ASBAB
AL-NUZUL
Selengkapnya Click DISINI
A.
Asbab
Al-Nuzul dalam Penafsiran Al-Qur’an
Berbicara
tentang asbab al-nuzul, sebelumnya perlu dijelaskan bahwa memang
dikatakan tidak seluruh ayat Al-Qur’an mempunyai asbab al-nuzul.
Mengenai hal ini Al-Ja’bari menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam dua
bagian. Bagian pertama berupa prinsip-prinsip yang tidak terikat dengan
sebab-sebab khusus, yakni semata sebagai petunjuk bagi manusia. Sementara
bagian kedua diturunkan berdasarkan suatu sebab tertentu yang kemudian disebut
dengan asbab al-nuzul.[1]
Bagian
yang pertama adalah yang secara dominan mewarnai ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu
jumlahnya lebih banyak dari pada ayat-ayat hukum yang mempunyai asbab
al-nuzul,[2] misalnya
ayat-ayat yang mengisahkan tentang umat-umat terdahulu beserta para nabinya,
ayat-ayat yang menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau atau
menceritakan hal-hal ghaib, yang akan terjadi, atau menggambarkan keadaan hari
kiamat beserta nikmat surga dan siksaan neraka.[3]
Sementara ayat-ayat yang mempunyai asbab al-nuzul jumlahnya lebih sedikit,
dalam hal ini ayat-ayat tasri’iyah atau ayat-ayat hukum merupakan ayat-ayat
yang mempunyai sebab turun. Dikatakan jarang sekali ayat-ayat hukum yang turun
tanpa suatu sebab. [4]
Setelah
mencermati konsepsi yang dihasilkan oleh ulama mengenai asbab al-nuzul,
sebagaimana yang termuat dalam buku-buku ulum Al-Qur’an atau buku-buku yang
berbicara tentang asbab al-nuzul, penyusun mendapatkan bahwa terjadi
keragaman pandangan mengenai asbab al-nuzul di antara mereka. Hal ini,
tentu saja, merupakan sesuatu yang penting untuk digaris bawahi di sini, karena
dari pandangan mereka masing-masing inilah nantinya akan dapat diketahui
seberapa jauh signifikansi dari asbab al-nuzul dalam penafsiran
Al-Qur’an selama ini. Atau sejauh manakah asbab al-nuzul dipakai dalam
penafsiran.
Keragaman
pandangan mengenai asbab al-nuzul ini pertama kali dapat dilihat dalam
pembahasan tentang pengertian asbab al-nuzul. Dalam pengertian asbab
al-nuzul yang ditampilkan oleh ulama ini sebenarnya sudah terlihat atau,
paling tidak, sudah tergambar (meskipun tidak jelas betul) bagaimana pandangan
mereka terhadap signifikansi asbab al-nuzul.
1.
Pengertian Asbab al-nuzul
Tentang pengertian asbab al-nuzul
secara bahasa,[5] barangkali
tidak ada persoalan. Tetapi dari pengertian secara terminologislah kita akan
melihat bahwa asbab al-nuzul mendapat sambutan yang beragam dari
kalangan ulama. Dari pengertian inilah mulai terlihat adanya perbedaan
pandangan mengenai asbab al-nuzul, yang kemudian meniscayakan terjadinya
perbedaan dalam pengambilan makna. Mereka yang memandang asbab al-nuzul
sebagai sesuatu yang tak dapat dieliminir (signifikan), jelas akan menghadirkan
makna yang berlainan dengan mereka yang sama sekali tidak peduli dengan
ada-tidaknya asbab al-nuzul.
Al-Zarqani mendefinisikan sebagai
“Sebab al-nuzul adalah suatu kejadian yang menyebabkan
turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan
petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu ayat”.
Menurutnya, bahwa asbab al-nuzul
itu dapat berupa peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi atau berupa
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada nabi, kemudian turun ayat Al-Qur’an
dari Allah SWT berisi penjelasan tentang suatu yang berkaitan dengan peristiwa
tersebut atas pertanyaan-pertanyaan yang dajukan kepadanya.[7]
Dalam hal ini al-Zarkasyi juga menerangkan:
“Kadang-kadang terjadi suatu sebab yang
berupa pertanyaan atau peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat Al-Qur’an”.
Sementara itu, Subhi al-Shalih
mendefinisikan asbab al-nuzul seperti ini,
مانزلت
الاية او الايات بسببه متضمنة له او مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمان
“Asbab al-nuzul adalah sesuatu yang menyebabkan
turunnya satu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau
menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.”
Dari paparan beberapa pengertian
tersebut di atas, sesungguhnya pendefinisian asbab al-nuzul yang
menggunakan redaksi “sesuatu yang menyebabkan…”, sangatlah riskan karena sangat
berpotensi untuk dipahami terdapat hubungan kausalitas atau korelasi logis
antara sebab yang berupa peristiwa atau pertanyaan dengan diturunkannya ayat
Al-Qur’an. Pengertian asbab al-nuzul
seperti di atas memang akan menimbulkan pemahaman seolah-olah ayat Al-Qur’an
tidak akan turun jika tidak terdapat sebab—yang berupa peristiwa atau pertanyaan
yang diajukan kepada Nabi SAW. Dengan
definisi semacam di atas sangatlah berpotensi bahwa seolah-olah ayat Al-Qur’an
diturunkan hanya karena untuk menjawab pertanyaan yang ada. Tidak jarang ini
memicu lahirnya perdebatan teologis, seperti muncul pertanyaan semacam
seandainya sebab-sebab tidak ada, apakah lantas Al-Qur’an tidak jadi turun?
Apakah Al-Qur’an itu qadim ataukah
tidak? Layakkah Tuhan terdekte oleh realitas? Dan lain sebagainya yang biasanya
berujung pada kafir-mengkafirkan, murtad-memurtadkan, dan saling mengklaim
sebagai yang paling benar (truth claim).
Sungguhpun pengertian mengenai asbab
al-nuzul sebagaimana yang dipaparkan di atas sangat riskan untuk dipahami
terdapatnya hubungan kausalitas, namun tidak sedikit ulama yang mendefinisikan asbab
al-nuzul demikian. Definisi seperti di atas sudah lazim di kalangan ulama
meskipun sebenarnya tidak mengandung pengertian ada hubungan kausalitas. Tidak
sedikit ulama berikutnya yang mengukuhkan pandangan ulama sebelumnya seperti
tersebut di atas. Sungguhpun redaksi yang dipakai berbeda, namun sesungguhnya
maksud dari pengertian yang diberikan tidak bergeser dari pengertian yang telah
dirumuskan sebelumnya. Seperti konsepsi yang diberikan oleh Manna Khalil
al-Qattan,[10] Hasbi
ash Shiddiqie[11] dan
yang lainnya.[12] Kendati
redaksi yang dipakai berbeda, akan tetapi sesungguhnya mengandung maksud yang
sama. Bahkan, dalam buku-buku ‘ulum al-Quran dalam edisi bahasa Indonesia ,
kita akan mendapati definisi yang berupa kutipan dari ulama sebelumnya tanpa
ada perubahan. Kalaupun ada perbedaan (kalaupun mereka menambahi), maksud yang
dikandung sebenarnya tetap sama (tidak berbeda secara substansial).
Namun demikian, terdapat juga beberapa ulama
yang secara tegas mengatakan untuk tidak memandang asbab al-nuzul dalam
kerangka kausalitas. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama seperti Quraisy
Shihab. Ia secara eksplisit menegaskan untuk tidak memandang asbab al-nuzul
dalam kerangka sebab akibat. Menurutnya, arti “sebab” dalam asbab al-nuzul
tidak dipahami dalam arti kausalitas sebagaimana yang diinginkan oleh mereka
yang berpaham bahwa “Al-Qur’an qadim”
Al-Qur’an tidak turun
dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Sekian banyak ayatnya oleh ulama
dinyatakan sebagai harus dipahami dalam konteks sebab nuzul-nya. Hal ini berarti bahwa arti “sebab” dalam rumusan di
atas—walaupun tidak dipahami dalam arti kausalitas, sebagaimamna yang
diinginkan olek mereka yang berpaham bahwa “Al-qur’an qadim”—tetapi paling
tidak ia menggambarkan bahwa ayat yang turun itu berinteraksi dengan kenyataan
yang ada dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa ‘kenyatan’ tersebut
mendahului atau paling tidak bersamaan dengan keberadaan ayat yang turun di
pentas bumi itu.[13]
Demikian pula bagi Muhammad Chirzin, dia
pun secara tegas menolak untuk menganggap adanya hubungan kausalitas antara asbab
al-nuzul dengan ayat yang turun. Menurutnya,
Asbab al-nuzul menggambarkan bahwa ayat-ayat Al-qur’an memiliki
hubungan dialektis dengan fenomena sosio kultural masyarakat. Namun demikian,
perlu ditegaskan bahwa asbab al-nuzul tidak berhubungan secara kausal
dengan materi yang bersangkutan. Artinya tidak bisa diterima pernyataan
bahwa jika suatu sebab tidak ada, maka
ayat itu tidak akan turun.[14]
Senada dengan Shihab dan Chirzin, bagi
Aisyah Abdurrahman (Bintusy Syathi’), asbab al-nuzul hanyalah sebagai
qarinah-qarinah di sekitar ayat yang tidak merupakan sebab sine qua non (syarat mutlak) kenapa pewahyuan terjadi. Dia
memandang bahwa pentingnya pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang
digunakan, bukan pada kekhususan peristiwa pewahyuannya.[15]
Paparan definisi yang diberikan oleh
ulama kelompok terakhir tersebut memperlihatkan bahwa antara asbab al-nuzul
dengan diturunkannya ayat tidak ada hubungan kausalitas. Mereka secara tegas
menolak bahwa antara keduanya terjadi hubungan kausalitas, yang satu
menyebabkan yang lain. Namun demikian, bukan berarti mereka semua lantas,
secara otomatis, dapat disebut sebagai ulama yang menolak dipakainya asbab
al-nuzul dalam penafsiran. Karena
ada juga ulama yang menolak memahami asbab al-nuzul dalam
kerangka kausalitas tetapi memandang asbab al-nuzul sebagai hal yang
tetap signifikan dalam memahami ayat.
Adanya perbedaan pandangan di kalangan
ulama mengenai asbab al-nuzul dalam penafsiran akan kentara dalam
pembahasan tentang signifikansi berikut ini.
2. Signifikansi Asbab
al-nuzul
Mengenai signifikan-tidaknya asbab
al-nuzul dalam penafsiran, penyusun melihat ada tiga macam pandangan.
Pandangan yang pertama menganggap bahwa asbab al-nuzul sangat signifikan
sehingga tanpa mengetahui asbab al-nuzul memahami ayat dianggap tidak
mungkin. Ulama yang masuk dalam pandangan pertama adalah al-Wahidi. Menurut al-Wahidi, “tidak mungkin dapat
menafsirkan ayat tanpa pengetahuan tentang asbab-nuzulnya”.[16]
Artinya, dengan tidak memungkinkannya menafsirkan ayat tanpa pengetahuan
tentang asbab al-nuzulnya, maka melepas asbab al-nuzul juga
menjadi tidak mungkin. Sehingga di sini, dalam pandangan al-Wahidi, Asbab
al-nuzul menjadi mutlak penting dan tidak boleh dieliminir ketika
menafsirkan ayat. Dalam hal ini, sebetulnya pendapat al-Wahidi tersebut
menyisakan pertanyakan karena tidak semua ayat Al-Qur’an mempunyai sebab turun.
Ayat-ayat yang dikatakan bersabab al-nuzul hanyalah sebagian saja.
Pandangan yang kedua menempatkan
asbab al-nuzul sebagai pengetahuan yang dapat membantu (alat bantu) dalam
memahami ayat. Ulama yang tergolong dalam kelompok ini adalah seperti Ibnu Taimiyah dan ibnu Daqiq
al-’Id.
Menurut Ibnu Taimiyah, “Pengetahuan mengenai asbab al-nuzul dapat
membantu memahami ayat karena pengetahuan tentang sebab akan membawa kepada
pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat)”.[17]
Sementara menurut al-’Id, “menjelaskan sebab turun ayat adalah jalan yang kuat
dalam memahami makna Al-Qur’an”.[18]
Pendapat yang senada dengan di atas juga
dianut oleh Abu al-Fath al-Qusyairi, Ali Al-Shabuni dan al-Zarqani. Al-Qusyairi
tidak berbeda dengan al-‘Id. Menurutnya, mengetahui asbab al-nuzul
adalah jalan yang kuat dalam memahami makna-makna Al-Qur’an.[19] Sementara itu, al-Shabuni memerinci manfaat asbab
al-nuzul menjadi empat manfaat,[20]
yaitu mengetahui segi hikmah yang mendorong dilaksanakannya suatu hukum,
menetapkan hukum (takhsis) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa
ibarat itu dinyatakan berdasarkan sebab khusus, menghindarkan prasangka yang
menyatakan arti hasr dalam suatu ayat yang zahirnya hasr, dan
mengetahui siapa orangnya yang menjadi sebab atau kasus turunnya ayat serta
memberikan ketegasan bila terdapat keraguan. Pendapat Al-Shabuni ini juga
senada dengan pandangan al-Qattan.[21]
Lebih jauh, Al-Zarqani menyebutkan tujuh signifikansi dari asbab al-nuzul.[22]
yaitu pengetahuan tentang asbab al-nuzul membawa kepada pengetahuan
tentang rahasia dan tujuan Allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui
al-Qur’an; dapat membantu dalam memahami ayat
dan menghindarkan kesulitannya;
dapat menolak dugaan adanya hasr (pembatasan) dalam ayat yang
menurut lahirnya mengandung hasr;
dapat mengkhususkan (takhsis) hukum pada sebab menurut ulama yang
memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan
keumuman kata; dapat diketahui bahwa sebab turun ayat tidak penah keluar dari
hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya
(yang mengkhususkannya); dapat diketahui orang yang dengan ayat tertentu turun
padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran; dan pengetahuan asbab
al-nuzul akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat Al-Qur’an serta
memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarkannya jika ia
mengetahui sebab turunnnya
Ulama yang juga termasuk dalam kelompok
kedua adalah Quraisy Shihab. Sungguhpun
antara ayat dengan realitas (asbab al-nuzul) dipandang
olehnya tidak ada hubungan kausalitas,
namun menurutnya asbab al-nuzul tetap signifikan. Asbab al-nuzul
tetap harus ditilik ketika menafsirkan ayat mempunyai sabab al-nuzul.
Ini berdasarkan bahwa ia menerapkan al-‘ibrah bi khusus al-sabab,
yang itu berarti bahwa ia mementingkan adanya sebab-sebab khusus dalam
menafsirkan ayat.
Termasuk dalam kelompok kedua adalah
Nasr Hamid Abu Zaid. Menurutnya dalam pembacaan teks perlu diperhatikan
konteks-konteksnya. Baginya antara teks dengan realitas terdapat hubungan
dialektis. Maksudnya, bahwa teks terbentuk di dalam realitas kebudayaannya,
namun pada saat yang sama ia sendiri membentuk realitas.[23]
Abu Zaid menyebutkan ada lima
konteks yang mesti diperhatikan,[24]
yaitu konteks sosio-kultural (al-siyaq al
saqafi al-ijtima’i); konteks pewacanaan (al-siyaq al-takhatabi) atau konteks ekstern (al-siyaq al-khariji); konteks intern (al-siyaq al-dakhili); konteks narasi (al-siyaq al-lughawi) dan konteks pembacaan (al-siyaq al-qiraat) atau konteks interpretasi (al-siyag al-ta’wil). Dari sekian konteks itu asbab al-nuzul
tercakup dalam konteks ekstern atau pewacanaan—konteks pewacanaan ini tidak
hanya berisi latar belakang turunnya ayat atau asbab al-nuzul, tetapi
juga meliputi periode dan karakter wacana (makiyyah
dan madaniyyah), dan konteks pewacana
pertama, yaitu Muhammad SAW. Artinya, dengan tidak dapat ditinggalkannya
konteks-konteks tersebut berarti asbab al-nuzul juga tak dapat
ditinggalkan atau termasuk sesuatu yang harus diperhatikan, karena ia masuk
dalam salah satu konteks dari lima
konteks dimaksud. Dalam hal ini dia mengatakan,
..bahwa usaha
menemukan makna teks tidak harus memisahkan teks dari realitas yang
diungkapkannya (teks), tetapi juga tidak benar apabila dikatakan usaha penemuan
tersebut berhenti dan terpaku pada peristiwa-peristiwa itu saja, tanpa memahami
karakteristik ujaran bahasa dalam teks serta kemampuannya melampaui
realitas-realitas partikular. Kajian atas asbab al-nuzul akan memberi
ahli fiqh pengetahuan tentang illah (sebab) di balik hukum-hukum teks.
Melalui illat itu, ia dapat menggeneralisasikan hukum terhadap
realitas-realitas lain yang serupa.[25]
Dengan demikian, Abu Zaid dapat dikatakan termasuk
ulama yang mementingkan asbab al-nuzul sekalipun menurutnya perlu juga
diperhatikan syarat-syarat lain.
Tentang asbab al-nuzul ini,
sesungguhnya dalam persoalan signifikansi, dapat dikatakan pandangan yang kedua
tidak berbeda dengan pandangan yang pertama karena keduanya sama-sama
menganggap asbab al-nuzul signifikan. Hanya saja tingkat signifikansinya
berbeda antara keduanya, di mana dalam pandangan yang kedua, signifikansi dari asbab
al-nuzul dapat dibilang lebih rendah dibanding pada kelompok pertama. Dalam
pandangan yang pertama, dalam memahami ayat, tidak dapat tidak, harus diketahui
asbab al-nuzulnya karena tanpa asbab al-nuzulnya ayat
dianggap tidak akan mungkin dapat dipahami. Sementara bagi kelompik
kedua, asbab al-nuzul sifatnya hanyalah membantu dalam memahami ayat.
Jadi, sungguhpun kedua kelompok ini sama-sama menganggap penting asbab
al-nuzul, tetapi tingkat signifikansi dari keduanya berbeda.
Kalau pandangan pertama dan kedua
sama-sama memandang asbab al-nuzul signifikan dalam memahami ayat, maka
pandangan yang ketiga tidak mementingkan asbab al-nuzul dan
memperbolehkan untuk menafikannya ketika menafsirkan ayat, atau hanya memakainya ketika asbab al-nuzul
dapat membantu atau mendukung makna yang telah dihasilkan sebelumnya.Ulama yang
tergolong di sini adalah Bintusy Syathi’. Data untuk ini adalah,
….metode yang diusulkannya menolak
menganggap setiap peristiwa dalam asbab al-nuzul tersebut sebagai sebab
atau bahkan tujuan turunnya wahyu, tapi sekadar merupakan kondisi-kondisi
eksternal dari pewahyuan itu, sehingga penekanannya diletakkan pada
universalitas makna dan bukan pada kekhususan kondisi tersebut. Selain itu
metode yang diusulkannya memperlakukan laporan-laporan tradisional mengenai
“sebab-sebab pewahyuan” dengan cara bebas, hanya untuk melihat dukungan yang
mungkin diberikan oleh laporan-laporan tersebut bagi makna-makna yang telah
ditemukan tanp bantuannya.[26]
Dalam kutipan tersebut dikatakan
bahwa asbab al-nuzul hanyalah
dipakai sebagai dukungan terhadap makna
yang telah dicapai sebelumnya. Artinya, seandainya laporan-laporan tentang asbab
al-nuzul yang ada tidak mendukung terhadap makna yang telah dihasilkannya
sebelumnya maka ia tidak akan dipakai (ditinggalkan). Asbab al-nuzul
hanya akan diambil jika ternyata sesuai dengan makna yang sudah dihasilkan. Dengan demikian, bagi
Bintusy Syathi’, ada atau tidaknya asbab al-nuzul, pada dasarnya adalah
sama saja, tidak menjadi persoalan karena hanya dianggap signifikan kalau bermanfaat untuk mendukung makna yang telah
diperoleh sebelumnya.
Dalam hal ini, Thabathaba’i pun dapat
dikategorikan dalam pandangan kelompok ketiga. Dia memberi penjelasan tentang
lemahnya hadis-hadis asbab al-nuzul. Menurutnya, hadis hadis tentang asbab
al-nuzul tidak bisa dipertanggungjawabkan dengan argumen bahwa gaya kebanyakan hadis
tentang asbab al-nuzul menunjukkan perawi tidak meriwayatkan asbab
al-nuzul secara lisan dan tulisan melainkan dengan meriwayatkan suatu
kisah, kemudian menghubungkan ayat-ayat dengan kisah itu. Dan ini berarti asbab
al-nuzul tersebut didasarkan pada pendapat, bukan atas pengamatan dan
pencatatan, sehingga setiap perawi berusaha menghubungkan suatu cerita yang
sebenarnya tidak ada dalam kenyataan.yaitu terbukti dengan banyaknya
pertentangan di dalam hadis tentang asbab al-nuzul. Argumen lain yang
menyebabkan tidak dapat dipertanggungjawabkannya hadis tentang asbab
al-nuzul, menurutnya, adalah bahwa pada masa awal Islam, khalifah melarang
penulisan hadis yang larangan ini berlaku sampai akhir abad pertama hijriyah atau
selama kurang lebih sembilan puluh tahun. Sehingga, kebiasaan meriwayatkan
hadis adalah menurut maknanya (periwayatan bil ma’na)[27]
Sampai di sini menjadi jelas sejauh mana
signifikansi dari asbab al-nuzul dapat mempengaruhi pemaknaan ayat. Bagi
ulama yang masuk dalam kategori pandangan pertama dan kedua, seperti Al-Wahidi,
Ibnu Taimiyah, al-‘Id, al-Qusyairi, Shihab, Abu Zaid, asbab al-nuzul
jelas tidak dapat dieliminir (signifikan). Sementara bagi ulama seperti Bintusy
Syathi’, asbab al-nuzul hanyalah sebagai bantuan yang tidak penting,
atau bukan menjadi hal yang signifikan dalam pemaknaan ayat (karena asbab
al-nuzul boleh dilepas).
Selanjutnya, keterangan yang dapat
dijadikan data untuk melihat signifikansi atau posisi dari asbab al-nuzul
dalam penafasiran selama ini adalah
penjelasan tentang pengoperasionalan kaidah antara al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al-lafaz dengan al-‘ibrah
bi umum al-lafaz la bi khusus
al- sabab.
3. Keumuman Kata dan Kekhususan Sebab
Al-Qattan menyebutkan bahwa apabila ayat
yang diturunkan sesuai dengan sebab secara umum, atau sesuai sebab secara
khusus, maka yang umum (amm)
diterapkan pada keumumannya dan yang khusus (khass) pada kekhususannya. Dalam hal ini al-Qattan mencontohkan
yang pertama dengan Surat Al-Baqarah ayat 222:
ويسألونك
عن المحيض قل هو اذى فاعتزلوا النساء بالمحيض ولا تقربوهن حتى يطهرن فاذا تطهرن
فأتواهن من حيث امركم الله ان الله يحب التوبين ويحب المتطهرين[28]
Ayat tersebut dikatakan berkaitan dengan orang-orang
Yahudi yang tidak mau mendekati dan memberi makan atau minum kepada istri-istri
mereka ketika sedang haid. Seperti yang dijelaskan oleh al-Qattan dalam
bukunya:
Anas berkata: “Bila
istri orang-orang Yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi
makan dan minum, dan di dalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah
ditanya tentang hal itu, maka Allah menurunkan: Mereka bertanya kepadamu tentang haid…Kemudian kata Rasulullah: جامعوهن فى البيوت, واصنعوا كل شيء الا النكاح (اخرجه مسلم)
“Bersama-samalah dengan mereka di rumah, dan perbuatlah segala sesuatu kecuali
menggaulinya.”[29]
Sementara yang kedua dicontohkan dengan Surat al-Lail (92)
ayat17-21:
وسيجنبها الاتقى الذي يؤتى ماله يتزكى ومالاحد
عنده من نعمة تجزى الا ابتغاء وجه ربه الاعلى ولسوف يرضى[30]
Menurut penjelasan Al-Qattan bahwa ayat di atas
diturunkan mengenai Abu Bakar. Penjelasannya:
Menurut ‘Urwah, Abu
Bakar telah memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa karena membela agama
Allah: Bilal, ‘Amir bin Fuhairah, Nahdiyah dan anak perempuannya, Umm ‘Isa dan
budak perempuan Bani Mau’il. Untuk itu turunkah ayat “Dan kelak akan dijauhkan
orang yang paling taqwa itu dari neraka..” sampai dengan akhir surat .
Hal yang serupa
diriwayatkan dari ‘Amir bin Abdullah bin Zubair, yang menambahkan: “Maka
berkenaan dengan Abu Bakar tersebut turunlah ayat ini (Adapun orang yang memberikan hartanya
dan bertaqwa sampai dengan … Dan kelak ia benar benar mendapatkan
kepuasan)”.[31]
Tetapi jika sebab itu khusus sementara
ayat yang turun berbentuk umum, ulama usul berselisih pendapat apakah
harus berpegang pada kata yang umum ataukah sebab yang khusus.[32]
Terhadap pertanyaan tersebut, menurut
al-Qattan, ada dua pandangan. Pandangan pertama adalah yang dianut oleh
mayoritas ulama, sementara pandangan kedua adalah apa yang diikuti oleh
minoritas ulama. Menurut mayoritas ulama (jumhur ulama) bahwa yang menjadi
pegangan adalah kata yang umum, bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil
dari kata yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusus sampai pada hal-hal
yang serupa dengan itu. Dia mencontohkan ayat li’an pada Surat an-Nur (24) ayat 6-9 mengenai li’an yang turun mengenai tudukan Hilal
bin Umaiyyah kepada isterinya.
عن ابن
عباس: ان هلال بن امية قذف امرئته عند النبي بشريك ابن سحماء, فقال النبى صلى الله
عليه وسلم: البينة, والا حد فى ظهرك فقال: يارسول الله, اذا رأى احدنا على امرأته
رجلا ينطلق يلتمس البينة؟ فجعل رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: البينة, والا
حد فى ظهرك, فقال هلال: و الذى بعثك بالحق ان لصادق, ولينزلن الله ما يبرئ ظهري من الحد, ونزل جبريل فانزل عليه [والذين
يرمون ازواجهم ولم نكن لهم شهداء الا انفسهم فشهادة احدهم اربع شهدة بالله انه لمن
الصالحين – النور: 6-9]
“Dari Ibnu Abbas, Hilal bin Umaiyyah
menuduh istrinya telah berbuat zina
dengan Syuraik bin Sahma’ di hadapan Nabi. Maka Nabi berkata:’ Harus ada bukti,
bila tidak maka punggungmu yang didera.’Hilal berkata: ‘wahai Rasulullah,
apabila seorang di antara kami melihat seorang laki-laki mendatangi istrinya;
apakah ia harus mencari bukti?’ Rasulullah menjawab: ‘Harus ada bukti, bila
tidak maka punggungmu yang didera.’ Hilal berkata: ‘Demi yang mengutus engku
dengan kebenaran, sesungguhnyalah perkataanku itu benar dan Allah benar-benar
akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera’ Maka turunlah
Jibril dan menurunkan kepada Nabi: (Dan orang-orang yang menuduh istrinya,
sampai dengan…..termasuk orang-orang yang benar).[33]
Menurut penjelasan al-Qattan selanjutnya
bahwa hukum yang diambil dari kata umum
tersebut (Dan orang-orang yang menuduh
istrinya..) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal, tetapi diterapkan pula
pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Pendapat ini dianggapnya
sebagai pendapat yang paling kuat dan sahih.[34]
Sementara menurut minoritas ulama, yang menjadi pegangan adalah sebab yang
khusus, bukan kata yang umum, karena kata yang umum itu menunjukkan bentuk
sebab yang khusus. Sehingga, untuk dapat memberlakukan kepada kasus selain
sebab diperlukan dalil seperti qias dan sebagainya.[35]
Bagi mayoritas ulama, karena mereka
memegang keumuman kata atau mengikuti paham al-‘ibrah
bi ‘umum al-lafaz la bi khusus
al-sabab, maka asbab al-nuzul menjadi tidak berarti. Contoh ulama
yang memegang keumuman kata adalah Bintusy Syathi. Bagi dia, yang lebih
ditekankan adalah universalitas makna, bukan kekhususan sebab. Tetapi
sebaliknya, ulama yang memegang kekhususan sebab atau yang memegang kaedah al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ‘umum
al-lafaz lebih mementingkan “sabab” ketimbang nash ketika memaknai ayat. Maka dari itu asbab
al-nuzul menjadi signifikan.
Ulama yang memegang kekhususan sebab
antara lain adalah Quraisy Shihab. Menurutnya, akan lebih mendukung
pengembangan tafsir jika pandangan minoritas
yang ditekankan, yaitu dengan memberikan catatan harus mempertimbangkan
tiga hal, yaitu peristiwa, pelaku dan waktu.[36]
Di sini Quraisy Shihab menekankan untuk
memperhatikan faktor waktu, karena kalau tidak, ia menjadi tidak relevan untuk
dianalogkan. Dan analogi yang dilakukan, menurutnya lagi, hendaknya tidak
terbatas oleh analogi yang dipengaruhi oleh logika formal (al-mantiq, al-shuri) yang selama ini banyak mempengaruhi para
fuqaha kita. Tetapi, analogi yang lebih
luas dari itu, yang meletakkan di pelupuk mata al-mashalih al-mursalah dan
yang mengantar kepada kemudahan pemahaman agama, sebagaimana pada masa Rasul
dan para sahabat[37]
Nasr Abu Zaid juga masuk dalam aliran khusus al-sabab ini. Dalam hal ini ia
menggugat pemegang keumuman kata. Menurutnya,
Memegang keumuman
kata (ungkapan) dan mengabaikan
kekhususan sebab dalam menghadapi semua teks Al-Qur’an akan membawa
konsekuensi-konsekuensi yang sulit diterima oleh pemikiran agama. Akibat yang
paling serius yang disebabkan oleh sikap “berpegang pada keumuman kata” dengan
mengabaikan “kekhususan sebab” adalah bahwa sikap ini menyebabkan hikmah tasyri’
diturunkan secara bertahap, seperti masalah-masalah halal dan haram, terutama
dalam masalah makanan dan minuman akan terabaikan. Selain itu bahwa memegang
keumuman kata dalam menghadapi semua teks yang khusus berkaitan dengan hukum
akan menghancurkan hukum itu sendiri.[38]
Bagi dia, usaha menemukan makna teks tidak harus
memisahkan teks dari realitas yang diungkapkannya (teks), tetapi juga tidak
benar, menurutnya, apabila dikatakan
usaha penemuan tersebut berhenti dan terpaku pada peristiwa-peristiwa itu saja,
tanpa memahami karakteristik ujaran bahasa dalam teks serta kemampuannya
melampaui realitas-realitas partikular.[39]
Artinya menurut Abu Zaid bahwa kata-kata
mendapatkan makna melalui hubungan struktural dan kontekstualnya. Dalam hal ini
dia mengambil contoh surat
Ali Imran (3) ayat 173. Menurutnya, bahwa makna teks atau ayat tersebut akan
dapat terungkap melalui analisis struktur bahasanya dan dengan kembali ke
konteks yang memproduksinya. Dia menjelaskan,
Firman Allah: الذين قال لهم الناس ان الناس
قد جمعوا لكم فاحشوهم وزادهم ايمانا وقالوا حسبنا الله ونعم الوكيل
”Orang-orang yang kepada mereka ada
orang yang mengatakan:’mereka telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu
sekalian, karena itu takutlah kepada mereka.’ Perkataan ini justru membuat
mereka bertambah iman” tidaklah mungkin kalau kata-kata an-nas dalam teks tersebut berarti “semua manusia”. Kalau bermakna
demikian maka semua manusia berkata kepada semua manusia bahwa sesungguhnya
“semua manusia’ telah mengumpulkan
pasukan untuk menyerang kalian. Struktur teks itu sendiri menegaskan
kekhususan acuan dari masing-masing kata an-nas,
bahwa (al-nas) yang yang
mengatakan bukan (al-nas) yang menjadi sasaran
bicara. Ini merupakan taraf-taraf kata ganti dalam ungkapan teks. Huruf alif dan lam pada kedua
kata an-nas bukan alif lam yang
menunjukkan jenis (li al-jinsi),
tetapi alif-lam yang menunjukkan
benda yang diketahui (li al-‘ahd),
tetapi dalam hal ini untuk mengetahuinya hanya kembali ke asbab al-nuzul.
Ini berarti bahwa makna teks dapat terungkap, pertama, melalui analisis struktural bahasanya, dan kedua, dengan kembali ke konteks yang
memproduksinya. Mengabaikan salah satu sisi tersebut menyulitkan mufassir untuk
menyingkap makna. Memberi fokus hanya pada struktur bahasa tanpa
mempertimbangkan konteks budaya akan menjerumuskan kita ke dalam kesesatan
analisis yang tertutup. Sementara memberikan fokus hanya pada konteks tanpa
mempertimbangkan struktur teks akan mengembalikan kita ke konsep “mimetik”
(peniruan).[40]
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan
di atas, bagi Abu Zaid, selain Asbab al-nuzul, struktur teks sendiri
juga perlu diperhatikan. Menurutnya, “Mereka tidak menyadari bahwa di dalam
teks senantiasa ada tanda-tanda yang apabila dianalisis apa yang berada di luar teks dapat diungkapkan. Oleh
karenanya, asbab al-nuzul dapat diungkapkan dari dalam teks”.[41]
Dari sini dapat disimpulkan, bagi ulama
penganut kaidah al-‘ibrah bi khusus
al-sabab la bi ‘umum al-lafaz, asbab al-nuzul sangat signifikan
meskipun asbab al-nuzul tidak harus dipahami secara kausalitas atau
meskipun perlu juga mempertimbangkan struktur teksnya
Sebelum mengakhiri perbincangan tentang
kaidah ini, barangkali tidak ada salahnya jika di sini juga dipaparkan argumen
yang dibangun oleh masing-masing pemegang kaidah, baik oleh ulama mayoritas
ataupun minoritas. Mayoritas (jumhur ulama) mengemukakan tiga macam dalil:
1.
Lafaz syari’ (pembuat syari’at) saja yang menjadi hujjah dan dalil
(argumen), bukan sesuatu yang mengelilinginya berupa pertanyaan atau sebab.
Karena itu tidak ada jalan un tuk mengkhususkan lafaz pada sebab. Alasan
mayoritas mengatakan bahwa hanya lafaz syari’ (pembuat syari’at)
sebagai hujjah adalah keadaan syari’ kadang-kadang memalingkan pandangan
dari pertanyaan yang dihadapkan kepada nabi kepada jawaban tentang sesuatu yang
lebih penting dari pertanyaan tersebut. Sebagai contoh, dalam surat al-Baqarah ayat 215 diterangkan bahwa
nabi ditanya tentang sesuatu yang akan mereka nafkahkan. Akan tetapi, Allah
menjawab tentang orang-orang yang seharusnya menerima nafkah itu
2.
Menurut
kaidah asal, lafaz-lafaz itu ditanggungkan kepada maknanya yang segera
tertangkap selama tidak ditemukan
sesuatu yang memalingkannya dari makna tersebut. Dalam hubungan ini,
tidak ada sesuatu yang memalingkannnya dari maksud keumumannya. Dengan
demikian, secara otomatis lafaz itu tetap pada keumumannya. Kekhususan
sebab semata tidak harus mengeluarkan selain sebab dari cakupan lafaz
yang umum
3.
Para
sahabat dan mujtahid di segala masa dan tempat berhujjah (menjadikan argumen)
dengan keumuman lafaz-lafaz yang datang lantaran sebab-sebab yang khusus
pada peristiwa dan kejadian yang banyak tanpa memerlukan qias atau mencari
alasan dengan dalil lain. Bahkan, kebanyakan pokok-pokok syari’at lahir dari
sebab-sebab yang khusus. Bagaimanapun khususnya sebab itu, mereka memahami dari
lafaz-lafaz itu hakikat keumumannya. Kemudian, dari keumuman lafaz-lafaz
tersebut mereka bentuk banyak kaidah-kaidah umum pula.
Adapun kelompok minoritas yang berpegang
pada kaidah al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi umum al lafaz, mereka
mengemukakan lima
alasan sebagai berikut:
1.
Ijma’
telah berlaku atas ketidakbolehan mengeluarkan sebab dari hukum lafaz
yang umum yang datang lantaran sebab yang khusus sekalipun terdapat mukhassis
(yang mengkhususkan). hal demikian mengharuskan bahwa lafaz yang
umum terbatas pada person-person sebab dan tidak menjangkau yang lainnya.
Sebab, sekiranya lafaz-lafaz yang umum itu tidak terbatas pada
person-person sebab, tentunya person-person ini sama statusnya dengan
person-person lainnya dalam hal boleh mengeluarkannya ketika ada mukhassisnya.
Padahal, yang demikian itu terlarang menurut ijma’
2.
para
periwayat telah meriwayatkan asbab al-nuzul. Mereka telah memberikan
perhatian yang besar terhadapnya dan membukukannya. Semua usaha itu tidak
bermakna kecuali dengan mengikuti jalan pikiran minoritas yang mewajibkan
terbatasnya lafaz yang umum pada person-person sebabnya yang khusus.
3.
penangguhan
keterangan dari terjadinya suatu peristiwa dan munculnya pertanyaan pada lafaz
umum yang datang lantaran suatu sebab,
meunjukkan bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab. Sebab,
penangguhan lafaz Syari’ sampai sesudah terjadinya sebabnya memberikan
pengerian bahwa sebablah satu-satunya yang diperhatikan syari’ dalam menetapkan
hukumnya dengan lafaz yang turun mengenainya. Kjika demikian, maka Allah
tidak mempertalikannya dengan sebab itu, dan bahkan akan menurunkannya sebelum
peristiwa berlangsung atau memperlambatnya.
4.
Para ahli fiqh sepakat atas bahwa seseorang yang diundang
dengan kata-kata “makan sianglah di tempatku”, maka ia menolaknya dengan
bersumpah: “ Demi Allah, saya tidak akan makan siang”—tidak kena kaffarat
sumpah jika ia makan di tempat orang
lain. Pendapat ini tidak lahir kecuali dengan memandang bahwa lafaz yang
umum ini telah tertentu bagi sebabnya, yaitu kalimat “makan sianglah di
tempatku” yang dengannya pengundang menghususkan dirinya. Dalam hal ini, orang
yang bersumpah seolah-olah berkata: “ saya tidak makan siang di tempatmu saja”.
Karena itu, dia tidak berdosa untuk makan di tempat orang lain.
5.
Persesuaian
antara pertanyaan dam jawaban wajib dalam pandangan hikmat dan ketentuan
balaghah (sastra). Persesuaian ini tidak akan jadi melainkan dengan persamaan
antara lafaz yang umum dengan sebabnya yang khusus. Sedangkan persamaan,
tidak mungkin terjadi kecuali jika lafaz yang umum di takhshish
(dijadikan khusus) dengan sebabnya yang khusus.[42]
Dalam penjelasan di atas, argumen nomor
dua yang diajukan oleh ulama minoritas menarik untuk dipertanyakan. Argumen
dipakainya kaidah bi khusus
al-sabab demi penghargaan kepada ulama yang telah mencurahkan perhatian
yang begitu besar terhadap asbab al-nuzul, bagi penyusun, adalah argumen
naif dan tidak seharusnya dijadikan alasan untuk menguatkan pemakaian kaidah
tersebut. Argumen dalam pemilihan pemakaian kaedah, seharusnya lebih atas
pertimbangan makna yang akan dihasilkan nantinya, atau seharusnya lebih karena
pertimbangan implikasi yang akan timbul darinya, bukan karena sikap etis kepada
tokoh atau golongan tertentu yang telah terlanjur menghasilkan sebuah rumusan
tertentu. Sikap seperti itu malahan akan menyebabkan stagnasi dalam pemikiran.
Lagi pula, alasan seperti itu juga akan memperlihatkan bahwa argumen yang
diajukan menjadi terkesan dipaksakan, hanya
demi mendukung kaidah yang dipakainya.
Tapi paling tidak, signifikansi asbab
al-nuzul telah dapat terlihat melalui pemaparan pemakaian kaedah. Kalau
yang dianut adalah paham al-‘ibrah bi
‘umum al- lafaz la bi khusus
al-sabab, maka asbab al-nuzul kurang diperankan atau tidak
diperankan sama sekali. Sementara kalau paham yang dipakai adalah al-‘ibrah bi khusus al-sabab la bi ’umum al-lafaz, maka asbab al-nuzul
menjadi signifikan.
Selanjutnya, pembahasan yang perlu juga
disampaikan dalam pemaparan asbab al-nuzul di sini adalah tentang cara
mengetahui asbab al-nuzul dan sigat-sigat tentang asbab al-nuzul.
4. Bentuk- bentuk Redaksi dan Cara
Menentukan Asbab al-nuzul
Sungguhpun bagi segolongan ulama asbab
al-nuzul begitu signifikan, namun tidak semua riwayat dapat dikatakan
sebagai asbab al-nuzul. Untuk mengetahui apakah riwayat itu menunjukkan asbab
al-nuzul atau sekadar menunjukkan hukumnya atau menunjukkan sesuatu yang
lain, ulama melihatnya dari redaksi yang digunakan. Menurut ulama ada dua
bentuk redaksi yang dapat dijadikan ukuran apakah itu menerangkan sebab nuzul
atau menerangkan hukum atau makna ayatnya atau lainnya.
Bentuk pertama, berupa pernyataan tegas
bahwa itu adalah asbab al-nuzul ayat. Dalam hal ini asbab al-nuzul
disebutkan dengan ungkapan yang jelas, seperti sababu nuzuli hazihil ayati kaza (sebab turun ayat ini adalah
begini), atau sabab nuzul tidak ditunjukkan dengan lafaz sebab, tetapi
dengan mendatangkan lafaz “fa” yang masuk kepada ayat yang dimaksud secara
langsung setelah pemaparan suatu peristiwa atau kejadian. Ungkapan seperti ini
juga menunjukkan bahwa peristiwa itu adalah sebab bagi turunnya ayat tersebut.
Jika redaksinya berbentuk demikian maka secara definitif dianggap menunjukkan sabab
al-nuzul dan tidak mengandung kemungkinan makna lain.[43]
Bentuk kedua yaitu sabab al-nuzul
tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara jelas juga tidak dengan
mendatangkan “fa” yang menunjukkan sebab, tetapi dengan redaksi: “nazalat hazihil ayatu fi kaza” ( ayat ini turun
mengenai ini), atau ahsibu hazihil ayata
fi kaza (aku mengira ayat ini turun
mengenai soal begini), atau ma ahsibu
hazihil ayata nazalat illa fi kaza (aku tidak mengira ayat ini turun
kecuali mengenai hal yang begini). Dengan
bentuk redaksi seperti ini perawi tidak memastikan sabab al-nuzul.
tetapi dianggapnya mengandung suatu kemungkinan, mungkin menunjukkan sebab,
mungkin menunjukkan hukum atau lainnya.[44]
Al-Zarkasyi menyebutkan bahwa telah dimaklumi dari kebiasaan para sahabat dan
tabi’in bahwa jika salah seorang mereka berkata: “ayat ini turun tentang
demikian”, maka yang dimaksud
adalah hukum suatu ayat, bukan sebab
bagi turunnya ayat tersebut.[45]
Sementara menurut al-Zarqani, satu-satunya jalan untuk menentukan salah satu
dari dua makna yang terkandung dalam ungkapan itu adalah konteks pembicaraannya.[46]
Mengenai asbab al-nuzul ini,
Al-Qattan menjelaskan bahwa terkadang suatu ayat mempunyai banyak asbab
al-nuzul. Terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas dan
terkadang sebagiannya tidak tegas sedang sebagian lainnya tegas dalam
menunjukkan sebab. Maka dalam hal ini yang ditempuh mufassir terhadapnya
adalah:
·
Jika
semuanya tidak tegas dalam menunjukkan sebab maka dipandang sebagai tafsir atau
kandungan ayat.
·
Jika
sebagian tidak tegas sementara sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan
adalah yang tegas
·
Jika
semuanya tegas maka tidak terlepas kemungkinan bahwa salah satunya sahih atau
semuanya sahih. Apabila salah satunya sahih sedang yang lain tidak, maka yang
sahih itulah yang menjadi pegangan.
·
Jika semuanya sahih maka dilakukan pentarjihan
bila mungkin. Bila tidak mungkin maka dipadukan. Bila tidak mungkin juga maka
dipandanglah ayatnya turun beberapa kali dan berulang.[47]
Paparan di atas menunjukkan bahwa
pedoman dasar dalam mengetahui asbab nuzul adalah melalui riwayat, yaitu
riwayat sahih yang berasal dari rasulullah atau dari sahabat. Menurut
Al-Wahidi “tidak diperbolehkan berpendapat mengenai sebab-sebab turunnya
Al-Qur’an kecuali melalui periwayatan”.[48]
Dan menurut al-Suyuti, bila ucapan seorang tabiin secara jelas menunjukkan sabab
al-nuzul maka ucapannya dapat diterima dan mempunyai kedudukan mursal bila
penyandaran kepada tabi’in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir
yang mengambil ilmunya dari sahabat seperti Mujahid, Ikrimah dan Sa’id bin
Jubair serta didukung oleh hadis mursal yang lain.Jika riwayat itu
berasal dari tabi’in maka syaratnya bahwa ucapan tabi’in itu secara jelas
menunjukkan asbab al-nuzul.[49]
Sementara menurut Abu Zaid, pengetahuan tentang asbab al-nuzul
merupakan masalah ijtihad. Oleh karenanya, ia menyarankan mufasir-mufasir muda
untuk menikmati kesempatan berijtihad ini[50]
[1]Lihat Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an (Riyad: Mansyurat al- ‘Asr al- Hadis, t. t.),
hlm. 78.
[2]Fahd
Bin Abdur Rahman al-Rumi, ‘Ulumul Qur’an: Studi kompleksitas Al-Qur’an,
terj. Amirul Hasan dan Muhamad Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997).
hlm. 179.
[3]Masjfuk
Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, edisi revisi (Surabaya: Karya Abdi Tama,
1997), hlm. 38.
[4]Fahd
Bin Abdur Rahman al-Rumi, Ulumul Qur’an…, hlm. 179. Lihat juga Masjfuk
Zuhdi, ibid., hlm. 36.
[5]Secara
bahasa (etimologis) kata asbab al-nuzul terdiri dari dua suku kata,
yaitu asbab dan al-nuzul. Kata asbab adalah
bentuk plural dari kata sababa yang
berarti sebab atau alasan. Sedangkan kata al-nuzul
adalah bentuk masdar dari kata nazala
yang berarti turun Lihat Ibn Manzur, Lisan
al-‘Arab (Bairut, Dar al-Qutb al-‘Ilmiyyah, 1992), jilid I, hlm. 458. Lihat
juga Ahmad Warson Muawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1997), hlm. 602 dan 1409.
[6]Muhammad
‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an
(t.t.p, Isa al-Bab al-Halabi, t.t), jilid I, hlm. 106.
[7]Muhammad
‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, ibid..
[8]Lihat
Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an,
jilid I (Kairo: Isa al-Bab al-Halabi), hlm.31.
[9]Subhi
al-Salih, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al Malayin, 1988), hlm. 132.
[10]Asbab
al-nuzul didefinisikan olehnya sebagai sesuatu hal yang karenanya Al-Qur’an
diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik
berupa peristiwa maupun pertanyaan. Lebih jelas lihat Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum Al-Qur’an …, hlm. 78, atau lihat terjemahannya
dalam Manna Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, terj. Mudzakir
AS. (Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa, 2000),
hlm. 110.
[11]Menurutnya,
asbab al-nuzul adalah kejadian yang karenanya diturunkan Al-Qur’an untuk
menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang di
dalamnya Al-Qur’an diturun kan serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik
dituriunkan langsung sesudah terjadi sebab itu ataupun kemudian, lantaran
sesuatu hikmah. Lihat dalam M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang,1990),
hlm. 64. atau lihat dalam Jalaluddin al-Suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat
Suci al-Qur’an, terj. A. Musthofa (Semarang :
Asy Syifa’, 1993), hlm.54.
[12]Pandangan
mereka ini dapat dilihat dalam Masjfuk Zuhdi, Pengantar ‘Ulum Al-Qur’an…,hlm. 36; Muhammad ‘Ali Ash-Shabbunie, Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj.
Saikhul Islam, (Surabaya: Al-Ihklas, 1983), hlm. 51; Dawud al-Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, terj.
Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm.
127; Ahmad van Denffer, Ilmu
Al-Qur’an: Pengenalan Dasar,
terj. Ahmad Nashir Budiman (Jakarta: Rajawali Press, 1988), hlm. 101, juga Fahd
bin ‘Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an…,
hlm. 181.
[13]Lihat Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an:
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung : Mizan, 2002), hlm. 88-89.
[14]Lebih
jelas lihat Muhammad Chirzin, Al-Qur’an
dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 31.
[15]Issa
J. Boullata, “Tafsir Al-Qur’an Moderen: Studi atas Metode Bintusy Syathi’” dalam Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintusy Syathi’ (Bandung: Mizan,1996), hlm. 12-13.
[16]Jalaluddin
Abdurrahman al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut : Dar Ibnu Kasir, 2000), jilid I, hlm.
93. Pendapat dari al-Wahidi ini banyak dikutib oleh ulama. Lihat, Ahmad van Denffer, Ilmu Al-Qur’an:
Pengenalan Dasar…., hlm. 102; A. Mudjab Mahaly, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an (Jakarta: Rajawali Press,
1989), hlm. vii, Muhammad ‘Ali Ash-Shabbunie, Pengantar Ilmu…., hlm. 43;
Masjfuk Zuhdi, Pengantar ‘Ulum Al-Qur’an…, hlm. 41; Ramli ‘Abdul Wahid, Ulumul
Qur’an (Jakarta: Rajawali Press, 1994), hlm. 49, Azyumardi Azra (ed.), Sejarah
dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 78 dan Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu…, hlm. 113.
[17]Jalaluddin
‘Abdurrahman al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum…, ibid.. Pendapatnya juga
banyak dikutip oleh ulama. Lihat, Fahd bin ‘Abdurrahman al-Rumi, Ulumul
Qur’an: Studi ..., hlm. 186; Muhammad Hasbi Ash Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar…,hlm. 64;
A. Mudjab Mahaly, Asbabun Nuzul:
Studi Pendalaman … ,hlm.viii; Muhammad ‘Ali Ash-Shabunie, Pengantar
Ilmu-Ilmu …,.hlm.43;
Masjfuk Zuhdi, Pengantar ‘Ulum…, hlm.41; Ramli ‘Abdul Wahid, Ulumul…, hlm. 49 dan al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu… ,hlm.113.
[18]Jalaluddin
‘Abdurrahman al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum…,ibid..
[19]Badruddin
Muhammad bin ‘Abdullah Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum…, hlm.22.
[20]Jalaluddin
al-Suyuti, Riwayat Turunnya Ayat-ayat Suci…, hlm.57.
[21]Manna
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu…,
hlm.110-115.
[22]Muhammad
‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan…, hlm. 109-114.
[23]Mengenai
hubungan dialektik ini dicontohkan dengan adanya konsep wahyu dan jin yang
diadopsi oleh Al-Qur’an dari masa pra Islam yang kemudian diperbarui atau
dikonsep oleh Al-Qur’an dengan cara yang berbeda dengan konsep pada masa pra
Islam. Lihat Ali Harb, “ Nasr Hamid Abu
Zaid: Wacana yang melawan Fundamentalisme namun Masih Berpijak pada Buminya”,
dalam Kritik Nalar Al-Qur’an (Yogyakarta : LKiS, 2003), hlm. 327. Sementara pembahasan mengenai
konsep wahyu dan jin itu sendiri dapat dilihat dalam Toshihiko Izutsu, Relasi
Tuhan dan Manusia: Analisis Semantik terhadap Weltanschauung Al-Qur’an (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1997), hlm. 6-7 dan 171.
[24]Penjelasan
tentang masing-masing konteks secara lebih jelas, lihaI, Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan ( Yogyakarta :
Elsaq, 2003), hlm. 103-118. Lihat juga Nars Hamid Abu Zaid, Dekonstruksi Gender: Kritik wacana Perempuan dalam Islam, terj.Moch.
Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi (Yogyakarta : SAMHA, 2003), hlm. 182-182.
[25]Lihat,
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas
Al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta :LKIS, 2002), hlm. 123-124.
[26]Lebih
jelas lihat kembali Issa J. Boullata,
“Tafsir Al-Qur’an Moderen…”, hlm. 15.
[27]Tabataba’i, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, terj.
Machasin dan Hamim Ilyas (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 121-123.
[28]Q.S.
Al-Baqarah: 222, terjemahannya lihat pada lampiran.
[29]Lihat,
Manna Khalil al-Qattan, Studi …,
hlm.116.
[30]Q.S.
al-Lail:17-21, terjemahannya lihat pada lampiran.
[31]Lihat,
Manna Khalil al-Qattan, Studi …, hlm.
118.
[32]Ibid., hlm. 115-118.
[33]Ibid., hlm. 119.
[34]Ibid., hlm. 119.
[35]Ibid, hlm. 118-120.
[36]Quraisy
Shihab, Membumikan…, hlm. 89.
[37]Ibid..
[38]Nasr
Hamid Abu Zaid, Tekstualitas…, hlm
124-125.
[39]Ibid., hlm. 122-123.
[40]Ibid., hlm. 129.
[41]Ibid., hlm. 134.
[42]Ramli
Abdul Wahid, Ulumul …, hlm. 75-77,
atau lihat dalam Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘ Irfan…, hlm. 127-134.
[43]
Lihat Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu…,
hlm. 120.
[44]Lihat
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu…,
hlm. 121.
[45]Badruddin
Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkazsyi, Al-Burhan fi ‘Ulum …, hlm.31-32.
[46]Ramli
Abdul Wahid, Ulumul …, hlm. 49.
[47]Manna
Khalil al-Qattan, ibid., hlm.31-132.
[48]Jalaluddin
al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum…, hlm. 99.
[49]Ibid.,
hlm.101.
[50]Nasr
Hamid Abu Zaid, Tekstualitas…, hlm. 134.
No comments:
Post a Comment