Selengkapnya Click DISINI
Persoalan
pencatatan perkawinan yang berhubungan dengan akibat hukum dalam hukum nasional
adalah hal persoalan yang belum tuntas sampai sekarang. Hilir mudik perdebatan
berkutat pada sah tidaknya perkawinan tanpa dicatatkan. Demikian juga
hubungannya dengan pencatatan perkawinan sulitnya memproses perkara cerai di
pengadilan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan, serta akibat hukum dari
cerainya pasangan suami isteri, seperti hak asuh anak, waris, dan lain-lain.
Tulisan ini
akan membahas bagaimana sisi kesejarahan terbentuknya UU No. 1 tahun 1974,
bagaimana situasi pergolakan pemikiran, perdebatan antara kelompok nasionalis
dengan kelompok ormas islam, aksi massa ,
dan sebagainya. Karena bagaimanapun juga persoalan undang-undang perkawinan
terutama dalam hal pencatatan perkawinan adalah hal yang belum tuntas sampai
hari ini, terus belum ada titik kompromi yang dapat membuat legowo semua pihak.
A. SEJARAH HUKUM KELUARGA (PENCATATAN PERKAWINAN) DI INDONESIA
1. Periode Panjajahan
a.
Perjumpaan
Hukum Islam dan Hukum Kolonial
Hukum Islam yang juga
sebagai hukum kolonial (karena sebelum itu di Nusantara telah terdapat hukum
adapt yang berasal dari pribumi) yang berada di Indonesia
datang di Indonesia jauh
sebelum pemerintah Hindia Belanda datang ke Indonesia .[1]
Hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat terkait kapan datangnya Islam
ke Indonesia .
Ada pendapat yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia yaitu pada abad
ke-7 Masehi, hal ini didasarkan pada adanya pedagang-pedagang muslim asal Arab,
Persia dan India yang sudah sampai ke kepulauan nusantara. Pendapat lain
menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia
yaitu pada Abad ke-13 Masehi, hal ini ditandai oleh sudah adanya masyarakat
muslim di Samudra Pasai, Perlak dan Palembang .
Sementara di Jawa terdapat makam Fatimah Binti Maimun di Leran, Gresik yang
berangka tahun 475 H atau 1082 M, dan makam-makam di Tralaya yang berasal dari
abad ke-13. Hal ini merupakan bukti perkembangan komunitas Islam termasuk di
pusat kekuasaan Hindu Jawa ketika itu yakni Majapahit.[2]
Pada akhir abad keenam
belas tepatnya tahun 1596, organisasi perusahaan Belanda bernama Vereenigde
Oost-Indische Compagnie atau yang dikenal dengan sebutan VOC merapatkan
kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Maksudnya semula untuk berdagang,
namun kemudian berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia . Untuk mencapai maksud
tersebut, Pemerintah Belanda memberi kekuasaan kepada VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie) untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan
perjanjian dengan raja-raja Indonesia .
Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai dua fungsi yaitu pertama
sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintahan.[3]
Sebagai usaha memantapkan pelaksanaan kedua fungsi itu, VOC mempergunakan hukum
Belanda yang dibawanya. Untuk itu di daerah-daerah yang dikuasainya kemudian,
VOC membentuk badan-badan peradilan untuk Bangsa Indonesia . Namun, oleh karena
susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda itu tidak dapat
berjalan dalam praktik, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam
masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. Misalnya, karena kota Jakarta
dan sekitarnya hukum Belanda yang dinyatakan berlaku untuk semua bangsa itu
tidak dapat dilaksanakan, pemerintah VOC terpaksa harus memperhatikan hukum
yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam
Statuta Jakarta tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai kewarisan orang Indonesia
yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai
oleh rakyat sehari-hari.[4]
Pada waktu Verenigde Ost Compagnie (VOC) pertama kali menguasai Indonesia kurang menghiraukan agama dan
kebudayaan bangsa Indonesia .
Semasa VOC diberi kekuasaan
oleh pemerintah Belanda untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan
perjanjian-perjanjian dengan raja-raja kepulauan Indonesia , VOC membentuk
badan-badan peradilan khusus pribumi di daerah kekuasaannya. Dalam Statuta
Batavia tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan, orang Indonesia yang
beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam.
Sehubungan dengan hal ini
VOC meminta D.W Freijer menyusun suatu compendium yang berisi hukum
perkawinan dan kewarisan Islam. Conpendium tersebut kemudian
dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi antara umat Islam di
daerah-daerah yang dikuasai oleh VOC. Kitab hukum tersebut terkenal dengan nama
Compendium Freijer.[5]
Di samping Compendium Freijer, pada masa VOC juga muncul kitab hukum Mogharraer
(Moharrar) untuk Pengadilan Negeri Semarang. Kitab ini adalah kitab
perihal hukum-hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti dari kitab hukum Islam moharrar
yang di dalamnya merupakan kumpulan hukum Tuhan, hukum alam, dan hukum anak
negeri yang dipergunakan oleh Landraad (pengadilan negeri) Semarang
dalam memutuskan perkara perdata dan pidana yang terjadi dikalangan rakyat
setempat.[6]
Setelah kekuasaan kompeni
diambil oleh kerajaan belanda abad ke-18 barulah ada perhatian Belanda kepada
kehidupan kebudayaan dan agama. Belanda selalu kuatir dan curiga terhadap
perkembangan Islam di Indonesia terutama karena ada gerakan Pan Islamisme yang
berpusat di Turki semasa kekuasaan Othmaniyah di Istambul. Pemerintah Kerajaan
Belanda mengalami perlawanan politik dan militer dari kesultanan-kesultanan dan
pemimpin-pemimpin ummat Islam di daerah-daerah Indonesia terutama sepanjang abad
ke-19 dan yang terakhir adalah perang Aceh yang baru dapat berakhir (formil)
pada tahun 1903, jadi sudah masuk abad ke-20 bahkan pada tahun 1908 di Kamang
Sumatera Barat terjadi lagi pemberontakan rakyat muslimin terhadap Belanda.
Oleh karena itu Belanda memperhatikan psikologi massa antara lain dengan membiarkan
berlakunya hukum Islam di Indonesia.[7]
Organisasi VOC tepatnya
pada tanggal 31 Desember 1799 dibubarkan, karena mengalami kebangkrutan.
Setelah proses pengambil alihan kekuasaan dari VOC, sikap Belanda berubah-ubah
terhadap hukum Islam, kendati perubahan itu terjadi secara perlahan-lahan.
Setidaknya perubahan sikap Belanda itu dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama,
menguasai Indonesia
sebagai wilayah yang memiliki sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua,
menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Islam dengan proyek
kristenisasi. Ketiga, keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang
disebut dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia . Maksudnya, Belanda ingin
menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.[8]
Namun upaya Belanda tersebut mendapat perlawanan sebagaimana yang disampaikan
Harry J. Benda bahwa: “Ever since the arrival of the Dutch East India
Company in Southeast Asia at the turn of the seventeenth century, the Dutch had
encountered Muslim hostility in Indonesia .
Time and again, the consolidation of their expanding power was threatened by
local outbreaks of Islamic inspired resistence, led either by Indonesian rulers
converted to the faith of the prophet or, at the village level, by fanatical
ulama, the independent teacher and scribes of Islam”.[9]
Sejak kehadiran Perusahaan
hindia Belanda di Asia Tenggara pada abad ke 17, Belanda telah menunjukkan kaum
muslimin dengan bersahabat di Indonesia .
Seiring berjalannya waktu, konsolidasi dari pergeseran kekuasaan yang mereka
miliki terancam oleh pemberontak muslim yang menginginkan perlawanan, yang juga
dipimpin oleh pemimpin Indonesia yang beriman pada nabi, dan pada level
pedesaan, pada ulama yang fanatik, guru dan cendekiawan muslim. Upaya
pemerintah untuk mengubah hukum Islam belum dimulai pada masa Pemerintahan
Hindia Belanda di zaman Daendels (1800- 1811). Dimasa itu, secara umum hukum
Islam dianggap sebagai hukum asli orang pribumi. Karena pendapat yang demikian,
Daendels mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa perihal hukum agama orang
Jawa tidak boleh diganggu gugat dan hak-hak penghulu mereka untuk memutus
beberapa macam perkara tentang perkawinan dan kewarisan harus diakui oleh
kekuasaan Pemerintah Belanda. Di samping itu, ia menegaskan bahwa kedudukan
para penghulu sebagai tenaga ahli hukum Islam yaitu hukum asli orang Jawa dalam
susunan badan peradilan yang dibentuknya sebagai penasihat dalam suatu masalah
atau perkara.[10]
Waktu Inggris menguasai Indonesia
(1811-1816) keadaan tidak berubah. Thomas S. Raffles yang menjadi Gubernur
Jendral Inggris untuk kepulauan Indonesia
pada waktu itu menyatakan bahwa hukum yang berlaku dikalangan rakyat adalah
hukum Islam. Ia mengatakan the koran….forms the general law of Java. Namun
setelah Indonesia dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda berdasarkan konvensi
yang ditanda tangani di London pada tanggal 13 Agustus 1814, Pemerintah
Kolonial Belanda membuat suatu undang-undang tentang kebijaksanaan pemerintah,
susunan pengadilan, pertanian dan perdagangan dalam daerah jajahannya di Asia.
Undang-undang ini mengakibatkan perubahan dihampir semua bidang kehidupan orang
Indonesia ,
termasuk bidang hukum yang akan merugikan perkembangan hukum Islam selanjutnya.[11]
Pada masa Pemerintahan
Hindia Belanda di zaman Daendels (1800-1811) dan sewaktu Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) yang mana Thomas S.
Raffles menjadi Gubernur Jendral Inggris untuk kepulauan Indonesia ,
hukum Islam merupakan hukum yang berlaku bagi masyarakat. Pada masa itu hukum
Islam dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi
dikalangan orang Islam bahkan pada masa itu disusun kitab undang-undang yang
berasal dari kitab hukum Islam. Melalui ahli hukumnya Van Den Berg, lahirlah
teori receptio in complexu yang menyatakan bahwa syariat Islam secara
keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Sehingga berdasarkan pada teori
ini, maka pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan peradilan agama
yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk agama Islam. Daerah jajahan
Belanda yaitu Indonesia
dengan ibu kotanya Batavia
dalam hal kekuasaan administrasi pemerintahan dan peradilan, termasuk peradilan
agama sepenuhnya ditangan Residen. Residen dengan aparat kepolisiannya berkuasa
penuh menyelesaikan perkara pidana maupun perdata yang terjadi.[12]
Sesuai dengan pendapat Carel Frederick Winter, seorang ahli tertua mengenai
soal-soal Jawa Javaichi yang lahir dan meninggal di Yogyakarta (1799-1859),
Solomon Keuzer (1823-1868) Maha Guru Ilmu Bahasa dan Ilmu Kebudayaan Hindia
Belanda, terakhir LodewijkeWillem Christian Van Den Berg (1845-1927), yang
dalam tahun 1984 menulis buku Muhammadansch Recht (asas-asas hukum
Islam) menyatakan bahwa hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam bumi putera
walaupun dengan sedikit penyimpangan-penyimpangan.[13]
Teori receptio in
complexu ini sesuai dengan Regeerings Reglement (Staatsblad 1884
No. 129 di Negeri Belanda jo. S.1885 No. 2 di Indonesia, terutama diatur dalam
Pasal 75, Pasal 78 jo, Pasal 109 RR disebutkan:[14]
Pasal 75 ayat (3) R.R tersebut mengatur: “Apabila terjadi sengketa perdata
antara orang-orang Indonesia
yang beragama Islam oleh hakim Indonesia
haruslah diperlakukan Hukum Islam gonsdientig wetten dan kebiasaan
mereka. Sedangkan dalam ayat (4) Pasal 75 R.R. disebutkan: “Undang-undang
agama, adat dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh Hakim Eropa pada
pengadilan yang Huger Beroep, bahwa dalam hal terjadi perkara perdata
antara sesama orang Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang
Indonesia, maka mereka tunduk kepada keputusan hakim agama atau kepala
masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan lama mereka.
Menurut Pasal 109 R.R.
ditentukan pula: “Ketentuan seperti tersebut dalam Pasal 75 dan Pasal 78 itu
berlaku juga bagi mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, yaitu
orang-orang Arab, Moor, orang Cina dan semua mereka yang beragama Islam, maupun
orang-orang yang tidak beragama. Menurut Pasal 7 Rechterlijke Organisatie ditetapkan:
“Sidang-sidang pengadilan negeri (landraad) harus dihadiri oleh seorang
fungsionarie yang mengetahui seluk beluk agama Islam, kalau yang dihadapakan
itu tidak beragama Islam, maka penasehat itu adalah kepala masyarakat dari
orang itu.[15] Sejalan
dengan berlakunya hukum Islam itu, pemerintah Hindia Belanda membentuk
pengadilan agama dimana berdiri pengadilan negeri dengan Staatsblad 1882 No.
152 dan 153, kemudian diiringi terbentuknya pengadilan tingggi agama (mahkamah
syar’iyyah) yang berfungsi sebagai pengadilan agama tinggi banding dan terakhir
berdasarkan Pasal 7 g Staatsblad 1937 No. 610 dan dalam tahun 1937 dengan
Staatsblad 1937 No. 638 dan 639 dibentuk pula peradilan agama di Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Timur dengan nama Pengadilan Qadhi Kecil pada tingkat
pertama dan Pengadilan Qadhi Besar untuk tingkat banding dan terakhir.[16]
Pada masa itulah dikenal dengan masa Receptio on Complexu, yaitu suatu
teori yang menyatakan bahwa di Indonesia
berlaku hukum Islam, walaupun dengan sedikit penyimpangan.[17]
Pada masa pemerintahan Van
Den Berg inilah hukum Islam benar-benar diakui berlaku sebagai hukum positif
bagi masyarakat yang beragama Islam sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 75
ayat (3) Regeerings Reglement yang menyebutkan bahwa apabila terjadi
sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam, oleh hakim
Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam gonsdientig wetten dan
kebiasaan mereka. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882
mendirikan pengadilan agama yang kemudian diiringi dengan terbentuknya
pengadilan tinggi agama (mahkamah syar’iyyah). Munculnya teori Receptio In
Complexu ini menjadikan hukum Islam diakui dan berlaku sebagai hukum
positif pada masa pemerintahan Hindia Belanda walaupun pada dasarnya hukum
Islam telah ada berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum
pemerintah Hindia Belanda tiba di Indonesia.
[1] Sirajuddin, Legislasi
Hukum Islam di Indonesia, ctk. Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta ,
2008, hlm. 69 menyatakan bahwa hukum Islam berlaku untuk pertama kali di Indonesia
seiring dengan kedatangan Islam.
[2] Abdul Ghofur
Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembanganya di
Indonesia, ctk. Pertama, Kreasi Total Media, Yogyakarta ,
2008, hlm. 88-89. Menurut Sirajuddin, legislasi hukum Islam….,op. cit.,
hlm. 69 bahwa masa kedatangan Islam
tidak jelas. Ada kemungkinan orang Islam sudah
tinggal di Indonesia
sejak abad ketujuh atau kedelapan masehi. Ada
kemungkinan lain bahwa masa kedatangan tersebut adalah abad ketigabelas masehi.
[4] Ibid
[5] Achmad Roestandi
dan Mauchjidin Effendie, Komentar Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, dikutip dari
Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Ibid; hlm. 103-104
[6] Ratno Lukito, Pergumulan
Antara Hukum Islam Dan Adat, dikutip dari Abdul Ghofur Anshori dan
Yulkarnain Harahab, Ibid
[7] Saidus Syahar. Asas-Asas
Hukum Islam, Alumni, Bandung ,
1996, hlm. 133-134
[8] Abdul Ghofur
Anshori dan Yulkarnain Harahab, op. cit., hlm. 104
[9] Harry J. Benda. Christiaan
Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy in Indonesia,
The Journal of Modern History, Vol. 30, No. 4 (Dec., 1958), pp. 338-347,
(article consists of 10 pages), The University
of Chicago Press, http://www.jstor.org/pss/1876034, 27 Juli 2009, 05:58 WIB
[10] Ratno Lukito, Pergumulan
Antara Hukum Islam Dan Adat, dalam Ibid
[12] Saidus Syahar. Asas-Asas
Hukum Islam, Alumni, Bandung ,
1996, hlm. 105-106
[13] Sayuti Thalib, Receptio
A Contrario Hubungan Hukum Adat Dan Hukum Islami, dalam Mohd .Idris
Ramulyo, Asas-asas hukum Islam (Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan
Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia), ctk. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta , 1997, hlm. 54
[15] Mahadi, Pembahasan
Kertas Kerja Subekti Tentang Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional
Yang Akan Datang, dikutip dari Mohd .Idris Ramulyo, Asas-asas hukum
Islam….op. cit. hlm. 55
[17] Abdul Ghofur
Anshori dan Yulkarnain Harahab, op.cit., hlm. 125
No comments:
Post a Comment