A. Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan tenang).[1]
Jadi euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk mati ini secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan. Bagi yang setuju menganggap euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi, sementara yang tidak setuju menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika dan agama.
Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah ratusan tahun dipertanyakan. Sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu telah mencoba membahas euthanasia dari berbagai sudut pandang, namun demikian pandangan medis, etika, agama, sosial dan yuridis masih mengundang berbagai ketidakpuasan, sulit dijawab secara tepat dan objektif.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.[2]
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
Agar persoalan euthanasia ini dapat dibahas dengan sewajarnya sebaiknya arti kata-katanya diuraikan dengan lebih seksama lagi. Secara etimologis di zaman kuno berarti kematian tenang tanpa penderitaan yang hebat. Dewasa ini orang tidak lagi memakai arti asli, melainkan lebih terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan orang sakit atau orang yang berada pada sakarotul maut, bahkan kadang-kadang disertai bahaya mengakhiri kehidupan sebelum waktunya. Akhirnya kata ini dipakai dalam arti yang lebih sempit sehingga makna dan artinya adalah mematikan karena belas kasihan.[3]
Sejak abad ke-19, terminologi euthanasia dipakai untuk menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Pemakaian terminologi euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu:[4]
1. Pemakaian secara sempit
Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian.
2. Pemakaian secara luas
Secara luas, terminologi euthanasia dipakai untuk perawatan yang menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup diperpendek.
3. Pemakaian paling luas
Dalam pemakaian yang paling luas ini, euthanasia berarti memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien.
Beberapa ahli membedakan ketiga cara tersebut, tetapi pada hemat penulis apapun istilahnya ketiga cara tersebut adalah tindakan euthanasia.
Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:[5]
a. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi, euthanasia diartikan:
1). Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.
2). Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup pasien
3). Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa permintaan pasien.
b. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti:[6]
1). Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir.
2). Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat penenang.
3). Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah sebagai berikut:
1). Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
2). Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
3). Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
3). Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
4). Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
B. Macam-macam Euthanasia
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain.
Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif
Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. euthanasia aktif
2. euthanasia pasif
3. euthanasia volunter
4. euthanasia involunter[7]
- Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan:[8]
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan.
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
- Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
- Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri.
- Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis besarnya, yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.[9]
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas keputusan pemerintah.[10]
- Keadaan-keadaan yang Memungkinkan Dilakukannya Euthanasia
Euthanasia mempunyai arti yang berdekatan dengan “membiarkan datangnya kematian” (letting die). Dalam literatur, euthanasia dibedakan antara yang aktif dan yang pasif. Euthanasia aktif diartikan melakukan suatu tindakan tertentu sehingga pasien meninggal, misalnya dengan mengakhiri pemberian nafas buatan melalui respirator atau mencabut ventilator dalam arti penghentian pemberian pernafasan artifisial. Sedang euthanasia pasif diartikan sebagai tidak dimulainya melakukan tindakan untuk memperpanjang hidupnya, tetapi yang tidak begitu bermanfaat lagi, bahkan akan menambah beban penderitaan (not initiating life support treatment). Misalnya tidak memberikan shock terapi dan tidak menyambung pernafasan dengan ventilator sesudah pasien manula penderita jantung kronis yang mendapat serangan jantung untuk kesekian kalinya dan sudah tidak sadarkan diri untuk waktu yang agak lama.[11]
Seperti telah disebutkan pada awal tulisan ini, kemajuan dalam bidang ilmu dan tekhnologi kedokteran telah menambah beberapa konsep fundamental tentang mati. Kalau dahulu mati didefinisikan sebagai berhentinya denyut jantung dan pernafasan, maka dengan ditemukannya alat bantu pernafasan (respirator) dan alat pacu jantung (pace maker), maka seseorang yang oleh karena suatu hal mengalami henti nafas mendadak (respiratory arrest) atau henti jantung (cardiac arrest), masih ada kemungkinan ditolong dengan menggunakan alat tersebut, artinya pasien belum meninggal.
Persoalan yang kemudian timbul adalah sampai berapa lama orang itu bertahan dengan alat bantu tersebut. Keadaan semacam ini berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa di ketahui kapan akan berakhir, yang jelas kehidupannya tergantung kepada alat, dan kalau alat tersebut dicabut kemungkinan besar ia akan segera mati.
Secara medis sekarang diketahui jika rekaman otak masih menunjukkan fungsi yang baik, maka ada harapan orang tersebut akan siuman kembali, tetapi bila otak sudah tidak berfungsi, maka hampir tidak mungkin dia hidup tanpa bantuan alat tersebut, dengan kata lain dia hanya hidup secara vegetatif, yakni sel-sel tubuh saja yang masih menunjukkan tanda kehidupan. Dengan demikian sekarang dikenal istilah mati otak (brain death), yang menunjukkan bahwa otak sudah tidak berfungsi lagi.
Dalam keadaan seperti ini tidak jarang keluarga pasien meminta dokter untuk segera mengakhiri penderitaan pasien dengan cara melepas semua alat bantu, yang menjadi persoalan adalah: pertama, sampai hatikah seorang dokter dengan sengaja melepas alat bantu yang nota bene akan mengakhiri kehidupan seseorang?. Kedua, apakah dokter mempunyai hak untuk melakukan hal itu tanpa ia dikenai sanksi hukum?. Akan lebih rumit lagi apabila permintaan pasien (keluarganya) adalah dengan alasan sosial ekonomi (biaya) sehingga keluarga memaksa untuk membawa pulang pasien, pada yang terakhir ini jelas yang harus mencabut segala alat bantu adalah dokter (dokter yang bertanggungjawab).[xii]
Di Negara Belanda, tepatnya di daerah Rotterdam, seorang dokter tidak di hukum dalam melakukan euthanasia, Pengadilan Negeri Rotterdam mempunyai kriteria bahwa seorang dokter tidak dihukum dalam melakukan euthanasia, sebagai berikut:
- Harus ada penderitaan fisik atau psikis yang tidak terpikulkan dan dahsyat dialami pasien.
- Baik penderitaan ini maupun keinginan untuk mengakhiri kehidupan berlangsung tiada henti-hentinya.
- Pasien memahami betul situasinya sendiri maupun kemungkinan-kemungkinan alternatif yang tersedia dan mampu menimbang-nimbang antara pelbagai kemungkinan yang ada dan sesungguhnya telah pula melakukan pilihannya.
- Tidak ada pemecahan rasional lain yang dapat memperbaiki situasi.
- Dengan kematian ini tidak ada orang lain yang dirugikan atau menderita tanpa alasan.
- Keputusan untuk memberikan bantuan tidak diambil oleh satu orang saja.
- Pada keputusan untuk memberikan bantuan harus selalu melibatkan seorang dokter, yang akan mengeluarkan resep mengenai obat atau bahan yang akan dipakai.
- Pada keputusan untuk memberikan bantuan, demikian pula pada bantuan itu perlu diperhatikan kecermatan dan ketelitian yang semaksimal mungkin sesuai dengan kepatutan yang berlaku (misalnya dengan mengikutsertakan dalam perembukan beberapa teman sejawat dan ahli-ahli lainnya.[xiii]
D. Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi mausia (HAM) mungkin merupakan kata yang telah ditulis dalam ratusan ribu halaman kertas, buku, artikel atau surat kabar dan siaran televisi maupun radio, juga menarik perhatian sejumlah besar ahli, politikus, jurnalis, lawyer dan sebagainya. Ia seolah-olah menjadi "trademark" peradaban modern saat ini. Sebagai basis dari pemikiran manusia, mengarahkan perbuatan manusia dan mengatur masyarakat.
Hak-hak asasi manusia sebagaimana dikenal dewasa ini dengan nama antara lain "human rights, the Right of man" hal mana pada prinsipnya dapat dirumuskan sebagai "hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan dari hakekatnya dan karena itu bersifat suci". Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Dari pemahaman yang demikian maka sebenarnya perjuangan untuk membela hak-hak kemanusiaan tersebut mungkin seumur umat manusia itu sendiri.[xiv]
Sebagai contoh bahwa Nabi Musa berusaha menyelamatkan umatnya dari penindasan Fir'aun. Nabi Muhammad dengan mu'jizatnya; al-Qur'an, banyak mengajarkan tentang toleransi, berbuat adil, tidak boleh memaksa, bijaksana, menerapkan kasih sayang, dan lain sebagainya. Islam mengajarkan belas kasihan sebagai suatu nilai kemanusiaan yang pokok dan satu dari kebajikan yang fundamental bagi orang yang mengaku dirinya muslim.
Hak-hak Asasi manusia secara umum mencakup hak pribadi, politik, perlakuan yang sama dalam hukum, sosial dan kebudayaan, serta untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum. Dalam hak-hak asasi manusia, terdapat bermacam dokumen, diantaranya Declarations des Droits de'l Homme et du Citoyen (1789) di Perancis dan The Four Freedoms of F.D. Roosevelt (1941) di Amerika Serikat, dari kedua dokumen tersebut terdapat semboyan, yaitu:
1. Liberte (kemerdekaan),
2. Egalite (kesamarataan),
3. Fraternite (kerukunan atau persaudaraan),
4. Freedom of Speech (kebebasan mengutarakan pendapat),
5. Freedom of Religion (kebeasan beragama),
6. Freedom from Fear (kebebasan dari ketakutan), dan
7. Freedom from Want (kebeasan dari kekurangan).[xv]
Dari kedua dokumen tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia mencakup:
a. Hak kemerdekaan atas diri sendiri,
b. Hak kemerdekaan beragama,
c. Hak kemerdekaan berkumpul,
d. Hak menyatakan kebebasan dari rasa takut,
e. Hak kemerdekaan pikiran.
Menyinggung masalah hak-hak asasi manusia, terutama dalam hak kemerdekaan atas diri sendiri, maka akan terlintas dalam benak pikiran bahwa "hak untuk hidup" atau the right to life, adalah termasuk didalamnya. Dan dalam hak untuk hidup ini juga tercakup pula adanya "hak untuk mati" atau the right to die. "The right to die" ini berkaitan dengan munculnya "revolusi biomedis" dan tentunya berkaitan pula dengan masalah euthanasia.[xvi]
Mengenai hak untuk hidup, memang telah diakui oleh dunia yaitu dengan dimasukannya dan diakuinya Universal Declaration of Human Right oleh perserikatan bangsa-bangsa tanggal 10 desember 1948. Sedangkan mengenai "hak untuk mati", karena tidak dicantumkan secara tegas dalam suatu deklarasi dunia, maka masih merupakan perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli berbagai bidang dunia, seperti diperagakan dalam "peradilan semu" dalam rangka Konperensi Hukum Se-Dunia di Manila.[xvii]
Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat masalah "hak untuk mati" sudah diakui, dan bahkan di Negara-negara bagian ada yang mengaturnya secara jelas dalam berbagai undang-undang. Kendatipun telah diakui dalam berbagai undang-undang, namun masih harus diakui pula bahwa "hak untuk mati" itu tidak bersifat mutlak. Jadi masih terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya dan pengobatan yang diberikan sudah tidak berpotensi lagi.[xviii]
Penderita suatu penyakit yang sudah demikian tersebut diakui dan diperbolehkan menggunakan "hak untuk mati"-nya, dengan jalan meminta pada dokter untuk menghentikan pengobatan yang selama ini diberikan kepadanya, ataupun dengan jalan meminta agar diberikan obat penenang dengan dosis yang tinggi. Dengan demikian maka penderita suatu penyakit yang tak menentu nasibnya tersebut akan segera mati dengan tenang. Dan lagi Negara yang telah mengakui adanya "hak untk mati", maka perbuatan dokter yang telah memebantu untuk melaksanakan permintaan seorang pasien atau dari keluarganya seperti diuraikan di atas memounyai kekebalan terhadap "criminal liability" maupun terhadap "civil liability".[xix]
Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa masalah hak-hak asasi manusia itu bukanlah semata-mata merupakan persoalan yuridis semata, melainkan bersangkut paut dengan masalah nilai-nilai etis, moral yang ada di suatu masyarakat tertentu. Oleh sebab itu masalah "hak untuk mati" yang dihadapkan sebagai suatu kasus hukum, maka pemecahannya haruslah disesuaikan dengan masalah moral, etis, kondisi dan kebiasaan yang ada dalam suatu negara
E. Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran
- Konsep tentang Mati
Untuk dapat memahami lebih jauh timbulnya masalah euthanasia, maka perlu difahami tentang konsep mati yang dianut dari dulu hingga kini. Perubahan pengertian ini berkaitan dengan adanya alat-alat resusitasi, berbagai alat atau mesin-mesin penopang hidup dan kemajuan dalam perawatan intensif. Dahulu, apabila jantung dan paru-paru sudah tidak bekerja lagi, orang sudah dinyatakan mati dan tidak perlu diberi pertolongan lagi. Kini keadaan sudah berubah, dalam perawatan intensif (di rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan ahlinya) jantung yang sudah berhenti dapat dipacu untuk bekerja kembali dan paru-paru dapat dipompa agar kembali kembang kempis.[xx]Bila demikian, apa yang dimaksud dengan "mati"?.
Penting bagi para dokter untuk memperjelas arti mati, maka dari itu perlu dijelaskan arti "mati".
Pada umumnya dikenal beberapa konsep tentang mati:
- Berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa berhentinya jantung, organ yang memompa darah mengalir keseluruh tubuh. Dari hal ini dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru.[xxi] Karena nafas dan darah bahan yang menandakan kehidupan, maka bila tidak terjadi lagi pernafasan dan peredaran darah, itu berarti bahwa kematian sudah menjadi kenyataan.[xxii]
- Pemisahan tubuh dan jiwa
Manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa atau kesatuan materi dan bentuk. Jiwa atau bentuk menjiwai tubuh atau materi, sehingga tersusunlah makhluk yang unik yang disebut manusia. Kematian berlangsung, jika dua unsur ini dipisahkan. Kematian berarti terputusnya kesatuan tubuh dan jiwa.[xxiii]
- Kematian otak
Kriteria ini adalah: tidak sanggup menerima rangsangan dari luar dan tidak ada reaksi atau rangsangan, tidak ada gerak sepontan atau pernafasan, tidak ada refleks; dan situasi ini diteguhkan oleh elektroensefalogram (EEG).[xxiv]
Dasar untuk menetapkan bahwa otak tidak berfungsi lagi adalah:[xxv]
1). Pasien tidak berfungsi lagi bereaksi (unreceptive and unresponsive) terhadap stimulus (sentuhan, rangsangan) dari luar, termasuk stimulus yang sangat menyakitkan.
2). Tidak ada tanda-tanda terjadinya pernafasan spontan, paling sedikit selama satu jam.
3). Tidak ada refleks, dan Elektroensefalogram (EEG)-nya datar.
Kematian seluruh otak (batang otak, cortex dan neo cortex) berarti kematian manusia, karena tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan integrasi biologisnya dan karena itu juga integrasi sosialnya.
2. Hak-Hak Pasien
Berkembangnya etika pelayanan kesehatan sebagai suatu bidang khusus dan pencarian pelbagai hak melalui pengadilan telah membantu untuk menetapkan banyak hak dalam konteks pelayanan kesehatan. Di antaranya adalah penghormatan atas hak pasien. Dalam hal ini penghormatan atas hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya. Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberi informasi yang cukup, sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.[xxvi]
"hak pasien", dua buah kata bagi sebagian negara adalah kata-kata yang mewah, sebab masih banyak negara yang tidak atau belum mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak pasien itu. Berbicara tentang "hak pasien" yang dihubungkan dengan pemeliharaan kesehatan, maka hak utama dari pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to health care). Hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang memenuhi kriteria tertentu, yaitu agar pasien mendapatkan upaya kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan dari tenaga kesehatan, yang memenuhi standar pelayanan kesehatan yang optimal.[xxvii]
Dalam pelaksanaan untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan, pasien mempunyai hak-hak lainnya, sebagai misal antara lain hak untuk mendapatkan informasi tentang penyakitnya, hak untuk mendapatkan pendapat kedua.
Agar lebih jelas dapat diuraikan hak-hak pasien yaitu sebagai berikut:[xxviii]
a. Hak atas informasi
Agaknya hak yang paling penting adalah hak atas informasi. Jika seseorang tidak tahu, ia tidak bisa memilih, tidak bisa membuat rencana, tidak dapat menguasai situasi. Kemungkinan untuk memperoleh informasi merupakan syarat untuk menjalankan otonomi, dan jika pasien tidak mempunyai kemungkinan itu, ia tetap tinggal korban paternalisme.
b. Hak atas persetujuan
Hak untuk enentukan diri sendiri (the right of self determination) juga terproses sejalan dengan perkembangan dari hak asasi manusia. Dihubungkan dengan tindakan medik, maka hak untuk menentukan diri sendiri diformulasikan dengan apa yang dikenal dengan persetujuan atas dasar informasi (informed consent). Adalah hak asasi pasien untuk menerima atau menolak tindakan medik yang ditawarkan oleh dokter, setelah dokter memberikan informasi.[xxix]
c. Hak untuk menolak pengobatan
Jika seseorang mempunyai hak untuk memberi persetujuan dengan suatu pengobatan_atas dasar informasi yang diberikan sebelumnya, maka tidak bisa dihindarkan konsekuensi bahwa ia mempunyai hak juga untuk menolak pengobatan. Penolakan seperti ini sebagai perwujudan otonomi pasien dalam hak menentukan dirinya.
d. Hak atas privacy
Konfidensialitas dan perlindungan informasi yang diperoleh tenaga medis dalam hubungan dengan pasiennya adalah sangat penting. Jika konfidensialitas tidak dapat dijamin, maka orang akan enggan mencari bantuan medis, hal ini sebagai dasr bagi relasi antara dokter dan pasien.
e. Hak atas pendapat kedua
Yang dimaksud dengan pendapat kedua ialah adanya kerjasama antara dokter pertama dengan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua. Kerjasama ini bukan atas inisiatif dokter yang pertama, tetapi atas inisiatif pasien.[xxx]
f. Catatan medis di rumah sakit
Rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakandan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Kebutuhan pasien atas catatan medis sebagai dasar pengetahuan untuk melaksanakan hak otonominya.
3. Pandangan Kode Etik Kedokteran
Tugas profesional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etika kedokteran , sehingga kemulyaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang kesehatan, harus memenuhi segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila jabatan. Keahlian dibidang ilmu dan teknik baru dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya. Kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik dan moral. Hal tersebut diinsyafi oleh para dokter diseluruh dunia. Dan pastinya di setiap Negara mempunyai kode etik kedokteran sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah Hippocrates.[xxxi] Di antara sumpah Hippocrates adalah sebagai berikut:[xxxii]
Ilmu kedokteran adalah upaya untuk menaggulangi penderitaan si sakit, menyingkirkan penyakit, dan tidak mengobati kasus-kasus yang tidak memerlukan pengobatan.
Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun dimintanya, atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu.
Manusia pada akhirnya akan mati, dokter tidak dapat berharap ia akan dapat menyembuhkan setiap pasiennya. Ada batas ketika penyembuhan tidakberdaya lagi. Dokter harus mengenali dan menerima kedatangan saat-saat maut bagi pasiennya, bahkan sebagai seorang yang berpengetahuan ia harus menunjukannya dengan perbuatan, yaitu jangan berusaha untuk menyembuhkannya, karena ini berarti membohongi diri sendiri dan pasiennya…….
Dari pandanag Hippocrates tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dokter tidak lagi mengobati penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak perlu diobati atau tidak membohongi pasien yang sebenarnya sudah tidak memerlukan obat. Misalnya dengan memberikan resep tetentu atau dengan memberikan medikasi lainnya. Dan berarti hippocrates tidak akan memberikan obat yang memetikan sekalipun pasien telah memeintanya. Dalam situasi apapun keadaan pasien, Hippocrates tetap menolak tindakan euthanasia aktif. Disamping itu dokter tidak harus terus berupaya mengobati penyakit-penyakit yang tidak dapat disembuhkan kembali. Apabila pengobatan atau perawatan sudah tidak ada gunanya, maka dokterpun sudah tidak berkompeten lagi untuk melakukan medikasi terhadap pasiennya.
Salah satu pasal dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang relevan dengan masalah euthanasia, adalah pasal 9 yang berbunyi:
"Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani."[xxxiii]
Dalam penjelasan pasal 9 di atas, diuraikan bahwa segala perbuatan terhadap si sakit bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya dokter harus mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia, meskipun hal itu kadang-kadang akan terpaksa melakukan tindakan medik lain misalnya operasi yang membahayakan. Tindakan ini diambil setelah diperhitungkan masak-masak bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa si sakit selain pembedahan, yang selalu mengandung resiko.
Naluri terkuat dari makhluk hidup termasuk manusia adalah mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berfikir dan mengumpulkan pengalamannya. Dengan demikian, membangun dan mengembangkan ilmu untuk menghindarkan diri dari bahaya maut adalah merupakan tugas dokter. Ia harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Hal ini, berarti doktert dilarang mengakhiri hidup pasien (euthanasia), walaupun menurut ilmu kedokteran dan pengalamannya pasien tidak mungkin sembuh.
Jadi, jelas bahwa Kode etik kedokteran Indonesia melarang tindakan euthanasia aktif. Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan (don’t play god). Medical ethics must be pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang menyelamatkan atau memelihara kehidupan, bukan orang yang menentukan kehidupan itu sendiri (life savers, not life judgers).[xxxiv]
Sebetulnya kode etik kedokteran Indonesia sudah lama berorientasi pada pandangan-pandangan Hippocrates yang telah lama menerima euthanasia pasif. Begitu juga dengan kode etik kedokteran Indonesia, berarti ia juga menerima euthanasia dalam bentuk pasif.
Bila dirasakan penyakit pasien sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka lebih baik dokter membiarkan pasien meninggal dengan sendirinya. Tidak perlu mengakhiri hidupnya, dan juga tidak perlu berusaha keras untuk mempertahankan kehidupannya, karena kematiannya sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi, perawatan (pengobatan) seperlunya masih tetap dilakukan. Asalkan jangan mengada-ada melakukan tindakan medik (yang sebetulnya tindakan medik itu sudah tidak diperlukan lagi), apalagi dengan motif-motif tertentu, misalnya mencari keuntungan sebesar-besarnya di atas penderitaan orang lain.[xxxv]
Adalah tugas ilmu kedokteran untuk memebantu meringankan penderitaan pasien, atau bahkan berusaha menyembuhkan penyakit selama masih dimungkinkan. Pasien yang benar-benar menderita atas penyakitnya, sudah menjadi tugas dokter untuk ikut membantu meringankan penderitaanya, walaupun kadang-kadang dari tindakan peringanan tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara perlahan-lahan (euthanasia tidak langsung).
5. Euthanasia dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan nterhadap nyawa manusia, yang dapat dijumpai dalam Bab XIX, buku II, dari pasal 338 sampai pasal 350 KUHP.[xxxvi]
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal yang menyinggung masalah euthanasia ini secara pasti tidak ada, tetapi satu-satunya pasal yang lebih mengena yaitu pasal 344, pada Bab XIX, buku II, yaitu:[xxxvii]
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Dalam pasal di atas, kalimat “permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati” harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh (ernstig), jika tidak maka orang itu dikenakan pembunuhan biasa,[xxxviii] dan haruslah mendapatkan perhatian, karena unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang melakukannya dapat dipidana berdasar pasal 344 KUHP atau tidak. Agar unsur ini tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya seseorang telah melakukan pembunuhan karena kasihan ini, unsur permintaan yang tegas (unitdrukkelijk), dan unsur sungguh (ernstig), harus dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi atau pun oleh alat-alat bukti lainnya.[xxxix]
Masalah euthanasia ini merupakan masalah yang kompleks dari segi sifatnya, maka agar lebih mudah untuk difahami perlu diterangkan dan dibagi secara lebih terperinci.
Ditinjau dari segi yuridis, euthanasia dapat diuraikan sebagai berikut:[xl]
a. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja melakukan suatu tindakan untuk mengakhiri atau memeperpendek (mengakhiri) hidup pasien. Euthanasia aktif terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Euthanasia aktif atas permintaan pasien
Pasal. 344 KUHP
2) Euthanasia aktif tanpa permintaan pasien
Pasal. 340 KUHP
3) Euthanasia aktif tanpa sikap dari pasien
Pasal. 340, 338, KUHP
4) Euthanasia tidak langsung
Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya tanpa maksud mengakhiri hidup pasien melakukan tindakan medis untyuk meringankan penderitaan pasien, walaupun dengan mengetahui adanya resiko bahwa dari tindakan medik tersebut dapat mengakibatkan hidup sipasien diperpendek. Seperti halnya dengan euthanasia aktif, euthanasia tidak langsung terbagi kedalam tiga kelompok, yaitu:
a). Euthanasia tidak langsung atas permintaan pasien
Pasal. 344, 359
b). Euthanasia tidak langsung tanpa permintaan pasien
Pasal. 340, 359
c). Euthanasia tidak langsung tanpa sikap pasien
Pasal. 304, 359
b. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif terjadi terrjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara sengaja tidak memberikan bantuan medik terhadap pasien yang dapat memperpanjang hidupnya. Untuk dapat memudahkan euthanasia pasif ini juga dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1). Euthanasia pasif atas permintaan pasien
Tidak dihukum
2). Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien
Pasal. 304 jo 306 (2)
3). Euthanasia pasif tanpa sikap pasien
Pasal. 304 jo 306 (2)
Maka agar dapat mengetahui hukuman atas tindakan tersebut perlu disebutkan pasal-pasalnya, pasal-pasal tersebut adalah:[xli]
Pasal. 304 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membuarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut operjanjian, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.
Pasal. 306 KUHP:
"Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, sitersalah itu dihukum penjara selam-lamanya sembilan tahun."
Pasal. 338 KUHP:
"Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukumkan penjara selama-lamanya lima belas tahun."
Pasal. 344 KUHP:
"Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya denagn nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun."
Pasal. 359 KUHP:
"Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun."
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.
[1] Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, buku ke-4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 64.
[2] J. Chr Purwa Widyana, "Euthanasia" beberapa soal moral berhubungan dengan quintum, (Antropologi Teologis II, 1974), hlm.25
[3] Piet Go O. Carm, Euthanasia Beberapa Soal Etis Akhir Hidup Menurut Gereja Katolik, (Malang: Analekta Keuskupan Malang, 1989), hlm. 5-6
[4] Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam prespektif hak asasi manusia, cet. ke-1, (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), hlm.26-27.
[5] Ibid., hlm.27.
[6] Oemar Seno Adji, Etika profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter. (Jakarta: Erlangga.1991). hlm.176
[7] Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan (Jakarta: Widya Medika,1997), hlm.66-67.
[8] Kartono Mohamad, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya terhadap Bioetika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm.31.
[9] Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.67-68
[10] Ibid., hlm.30.
[11] J. Guwandi, Kumpulan Kasus Bioethics & biolaw, (Jakarta: FK UI, 2000), hlm. 40
[xii] H.R. Siswo Sudarmo, "Euthanasia, Bagaimana sikap seorang dokter?" Makalah pada seminar sehari, Aborsi dan Euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologis, (Yogyakarta: FKMPY, 1990), hlm.3-4
[xiii] F. Tengker, Mengapa euthanasia? Kemampuan medis & konsekuensi Yuridis, (Bandung: Nova, t.t), hlm. 95.
[xiv] Imron Halimi, Euthanasia Cara Mati Terhormat Orang modern, (Solo: CV. Ramadhani, 1990), hlm. 129.
[xv] Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indah. 1984), hlm.32-33.
[xvi] Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm. 137
[xvii] Imron Halimi, Euthanasia, hlm. 141
[xviii] Ibid.
[xix] Ibid., hlm. 42
[xx] Amri Amir. Bunga Rampai Hukum Kesehatan, cet. ke-1, (Jakarta: Widya Medika, 1997), hlm.68
[xxi] Ibid., hlm.69
[xxii] Thomas A. Shanon. Terj. K. Bartens; Pengantar Bioetika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm.58.
[xxiii] Ibid., hlm.58-59
[xxiv] Electroencephalogram (EEG) adalah: pencatatan terhadap keaktivan otak. Dan juga erat kaitannya dengan Electrokardiogram; pencatat gerakan jantung dari gelombang listrik, dan kedua jenis ini terdapat pada alat oscillograf (alat catat getaran gelombang).
[xxv] Kartono Mohamad, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya Terhadap Bioetika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.1992) hlm.11
[xxvi] Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan. (Jakarta: Widya Medika, 1997), hlm.71.
[xxvii] Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: CV. Mandar Maju 2001), hlm.12.
[xxviii] Thomas A. Shanon. Terj K. Bartens . Pengantar Bioetika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm.147-148.
[xxix] Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, hlm.18.
[xxx] Ibid., hlm. 20.
[xxxi] Djoko Prakoso, Euthanasia, hlm. 79.
[xxxii] Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm. 83-84.
[xxxiii] Ratna Suprapti Samil (ed.), Kode Etik Kedokteran Indonesia, (Jakarta: Metro Kencana. 1980), hlm.35.
[xxxiv] Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.86
[xxxv] Ibid.
[xxxvi] Imron Halimi, Euthanasia, hlm.149-150.
[xxxvii] R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hlm.243
[xxxviii] Ibid.
[xxxix]Djoko Prakoso, Euthanasia, hlm.71.
[xl] Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.54-71
[xli] R. Soesilo, KItab undang-undang. hlm.223-248
No comments:
Post a Comment