Monday, October 25, 2010

PENCATATAN PERKAWINAN DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DAN PERGULATANNYA

Selengkapnya Click DISINI


Persoalan pencatatan perkawinan yang berhubungan dengan akibat hukum dalam hukum nasional adalah hal persoalan yang belum tuntas sampai sekarang. Hilir mudik perdebatan berkutat pada sah tidaknya perkawinan tanpa dicatatkan. Demikian juga hubungannya dengan pencatatan perkawinan sulitnya memproses perkara cerai di pengadilan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan, serta akibat hukum dari cerainya pasangan suami isteri, seperti hak asuh anak, waris, dan lain-lain.

Tulisan ini akan membahas bagaimana sisi kesejarahan terbentuknya UU No. 1 tahun 1974, bagaimana situasi pergolakan pemikiran, perdebatan antara kelompok nasionalis dengan kelompok ormas islam, aksi massa, dan sebagainya. Karena bagaimanapun juga persoalan undang-undang perkawinan terutama dalam hal pencatatan perkawinan adalah hal yang belum tuntas sampai hari ini, terus belum ada titik kompromi yang dapat membuat legowo semua pihak.

A.     SEJARAH HUKUM KELUARGA (PENCATATAN PERKAWINAN) DI INDONESIA
1.      Periode Panjajahan
a.      Perjumpaan Hukum Islam dan Hukum Kolonial
Hukum Islam yang juga sebagai hukum kolonial (karena sebelum itu di Nusantara telah terdapat hukum adapt yang berasal dari pribumi) yang berada di Indonesia datang di Indonesia jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda datang ke Indonesia.[1] Hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat terkait kapan datangnya Islam ke Indonesia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia yaitu pada abad ke-7 Masehi, hal ini didasarkan pada adanya pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia dan India yang sudah sampai ke kepulauan nusantara. Pendapat lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia yaitu pada Abad ke-13 Masehi, hal ini ditandai oleh sudah adanya masyarakat muslim di Samudra Pasai, Perlak dan Palembang. Sementara di Jawa terdapat makam Fatimah Binti Maimun di Leran, Gresik yang berangka tahun 475 H atau 1082 M, dan makam-makam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13. Hal ini merupakan bukti perkembangan komunitas Islam termasuk di pusat kekuasaan Hindu Jawa ketika itu yakni Majapahit.[2]
Pada akhir abad keenam belas tepatnya tahun 1596, organisasi perusahaan Belanda bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau yang dikenal dengan sebutan VOC merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Maksudnya semula untuk berdagang, namun kemudian berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia. Untuk mencapai maksud tersebut, Pemerintah Belanda memberi kekuasaan kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja Indonesia. Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai dua fungsi yaitu pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintahan.[3] Sebagai usaha memantapkan pelaksanaan kedua fungsi itu, VOC mempergunakan hukum Belanda yang dibawanya. Untuk itu di daerah-daerah yang dikuasainya kemudian, VOC membentuk badan-badan peradilan untuk Bangsa Indonesia. Namun, oleh karena susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda itu tidak dapat berjalan dalam praktik, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. Misalnya, karena kota Jakarta dan sekitarnya hukum Belanda yang dinyatakan berlaku untuk semua bangsa itu tidak dapat dilaksanakan, pemerintah VOC terpaksa harus memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam Statuta Jakarta tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.[4] Pada waktu Verenigde Ost Compagnie (VOC) pertama kali menguasai Indonesia kurang menghiraukan agama dan kebudayaan bangsa Indonesia.
Semasa VOC diberi kekuasaan oleh pemerintah Belanda untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan perjanjian-perjanjian dengan raja-raja kepulauan Indonesia, VOC membentuk badan-badan peradilan khusus pribumi di daerah kekuasaannya. Dalam Statuta Batavia tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan, orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam.
Sehubungan dengan hal ini VOC meminta D.W Freijer menyusun suatu compendium yang berisi hukum perkawinan dan kewarisan Islam. Conpendium tersebut kemudian dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi antara umat Islam di daerah-daerah yang dikuasai oleh VOC. Kitab hukum tersebut terkenal dengan nama Compendium Freijer.[5] Di samping Compendium Freijer, pada masa VOC juga muncul kitab hukum Mogharraer (Moharrar) untuk Pengadilan Negeri Semarang. Kitab ini adalah kitab perihal hukum-hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti dari kitab hukum Islam moharrar yang di dalamnya merupakan kumpulan hukum Tuhan, hukum alam, dan hukum anak negeri yang dipergunakan oleh Landraad (pengadilan negeri) Semarang dalam memutuskan perkara perdata dan pidana yang terjadi dikalangan rakyat setempat.[6]
Setelah kekuasaan kompeni diambil oleh kerajaan belanda abad ke-18 barulah ada perhatian Belanda kepada kehidupan kebudayaan dan agama. Belanda selalu kuatir dan curiga terhadap perkembangan Islam di Indonesia terutama karena ada gerakan Pan Islamisme yang berpusat di Turki semasa kekuasaan Othmaniyah di Istambul. Pemerintah Kerajaan Belanda mengalami perlawanan politik dan militer dari kesultanan-kesultanan dan pemimpin-pemimpin ummat Islam di daerah-daerah Indonesia terutama sepanjang abad ke-19 dan yang terakhir adalah perang Aceh yang baru dapat berakhir (formil) pada tahun 1903, jadi sudah masuk abad ke-20 bahkan pada tahun 1908 di Kamang Sumatera Barat terjadi lagi pemberontakan rakyat muslimin terhadap Belanda. Oleh karena itu Belanda memperhatikan psikologi massa antara lain dengan membiarkan berlakunya hukum Islam di Indonesia.[7]
Organisasi VOC tepatnya pada tanggal 31 Desember 1799 dibubarkan, karena mengalami kebangkrutan. Setelah proses pengambil alihan kekuasaan dari VOC, sikap Belanda berubah-ubah terhadap hukum Islam, kendati perubahan itu terjadi secara perlahan-lahan. Setidaknya perubahan sikap Belanda itu dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menguasai Indonesia sebagai wilayah yang memiliki sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua, menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Islam dengan proyek kristenisasi. Ketiga, keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia. Maksudnya, Belanda ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.[8] Namun upaya Belanda tersebut mendapat perlawanan sebagaimana yang disampaikan Harry J. Benda bahwa: “Ever since the arrival of the Dutch East India Company in Southeast Asia at the turn of the seventeenth century, the Dutch had encountered Muslim hostility in Indonesia. Time and again, the consolidation of their expanding power was threatened by local outbreaks of Islamic inspired resistence, led either by Indonesian rulers converted to the faith of the prophet or, at the village level, by fanatical ulama, the independent teacher and scribes of Islam”.[9]
Sejak kehadiran Perusahaan hindia Belanda di Asia Tenggara pada abad ke 17, Belanda telah menunjukkan kaum muslimin dengan bersahabat di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, konsolidasi dari pergeseran kekuasaan yang mereka miliki terancam oleh pemberontak muslim yang menginginkan perlawanan, yang juga dipimpin oleh pemimpin Indonesia yang beriman pada nabi, dan pada level pedesaan, pada ulama yang fanatik, guru dan cendekiawan muslim. Upaya pemerintah untuk mengubah hukum Islam belum dimulai pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di zaman Daendels (1800- 1811). Dimasa itu, secara umum hukum Islam dianggap sebagai hukum asli orang pribumi. Karena pendapat yang demikian, Daendels mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa perihal hukum agama orang Jawa tidak boleh diganggu gugat dan hak-hak penghulu mereka untuk memutus beberapa macam perkara tentang perkawinan dan kewarisan harus diakui oleh kekuasaan Pemerintah Belanda. Di samping itu, ia menegaskan bahwa kedudukan para penghulu sebagai tenaga ahli hukum Islam yaitu hukum asli orang Jawa dalam susunan badan peradilan yang dibentuknya sebagai penasihat dalam suatu masalah atau perkara.[10]
Waktu Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) keadaan tidak berubah. Thomas S. Raffles yang menjadi Gubernur Jendral Inggris untuk kepulauan Indonesia pada waktu itu menyatakan bahwa hukum yang berlaku dikalangan rakyat adalah hukum Islam. Ia mengatakan the koran….forms the general law of Java. Namun setelah Indonesia dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda berdasarkan konvensi yang ditanda tangani di London pada tanggal 13 Agustus 1814, Pemerintah Kolonial Belanda membuat suatu undang-undang tentang kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan, pertanian dan perdagangan dalam daerah jajahannya di Asia. Undang-undang ini mengakibatkan perubahan dihampir semua bidang kehidupan orang Indonesia, termasuk bidang hukum yang akan merugikan perkembangan hukum Islam selanjutnya.[11]
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda di zaman Daendels (1800-1811) dan sewaktu Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) yang mana Thomas S. Raffles menjadi Gubernur Jendral Inggris untuk kepulauan Indonesia, hukum Islam merupakan hukum yang berlaku bagi masyarakat. Pada masa itu hukum Islam dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dikalangan orang Islam bahkan pada masa itu disusun kitab undang-undang yang berasal dari kitab hukum Islam. Melalui ahli hukumnya Van Den Berg, lahirlah teori receptio in complexu yang menyatakan bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Sehingga berdasarkan pada teori ini, maka pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan peradilan agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk agama Islam. Daerah jajahan Belanda yaitu Indonesia dengan ibu kotanya Batavia dalam hal kekuasaan administrasi pemerintahan dan peradilan, termasuk peradilan agama sepenuhnya ditangan Residen. Residen dengan aparat kepolisiannya berkuasa penuh menyelesaikan perkara pidana maupun perdata yang terjadi.[12] Sesuai dengan pendapat Carel Frederick Winter, seorang ahli tertua mengenai soal-soal Jawa Javaichi yang lahir dan meninggal di Yogyakarta (1799-1859), Solomon Keuzer (1823-1868) Maha Guru Ilmu Bahasa dan Ilmu Kebudayaan Hindia Belanda, terakhir LodewijkeWillem Christian Van Den Berg (1845-1927), yang dalam tahun 1984 menulis buku Muhammadansch Recht (asas-asas hukum Islam) menyatakan bahwa hukum Islam diperlukan bagi orang-orang Islam bumi putera walaupun dengan sedikit penyimpangan-penyimpangan.[13]
Teori receptio in complexu ini sesuai dengan Regeerings Reglement (Staatsblad 1884 No. 129 di Negeri Belanda jo. S.1885 No. 2 di Indonesia, terutama diatur dalam Pasal 75, Pasal 78 jo, Pasal 109 RR disebutkan:[14] Pasal 75 ayat (3) R.R tersebut mengatur: “Apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam oleh hakim Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam gonsdientig wetten dan kebiasaan mereka. Sedangkan dalam ayat (4) Pasal 75 R.R. disebutkan: “Undang-undang agama, adat dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh Hakim Eropa pada pengadilan yang Huger Beroep, bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau mereka yang dipersamakan dengan orang Indonesia, maka mereka tunduk kepada keputusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan lama mereka.
Menurut Pasal 109 R.R. ditentukan pula: “Ketentuan seperti tersebut dalam Pasal 75 dan Pasal 78 itu berlaku juga bagi mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Indonesia, yaitu orang-orang Arab, Moor, orang Cina dan semua mereka yang beragama Islam, maupun orang-orang yang tidak beragama. Menurut Pasal 7 Rechterlijke Organisatie ditetapkan: “Sidang-sidang pengadilan negeri (landraad) harus dihadiri oleh seorang fungsionarie yang mengetahui seluk beluk agama Islam, kalau yang dihadapakan itu tidak beragama Islam, maka penasehat itu adalah kepala masyarakat dari orang itu.[15] Sejalan dengan berlakunya hukum Islam itu, pemerintah Hindia Belanda membentuk pengadilan agama dimana berdiri pengadilan negeri dengan Staatsblad 1882 No. 152 dan 153, kemudian diiringi terbentuknya pengadilan tingggi agama (mahkamah syar’iyyah) yang berfungsi sebagai pengadilan agama tinggi banding dan terakhir berdasarkan Pasal 7 g Staatsblad 1937 No. 610 dan dalam tahun 1937 dengan Staatsblad 1937 No. 638 dan 639 dibentuk pula peradilan agama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur dengan nama Pengadilan Qadhi Kecil pada tingkat pertama dan Pengadilan Qadhi Besar untuk tingkat banding dan terakhir.[16] Pada masa itulah dikenal dengan masa Receptio on Complexu, yaitu suatu teori yang menyatakan bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam, walaupun dengan sedikit penyimpangan.[17]
Pada masa pemerintahan Van Den Berg inilah hukum Islam benar-benar diakui berlaku sebagai hukum positif bagi masyarakat yang beragama Islam sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 75 ayat (3) Regeerings Reglement yang menyebutkan bahwa apabila terjadi sengketa perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam, oleh hakim Indonesia haruslah diperlakukan Hukum Islam gonsdientig wetten dan kebiasaan mereka. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan pengadilan agama yang kemudian diiringi dengan terbentuknya pengadilan tinggi agama (mahkamah syar’iyyah). Munculnya teori Receptio In Complexu ini menjadikan hukum Islam diakui dan berlaku sebagai hukum positif pada masa pemerintahan Hindia Belanda walaupun pada dasarnya hukum Islam telah ada berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda tiba di Indonesia.


[1]  Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, ctk. Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm. 69 menyatakan bahwa hukum Islam berlaku untuk pertama kali di Indonesia seiring dengan kedatangan Islam.
[2]  Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembanganya di Indonesia, ctk. Pertama, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 88-89. Menurut Sirajuddin, legislasi hukum Islam….,op. cit., hlm. 69  bahwa masa kedatangan Islam tidak jelas. Ada kemungkinan orang Islam sudah tinggal di Indonesia sejak abad ketujuh atau kedelapan masehi. Ada kemungkinan lain bahwa masa kedatangan tersebut adalah abad ketigabelas masehi.
[3]  Ibid; hlm. 103
[4]  Ibid
[5]  Achmad Roestandi dan Mauchjidin Effendie, Komentar Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, dikutip dari Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Ibid; hlm. 103-104
[6]  Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat, dikutip dari Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Ibid
[7]  Saidus Syahar. Asas-Asas Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1996, hlm. 133-134
[8]  Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, op. cit., hlm. 104
[9]  Harry J. Benda. Christiaan Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy in Indonesia, The Journal of Modern History, Vol. 30, No. 4 (Dec., 1958), pp. 338-347, (article consists of 10 pages), The University of Chicago Press, http://www.jstor.org/pss/1876034, 27 Juli 2009, 05:58 WIB
[10]  Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat, dalam Ibid
[11]  Ibid; hlm. 105
[12]  Saidus Syahar. Asas-Asas Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1996, hlm. 105-106
[13]  Sayuti Thalib, Receptio A Contrario Hubungan Hukum Adat Dan Hukum Islami, dalam Mohd .Idris Ramulyo, Asas-asas hukum Islam (Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia), ctk. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hlm. 54
[14]  Ibid; hlm. 54-55
[15]  Mahadi, Pembahasan Kertas Kerja Subekti Tentang Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang, dikutip dari Mohd .Idris Ramulyo, Asas-asas hukum Islam….op. cit. hlm. 55
[16]  Ibid; hlm. 56
[17]  Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, op.cit., hlm. 125

No comments: