SEJARAH
PAHAM DUALISME
oleh:
Muh Bahrul Ulum
Download> DISINI
A. Dualisme: Definisi dan Kelahirannya
Dalam
diskursus filsafat, paham dualisme dianggap suatu varian dari paham idealisme.
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan adanya dua substansi yang
mendasari dunia. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga,
dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Dalam
sejarahnya, kendati bentuk dari paham dualisme ini, dalam konteks kefilsafatan,
telah ada sejak zaman Plato (427-347 SM), namun istilah dualisme sendiri baru
secara umum digunakan sejak Thomas Hyde memperkenalkan istilah ini pada sekitar
tahun 1700 untuk menunjuk kepada konflik antara baik dan jahat, yakni antara
Omzard dan Ahriman, dalam Zoroastrianisme, doktrin masyarakat Iran kuno yang
secara penuh terbentuk pada abad ke-7 SM.[1]
Doktrin
dualisme ini secara khusus meresap ke dalam pemikiran masyarakat Yunani melalui
orang-orang Persia, dan ajaran tersebut terutama dikenal lebih sebagai hal yang
bersifat teologis daripada hal yang dapat dipahami secara filosofis, di mana
pertentangan antara Omzard (Penguasa Kebajikan; disebut juga sebagai Ahura
Mazda) dan Ahriman (Penguasa Kejahatan) ini dipercaya mengejawantah dan
mendasari kejadian-kejadian di alam semesta yang merupakan medan pertempuran
dari kedua roh besar itu.[2]
Adalah
Christian Wolff (1679-1754), seorang filosof monis, yang kemudian
menerapkan istilah tersebut secara resmi untuk menunjukkan oposisi metafisis
antara pikiran dan materi. Istilah dualisme semenjak itu menjadi terminologi
filsafat dan diterapkan pada banyak oposisi dalam agama, metafisika dan
epistemologi.[3]
Pada umumnya, dualisme diterapkan dalam konteks gagasan-gagasan yang menyangkut
pengamatan terdalam mengenai keberadaan/hubungan antara jiwa dan raga.
Gagasan
filosofis tentang dualitas jiwa dan raga berasal setidaknya sejak jaman Plato.
Gagasan ini berhubungan dengan spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait
dengan kecerdasan dan kebijaksanaan. Plato berpendapat bahwa
"kecerdasan" seseorang (bagian dari pikiran atau jiwa) tidak bisa
diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik. Artinya, pikiran dan tubuh adalah
dua entitas yang berbeda namun saling berhubungan dan keduanya sama-sama eksis,[4]
satu sama lain tidak bersifat saling meniadakan.
Dualisme,
pada umumnya, berbeda dengan monisme, mempertahankan perbedaan-perbedaan
mendasar yang ada dalam realitas; antara eksistensi yang kontingen dan
eksistensi yang absolut (misal: antara dunia dan Allah), antara yang mengetahui
dan yang ada dalam bidang kontingen, antara materi dan roh (atau antara materi
dan kehidupan yang terikat pada materi), antara substansi dan aksiden, dan lain
sebagainya.
Dari
sekilas uraian di atas maka, secara definitif, dualisme dapat dipahami sebagai
pandangan filosofis yang menegaskan eksistensi dari dua bidang (dunia) yang
terpisah, tidak dapat direduksi dan unik. Contoh: adikodrati/kodrati,
Allah/alam semesta, roh/materi, jiwa/badan, dunia yang kelihatan/dunia yang
tidak kelihatan, dunia inderawi/dunia intelektual, realitas aktual/realitas
kemungkinan, dunia noumenal/dunia fenomenal, kekuatan kebaikan/kekuatan
kejahatan, dan lain sebagainya. Dalam pandangan para penganut paham dualisme,
alam semesta dapat dijelaskan dengan kedua bidang (dunia) itu.[5]
B. Dualisme Metafisis
Plato
Adalah
Plato (427-347 SM), yang tidak dapat dipungkiri merupakan salah seorang filosof
terbesar yang pikiran-pikirannya juga sangat banyak meninggalkan pengaruh
terhadap tradisi-tradisi filsafat setelahnya. Dalam kaitannya dengan tradisi
filsafat Islam, jejak-jejak Neoplatonisme dapat dirasakan sangat kental dalam
pemikiran berbagai tokoh, seperti Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037M),
dan lain sebagainya. Pandangan-pandangan filsafat Neoplatonisme yang menekankan
kesatuan yang tak terkatakan dan transendensi Tuhan dianggap banyak memiliki
keserupaan / kecocokan dengan doktrin-doktrin agama (Islam) yang didasarkan
pada wahyu, seperti halnya yang tertera di dalam al-Qur’an mengenai Żat Tuhan yang unik: ”Tak
ada sesuatu yang menyerupai-Nya,” (Q.S. 42 : 11). [6]
Atas
dasar kemiripan dan kecocokan-kecocokan inilah maka gagasan-gagasan Plato yang
mengakar kuat dalam tradisi filsafat Neoplatonisme kemudian dapat mengalir
dengan derasnya dan segera menjadi warna yang dominan dalam dinamika pemikiran
di dunia Islam. Untuk alasan ini pula, yakni karena pengaruhnya yang begitu
mendalam pada filsafat Islam, maka penulis menganggap pentingnya meletakkan
pembahasan mengenai Plato, khususnya tentang dualismenya, dalam suatu sub
tersendiri dari bab ini.
Contoh
klasik dari cara pandang mengenai realitas secara dualistik ini dapat kita
temukan dengan gamblang dalam gagasan Plato mengenai “dua dunia”. Satu “dunia”,
menurutnya, mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indera.
Pada taraf ini harus diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan.[7]
Air yang semula hangat akan menjadi dingin, bunga yang mekar akan menjadi layu,
siang berganti malam, muda menjadi tua, yang hidup akan berakhir dan mati, dan
seterusnya. Dunia inderawi ditandai oleh pluralitas. Dalam konteks ini cocoklah
apa yang dimaksudkan oleh Plato dengan ajaran Herakleitos (hidup sekitar tahun
500 SM) mengenai perubahan yang senantiasa itu (panta rhei kai uden menei[8]).
Di sisi
yang lain dari dunia jasmani tadi terdapat suatu dunia lain yang disebut
sebagai “dunia absolut”, yang terdiri dari gugusan ide-ide yang sempurna. Dalam
“dunia ideal” ini perubahan tidak terjadi; semuanya tetap dan abadi. Perlu
ditekankan di sini bahwa ide-ide dalam pemahaman Plato memiliki maksud yang
lain daripada arti yang dimaksudkan orang modern dengan kata “ide”.
Dalam
pemahaman yang umumnya berkembang sampai saat ini, ide dipahami sebagai suatu
gagasan atau tanggapan yang hanya berlaku di dalam alam pikiran saja. Jika
demikian, maka apa yang disebut ide dalam pemaknaan modern sangatlah dekat
dengan subjektifitas. Sebaliknya, dalam pandangan Plato, ide-ide adalah
objektif. Mereka berdiri sendiri dan terlepas dari subjek yang berfikir. Jadi,
suatu pemikiran bukan merupakan landasan bagi kemunculan ide-ide, malah
sebaliknya, pemikiran itulah yang bergantung kepada ide-ide, dan pemikiran itu
dimungkinkan justeru karena adanya ide-ide yang berdiri sendiri tersebut. Maka
tidak heran jika bagi Pato proses berpikir sesungguhnya merupakan proses
“mengingat kembali” terhadap Ide-ide yang telah ada di dalam dunia absolut
tadi.
Sebagaimana
dimaklumi, dunia filsafat pada masa-masa awalnya di Yunani merupakan reaksi
yang ditujukan dalam rangka menolak sejumlah mitos yang berlaku dalam pandangan
umum mengenai alam semesta (kosmos). Dalam pandangan masyarakat Yunani kuno,
fenomena-fenomena alam dipahami dalam ketergantungannya terhadap sejumlah
mitos. Petir yang menyambar, misalnya, atau peristiwa-peristiwa natural
lainnya, dianggap sebagai dampak dari perbuatan dewa-dewa tertentu. Dari sini
filsafat mengambil titik tolak sejarahnya.
Apa
yang secara umum dilakukan dalam dunia filsafat pada saat itu adalah suatu
upaya untuk menemukan jawaban yang dapat dicerna akal mengenai misteri-misteri
tedalam yang terkandung dalam realitas alam semesta. Maka kosmologi mendapat
perhatian yang besar di masa-masa awal pemikiran filsafat, dan benar jika
tokoh-tokoh filosof pada kurun waktu tertentu dalam periode filsafat Yunani (yakni
pada kisaran paruh awal abad ke-5 SM) dikatakan sebagai filosof alam, mengingat
bahwa tema besar dalam seluruh pembicaraan yang terjadi dalam filsafat pada
masa itu berkutat di seputar wilayah pengetahuan tentang alam (kosmologi).
Berkenaan
dengan gagasan Plato mengenai dunia Ide seperti yang telah dikemukakan di atas,
memang boleh jadi bahwa pemikiran itu merupakan hasil dari rangkaian upaya
pemecahan teka-teki mengenai apakah dasar dari keberadaan alam semesta, yang
dalam konteks pertanyaan ini kita dapat melihat bahwa para filosof terdahulu
sebelum Plato memahaminya sebatas hal-hal yang sifatnya kosmis dan material.
Namun semenjak Plato, pemikiran mengenai kosmos segera mengalami lompatan
dengan mulai dibicarakannya hal-hal yang berada di luar jangkauan inderawi.
Dunia Ide adalah bentuk dunia yang berada di luar jangkauan inderawi itu.
Filsafat,
sejak itu, mengalami banyak perubahan karekter, dari yang semula lebih bersifat
kosmologis dan berkait erat dengan pengetahuan-pengetahuan inderawi, berubah ke
arah pembicaraan akan hal-hal yang sifatnya tak kasat mata dan berada di balik
fenomena yang fisik. Maka dari sinilah metafisika (studi mengenai hal-hal yang
berada di balik / melampaui yang fisik) selanjutnya mendapatkan titik pijak;
dan kendati istilah tersebut (metafisika) baru dikenal setidaknya pasca
Aristoteles (384-322 SM)[9],
namun gagasan tentang dunia Ide dari Plato tadi secara gamblang dapat kita
lihat juga merupakan gagasan akan hal-hal yang melampaui dunia fisik. Dalam hal
ini pembedaan antara hal-hal yang berada di luar keterjangkauan inderawi dan
hukum-hukum fisis dengan hal-hal yang bersifat fisis telah menunjukkan
terjadinya dualitas dalam filsafat Plato tersebut.
Dualisme,
seperti yang telah dijelaskan tadi, sangat terlihat jelas dan begitu
berpengaruh dalam keseluruhan konstruksi filsafat Plato, terutama pada bagian
di mana ia membangun ajarannya tentang manusia. Cara pandang yang demikian itu
secara kritis dikomentari oleh banyak pemikir, salah satunya seperti yang
dikemukakan K. Bertens bahwa
“...Plato tidak berhasil menerangkan manusia
sebagai kesatuan yang sungguh-sungguh, tetapi memandangnya sebagai “dualitas’:
suatu makhluk yang terdiri dari dua unsur yang kesatuannya tidak dinyatakan.
Dan memang begitulah pendapat Plato. Tubuh dan jiwa tidak merupakan kesatuan.”[10]
Gagasan
Plato mengenai dua “dunia” itu menjuruskan pula pada pemikirannya mengenai
pengenalan, di mana menurutnya pengenalan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
pengenalan akan Ide-ide dan pengenalan tentang benda-benda jasmani (inderawi).
Pengenalan, bagi Plato, selalu memiliki sifat-sifat yang sama dengan objeknya,
dalam arti jika objek dari pengenalan merupakan hal-hal yang bersifat teguh,
jelas, tak berubah dan abadi, maka pengenalannya pun bersifat demikian.
Pengenalan yang tak terpengaruh oleh hukum-hukum perubahan dan kebaharuan ini
adalah pengenalan jenis pertama, di mana objeknya adalah dunia Ide yang juga
tak mengalami perubahan, statis dan mutlak.
Pengenalan
jenis kedua, yakni pengenalan tentang benda-benda jasmani, memiliki sifat yang
juga sama dengan objeknya: dinamis, selalu mengalami perubahan. Jika
dibandingkan dengan pengenalan yang disebutkan pertama tadi, maka pengenalan
jenis kedua ini dianggap lebih rendah karena ketidakmampuannya untuk
menghasilkan kepastian. Plato menamakan pengenalan seperti ini sebagai doxa
(pendapat, opinion).
Gagasan
Plato tentang dua jenis “dunia” dan dua jenis pengenalan itu berkembang dan
memengaruhi pandangannya tentang dualisme dalam diri manusia, yakni jiwa dan
badan. Argumen-argumen utama Plato mengenai hal ini terdapat dalam
karya-karyanya (berupa dialog) yang lebih awal. Menurutnya, jiwa ada sebelum
kelahiran terjadi (praeksistensi jiwa). Ketika proses kelahiran terjadi, maka
jiwa turun dan menempati tubuh. Namun demikian, meski jiwa dan tubuh telah
menyatu dan saling terkait secara harmonis, keduanya tidak dapat dianggap
sebagai kesatuan yang hakiki. Jiwa dan tubuh tetaplah dua hal yang berbeda,
sedangkan kesatuan yang terjadi antara keduanya semata-mata merupakan aksiden
saja.[11]
Di sisi lain, Plato menganggap bahwa dalam kesatuan aksidental itu kepentingan
jiwa lebih utama dari pada kepentingan tubuh –suatu konsekuensi logis dari
pendapatnya yang mengatakan bahwa Ada yang hakiki itu ialah Ide-ide. Dalam
sejarah filsafat, dualisme metafisis yang berasal dari Plato inilah bentuk
tertua dari dualisme.
C. Dualisme Plato :
Pengaruhnya dalam Ranah Pemikiran Islam
Sebelum
membahas lebih lanjut pengaruh pemikiran Plato, dalam hal ini secara khusus
berkenaan dengan dualismenya, kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang
dimaksud ranah pemikiran Islam. Kepentingan untuk menjelaskan hal tersebut
adalah agar dapat dibidik secara tepat konteks yang relevan dengan tema sentral
kajian ini.
Pertama-tama
yang perlu diperhatikan adalah ciri khas dari beberapa karateristik yang
terkemuka dalam keseluruhan bangunan pemikiran Islam. Dalam hal ini yang
penulis maksudkan adalah bahwa terdapat beberapa prinsip yang tidak sama yang
berlaku pada masing-masing produk pemikiran dalam tradisi Islam. Misalnya,
prinsip-prinsip yang berlaku dalam sistem yurisprudensi Islam (fiqh)
tentu tidak dapat dibandingkan dengan prinsip-prinsip yang diterapkan dalam
pemikiran teologi (kalām). Oleh karenanya perkara-perkara yang muncul
dalam keseluruhan proses perkembangan pemikiran Islam sejak kelahirannya hingga
saat ini mestilah diletakkan dan dikaji dengan memerhatikan konteks yang tepat
relevansinya dengan masing-masing perkara tersebut.
Sachiko
Murata membagi setidaknya ada tiga tradisi besar dalam pemikiran Islam, yakni
tradisi fiqh, tradisi intelektual –yang dalam hal ini diasosiasikan
dengan kalām– dan tradisi ḥikmah (tasawwuf).[12]
Ketiganya masing-masing memiliki karakter dan sistem yang berbeda dalam
memandang realitas, meski tidak dipungkiri bahwa dalam keseluruhan tradisi
pemikiran itu al-Qur’an dan Hadis tetap menjadi pondasi utama yang sama-sama
dipertahankan.
Mengikuti
kategorisasi yang dipaparkan Murata, dengan memerhatikan pemetaan ketiga ranah
tersebut, pengaruh filsafat pada umumnya –dan secara lebih khusus yakni paham
dualisme– dalam konteks pembahasan ini dengan mudah dapat ditentukan
relevansinya dengan perkembangan tradisi ḥikmah. Namun dalam diskursus
keislaman sendiri, tidak jarang para sufi melancarkan kritik yang sangat pedas
terhadap kalangan filosof sembari menegaskan posisi yang berbeda dari kalangan
mereka –para filosof itu.
Para
filosof, bagi kebanyakan kalangan sufi, dianggap terlalu dangkal memahami
realitas hanya sebatas melalui rasio. Memang, seperti dijelaskan Murata, para ḥukamā’
(ahli ḥikmah) acap kali menggunakan bahasa filsafat dalam mengemukakan
gagasannya; namun jelas bahwa dalam aturan main yang mereka terapkan akal
(rasio) bukanlah pondasi bagi kebenaran yang dicari, melainkan mata batin yang
jernih dan lurus yang berjalan dalam tuntunan agama. Posisi akal dalam tradisi ḥikmah
ini dengan demikian semata-mata berfungsi sebagai alat pelengkap yang ketajamannya
pun dapat dan boleh diungguli oleh ketajaman mata batin yang tersingkap (kasyf).
Dengan
mempertimbangkan hal tersebut, maka benar adanya apabila para ḥukamā’
disebut juga sebagai teosof[13]
dan bukan teolog atau –lebih-lebih– filosof. Atau dengan kata lain, sistem
filsafat yang menggunakan rasio sebagai pondasi dalam menemukan kebenaran,
menurut hemat penulis sebaiknya diposisikan dalam –jika menggunakan istilah
Murata– tradisi intelektual Islam, sebanding dengan posisi para ahli kalām,
meski dalam beberapa hal tertentu filsafat dan teologi (kalām) juga
memiliki perbedaan yang cukup signifikan.
Meskipun,
seperti yang baru dijelaskan, pada sisi yang lain tidak terelakkan lagi bahwa
banyak sufi yang menggunakan bahasa filsafat sebagai alat penjelas dan posisi
mereka layaknya dipahami secara tersendiri dalam konteks pemikiran Islam. Akan
tetapi betapapun berbedanya tradisi hikmah dengan tradisi filsafat pada
umumnya, sumbangsih filsafat dalam meletakkan pondasi berupa buah-buah
pemikiran yang terdahulu mestilah diakui. Lagi pula, usia filsafat jauh lebih
tua dibandingkan Ibn ‘Arabī atau
tokoh-tokoh ahli hikmah lain sebelum maupun sesudahnya, atau bahkan
lebih tua dari Islam sendiri. Untuk itu, pembahasan tentang pengaruh filsafat
dalam ranah pemikiran Islam tidak kehilangan urgensitasnya, mengingat dari
sinilah tradisi pemikiran dalam dunia Islam berkembang ke arah yang lebih luas.
1. Filsafat vis a vis Islam : Mencari
Titik Temu Dua Tradisi
Secara historis, masuknya
gagasan-gagasan mengenai cara pandang terhadap dunia (world view) yang
dualistik, yang telah kita ketahui bahwa benihnya berasal dari Plato, itu ke dalam konteks filsafat
Islam tidak dapat dipahami melainkan dengan merujuk pada konteks pertemuan
dunia Islam dengan tradisi-tradisi filsafat yang telah berkembang jauh sebelum
kedatangan Islam sendiri.
Filsafat adalah suatu
cara hidup yang ditemukan oleh orang-orang Yunani pada kisaran abad ke-6 SM
sebagai upaya untuk memberikan pemahaman interpretatif tentang realitas manusia
dan alam, serta bagaimana posisi manusia di dalamnya. Usaha pemahaman ini tidak
didasarkan pada kepercayaan-kepercayaan yang ilusif dan supernatural-mitologis,
tetapi bertolak dari kepercayaan kuat terhadap the power of human reason.[14]
Dalam hal penyebaran
filsafat ke dunia Islam, Alexander Agung, seorang panglima perang yang juga
murid Aristoteles, tak diragukan lagi memiliki peran sebagai tokoh kunci.
Ekspansi besar-besaran yang dilakukannya terhadap negeri-negeri Timur, yang
diawali dengan menaklukkan kerajaan Parsi pada tahun 331 SM, membuka keran
pengetahuan yang luas bagi penduduk negeri-negeri taklukannya di kemudian hari.
Dalam rentang waktu yang panjang, tradisi filsafat disebarluaskan ke seluruh
wilayah taklukan, mulai dari Persia, Alexandria, Syria, Mesopotamia, dan
sebagainya. Di berbagai wilayah-wilayah taklukan Alexander Agung dan penerus-penerusnya
itulah filsafat tumbuh dan berkembang seiring pertemuannya dengan
tradisi-tradisi baru yang dijumpai di masing-masing wilayah yang berbeda. Di
antara wilayah-wilayah transmiter kultur Yunani itu, Alexandria menempati
posisi terpenting sebagai wilayah di mana tradisi filsafat berkembang dengan
sangat pesat hingga bahkan menyaingi Athena.
Poin penting dari
Alexandria adalah bahwa kota ini berperan tidak hanya sebagai pusat kultur dan
kesarjanaan Yunani, namun juga merupakan tempat terjadinya akulturasi
besar-besaran antara kultur Yunani dengan kekuatan filsafatnya dengan kultur
oriental (negeri-negeri Timur) dengan kekuatan mitologi dan mistisismenya.
Hasil perkawinan antara kedua kultur ini merupakan cikal-bakal dari
berkembangnya peradaban sintetik yang dikenal sebagai Hellenisme. Di sini pula
lahir filosof-filosof Neoplatonis, salah satunya adalah Plotinus (lahir 200
M.), yang berpengaruh kuat dalam perkembangan paham itu berikutnya.
Seiring waktu, Islam pun
datang dan dengan segera menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke
daerah-daerah di mana tradisi Yunani itu telah bertumbuh-kembang berabad-abad
sebelumnya. Salah satu momen penting di sini adalah penaklukan Alexandria, yang
telah disebutkan tadi merupakan tempat tersubur bagi pertumbuhan tradisi Yunani
di Timur. Sejak itulah proses akulturasi antara kultur Islam di satu sisi dan
unsur-unsur Yunani dalam kultur Hellenisme Alexandria di sisi yang lain,
terjadi secara lebih massif.
Jalan bagi terbentuknya
filsafat Islam dibentangkan oleh dua lingkungan yang sama-sama meletakkan
sendi-sendi kajian rasional Islam. Pertama, yakni lingkungan kaum penerjemah
yang memasok dunia Islam dengan buah pemikiran klasik, baik yang berasal dari
Timur maupun Barat. Gerakan penerjemahan Islam mengarah sedemikian rupa kepada
hikmah dan filsafat, sehingga berhubungan dengan kebudayaan Hindu Persia dan
menerjemahkan dari literatur-literatur Brahmanisme, Samaniyah, Zarathustra,
Mazdakiyah dan Manaisme. Para penerjemah memberikan perhatian khusus kepada
filsafat Yunani, sehingga dengan jasa merekalah dapat dikenal
pendahulu-pendahulu Socrates, kaum Sophis, Stoa, Seneca dan tokoh-tokoh aliran
Alexandria.
Lingkungan kedua yaitu
lingkungan aliran-aliran teologis (kalam) Islam, di mana dalam kaitannya dengan
perkembangan filsafat Islam, kelahiran aliran Mu’tazilah pada sekitar permulaan
abad kedua Hijrah di Basrah[15]
memiliki peran sangat penting, terutama disebabkan oleh keteguhan prinsip
rasionalnya dalam menanggapi problem-problem teologis. Kelompok-kelompok aliran
kalam, sejak tahun-tahun terakhir abad pertama Hijrah, mengangkat ke permukaan
persoalan-persoalan filsafat, di antaranya pertentangan antara determinisme (jabbariyyah)
dan indeterminisme (qadariyyah), mortalitas atau immortalitas jiwa, dan
sebagainya, termasuk problematika alam dan manusia. Melalui hal tersebut
muncullah pembedaan-pembedaan antara ada dan tiada, substansi dan
aksidensi, zat dan sifat, tubuh dan jiwa, baik dan buruk, dan seterusnya.[16]
Dari sini kita bisa melihat terjadinya pembauran antara teologi dan filsafat,
atau lebih dari itu, berbeda dengan sejarah kelahiran filsafat Yunani yang
berangkat dari pemberontakan atas mitos-mitos, dapat kita saksikan bahwa
filsafat Islam terbentuk justeru untuk menanggapi –dan di lain sisi dipakai
untuk menjelaskan– problem-problem teologis yang mengemuka setelah terjadinya
kekosongan posisi otoritatif dalam wilayah keagamaan sepeninggal Rasulullah
SAW.
Filsafat lahir di dunia
Islam, pada satu sisi, sebagai keniscayaan sejarah dan konsekuensi logis dari
pertemuan serta dialog peradaban antara Islam, Yunani dan Paganisme, dan, pada
sisi yang lain, menjadi tuntunan interpretasi atas problematika realitas dan
“kewahyuan”, sehingga memungkinkannya untuk tumbuh dan berkembang secara subur.
Keterbukaan budaya Islam merupakan alasan bagi proses perkembangan pemikiran
filosofis, di mana watak liberalnya mendorong pemikir-pemikir Islam untuk
terus-menerus merekonstruksi gagasan-gagasan filosofis yang telah terdahulu
dengan tidak mengabaikan dimensi naql (wahyu). Disertakannya dimensi naql
inilah yang merupakan ciri khas dari filsafat Islam hingga saat ini. Maka tidak
salah jika, dalam sudut pandang tertentu, filsafat Islam disebut juga sebagai
teosofi.
Pertemuan dua tradisi,
yakni Islam di satu sisi dengan keyakinannya akan kekuatan wahyu, dengan
tradisi filsafat (yang berasal dari Yunani) yang meyakini kekuatan akal
pikiran, menimbulkan suatu pembauran yang unik, di mana kedua hal tersebut
(wahyu dan akal) tidak dibiarkan saling menegasikan satu sama lain, melainkan
dipadukan sedemikian rupa sehingga muncullah apa yang –meminjam (dengan
memodifikasi) istilah Majid Fakhry– disebut sebagai produk unik genius-genius
Islam[17],
yakni filsafat Islam itu sendiri.
Dalam perkembangannya
pada saat itu, tentu pro dan kontra mewarnai proses kelahiran filsafat Islam,
baik itu berupa pro dan kontra dalam hal saling menanggapi
argumentasi-argumentasi filosofis yang dikemukakan oleh berbagai pemikir, atau
pun pro dan kontra dalam hal perlu-tidaknya (atau absah-tidaknya) sistem
pemikiran filsafat dimasukkan dan menjadi bagian dalam diskursus keislaman[18].
Namun apa yang dilakukan para pemikir muslim pada saat itu dengan mengambil
bagian dalam diskursus filsafat (dan dengan demikian berarti mempelajari serta
mengembangkannya pula) adalah dalam rangka menerjemahkan atau menemukan
sisi-sisi rasional dari kebenaran naqliyyah yang termuat dalam
ajaran-ajaran agama. Maka dalam konteks inilah filsafat diterima sebagai suatu
jalan untuk dapat memahami dan menerima kebenaran wahyu (agama) tanpa perlu
–seperti diungkapkan oleh Alim Ruswantoro– meloncat kepada
kepercayaan-kepercayaan yang bersifat ilusif dan irasional[19],
dan agar kebenaran wahyu tidak hanya bisa “berbicara” lewat keyakinan akan
tetapi juga rasio.
2. Dualisme Plato : Pengaruhnya dalam Filsafat
Islam
Ajaran-ajaran Platonik
menjejakkan pengaruh sangat kuat dalam sejarah pemikiran (filsafat) di dunia
Islam. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berasal dari pemikirannya itu lebih
kuat memberikan pengaruh terhadap pemikir-pemikir muslim dengan kecenderungan mistis.
Hal ini dapat dimaklumi jika kita lihat bahwa dalam filsafat Plato, yang
selanjutnya mengejawantah dalam Neoplatonisme, hal-hal yang berada di luar
wilayah jangkauan nalar –yakni mitos-mitos– juga turut diberi ruang untuk
memberikan corak khas filsafatnya.
Berkaitan dengan
mitos-mitos yang turut berperan dalam konstruksi filsafatnya itu, tidak berarti
Plato berbalik dari logos dengan memulihkan kembali mythos.
Sebagai seorang filosof, Plato tentu mengedepankan pertimbangan-pertimbangan
rasional sembari mengeliminasi mitos-mitos Yunani purba yang tidak dapat
diterima akal. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh K.Bertens,
“...Plato berpendapat bahwa mitos tidak
bertentangan mutlak dengan rasio. Ada juga mitos yang mempunyai unsur-unsur
kebenaran dan karena itu dapat dipergunakan dalam uraian filosofis. Acapkali
terjadi bahwa rasio menemui perbatasan yang tidak dapat dilampaui. Justeru, di
sinilah mitos memberanikan diri untuk masuk wilayah-wilayah yang tidak dikenal.
Khususnya mitos dipakai untuk mengemukakan dugaan-dugaan mengenai hal-hal
adiduniawi dan nasib jiwa.”[20]
Pada titik ini dapat
dibenarkan adanya pendapat bahwa ajaran filsafat Plato juga bercorak mistis,
atau setidaknya memberikan peluang bagi berkembangnya interpretasi-interpretasi
mistis terhadap gagasan-gagasannya. Lebih-lebih jika mempertimbangkan kedekatan
Plato dengan filsafat Sokrates yang cenderung bercorak sofistik itu, maka kesan
“mistisisme” dalam Plato itu memang dapat dimaklumi adanya.[21]
Keterbukaan filsafat
Plato terhadap dimensi-dimensi mistis itu terlestarikan dalam kurun yang sangat
panjang dalam tradisi-tradisi Neoplatonisme. Hal itulah yang juga menjadi salah
satu faktor, mengapa pemikiran-pemikirannya dapat diterima serta memberikan
pengaruh yang kuat bagi banyak pemikir muslim. Dalam Neoplatonisme, Leaman
menulis;
“...ada penekanan pada satu Wujud atau Sumber
Utama yang darinya alam semesta tercipta secara sedemikian rupa sehingga tidak
merusak kesatuan mutlak Sang Mahatunggal tersebut. Masalah filosofis ini
mengimak masalah teologis yang muncul dalam konteks Islam, yaitu bagaimana kita
bisa mendamaikan keesaan Tuhan dengan keragaman eksistensi tanpa mengorbankan
sifat kesempurnaan dan kemandirian-Nya.”[22]
Sifat bawaan filsafat
Neoplatonisme yang demikian itu terbukti telah menyediakan himpunan prinsip
yang berguna bagi para filosof muslim meski tak dapat diingkari bahwa pada
fragmen-fragmen tertentu dari ide-ide Neoplatonik terkadang juga menimbulkan
gesekan maupun kontradiksi dengan ajaran Islam sendiri.
Mengenai filsafat Neoplatonisme
ini, dalam kaitannya dengan fokus utama penulis dari skripsi ini, yang perlu
ditekankan yaitu bahwa, seperti yang telah terkemuka di atas, pengaruh
ajaran-ajaran Plato yang masuk dengan berbagai cara ke tengah-tengah wilayah
pemikiran di dunia Islam itu, diakui atau tidak, telah berperan secara sangat
signifikan dalam rangka turut menginspirasi dan memberikan bentuk yang khas
terhadap karakteristik filsafat Islam selama proses perjalanannya.
Dari sinilah kita dapat
melihat bahwa corak dualisme yang ada dalam konteks filsafat Islam sesungguhnya
memiliki akar historis yang absah terkait dengan simbiosis yang terjadi antara
ajaran-ajaran Neoplatonisme dengan tradisi pemikiran yang hidup di dalam Islam
itu sendiri. Dengan kata lain, ada dasar yang kuat untuk mengatakan bahwa di
dalam tradisi pemikiran Islam, melalui berbagai tokohnya, dualisme, atau
setidaknya cara pandang yang bercorak dualistik, itu pun bertahan meski harus
mengalami modifikasi, reorientasi atau rekonstruksi sedemikian rupa.
Di tengah perdebatan
panjang yang terjadi di kalangan mutakallimin dan para filosof mengenai
persoalan-persoalan mendasar yang menyangkut juga diskursus keislaman itu,
filsafat memperkenalkan bahasa dan cara pandang yang berbeda untuk menjelaskan
atau memberikan jalan keluar terhadap persoalan-persoalan itu –suatu alternatif
untuk mencari jawaban, kendati jawaban-jawaban filosofis tidak selalu dapat
diterima seutuhnya guna menghentikan perselisihan dari berbagai pihak yang
terus berlangsung bahkan hingga saat ini.
Seiring itu juga,
pemilahan atau pembedaan-pembedaan dalam berbagai hal dirasa penting untuk
dilakukan dalam rangka mencapai pemahaman yang mendetail dan sempurna (atau
setidaknya mendekati itu) tentang fenomena-fenomena yang terjadi di alam
semesta, baik dalam kaitannya dengan manusia (antropologis), perilaku
keseharian (moral), maupun tentang kenyataan terdalam dan hakiki dari segala
sesuatu (ontologis, metafisik). Jiwa dibedakan dari tubuh, kebahagiaan
dipertentangkan dengan derita sebagaimana kebaikan dan keburukan, dosa di satu
sisi dan pahala di sisi lain, Ada yang mutlak tidak sama dengan Ada yang
potensial, tanzīh berlawanan dengan tasybīh, dan seterusnya.
Menarik untuk menyinggung
lebih lanjut persoalan yang baru saja disebutkan terakhir, yakni tentang tanzīh
dan tasybīh, kaitannya dengan pendapat kaum Mu’tazilah. Poin pentingnya
adalah bahwa persoalan tanzīh dan tawḥīd (penyucian dan
pengesaan) yang diusung dalam pemikiran kaum Mu’tazilah ini benar-benar
mengundang perdebatan hebat di antara para teolog muslim, dan lebih dari itu
persinggungan yang terjadi antara argumen-argumen mereka (Mu’taziliyyūn)
–yang diklaim sebagai upaya pengesaan Tuhan yang paling rasional dan sempurna–
dengan pendapat-pendapat kaum dualis maupun pluralis merupakan hal yang layak
disimak dalam korelasinya dengan tema besar tulisan ini.
Dalam rentang waktu yang
panjang, para teolog Mu’tazilah mengutak-atik persoalan ketuhanan ini dari
berbagai aspeknya, dan mereka berhasil menyuguhkan pandangan baru, unik,
sekaligus mengguncang teori-teori ketuhanan terdahulu yang, dapat dikatakan,
telah mapan. Teori ketuhanan Mu’tazilah ini tersimpul dalam problematika
sifat-sifat Allah. Untuk memurnikan keesaan Allah (tanzīh), kaum
Mu’tazilah menolak konsep bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat, dan penggambaran
fisik (tajassum, antropomorfisme) tidak dapat diterapkan dalam rangka
mengenalNya. Penolakan ini berasal dari anggapan mereka bahwa sifat adalah
sesuatu yang dilekatkan, dan apabila dianggap bahwa sifat-sifat Allah itu
adalah qadīm, berarti ada dua hal yang sama-sama qadīm, yakni
dzat dan sifatNya. Kaum Mu’tazilah tidak dapat menerima hal ini dan mereka
menganggap itu merupakan perbuatan syirik.[23]
Untuk itu mereka benar-benar menyucikan Allah dari materi dan segala
aksidensia.
Kaum Mu’tazilah
memfilsafatkan sedemikian rupa doktrin-doktrin keesaan Allah, yang mengingatkan
kita kepada teori yang dikemukakan oleh Plotinus[24],
salah seorang tokoh Neoplatonisme dari Alexandria. Maka Allah bukanlah jisim
dan juga bukan materi; bukan substansi atau pun aksiden; bukan bagian juga
bukan keseluruhan. Allah tidak memiliki kesamaan apapun dengan makhluk (mukhālafat
li al-ḥawādiṡ). Pandangan ini
mengandung argumentasi yang menghancurkan klaim argumentasi orang-orang yang
mengemukakan teori dualisme dan pluralisme. Namun demikian, kendati melakukan
penolakan terhadap teori / doktrin sifat-sifat Tuhan sebagai upaya tanzīh
dan tauhid, kaum Mu’tazilah tetap menerima bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat
yang esensial, yakni berkaitan dengan pengetahuan dan kekuasaan (al-‘Ilm
dan al-Qudrah). Sifat-sifat yang lain tereduksi dalam kedua sifat
esensial tersebut. Menurut Al-Jubbā’ī, sifat-sifat ini merupakan aspek dzat
yang kadim; menurut Abū Hāsyim, sifat-sifat itu adalah modus-Nya. Pada sisi
lain, Abū Husain Al-Bashrī cenderung mereduksi semua sifat menjadi satu, yakni
pengetahuan.[25]
Keberatan-keberatan banyak ditujukan terhadap argumentasi Mu’tazilah tersebut,
terutama oleh kaum ortodoks yang menganggap kebenaran adanya sifat-sifat Allah
sebagaimana yang telah disebutkan dalam berbagai ayat Al-Qur’an.
Persoalan yang
diketengahkan dalam upaya menegakkan tanzīh dan tauhid ini sungguh
merupakan persoalan yang pelik. Di satu sisi, segala bentuk dualisme dan
pertentangan-pertentangan dalam wilayah ontologis berusaha dihilangkan dengan
menolak segala atribut bagi Tuhan serta menolak segala bentuk tasybīh.
Prinsip ini meniscayakan pemahaman bahwa antara Tuhan dan makhluk terdapat
dinding pemisah yang begitu jauh dan tak tertembus. Perbuatan manusia tidak
ditentukan oleh takdir (indeterministik, bebas berkehendak), sebab Tuhan “di
sana” dan makhluk “di sini”. Keduanya unik dan tidak dapat direduksi satu sama
lain, dalam arti bahwa makhluk tidak dapat dianggap sebagai bagian dari
wujud-Nya, atau –lebih-lebih– sebaliknya. Dunia-Nya eternal, tak berkaitan
dengan ruang dan waktu, sedangkan alam semesta terbatas dalam ruang dan waktu (temporal).
Dalam konteks ini, aspek-aspek dualisme dari filsafat Plato ditampilkan dalam
wilayah teologis, sehingga nuansa filosofisnya menjadi tidak terlalu kentara.
Lebih lanjut, di sisi
lain, persoalan dalam prinsip tersebut adalah bagaimana mungkin yang Eternal
itu dapat dikatakan berhubungan dengan yang temporal jika tidak ada sama sekali
aspek-aspek yang berasal dari-Nya yang dapat dikenal dan mengejawantah dalam
ruang dan waktu? Hubungan antara Tuhan (eternal) dan makhluk (temporal) itu
sendiri tidak dapat dipungkiri terejawantah dalam berbagai hal. Turunnya firman
(kitab suci), betapapun itu dipahami sebagai makhluk, tetap merupakan bukti
keterhubungan antara Tuhan dengan makhluk, dan dalam keterhubungan itu
aspek-aspek tertentu dari keduanya (Tuhan dan makhluk) mestilah memiliki
kesamaan. Jika kesamaan itu tidak terdapat sama sekali, maka menjadi mustahil kalām
Tuhan dapat memberikan pemahaman bagi manusia. Artinya, tasybīh tidak
dapat ditolak dalam kondisi ini. Namun harus ditekankan bahwa tasybīh
itu hanya terjadi pada sebagian aspek, bukan keseluruhan. Artinya, di sisi yang
berbeda, tanzīh tetap berlaku dan dengan demikian dualisme tetap
memiliki posisi yang tak dapat dihilangkan. Maka tepatlah kiranya bahwa,
seperti dikatakan Lovejoy, pintu keluar dari dualisme tertutup bagi siapapun
yang berpikir realistis.[26]
Jejak dualisme Platonik
dengan nuansa yang lebih filosofis dalam ranah pemikiran Islam dapat terlihat
dari berbagai gagasan para filosof muslim. Salah satu contoh yang paling tegas
menyatakan hal ini adalah pemikiran salah seorang filosof penerus terkemuka
dari al-Kindī, yakni Abū Bakr al-Rāzī (w. 925/935). Dengan pemikiran
filsafatnya, al-Rāzī dianggap sebagai seorang Platonis Islam terbesar. Unsur
dualisme dari filsafat Plato dapat terlihat dalam pemikirannya yang menandaskan
materi dan jiwa sebagai prinsip kekal yang pada dasarnya terpisah satu sama
lain. Ia berpendapat bahwa persatuan antara jiwa dan materi terjadi karena
adanya dorongan cinta (‘isyq). Tubuh dianggapnya tidak musnah bahkan
setelah terjadinya kematian (terpisahnya kembali jiwa dari unsur materi), melainkan
ia kembali lebur ke dalam hakikat materi seperti semula. Tidak hanya itu,
al-Rāzī bahkan meyakini terjadinya reinkarnasi setelah terjadinya kematian.
Gagasan ini merupakan konsekuensi logis yang lahir dari pemikiran tentang
keabadian materi.[27]
Setelah al-Rāzī ini
nuansa filosofis dari pengaruh Yunani dengan dua guru terbesarnya –yakni Plato
dan Aristoteles– semakin menampakkan diri. Gagasan-gagasan ontologis dan
kosmologis dalam pemikiran al-Fārābī (w. 950),
merupakan penekanan lebih lanjut terhadap aspek-aspek metafisis dan
kosmologis neoplatonisme.[28]
Begitu pula yang terdapat dalam pemikiran Ibn Sīnā (980-1037); pendapatnya yang
menyatakan adanya ide-ide abstrak yang dengannya manusia dimungkinkan untuk
mendapatkan pengetahuan, menyiratkan secara jelas pengaruh dualisme Plato
mengenai dunia Ide dan dunia fisik. Senada dengan Plato yang menyatakan bahwa
manusia tidak mendapatkan pengetahuan apapun melainkan dengan cara mengingatnya
dari yang telah ada dalam dunia Ide, Ibn Sīnā menandaskan bahwa ketika seseorang
mengetahui, maka sesungguhnya ide-ide abstrak telah mewujud ke dalam
pikirannya. Wahana apapun yang dimiliki manusia untuk memperoleh ide-ide
tersebut berasal dari ide-ide itu sendiri, bukan dari pikiran manusia mengenai
alam.[29]
Namun di sini perlu
ditekankan bahwa betapa pun nuansa spekulatif khas filsafat terasa kental dalam
tradisi pemikiran yang kemudian disebut sebagai filsafat Islam itu, persoalan
intinya tetap tidak beranjak sepenuhnya dari problematika teologis yang
mengemuka. Artinya, di sinilah letak keunikan filsafat Islam, di mana filsafat
dipadukan sedemikian rupa dengan otoritas wahyu/agama sehingga mau tidak mau
unsur teologis dari masing-masing pemikiran dalam ranah ini tidak dapat
diabaikan. Menurut Ibrahim Madkour, pendapat-pendapat para filosof Islam memang
ada kemiripannya dengan pendapat-pendapat lain dalam sejarah klasik, tetapi
pada hakikatnya problematika yang dihadapinya secara primer berbeda dengan yang
dihadapi para filosof terdahulu. Problematika yang dihadapi oleh para filosof
Islam sejatinya tersulut oleh berbagai aliran kalamiah di sekitar masalah itu.
Maka dalam rangka itulah, dengan kemampuan yang ada, para filosof Islam
berusaha untuk memadukan akal dengan agama.[30]
3. Dualisme : Persinggungannya dengan Sufisme
Sesungguhnya cara pandang
dualistik dalam sufisme telah terjadi sejak masa-masa awal tradisi itu
terbentuk. Sebagaimana diketahui, sufisme dalam dunia Islam pada mulanya lahir
dari ‘tren’ zuhud yang merupakan gaya hidup yang khas di saat kebanyakan
umat Islam menikmati kemewahan dan euforia dari terciptanya imperium yang luas,
serta sebagai aksi penentangan terhadap gaya hidup hedonistik yang ditunjukkan
oleh para penguasa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang tidak sesuai dengan
pedoman agama.[31]
Para zāhid pada saat itu gencar melakukan boikot terhadap realitas yang
melenceng dari tuntunan agama dengan cara meninggalkan keramaian dan kehidupan
duniawi lainnya. Dengan cara demikian mereka mengidealkan suatu tata kehidupan
yang rohaniah, di mana spiritualitas menjadi barometer utama bagi segala
sesuatu. Hal-hal yang bernuansa fisikal dan material dianggap sebagai
penghalang untuk memasuki dunia ideal, dan oleh karena itu sebaiknya dijauhi
dan ditinggalkan.
Sikap penolakan terhadap
hal-hal duniawi ini menjadi ciri khas dari kehidupan para sufi di masa-masa
awal, sekitar paruh kedua dari abad pertama Hijriah. Tokoh-tokoh yang terkenal
dalam generasi pertama dari para sufi itu antara lain adalah Hasan al-Basrī (w.
110 H) dan Rabī’ah al-‘Adawiyyah (w. 185 H). Mereka terkenal sebagai
orang-orang yang memilih hidup melarat namun bahagia di jalan Allah.
Sampai pada titik ini
kita dapat melihat cara pandang yang berlaku dalam tradisi tasawuf merupakan
cara pandang yang dualistis terhadap realitas. Di satu sisi kaum sufi melihat
suatu dunia ideal yang harus dituju, di mana pada titik itulah kebahagiaan yang
sejati akan didapatkan, sementara di sisi lain mereka melihat dunia ini beserta
segala unsur fisikal dan materialnya sebagai dinding penghalang akan pencapaian
kebahagiaan sejati itu. Pada titik ini dualitas cara pandang mereka
menghasilkan sikap yang negatif terhadap salah satunya, yakni terhadap
kehidupan duniawi –meski dalam kenyataannya hal itu, toh, tidak dapat
dihindari.
Dikotomisasi secara
ekstrem terhadap dunia dan akhirat akhirnya melahirkan beragam penentangan,
sebab dengan jalan demikian banyak orang yang menganggap ketidakpedulian
terhadap dunia sebagai suatu tindakan yang absah atas nama kepentingan akhirat.
Peran syari’at, dengan begitu, akan dapat terabaikan dari kehidupan beragama.
Inilah yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan, utamanya para fuqahā’
(ahli hukum).
Pada abad ke-2 Hijriah
mulai terbentuk ilmu tasawuf, dan baru menjelang akhir abad ke-2 Hijriah
sebagian zāhid mulai mengemukakan pandangan-pandangan zuhudnya secara
filosofis.[32]
Pada masa itu tersebutlah Abū Yāzid al-Bisṭāmī (w. 261 H) dan Manṣūr
al-Ḥallāj (w. 306 H) sebagai dua orang di antara tokoh sufi generasi kedua
yang paling fenomenal karena gagasan dan sikap-sikapnya yang sangat
kontroversial dan tidak memedulikan pendapat para ulama’. Pada fase ini
pengaruh-pengaruh dari pandangan filsafat klasik mulai bersentuhan dengan dunia
pemikiran para sufi.
Beberapa abad kemudian,
al-Ghazālī (w. 505 H) melancarkan kritiknya terhadap model pemikiran tasawuf
yang bernuansa filosofis itu. Ia mengemukakan kritiknya yang sangat tajam itu
melalui Taḥāfut al-Falāsifah dan membangun argumennya untuk
menjembatani antara tasawuf dan syari’at dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn.
Namun setelah dilancarkannya serangan telak al-Ghazālī, di mana ini dianggap
sebagai titik kematangan dan sekaligus kemenangan tasawuf sunni, tasawuf
falsafi tidak kehilangan eksistensinya. Justeru pasca al-Ghazālī perkembangan
tasawuf falsafi makin signifikan, terutama di kalangan para sufi generasi
keenam, beberapa abad setelah al-Ghazālī. Dari generasi keenam ini bahkan ada
salah seorang sufi dan sekaligus pendiri tarikat, yakni Ibn Sab’īn (614-669 H),
yang mencantumkan beberapa nama filosof Yunani dalam silsilah tarikatnya, di
antaranya Plato dan Aristoteles. Ibn ‘Arabī sendiri, yang dianggap sebagai
syaikh terbesar di kalangan para sufi, berasal dari generasi keenam ini, semasa
dengan Farīd al-Dīn al-‘Aṭṭār (w. 627 / 628 H), Ṣadr al-Dīn al-Qūnawī (w.
673 H) dan Jalāl al-Dīn Rūmī (w 672 H). []
[1]
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.1188
[2]
Lihat : Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar , 2002), hlm.628.
[3]
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.175
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Dualisme#cite_note-Hart-0
[5]
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.174
[6]
Lihat: Alim Ruswantoro, Pertemuan Kebudayaan Islam dan Yunani: Mencari
Benang Merah Makna Transendental Filsafat Islam, dalam Jurnal Filsafat
POTENSIA Vol.1 No.1 (BEMJ-AF Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2002),hlm.14
[7]
K.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm.131
[8]
Tidak ada sumber yang memastikan bahwa ungkapan ini benar-benar secara harfiah
dikutip langsung dari Herakleitos, namun, dalam tradisi filsafat, ungkapan
populer yang menegaskan kesinambungan perubahan ini seringkali dihubungkan
dengan ajaran filsafatnya. Ungkapan di atas memiliki makna: “Segalanya mengalir
dan tidak ada yang tinggal mantap (tidak berubah).” Lihat : K.Bertens, Sejarah
Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm.55
[9]
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.623-633
[10]
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999),
hlm.139
[11]
Bandingkan : Leslie Stevenson dan David L.Haberman, Sepuluh Teori Hakikat
Manusia, terj. Yudi Santoso dan Saut Pasaribu (Yogyakarta: Bentang, 2001),
hlm.144-145
[12]
Lihat: Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti dan MS.
Nasrullah (Bandung: Mizan, 1992), hlm 22-25. Dalam hal ini Nurcholish Madjid
sependapat dengan Murata, namun ia menambahkan satu lagi ranah pemikiran yang
berkembang dalam Islam, yakni ranah filsafat. Lihat: Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, cet.IV, 2000), hlm.201. Murata
tidak banyak menyebutkan tentang ranah pemikiran filsafat dalam Islam secara
spesifik, namun jika ditilik dari berbagai penjelasannya, agaknya ia menganggap
bahwa ranah tersebut, yakni filsafat, termasuk dalam tradisi hikmah.
Menurutnya, dalam tradisi hikmah para mistikus atau sering disebut
“sufi” lebih terbuka dan tidak membatasi diri terhadap apa yang tersurat dan
interpretasi- interpretasi artifisial. Lagi pula, masih menurutnya, batas
antara filsafat dan tasawwuf teoritis sering kali sulit ditentukan. Ini
terbukti dari banyaknya tokoh yang sering disebut sebagai para filosof Islam
(di antaranya Murata mencontohkan Baba Afdhal Kasyani, Suhrawardi dan Mulla
Shadra) menggunakan bahasa filsafat dalam mengemukakan gagasannya, namun
memiliki visi yang sama dengan inti yang terdapat dalam pendekatan sufi.
[13]
Istilah teosofi ini dibuat dengan mengacu kepada sistem pemikiran tertentu dari
Timur, yang menekankan clairvoyance (kewaskitaan) dan telepati. Lihat:
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.1101; dalam tradisi
hikmah yang berkembang dalam Islam, kemampuan clairvoyance tersebut
dikenal juga dengan kasyf.
[14]
Richard Walzer, dalam Alim Ruswantoro, Pertemuan Kebudayaan Islam dan
Yunani: Mencari Benang Merah Makna Transendental Filsafat Islam, dalam
Jurnal Filsafat POTENSIA Vol.1 No.1 (BEMJ-AF Fak. Ushuluddin IAIN Sunan
Kalijaga, 2002),hlm.6
[15]
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), hlm.43
[16]
Lihat: Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian
Wahyudi Asmin (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm.115
[17]
Majid Fakhry, The Arabs and The Encounter with Philosophy, dalam
Therese-Anna Druart (ed.), Arabic Philosophy and The West, (Washington:
Center for Contemporer Arab Studies, Georges Town University, 1988), hlm.1.
Dalam tulisannya tersebut Majid Fakhry menyebut filsafat sebagai “produk unik
genius-genius Yunani”, istilah yang menurut hemat penulis cocok pula untuk
dikenakan terhadap filsafat Islam sebagai “produk unik genius-genius Islam”.
[18]
Dalam hal ini, penerimaan akan hadirnya filsafat ke tengah-tengah pemikiran
Islam dilakukan oleh kelompok yang menganggap bahwa wisdom Yunani itu tidak
dapat dipandang sebelah mata dan kekuatan rasionalitasnya dianggap penting sebagai
fundamen, atau setidaknya salah satu perangkat, bagi interpretasi terhadap
doktrin-doktrin agama, sehingga para penganutnya tidak akan terjerumus ke dalam
fanatisme yang irrasional. Sedangkan di pihak lain, ada juga kelompok yang
berpendapat bahwa di dalam Islam sendiri metode-metode atau perangkat-perangkat
yang dibutuhkan untuk menjelaskan apa dan bagaimana Islam itu sendiri sudah
cukup sehingga filsafat sebagai sesuatu yang asing (non-Islam) tidak dibutuhkan
keberadaannya di dalam konteks pemikiran keislaman.
[19]
Lihat: Alim Ruswantoro, Pertemuan Kebudayaan Islam dan Yunani: Mencari
Benang Merah Makna Transendental Filsafat Islam, dalam Jurnal Filsafat
POTENSIA Vol.1 No.1 (BEMJ-AF Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2002),hlm.4
[20]
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999),
hlm.127-128
[21]
ibid., hlm.123
[22]
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj.
Musa Kazhim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001), hlm.4
[23]
Rosihon Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia,
2003), hlm.81
[24]
Menurut Plotinus, semua yang wujud ini tidak sama tingkat kesempurnaannya
menurut dekat atau jauhnya dari wujud
yang tertinggi, wujud keesaan yang sempurna (yakni Tuhan), yang esa sama sekali
dari segala segi. Lihat : Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 2001), hlm.100
[25]
Al-Syahrastānī, Al-Milal wa Al-Nihal, terj.Syuaidi Asy’ari (Bandung:
Mizan, 2004), hlm.88
[26]
Arthur O. Lovejoy, The Revolt Against Dualism (USA: Open Court
Publishing Company, 1930), hlm.264
[27]
Lihat: Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj.
Zaimul Am (Bandung: Mizan, cet.II, 2002), hlm.34-39
[28] Lihat: Majid
Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am
(Bandung: Mizan, cet.II, 2002), hlm.48
[29]
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj.
Musa Kazhim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001), hlm.74
[30]
Lihat: Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian
Wahyudi Asmin (Jakarta: Bumi Aksara, cet.III, 2004), hlm.238
[31]
Muhsin Labib, Mengurai Tasawwuf Irfan dan Kebatinan (Jakarta: Lentera,
2004), hlm.40
[32]
Muhsin Labib, Mengurai Tasawwuf Irfan dan Kebatinan (Jakarta: Lentera,
2004), hlm.41
No comments:
Post a Comment