KODE ETIK PROFESI HAKIM DALAM ISLAM
Selengkapnya Click DISINI
A. Pengertian Etika Islam
Pemahaman terhadap eksistensi kode etik profesi
hakim dalam wacana pemikiran hukum Islam adalah sistem etika Islam yang akan
menjadi landasan berfikir untuk melihat nilai-nilai yang ada dalam kode etik
profesi hakim.
Etika dalam Islam disebut dengan akhlak. Akhlak
berasal dari bahasa arab yang artinya perangai, tabiat, rasa malu dan adat
kebiasaan atau dalam pengertian sehari-hari disebut budi pekerti, kesusilaan
atau sopan santun. Dengan demikian ahklak merupakan gambaran bentuk lahir
manusia.[1]
Ahmad Amin memberikan definsi akhlak adalah suatu
ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang harusnya
dilakukan oleh sebagian manusia kepada manusia lainnya, menyatakan apa yang
harus dituju oleh manusia dalam hal perbuatan mereka dan menunjukkan jalan apa
yang harus diperbuat.[2]
Sedangkan menurut A. Mustofa akhlak dalam Islam
(akhlak Islam) adalah merupakan sistem moral atau akhlak yang berdasarkan
Islam, yakni bertitik tolak dari akidah yang diwahyukan Allah pada Nabi atau
Rasul-Nya yang kemudian disampaikan pada umatnya.[3]
Akidah tersebut diwujudkan menjadi tabiat atau sifat seseorang, yakni telah
biasanya dalam jiwa seseorang yang benar-benar telah melekat sifat-sifat yang
melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan.
Perbuatan tersebut terkadang berbentuk baik dan terkadang juga berbentuk buruk.
Dengan demikian pada
tahap pertama merupakan hasil pemikiran atau pertimbangan tetapi lama-lama
menjadi melekat dan tanpa pertimbangan dan pemikiran. Dan dapat dikatakan
akhlak merupakan manifestasi iman, Islam dan ihsan yang merupakan repleksi
sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada diri sendiri sendiri sehingga
dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada
pertimbangan interes tertentu.[4]
Sehingga Majid Fakhry menyebutkan etika atau akhlak
adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan menjadi dasar perbuatan dan
keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan
dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.[5]
Lebih ditegaskan lagi etika adalah merupakan hal keyakinan religius tertentu
(I'tiqadat) untuk diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka.[6]
Dari pengertian di atas etika dan akhlak kalau dipahami adalah merupakan dua
kata yang mempunyai kesamaan dan juga perbedaan, persamaanya adalah pada obyek
yakni sama-sama membahas tentang baik dan buruk tingkah laku manusia sedangkan
perbedaanya adalah pada parameternya yaitu etika terhadap akal, dan akhlak
terhadap agama (al-Qur'an dan Hadis}).
Dengan demikian etika
mempunyai peranan penting karena lebih menekankan pada bentuk bathiniyah yang
berkaitan dengan pelaksanaan hukum (syari'ah) yang berbentuk bat}iniyah. Lebih jauh lagi merupakan aspek penting
bagi penegak hukum, khususnya profesi hakim. Karena moralitas atau etika
sebagai dorongan terhadap keadaan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan
profesinya.
B.
Landasan Etika
Profesi Dalam Islam
Persoalan etika dalam Islam sudah banyak dibicarakan
dan termuat dalam al-Qur'an dan al-Hadis. Etika Islam adalah merupakan sistem
akhlak yang berdasarkan kepercayaan kepada tuhan, dan sudah tentu berdasarkan
kepada agama, dengan demikian al-Qur'an dan al-Hadis adalah merupakan sumber
utama yang dijadikan landasan dalam menentukan batasan-batasan dalam tindakan
sehari-hari bagi manusia, ada yang menerangkan tentang baik dan buruk, boleh
dan dilarang, maka etika profesi hakim di sini merupakan bagian dari perbuatan
yang menjadi fokus bahasan.
Namun al-Qur'an yang menerangkan tentang kehidupan
moral, keagamaan dan sosial muslim tidak menjelaskan teori-teori etika dalam
arti yang khusus sekalipun menjelaskan konsep etika Islam, tetapi hanya
membentuk dasar etika Islam, bukan teori-teori etika dalam bentuk baku.[7]
Tetapi masalah yang paling utama adalah bagaimana mengeluarkan ethik Islam yang
bersumber dari al-Qur'an yang melibatkan seluruh moral, keagamaan, dan sosial
masyarakat muslim guna menjawab semua permasalahan yang timbul baik dari dalam
maupun dari luar.
Dengan demikian perlu
dari kedua sumber tersebut yang pada umumnya memiliki sifat yang umum, karena
itu perlu dilakukan upaya-upaya dan kualifikasi agar dipahami sehingga perlu
melalui penjelasan dan penafsiran. Permasalahan kehidupan manusia yang semakin
kompleks dengan dinamika masyarakat yang semakin berkembang. Maka akan dijumpai
berbagai macam persoalan – persoalan terutama masalah moralitas masyarakat
muslim, pada masa Nabi Muhammad yang
terbentuk setelah turunnya wahyu al-Qur'an, sehingga masih bisa dikembalikan
kepada sumber al-Qur'an dan penjelasan
dari Nabi sendiri. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan keagamaan ketika
itu yang dihadapkan dengan masalah budaya, adat dan pola pikir masyarakat yang
berkembang saat itu, maka keadaan moralitas menjadi sangat penting dan
komplek.
Al-Qur'an sendiri menjelaskan tentang etika dengan
berdasarkan tiga terma kunci, utama yang merupakan pandangan dunia al-Qur'an.
Ketiga terma kunci tersebut adalah iman, Islam, dan taqwa yang
jika direnungkan akan memperlihatkan arti yang identik. Istilah iman berasal
dari akar kata (ا مّن)
yang artinya ”keamanan”, “bebas dari bahaya, “damai”, Islam yang akar
katanya (سلم )yang artinya “aman dan
integral”, “terlindungi dari disintegrasi dan kehancuran”. Dan taqwa yang
sangat mendasar bagi al-Qur'an disamping kedua istilah di atas, yang memiliki
akar kata (وقي) juga berarti “melindungi dari bahaya”,
“menjaga kemusnahan, kesia-siaan, atau disintegrasi”.[8] Sehingga
pembahasan etika yang terdapat dalam al-Qur'an mengandung cakrawala yang luas
karena menyagkut nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan manusia baik
secara individu, masyarakat dan Negara secara umum demi mencapai kebahagian
baik di dunia dan di akhirat.
Menurut Madjid Fakhri,
sistem etika Islam dapat dikelompokkan menjadi empat tipe. Pertama, moral
skripturalis. Kedua, etika teleologis. Ketiga, teori-teori etika filsafat.
Keempat, etika religius.[9]
Dari keempat tipologi etika Islam tersebut, etika religius akan menjadi pilihan
sebagai landasan teori yaitu nilai-nilai etika yang didasarkan pada konsep
al-Qur'an tentang nilai-nilai etika hukum dalam Islam. Dengan demikian penyusun
hanya akan menjelaskan salah satu macam etika yaitu etika religius yang menjadi
landasan.
Etika religius adalah
etika yang dikembangkan dari akar konsepsi-konsepsi al-Qur'an tentang manusia
dan kedudukannya di muka bumi, dan cenderung melepaskan dari kepelikan
dialektika dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas Islam
secara utuh.[10]
Bahan-bahan etika religius adalah pandangan-pandangan dunia al-Qur'an,
konsep-konsep teologis, kategori-kategori filsafat dan dalam beberapa hal
sufisme. Karena itu sistem etika religius muncul dalam berbagai bentuk yang
kompleks sekaligus memiliki karakteristik yang paling Islami. Diantara
eksponennya adalah Hasan al-Basri, al-Mawardi, al-Raghib al-Isfahani,
al-Ghazali, dan Fakhruddin ar-Razi. al-Ghazali yang sistem etikanya mencakup
moralitas filosofis, teologis, dan sufi, adalah contoh yang paling
representatif dari etika religius.[11]
Sementara kajian
epistemologi terhadap nilai-nilai suatu perbuatan, oleh F. Huorani
dikelompokkan menjadi empat aliran,
yaitu: Pertama, Obyektifisme; “right” memiliki arti yang obyektif, yaitu
suatu perbuatan itu disebut benar apabila terdapat kualitas benar pada
perbuatan itu. Aliran ini biasanya dimiliki oleh aliran mu’tazilah dan filsuf
muslim. Kedua, Subyektivism; “right” tidak memiliki arti yang obyektif,
tetapi sesuai dengan kehendak dan perintah dan ketetapan Allah swt. Tipe ini
disebut secara spesifik oleh George F. Huorani dengan theistic subjectivisme
atau divine subjectivisme. Terma ini disepadankan oleh George F.
Huorani dengan sebutan ethical voluntarism. Ketiga, Rationalism;
‘right” itu dapat diketahui dengan akal semata atau akal bebas. Artinya, akal
manusia dinilai mampu membuat keputusan etika yang benar berdasarkan data
pengalaman tanpa menunjuk kepada wahyu. Aliran ini dengan pendayaannya terhadap
akal disepadankan oleh George F. Huorani dengan kelompok intuitionist. Aliran
ini dibagi 2 yaitu: pertama, “right” selalu dapat diketahui oleh akal secara
bebas. Kedua, “right” dalam beberapa kasus dapat diketahui oleh akal semata,
pada kasus lain diketahui oleh wahyu, sunnah, ijma', dan qiyas, atau
dapat diketahui oleh akal dan wahyu dan seterusnya. Aliran ini secara spesifik
disebut dengan partial rationalism. Keempat,Traditionalism;
“right” tidak akan pernah dapat diketahui dengan akal semata tetapi hanya dapat
diketahui dengan wahyu dan sumber-sumber lain yang merujuk kepada wahyu.
Menurut George F. Huorani, aliran ini bukan tidak sama sekali tidak
memanfaatkan kemampuan akal, tetapi kemampuan akal dipergunakan pada saat
menafsirkan al-Qur'an dan sunnah, menetapkan ijma' atau menarik qiyas.
Aliran seperti ini biasanya dianut oleh para fuqoha dan mutakallimun.[12]
Sedangkan kata-kata
profesi sendiri dalam Al-Qur'an disebutkan dengan kata-kata 'aml ( عمل ) yang disebut
berulang-ulang, belum lagi dengan penyebutan yang lain atau kiasan lain. Namun
ada sebagian orang yang menyebutkan bahwa Islam tidak progresif terhadap budaya
kerja. Hal ini karena disebabkan didalam Islam adanya takdir, yang sering dipahami
secara negatif atas pemahaman bahwa dalam Islam tidak terlalu penting. Ini bias
dari teologi jabariyah (aliran aqidah yang berpendapat bahwa manusia tidak
punya faktor atau penentu). Sehingga faktor adanya kemiskinan akibat dari
faktor dari teologis ini.[13]
C. Sistem Etika Islam Dalam Penegakan Hukum
Sistem etika Islam
yang berkembang terlebih dahulu dalam pemahaman agama, sehingga hubungan antara
agama dengan etika mempunyai relasi yang erat. Keduanya memang tidak dapat
dipisahkan. Keterbatasan kemampuan manusia untuk mamahami ajaran agama
menyebabkan perlunya manusia mencari jalan dan
berfikir yang tepat untuk membantu manusia dalam menafsirkan agama,
karena tidak semua orang sepakat dalam suatu pendapat. Begitu juga terhadap
peristiwa-peristiwa sekarang yang dulunya masih belum menjadi persoalan agama
dapat dipecahkan melalui etika dengan memperhatikan ketentuan agama.
Agama biasanya
dipahami semata-mata membicarakan urusan spiritual, karenanya ada ketegangan
antara agama dan hukum. Hukum utuk memenuhi kebutuhan sosial dan karenanya
mengabdi kepada masyarakat untuk mengontrolnya dan tidak membiarkannya
menyimpang dari kaedahnya, yaitu norma-norma yang ditentukan oleh agama.[14]
Agama di sini menekankan moralitas, perbedaan antara yang benar dan
salah, baik dan buruk, sedangkan hukum duniawi memfokuskan diri kepada
kesejahteraan material dan kurang memperhatikan etika. Terlihat dengan adanya
perbedaan antara fungsi antara etika dengan ilmu hukum yaitu etika dalam agama
memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang segala perbuatan yang
dilarang dan madarat sedangkan ilmu hukum tidak karena banyak perbuatan yang
baik dan berguna yang tidak diperintahkan oleh ilmu hukum. Dari fungsi di atas
menjadikan etika atau akhlak mendalami gerak jiwa manusia secara batin walaupun
tidak menimbulkan perbuatan lahir sedangkan ilmu hukum melihat segala perbuatan
yang berakibat kepada lahir.
Hukum agama sebenarnya
merupakan hukum moral "farexcellence", sedangkan menurut Khan
: "hukum moral adalah hukum dalam arti sebenarnya.Tidak ada pemisahan
total hukum dari moralitas". Oleh karena itu hukum yang dipisahkan dari
keadilan dan moralitas bukanlah hukum.[15]
Dengan demikian etika
sangat bermanfaat sekali bagi seorang walaupun pada dasarnya manusia itu sudah
bermoral. Manfaat etika itu antara lain agar manusia dapat mengadakan refleksi
kritis dalam menghadapi masyarakat yang semakin pluralistik dimana kesatuan
normatif sudah tidak ada lagi. Perubahan-perubahan masyarakat karena arus
modernisasi mengakibatkan goncangan nilai budaya yang bisa saja berubah dan
mana nilai yang tetap dan tidak mungkin berubah. Etika dapat juga membuat kita
sanggup menghadapi ideologi yang menawarkan darinya sebagai penyelamat dengan
memecahkanya secara kritis dan obyektif. Karena itu dengan etika kita akan
dapat memantapkan iman kita.[16]
Etika Islam
sebagai landasan yang harus dijunjung
oleh seorang profesi dalam hal ini seorang hakim (Qadi) dalam
menjalankan profesinya adalah memberi keputusan ( Judgement ) bukan
menghadiahkan keadilan dan keputusan yang diberikan harus berdasarkan hukum.
Hal ini dalam konsep Islam, profesi hakim harus benar-benar menegakkan etika,
dan bagaimana etika yang harus ditegakkan dalam menjalani profesi dalam Islam,
atau yang disebut etika profesi dalam Islam.
Konsep profesi dalam
Islam tersebut adalah : [17]
1. Meletakkan kerja sebagai
sebuah amal shaleh yang dilakukan dalam kontek dan tahapan yang runtut atas
iman, ilmu, dan amal. Disini kerja terorientasi kepada dua pandangan :
aktifitas yang bernilai ibadah dan sebuah aktifitas untuk memperoleh keuntungan
financial.
2. Menunuaikan kerja sebagai
suatu penunaian amanah yang harus dilakukan secara professional.
3. Melakukan kerja dengan
wawasan masa depan dan wawasan ukhrawi artinya dalam melakukan kerja, seseorang
harus mengingat kepentingan akan hari depannya. [18]
Dari uraian di atas
etika profesi dalam Islam adalah merupakan aktivitas yang bukan hanya bersifat
duniawi, melainkan juga sangat ukhrawi. Artinya Islam melibatkan aspek
transendental dalam beribadah, sehingga bekerja tidak hanya bisa dilihat
sebagai prilaku ekonomi tetapi juga ibadah, sehingga profesi hakim yang
dijalani adalah suatu profesi yang profesi yang harus dipertanggung jawabkan di
akhirat.
Dalam hadis di sebutkan :
القضاة ثلا ثة : اثنان فىالناروواحد فىالجنة : رجل عرف الحق
فقضى به فهوفىالجنة ورجل عرف الحق فلم يقض به وجار فىالحكم فهوا فىالنار ورجل لم
يعرف الحق فقضىللناس على جهل فهوا فى النار[19]
Hadits} diatas menjelaskan pembagian hakim,
sehingga apabila haim tidak menjalankan amanahnya sesuai dengan sistem etika
profesi dalam Islam maka termasuk salah satu golongan hakim yang celaka, karena
mengimgkari tujuan dari etika profesi hakim yang ada, dan tidak bisa
mempertanggungjawabkan akan tugasnya diakhirat nanti.
Hal ini diungkapkan
oleh al-Ghazali, bahwa tujuan etika dalam Islam berpangkal dari pengabdian
sepenuhnya pada Tuhan. Pemikiran etika al-Ghazali sangat menekankan pada
keselamatan individu baik di dunia sekarang maupun di akhirat nanti. Adanya
kewajiban bagi manusia pada hakekatnya dimaksudkan untuk keselamatan individu.[20]
D.
Prinsip-prinsip
Peradilan Dalam Nilai Etika Islam
Setelah dijelaskan landasan dan hubungan
etika agama dalam penegakkan hukum, selanjutnya akan dipaparkan suatu konsep
dari suatu paradigma etika profesi yang
dikontruksi dari nilai-nilai atau
prinsip-prinsip etika profesi hakim dari lintasan sejarah secara normatif.
Seperti dikatakan A. Hanafi, sistem etika Islam selalu tercermin dalam konsep
tauhid.[21]
Oleh karena itu bagi seorang hakim dalam melaksanakan profesinya harus taat
pada prinsip-prinsip peradilan yang telah yang telah digariskan oleh al-Qur'an,
sebagai pertimbangan dalam menjalani profesinya, karena ketaatan terhadap
prinsip-prinsip akan memberikan jaminan terhadap terlaksananya tujuan hukum.
Dalam lintasan sejarah peradailan Islam,
Umar Bin Khattab mengatakan ada sepuluh macam prinsip peradilan yang harus
dijadikan pedoman pelaksanaan peradilan, prinsip tersebut dinamakan Risala>latul Qad}a> Umar, prinsip tersebut adalah :
[2] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), alih bahasa Farid Ma’ruf,
cet. ke-8, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 3.
lebih jauh pada hlm. 5, beliau menjelaskan bahwa pokok persoalan yang dapat
diniali “baik dan buruk” adalah segala perbuatan yang timbul dari orang yang
melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia mengetahui waktu melakukannya.
[8] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam
Fazlurrahman, Taufiq Adnan Amal (peny.) (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 66.
[10] Ibid., hlm. 68.
[11] Majid Fakhry, Etika dalam Islam., hlm. xxi – xxiii.
[12] Amril M., "Studi Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani
(w.+ 1108 M)," disertasi IAIN Sunan Kalijaga, (2001), hlm. 25-27.
[16] Frans Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 15-16.
[18]
Sementara itu yang dimaksud dengan bekerja dengan wawasan ukhrawi adalah dalam
melaksanakan sebuah profesi seorang muslim harus merasakan semua akibat diakhirat nanti. Oleh karena itu seorang
muslim tidak boleh Melakukan kecurangan dan tindakan yang dilarang atau
diharamkan dalam menyelesaikan sebuah kerja inilah salah satu kelebihan yang
dimiliki oleh Islam. Ibid. hlm. 139.
[20] M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, alih bahasa Hamzah,
cet. ke-1, (Bandung:
Mizan, 2002), hlm. 202-205.
[21] A. Hanafi mengemukakan bahwa tauhid adalah percaya tentang wujud
Tuhan yang esa, yang tidak ada sekutu bagiNya, baik zat, zifat maupun
perbuatanNya. Lihat A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1992), hlm. 12.
No comments:
Post a Comment