A.
Ruang Lingkup Asuransi Konvensional
Sejarah dan Perkembangan Asuransi
Asuransi merupakan suatu evolusi panjang dengan permulaan sederhana
dan bukan suatu produk legislatif, serta merupakan bagian dari sejarah
perdagangan dan pelayaran pada umumnya. Asuransi mulai dimanfaatkan oleh
masyarakat pedagang di lembah Inggris, Mesopotamia, sekitar 4000 tahun SM.
Namun pengaturannya pertama kali ditemukan dalam kitab Undang-Undang Hukum
Hammurabi dari Babilonia sekitar 2100 SM.[1]
Dalam catatan sejarah dunia Barat, di kalangan bangsa Romawi muncul
gagasan melakukan perjanjian asuransi laut pada abad 12, kemudian memencar di
beberapa daerah Eropa pada abad 14. Pada tahun 1680 di London berdiri asuransi
kebakaran sebagai akibat peristiwa kebakaran besar di London pada tahun 1966
yang melalap lebih dari 13.000 rumah dan kira-kira 100 gereja.
Pada abad 18 bermunculan perusahaan asuransi kebakaran di beberapa
negara, seperti Prancis dan Belgia di Eropa. Kemudian di Amerika muncul pula
pada abad 19 asuransi jiwa bagi awak kapal mulai dikenal, yang berarti pada
mulanya asuransi jiwa meluas dan berkembang pada abad 20 hingga sekarang.
Perusahaan asuransi laut dan kebakaran yang pertama kali muncul di Indonesia
adalah Batavianche Zee and Brand Assurantie Maatshappij, didirikan pada tahun
1843. Pada tahun 1912 lahir perusahaan asuransi jiwa Bumi Putera sebagai usaha
pribumi[2]
Pengertian Asuransi
a.
Secara
bahasa
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda “Assurantie”
dan dalam hukum Belanda dipakai kata Verzekerring, kata ini kemudian
disalin dalam bahasa Indonesia dengan kata “Pertanggungan”. Dari peristilahan
Assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung dan geassureerde
bagi tertanggung. Dari istilah Verzekerring timbullah peristilahan Verzekerear
bagi “penanggung” dan Verzekerde bagi “tertanggung”. Dalam bahasa Arab asuransi
menggunakan kata ta’min, “penanggung” disebut dengan mu’ammin, dan
“tertanggung” disebut dengan mu’ammin lahu sering juga disebut dengan musta’min[3]
b.
Secara
istilah
b.1. Dari sudut pandang sosial
Asuransi adalah suatu alat sosial yang menggabungkan
risiko-risiko individual ke dalam suatu kelompok dan menggunakan dana yang
disumbangkan oleh anggota-anggota kelompok itu untuk membayar kerugian-kerugian[4]
b.2. Dari sudut pandang teknik
Asuransi adalah usaha untuk mengurangi ketidakpastian
pada pihak-pihak tertentu yang dinamakan tertanggung melalui pengalihan
risiko-risiko tertentu kepada pihak lain yang dinamakan penganggung yang
berjanji untuk memberikan ganti rugi kepada tertanggung, meskipun sebagian atas
kerugian finansial yang menimpanya[5]
b.3. Dari sudut pandang hukum
Dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang pasal 246
memberikan pengertian asuransi sebagai berikut : Asuransi atau pertanggungan
adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada
seseorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak
tertentu[6]
Sedangkan menurut UU No. 2 Tahun 1992 tentang usaha
perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung,
dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung,
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan[7]
Prinsip-prinsip Dasar Asuransi
Sebagaimana pengertian asuransi yang ditunjukkan dalam pasal 246
KUHP dan pasal 1 UU No. 2 Th. 1992 tentang perasuransian, maka usaha asuransi
ditegakkan di atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Prinsiple
of Insurable Interest
Bahwa, seseorang boleh
mengansurasikan barang-barang apabila yang bersangkutan mempunyai kepentingan
atas barang yang dipertanggungkan (Pasal 250 KUHP)
2.
Prinsiple
of Utmost Good Faith
Penutupan asuransi baru
sah, apabila penutupannya didasari itikad baik (pasal 251 KUHP)
3.
Prinsiple
of Indemnity
Dasar penggantian kerugian dari penanggung kepada
tertanggung setinggi-tingginya adalah sebesar kerugian yang sesungguhnya
diderita tertanggung dalam arti tidak dibenarkan mencari keuntungan dari ganti
rugi asuransi
4.
Prinsiple
of Subrogatian
Apabila tertanggung sudah mendapatkan penggantian atas
dasar indemnity, maka si tertanggung tidak berhak lagi memperoleh penggantian
dari pihak lain, walaupun jelas ada pihak lain yang bertanggungjawab pula atas
kerugian yang dideritanya. Penggantian dari pihak lain harus diserahkan pada
penanggung yang telah memberikan ganti rugi dimaksud (pasal 284 KUHP)[8].
5.
Prinsiple
of Proximate Cause
Adalah suatu sebab
aktif, efisiensi yang mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa secara berantai
atau berurutan dan intervensi kekuatan lain, diawali dan bekerja dengan aktif
dari suatu sumber baru dan independen
6.
Prinsiple
of Contribution
Suatu prinsip di mana penanggung berhak mengajak
penanggung-penanggung lain yang memiliki kepentingan yang sama untuk ikut
bersama membayar ganti rugi kepada seseorang tertanggung, meskipun jumlah
tanggungan masing-masing penanggung belum tentu sama besarnya[9]
Jenis-jenis Asuransi
Istilah perasuransian melingkupi kegiatan
usaha yang bergerak di bidang usaha asuransi dan usaha penunjang usaha
asuransi. Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 menentukan:
"Usaha asuransi adalah
usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan
premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa
asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang
tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang".
Sedanggkan dalam Pasal 2 huruf (b)
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 menentukan:
"Usaha penunjang usaha
asuransi adalah usaha yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian
kerugian asuransi, dan jasa aktuaria."
Dalam Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang No. 2
Tahun 1992 usaha asuransi dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:
Pertama. usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab
hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
Kedua, usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang
yang dipertanggungkan.
Ketiga, usaha reasuransi yang memberikan jasa asuransi ulang
terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan Asuransi Kerugian dan atau
Perusahaan Asuransi Jiwa.
Dalam Pasal 3 huruf (b) Undang-Undang No. 2
Tahun 1992 usaha penunjang usaha asuransi dikelompokkan menjadi lima jenis,
yaitu:
1. Usaha pialang asuransi yang
memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan
penyelesaian ganti kerugian asuransi dengan bertindak untuk kepentingan
tertanggung.
2. Usaha pialang reasuransi yang
memberikan jasa keperantaraan dalam menempatkan reasuransi dan penanganan
penyelesaian ganti kerugian reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan
Perusahaan Asuransi.
3. Usaha penilai kerugian
asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi
yang dipertanggungkan.
4. Usaha konsultan aktuaria yang
memberikan jasa konsultan aktuaria.
5. Usaha agen asuransi yang
memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan
atas nama Penanggung.
Pengelompokan jenis usaha perasuransian
dalam pasal 3 tersebut didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang
melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko asuransi.
Selain itu, di bidang perasuransian terdapat pula perusahaan-perusahaan yang
kegiatan usahanya tidak menanggung risiko asuransi yang kegiatannya
dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi. Walaupun demikian,
sebagai sesama peneyediaan jasa di bidang perasuransian, perusahaan di bidang
usaha asuransi dan penunjang usaha asuransi merupakan mitra usaha yang saling
membutuhkan dan saling melengkapi, yang secara bersama-sama perlu memberikan
kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia.[10]
Selain pengelompokan menurut jenis
usahanya, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari
penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Usaha asuransi sosial adalah
dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial yang bersifat wajib (compulsory) berdasarkan undang-undang
dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat.
b. Usaha asuransi komersial
dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa yang
bersifat kesepakatan (voluntary)
berdasarkan kontrak asuransi dengan tujuan memperoleh keuntungan (motif
ekonomi).[11]
Dalam bentuk hukum usaha perasuransian,
menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 1992, usaha
perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk: Perusahaan
Perseroan (Persero); Koperasi; Perseroan Terbatas (PT); Usaha Besama (Mutual).
Namun, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1)
usaha konsultan aktuaria dan usaha agen asuransi dapat dilakukan oleh
Perusahaan Perseorangan, ayat (2). Sedangkan mengenai bentuk Usaha Bersama
diatur lebih lanjut dengan undang-undang, ayat (3). Mengingat undang-undang
mengenai bentuk hukum Usaha Bersama belum ada, maka untuk sementara ketentuan
mengenai bentuk hukum ini akan diatur dengan peraturan pemerintah.
Apabila badan hukum yang menjalankan usaha
perasuransian itu berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan atau Perusahaan
Perseroan (Persero) maka pendiriannya harus mengikuti ketentuan Undang-undang
No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Khusus badan hukum Perusahaan
Perseroan (Persero) perlu mengikuti juga ketentuan Peraturan Pemerintah No. 12
Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). Apabila badan hukum itu
berbentuk Koperasi, pendiriannya harus mengikuti Undang-undang No. 25 Tahun
1992 Tentang Perkoperasian.[12]
Setiap pihak yang melakukan usaha
perasuransian wajib memperoleh izin dari Menteri Keuangan, kecuali bagi
perusahaan yang menyelenggarakan Program
Asuransi Sosial (Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992). Khusus bagi
Badan Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan
tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam peraturan
pemerintah. Hal ini berarti bahwa pemerintah memang menugaskan Badan Usaha
Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial
yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan demikian, bagi
Badan Usaha Milik Negara yang dimaksud tidak perlu memperoleh izin usaha dari
Menteri Keuangan.
Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), harus dipenuhi persyaratan mengenai: Anggaran Dasar;
Susunan Organisasi; Permodalan; Kepemilikan; Keahlian di bidang perasuransian;
Kelayakan rencana kerja;
Hal-hal lain yang diperlukan untuk
mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat (pasal 9 ayat (2)
Undang-undang No. 2 Tahun 1992)
Yang dimaksud dengan keahlian di bidang
perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuari,
underwriting, manajemen risiko,
penilaian kerugian asuransi, dan sebagainya yang sesuai dengan kegiatan usaha
perasuransian yang dijelaskan.
Dalam hal terdapat kepemilikan pihak asing,
maka untuk memperoleh izin usaha wajib dipenuhi persyaratan dalam ayat (2)
serta ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing (Pasal
9 ayat (3) Undang-undang No. 2 Tahun 1992). Dalam pengertian “batas kepemilikan
dan kepengurusan pihak asing” termasuk pula pengertian tentang proses
indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan perasuransian nasional
semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri.
Pemberian izin usaha perasuransian
dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama pemberian persetujuan prinsip,
dan tahap kedua pemberian izin usaha. Tetapi pemberian prinsip bagi agen
asuransi dan konsultan aktuaria tidak diperlukan. Pemberian prinsip berlaku
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak tanggal izin usaha ditetapkan, perusahaan perasuransian yang bersangkutan
tidak berjalan kegiatan usahanya, maka izin usaha perasuransian dapat dicabut
(Pasal 9-10 Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992).
Sementara dalam Bab III pasal 3 UU No. 2 Th. 1992, yang mana dalam
pasal tersebut dikemukakan :
1.
Asuransi kerugian,
yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas
kerugian, kehilangan manfaat dan tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang
timbul dari peristiwa yang tidak pasti
2.
Asuransi jiwa,
yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan risiko yang
dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan
3.
Re-Asuransi,
yaitu asuransi yang memberikan jasa dan pertanggungan ulang terhadap risiko
yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atas perusahaan asuransi
jiwa[13]
Dilihat dari segi kepemilikannya, dalam hal ini yang dilihat adalah
siapa pemilik dari perusahaan asuransi tersebut, baik asuransi kerugian,
asuransi jiwa ataupun Re-Asuransi.
1.
Asuransi Milik
Pemerintah
Yaitu asuransi yang sahamnya dimiliki sebagian besar atau bahkan 100
persen oleh pemerintah Indonesia
2.
Asuransi Milik
Swasta Nasional
Asuransi ini kepemilikan sahamnya sepenuhnya dimiliki oleh swasta
nasional, sehingga siapa yang paling banyak memiliki saham, maka memiliki suara
terbanyak dalam rapat umum pemegang saham (RUPS)
3.
Asuransi Milik
Perusahaan Asing
Perusahaan asuransi jenis ini biasanya beroperasi di Indonesia
hanyalah merupakan cabang dari negara lain dan jelas kepemilikannya dimiliki
oleh 100 persen oleh pihak asing
4.
Asuransi Milik
Campuran
Merupakan jenis asuransi yang sahamnya dimiliki campuran antara
swasta nasional dengan pihak asing[14]
Ditinjau dari aspek tujuan dan sifat penyelenggaraannya, asuransi
dibedakan menjadi dua, yaitu asuransi sosial (Social Insurance) dan
asuransi khusus (Special Insurance). Asuransi sosial bertujuan
untuk umum dan biasanya bentuknya usaha bersama (koperasi) yang berciri khas:
1.
Demokrasi dalam
kepemilikan dan kepengurusan
2.
Tertanggung
sekaligus penanggung
3.
Tidak ada modal
4.
Semua pemegang polis
mempunyai hak yang sama pada sisi hasil usaha
5.
Menyediakan
asuransi dengan biaya serendah mungkin dan seluas mungkin
Di Indonesia asuransi sosial untuk anggota masyarakat kebanyakan
diselenggarakan oleh pemerintah, sehingga sering disebut asuransi wajib karena
demi kepentingan umum
Asuransi khusus (Special Insurance) mempunyai tujuan
mencari laba dan biasanya berbentuk perusahaan Perseroan, kepemilikannya oleh
pemegang saham. Ciri asuransi khusus ini adalah:
1.
Kepemilikan
dimiliki oleh pemilik saham atau modal
2.
Bertujuan
mengejar laba
3.
Penanggung tidak
sebagai tertanggung
4.
Menyelenggarakan
harga polis yang tetap
5.
Adanya unsur
penekanan pentingnya modal[15]
Sedangkan ditinjau dari hukum Islam asuransi dibagi menjadi dua,
yaitu :
1.
Asuransi
syari’ah, adalah asuransi di mana di dalam kegiatannya terhindar dari unsur
yang diharamkan oleh Islam, baik itu garar, maisir, riba dan
eksploitasi
Asuransi non syari’ah, adalah asuransi yang
dalam kegiatannya masih mengandung empat unsur di atas.
[1] Syamsul Anwar, “Sumber Hukum dan Pengaturan Asuransi di Indonesia”,
dalam Modul Asuransi Islam, (ttp, tp, 2002) hlm. 13.
[2] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga
Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: Ekonisia, 2003). hlm.100.
[3] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung : Mizan, 1994)
hlm. 205-206.
[4] Mehr dan Cammack, Manajemen Asuransi, alih bahasa A.
Hasymi, (Jakarta: Balai Aksara, 1981), hlm. 2
[5] Syamsul Anwar, Asuransi Islam, (Yogjakarta: Fakultas
Syari’ah, 2002)
[6] Ahmad Azhar Basyir, Takaful sebagai Alternatif Asuransi Islam,(Jurnal
'Ulumul Qur'an No.2 Vol VII, 1996) hlm. 15
[7] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.
260
[8] C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, cet.
IV (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 429
[9] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, hlm. 266.
[10] Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Islam Indonesia, cet.
II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 24
[11] Ibid., hlm. 25.
[12] Ibid., hlm. 26.
[13] C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan, hlm. 440
[14] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan, hlm. 264
[15] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa. Soeroyo,
Nastangin, (Jakarta: Dana Bahkti Wakaf, 1995), IV: 281
No comments:
Post a Comment