional dari kebenaran naqliyyah yang termuat dalam ajaran-ajaran agama. Maka dalam konteks inilah filsafat diterima sebagai suatu jalan untuk dapat memahami dan menerima kebenaran wahyu (agama) tanpa perlu –seperti diungkapkan oleh Alim Ruswantoro– meloncat kepada kepercayaan-kepercayaan yang bersifat ilusif dan irasional[19], dan agar kebenaran wahyu tidak hanya bisa “berbicara” lewat keyakinan akan tetapi juga rasio.

2.    Dualisme Plato : Pengaruhnya dalam Filsafat Islam
Ajaran-ajaran Platonik menjejakkan pengaruh sangat kuat dalam sejarah pemikiran (filsafat) di dunia Islam. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berasal dari pemikirannya itu lebih kuat memberikan pengaruh terhadap pemikir-pemikir muslim dengan kecenderungan mistis. Hal ini dapat dimaklumi jika kita lihat bahwa dalam filsafat Plato, yang selanjutnya mengejawantah dalam Neoplatonisme, hal-hal yang berada di luar wilayah jangkauan nalar –yakni mitos-mitos– juga turut diberi ruang untuk memberikan corak khas filsafatnya.
Berkaitan dengan mitos-mitos yang turut berperan dalam konstruksi filsafatnya itu, tidak berarti Plato berbalik dari logos dengan memulihkan kembali mythos. Sebagai seorang filosof, Plato tentu mengedepankan pertimbangan-pertimbangan rasional sembari mengeliminasi mitos-mitos Yunani purba yang tidak dapat diterima akal. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh K.Bertens,
“...Plato berpendapat bahwa mitos tidak bertentangan mutlak dengan rasio. Ada juga mitos yang mempunyai unsur-unsur kebenaran dan karena itu dapat dipergunakan dalam uraian filosofis. Acapkali terjadi bahwa rasio menemui perbatasan yang tidak dapat dilampaui. Justeru, di sinilah mitos memberanikan diri untuk masuk wilayah-wilayah yang tidak dikenal. Khususnya mitos dipakai untuk mengemukakan dugaan-dugaan mengenai hal-hal adiduniawi dan nasib jiwa.”[20]

Pada titik ini dapat dibenarkan adanya pendapat bahwa ajaran filsafat Plato juga bercorak mistis, atau setidaknya memberikan peluang bagi berkembangnya interpretasi-interpretasi mistis terhadap gagasan-gagasannya. Lebih-lebih jika mempertimbangkan kedekatan Plato dengan filsafat Sokrates yang cenderung bercorak sofistik itu, maka kesan “mistisisme” dalam Plato itu memang dapat dimaklumi adanya.[21]
Keterbukaan filsafat Plato terhadap dimensi-dimensi mistis itu terlestarikan dalam kurun yang sangat panjang dalam tradisi-tradisi Neoplatonisme. Hal itulah yang juga menjadi salah satu faktor, mengapa pemikiran-pemikirannya dapat diterima serta memberikan pengaruh yang kuat bagi banyak pemikir muslim. Dalam Neoplatonisme, Leaman menulis;
“...ada penekanan pada satu Wujud atau Sumber Utama yang darinya alam semesta tercipta secara sedemikian rupa sehingga tidak merusak kesatuan mutlak Sang Mahatunggal tersebut. Masalah filosofis ini mengimak masalah teologis yang muncul dalam konteks Islam, yaitu bagaimana kita bisa mendamaikan keesaan Tuhan dengan keragaman eksistensi tanpa mengorbankan sifat kesempurnaan dan kemandirian-Nya.”[22]

Sifat bawaan filsafat Neoplatonisme yang demikian itu terbukti telah menyediakan himpunan prinsip yang berguna bagi para filosof muslim meski tak dapat diingkari bahwa pada fragmen-fragmen tertentu dari ide-ide Neoplatonik terkadang juga menimbulkan gesekan maupun kontradiksi dengan ajaran Islam sendiri.
Mengenai filsafat Neoplatonisme ini, dalam kaitannya dengan fokus utama penulis dari skripsi ini, yang perlu ditekankan yaitu bahwa, seperti yang telah terkemuka di atas, pengaruh ajaran-ajaran Plato yang masuk dengan berbagai cara ke tengah-tengah wilayah pemikiran di dunia Islam itu, diakui atau tidak, telah berperan secara sangat signifikan dalam rangka turut menginspirasi dan memberikan bentuk yang khas terhadap karakteristik filsafat Islam selama proses perjalanannya.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa corak dualisme yang ada dalam konteks filsafat Islam sesungguhnya memiliki akar historis yang absah terkait dengan simbiosis yang terjadi antara ajaran-ajaran Neoplatonisme dengan tradisi pemikiran yang hidup di dalam Islam itu sendiri. Dengan kata lain, ada dasar yang kuat untuk mengatakan bahwa di dalam tradisi pemikiran Islam, melalui berbagai tokohnya, dualisme, atau setidaknya cara pandang yang bercorak dualistik, itu pun bertahan meski harus mengalami modifikasi, reorientasi atau rekonstruksi sedemikian rupa.
Di tengah perdebatan panjang yang terjadi di kalangan mutakallimin dan para filosof mengenai persoalan-persoalan mendasar yang menyangkut juga diskursus keislaman itu, filsafat memperkenalkan bahasa dan cara pandang yang berbeda untuk menjelaskan atau memberikan jalan keluar terhadap persoalan-persoalan itu –suatu alternatif untuk mencari jawaban, kendati jawaban-jawaban filosofis tidak selalu dapat diterima seutuhnya guna menghentikan perselisihan dari berbagai pihak yang terus berlangsung bahkan hingga saat ini.
Seiring itu juga, pemilahan atau pembedaan-pembedaan dalam berbagai hal dirasa penting untuk dilakukan dalam rangka mencapai pemahaman yang mendetail dan sempurna (atau setidaknya mendekati itu) tentang fenomena-fenomena yang terjadi di alam semesta, baik dalam kaitannya dengan manusia (antropologis), perilaku keseharian (moral), maupun tentang kenyataan terdalam dan hakiki dari segala sesuatu (ontologis, metafisik). Jiwa dibedakan dari tubuh, kebahagiaan dipertentangkan dengan derita sebagaimana kebaikan dan keburukan, dosa di satu sisi dan pahala di sisi lain, Ada yang mutlak tidak sama dengan Ada yang potensial, tanzīh berlawanan dengan tasybīh, dan seterusnya.
Menarik untuk menyinggung lebih lanjut persoalan yang baru saja disebutkan terakhir, yakni tentang tanzīh dan tasybīh, kaitannya dengan pendapat kaum Mu’tazilah. Poin pentingnya adalah bahwa persoalan tanzīh dan tawḥīd (penyucian dan pengesaan) yang diusung dalam pemikiran kaum Mu’tazilah ini benar-benar mengundang perdebatan hebat di antara para teolog muslim, dan lebih dari itu persinggungan yang terjadi antara argumen-argumen mereka (Mu’taziliyyūn) –yang diklaim sebagai upaya pengesaan Tuhan yang paling rasional dan sempurna– dengan pendapat-pendapat kaum dualis maupun pluralis merupakan hal yang layak disimak dalam korelasinya dengan tema besar tulisan ini.
Dalam rentang waktu yang panjang, para teolog Mu’tazilah mengutak-atik persoalan ketuhanan ini dari berbagai aspeknya, dan mereka berhasil menyuguhkan pandangan baru, unik, sekaligus mengguncang teori-teori ketuhanan terdahulu yang, dapat dikatakan, telah mapan. Teori ketuhanan Mu’tazilah ini tersimpul dalam problematika sifat-sifat Allah. Untuk memurnikan keesaan Allah (tanzīh), kaum Mu’tazilah menolak konsep bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat, dan penggambaran fisik (tajassum, antropomorfisme) tidak dapat diterapkan dalam rangka mengenalNya. Penolakan ini berasal dari anggapan mereka bahwa sifat adalah sesuatu yang dilekatkan, dan apabila dianggap bahwa sifat-sifat Allah itu adalah qadīm, berarti ada dua hal yang sama-sama qadīm, yakni dzat dan sifatNya. Kaum Mu’tazilah tidak dapat menerima hal ini dan mereka menganggap itu merupakan perbuatan syirik.[23] Untuk itu mereka benar-benar menyucikan Allah dari materi dan segala aksidensia.
Kaum Mu’tazilah memfilsafatkan sedemikian rupa doktrin-doktrin keesaan Allah, yang mengingatkan kita kepada teori yang dikemukakan oleh Plotinus[24], salah seorang tokoh Neoplatonisme dari Alexandria. Maka Allah bukanlah jisim dan juga bukan materi; bukan substansi atau pun aksiden; bukan bagian juga bukan keseluruhan. Allah tidak memiliki kesamaan apapun dengan makhluk (mukhālafat li al-ḥawādiṡ). Pandangan ini mengandung argumentasi yang menghancurkan klaim argumentasi orang-orang yang mengemukakan teori dualisme dan pluralisme. Namun demikian, kendati melakukan penolakan terhadap teori / doktrin sifat-sifat Tuhan sebagai upaya tanzīh dan tauhid, kaum Mu’tazilah tetap menerima bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat yang esensial, yakni berkaitan dengan pengetahuan dan kekuasaan (al-‘Ilm dan al-Qudrah). Sifat-sifat yang lain tereduksi dalam kedua sifat esensial tersebut. Menurut Al-Jubbā’ī, sifat-sifat ini merupakan aspek dzat yang kadim; menurut Abū Hāsyim, sifat-sifat itu adalah modus-Nya. Pada sisi lain, Abū Husain Al-Bashrī cenderung mereduksi semua sifat menjadi satu, yakni pengetahuan.[25] Keberatan-keberatan banyak ditujukan terhadap argumentasi Mu’tazilah tersebut, terutama oleh kaum ortodoks yang menganggap kebenaran adanya sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah disebutkan dalam berbagai ayat Al-Qur’an.
Persoalan yang diketengahkan dalam upaya menegakkan tanzīh dan tauhid ini sungguh merupakan persoalan yang pelik. Di satu sisi, segala bentuk dualisme dan pertentangan-pertentangan dalam wilayah ontologis berusaha dihilangkan dengan menolak segala atribut bagi Tuhan serta menolak segala bentuk tasybīh. Prinsip ini meniscayakan pemahaman bahwa antara Tuhan dan makhluk terdapat dinding pemisah yang begitu jauh dan tak tertembus. Perbuatan manusia tidak ditentukan oleh takdir (indeterministik, bebas berkehendak), sebab Tuhan “di sana” dan makhluk “di sini”. Keduanya unik dan tidak dapat direduksi satu sama lain, dalam arti bahwa makhluk tidak dapat dianggap sebagai bagian dari wujud-Nya, atau –lebih-lebih– sebaliknya. Dunia-Nya eternal, tak berkaitan dengan ruang dan waktu, sedangkan alam semesta terbatas dalam ruang dan waktu (temporal). Dalam konteks ini, aspek-aspek dualisme dari filsafat Plato ditampilkan dalam wilayah teologis, sehingga nuansa filosofisnya menjadi tidak terlalu kentara.
Lebih lanjut, di sisi lain, persoalan dalam prinsip tersebut adalah bagaimana mungkin yang Eternal itu dapat dikatakan berhubungan dengan yang temporal jika tidak ada sama sekali aspek-aspek yang berasal dari-Nya yang dapat dikenal dan mengejawantah dalam ruang dan waktu? Hubungan antara Tuhan (eternal) dan makhluk (temporal) itu sendiri tidak dapat dipungkiri terejawantah dalam berbagai hal. Turunnya firman (kitab suci), betapapun itu dipahami sebagai makhluk, tetap merupakan bukti keterhubungan antara Tuhan dengan makhluk, dan dalam keterhubungan itu aspek-aspek tertentu dari keduanya (Tuhan dan makhluk) mestilah memiliki kesamaan. Jika kesamaan itu tidak terdapat sama sekali, maka menjadi mustahil kalām Tuhan dapat memberikan pemahaman bagi manusia. Artinya, tasybīh tidak dapat ditolak dalam kondisi ini. Namun harus ditekankan bahwa tasybīh itu hanya terjadi pada sebagian aspek, bukan keseluruhan. Artinya, di sisi yang berbeda, tanzīh tetap berlaku dan dengan demikian dualisme tetap memiliki posisi yang tak dapat dihilangkan. Maka tepatlah kiranya bahwa, seperti dikatakan Lovejoy, pintu keluar dari dualisme tertutup bagi siapapun yang berpikir realistis.[26]
Jejak dualisme Platonik dengan nuansa yang lebih filosofis dalam ranah pemikiran Islam dapat terlihat dari berbagai gagasan para filosof muslim. Salah satu contoh yang paling tegas menyatakan hal ini adalah pemikiran salah seorang filosof penerus terkemuka dari al-Kindī, yakni Abū Bakr al-Rāzī (w. 925/935). Dengan pemikiran filsafatnya, al-Rāzī dianggap sebagai seorang Platonis Islam terbesar. Unsur dualisme dari filsafat Plato dapat terlihat dalam pemikirannya yang menandaskan materi dan jiwa sebagai prinsip kekal yang pada dasarnya terpisah satu sama lain. Ia berpendapat bahwa persatuan antara jiwa dan materi terjadi karena adanya dorongan cinta (‘isyq). Tubuh dianggapnya tidak musnah bahkan setelah terjadinya kematian (terpisahnya kembali jiwa dari unsur materi), melainkan ia kembali lebur ke dalam hakikat materi seperti semula. Tidak hanya itu, al-Rāzī bahkan meyakini terjadinya reinkarnasi setelah terjadinya kematian. Gagasan ini merupakan konsekuensi logis yang lahir dari pemikiran tentang keabadian materi.[27]
Setelah al-Rāzī ini nuansa filosofis dari pengaruh Yunani dengan dua guru terbesarnya –yakni Plato dan Aristoteles– semakin menampakkan diri. Gagasan-gagasan ontologis dan kosmologis dalam pemikiran al-Fārābī (w. 950),  merupakan penekanan lebih lanjut terhadap aspek-aspek metafisis dan kosmologis neoplatonisme.[28] Begitu pula yang terdapat dalam pemikiran Ibn Sīnā (980-1037); pendapatnya yang menyatakan adanya ide-ide abstrak yang dengannya manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan, menyiratkan secara jelas pengaruh dualisme Plato mengenai dunia Ide dan dunia fisik. Senada dengan Plato yang menyatakan bahwa manusia tidak mendapatkan pengetahuan apapun melainkan dengan cara mengingatnya dari yang telah ada dalam dunia Ide, Ibn Sīnā menandaskan bahwa ketika seseorang mengetahui, maka sesungguhnya ide-ide abstrak telah mewujud ke dalam pikirannya. Wahana apapun yang dimiliki manusia untuk memperoleh ide-ide tersebut berasal dari ide-ide itu sendiri, bukan dari pikiran manusia mengenai alam.[29]
Namun di sini perlu ditekankan bahwa betapa pun nuansa spekulatif khas filsafat terasa kental dalam tradisi pemikiran yang kemudian disebut sebagai filsafat Islam itu, persoalan intinya tetap tidak beranjak sepenuhnya dari problematika teologis yang mengemuka. Artinya, di sinilah letak keunikan filsafat Islam, di mana filsafat dipadukan sedemikian rupa dengan otoritas wahyu/agama sehingga mau tidak mau unsur teologis dari masing-masing pemikiran dalam ranah ini tidak dapat diabaikan. Menurut Ibrahim Madkour, pendapat-pendapat para filosof Islam memang ada kemiripannya dengan pendapat-pendapat lain dalam sejarah klasik, tetapi pada hakikatnya problematika yang dihadapinya secara primer berbeda dengan yang dihadapi para filosof terdahulu. Problematika yang dihadapi oleh para filosof Islam sejatinya tersulut oleh berbagai aliran kalamiah di sekitar masalah itu. Maka dalam rangka itulah, dengan kemampuan yang ada, para filosof Islam berusaha untuk memadukan akal dengan agama.[30]

3.    Dualisme : Persinggungannya dengan Sufisme
Sesungguhnya cara pandang dualistik dalam sufisme telah terjadi sejak masa-masa awal tradisi itu terbentuk. Sebagaimana diketahui, sufisme dalam dunia Islam pada mulanya lahir dari ‘tren’ zuhud yang merupakan gaya hidup yang khas di saat kebanyakan umat Islam menikmati kemewahan dan euforia dari terciptanya imperium yang luas, serta sebagai aksi penentangan terhadap gaya hidup hedonistik yang ditunjukkan oleh para penguasa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang tidak sesuai dengan pedoman agama.[31] Para zāhid pada saat itu gencar melakukan boikot terhadap realitas yang melenceng dari tuntunan agama dengan cara meninggalkan keramaian dan kehidupan duniawi lainnya. Dengan cara demikian mereka mengidealkan suatu tata kehidupan yang rohaniah, di mana spiritualitas menjadi barometer utama bagi segala sesuatu. Hal-hal yang bernuansa fisikal dan material dianggap sebagai penghalang untuk memasuki dunia ideal, dan oleh karena itu sebaiknya dijauhi dan ditinggalkan.
Sikap penolakan terhadap hal-hal duniawi ini menjadi ciri khas dari kehidupan para sufi di masa-masa awal, sekitar paruh kedua dari abad pertama Hijriah. Tokoh-tokoh yang terkenal dalam generasi pertama dari para sufi itu antara lain adalah Hasan al-Basrī (w. 110 H) dan Rabī’ah al-‘Adawiyyah (w. 185 H). Mereka terkenal sebagai orang-orang yang memilih hidup melarat namun bahagia di jalan Allah.
Sampai pada titik ini kita dapat melihat cara pandang yang berlaku dalam tradisi tasawuf merupakan cara pandang yang dualistis terhadap realitas. Di satu sisi kaum sufi melihat suatu dunia ideal yang harus dituju, di mana pada titik itulah kebahagiaan yang sejati akan didapatkan, sementara di sisi lain mereka melihat dunia ini beserta segala unsur fisikal dan materialnya sebagai dinding penghalang akan pencapaian kebahagiaan sejati itu. Pada titik ini dualitas cara pandang mereka menghasilkan sikap yang negatif terhadap salah satunya, yakni terhadap kehidupan duniawi –meski dalam kenyataannya hal itu, toh, tidak dapat dihindari.
Dikotomisasi secara ekstrem terhadap dunia dan akhirat akhirnya melahirkan beragam penentangan, sebab dengan jalan demikian banyak orang yang menganggap ketidakpedulian terhadap dunia sebagai suatu tindakan yang absah atas nama kepentingan akhirat. Peran syari’at, dengan begitu, akan dapat terabaikan dari kehidupan beragama. Inilah yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan, utamanya para fuqahā’ (ahli hukum).
Pada abad ke-2 Hijriah mulai terbentuk ilmu tasawuf, dan baru menjelang akhir abad ke-2 Hijriah sebagian zāhid mulai mengemukakan pandangan-pandangan zuhudnya secara filosofis.[32] Pada masa itu tersebutlah Abū Yāzid al-Bisṭāmī (w. 261 H) dan Manṣūr al-Ḥallāj (w. 306 H) sebagai dua orang di antara tokoh sufi generasi kedua yang paling fenomenal karena gagasan dan sikap-sikapnya yang sangat kontroversial dan tidak memedulikan pendapat para ulama’. Pada fase ini pengaruh-pengaruh dari pandangan filsafat klasik mulai bersentuhan dengan dunia pemikiran para sufi.
Beberapa abad kemudian, al-Ghazālī (w. 505 H) melancarkan kritiknya terhadap model pemikiran tasawuf yang bernuansa filosofis itu. Ia mengemukakan kritiknya yang sangat tajam itu melalui Taḥāfut al-Falāsifah dan membangun argumennya untuk menjembatani antara tasawuf dan syari’at dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Namun setelah dilancarkannya serangan telak al-Ghazālī, di mana ini dianggap sebagai titik kematangan dan sekaligus kemenangan tasawuf sunni, tasawuf falsafi tidak kehilangan eksistensinya. Justeru pasca al-Ghazālī perkembangan tasawuf falsafi makin signifikan, terutama di kalangan para sufi generasi keenam, beberapa abad setelah al-Ghazālī. Dari generasi keenam ini bahkan ada salah seorang sufi dan sekaligus pendiri tarikat, yakni Ibn Sab’īn (614-669 H), yang mencantumkan beberapa nama filosof Yunani dalam silsilah tarikatnya, di antaranya Plato dan Aristoteles. Ibn ‘Arabī sendiri, yang dianggap sebagai syaikh terbesar di kalangan para sufi, berasal dari generasi keenam ini, semasa dengan Farīd al-Dīn al-‘Aṭṭār (w. 627 / 628 H), Ṣadr al-Dīn al-Qūnawī (w. 673 H) dan Jalāl al-Dīn Rūmī (w 672 H). []



[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.1188
[2] Lihat : Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2002), hlm.628.
[3] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.175
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Dualisme#cite_note-Hart-0
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.174
[6] Lihat: Alim Ruswantoro, Pertemuan Kebudayaan Islam dan Yunani: Mencari Benang Merah Makna Transendental Filsafat Islam, dalam Jurnal Filsafat POTENSIA Vol.1 No.1 (BEMJ-AF Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2002),hlm.14
[7] K.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm.131
[8] Tidak ada sumber yang memastikan bahwa ungkapan ini benar-benar secara harfiah dikutip langsung dari Herakleitos, namun, dalam tradisi filsafat, ungkapan populer yang menegaskan kesinambungan perubahan ini seringkali dihubungkan dengan ajaran filsafatnya. Ungkapan di atas memiliki makna: “Segalanya mengalir dan tidak ada yang tinggal mantap (tidak berubah).” Lihat : K.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm.55
[9] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.623-633
[10] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm.139
[11] Bandingkan : Leslie Stevenson dan David L.Haberman, Sepuluh Teori Hakikat Manusia, terj. Yudi Santoso dan Saut Pasaribu (Yogyakarta: Bentang, 2001), hlm.144-145
[12] Lihat: Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti dan MS. Nasrullah (Bandung: Mizan, 1992), hlm 22-25. Dalam hal ini Nurcholish Madjid sependapat dengan Murata, namun ia menambahkan satu lagi ranah pemikiran yang berkembang dalam Islam, yakni ranah filsafat. Lihat: Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, cet.IV, 2000), hlm.201. Murata tidak banyak menyebutkan tentang ranah pemikiran filsafat dalam Islam secara spesifik, namun jika ditilik dari berbagai penjelasannya, agaknya ia menganggap bahwa ranah tersebut, yakni filsafat, termasuk dalam tradisi hikmah. Menurutnya, dalam tradisi hikmah para mistikus atau sering disebut “sufi” lebih terbuka dan tidak membatasi diri terhadap apa yang tersurat dan interpretasi- interpretasi artifisial. Lagi pula, masih menurutnya, batas antara filsafat dan tasawwuf teoritis sering kali sulit ditentukan. Ini terbukti dari banyaknya tokoh yang sering disebut sebagai para filosof Islam (di antaranya Murata mencontohkan Baba Afdhal Kasyani, Suhrawardi dan Mulla Shadra) menggunakan bahasa filsafat dalam mengemukakan gagasannya, namun memiliki visi yang sama dengan inti yang terdapat dalam pendekatan sufi.
[13] Istilah teosofi ini dibuat dengan mengacu kepada sistem pemikiran tertentu dari Timur, yang menekankan clairvoyance (kewaskitaan) dan telepati. Lihat: Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.1101; dalam tradisi hikmah yang berkembang dalam Islam, kemampuan clairvoyance tersebut dikenal juga dengan kasyf.
[14] Richard Walzer, dalam Alim Ruswantoro, Pertemuan Kebudayaan Islam dan Yunani: Mencari Benang Merah Makna Transendental Filsafat Islam, dalam Jurnal Filsafat POTENSIA Vol.1 No.1 (BEMJ-AF Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2002),hlm.6
[15] Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), hlm.43
[16] Lihat: Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm.115
[17] Majid Fakhry, The Arabs and The Encounter with Philosophy, dalam Therese-Anna Druart (ed.), Arabic Philosophy and The West, (Washington: Center for Contemporer Arab Studies, Georges Town University, 1988), hlm.1. Dalam tulisannya tersebut Majid Fakhry menyebut filsafat sebagai “produk unik genius-genius Yunani”, istilah yang menurut hemat penulis cocok pula untuk dikenakan terhadap filsafat Islam sebagai “produk unik genius-genius Islam”.
[18] Dalam hal ini, penerimaan akan hadirnya filsafat ke tengah-tengah pemikiran Islam dilakukan oleh kelompok yang menganggap bahwa wisdom Yunani itu tidak dapat dipandang sebelah mata dan kekuatan rasionalitasnya dianggap penting sebagai fundamen, atau setidaknya salah satu perangkat, bagi interpretasi terhadap doktrin-doktrin agama, sehingga para penganutnya tidak akan terjerumus ke dalam fanatisme yang irrasional. Sedangkan di pihak lain, ada juga kelompok yang berpendapat bahwa di dalam Islam sendiri metode-metode atau perangkat-perangkat yang dibutuhkan untuk menjelaskan apa dan bagaimana Islam itu sendiri sudah cukup sehingga filsafat sebagai sesuatu yang asing (non-Islam) tidak dibutuhkan keberadaannya di dalam konteks pemikiran keislaman.
[19] Lihat: Alim Ruswantoro, Pertemuan Kebudayaan Islam dan Yunani: Mencari Benang Merah Makna Transendental Filsafat Islam, dalam Jurnal Filsafat POTENSIA Vol.1 No.1 (BEMJ-AF Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2002),hlm.4
[20] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm.127-128
[21] ibid., hlm.123
[22] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001), hlm.4
[23] Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm.81
[24] Menurut Plotinus, semua yang wujud ini tidak sama tingkat kesempurnaannya menurut  dekat atau jauhnya dari wujud yang tertinggi, wujud keesaan yang sempurna (yakni Tuhan), yang esa sama sekali dari segala segi. Lihat : Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), hlm.100
[25] Al-Syahrastānī, Al-Milal wa Al-Nihal, terj.Syuaidi Asy’ari (Bandung: Mizan, 2004), hlm.88
[26] Arthur O. Lovejoy, The Revolt Against Dualism (USA: Open Court Publishing Company, 1930), hlm.264
[27] Lihat: Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, cet.II, 2002), hlm.34-39
[28] Lihat: Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, cet.II, 2002), hlm.48
[29] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001), hlm.74
[30] Lihat: Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin (Jakarta: Bumi Aksara, cet.III, 2004), hlm.238
[31] Muhsin Labib, Mengurai Tasawwuf Irfan dan Kebatinan (Jakarta: Lentera, 2004), hlm.40
[32] Muhsin Labib, Mengurai Tasawwuf Irfan dan Kebatinan (Jakarta: Lentera, 2004), hlm.41

No comments: