Pencatatan Perkawinan Dalam Pandangan Menurut Pemikir
Islam
Selengkapnya Click DISNI
Permasalahan
pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fikih klasik tidak ditemukan.
Pembahasannya berkutat pada nikah sirri yang terkait dengan saksi. Menurut
jumhur ulama suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan
syarat-syarat sebagaimana telah disebutkan pada bab yang terdahulu, diantaranya
adalah wali. Dan hal ini sudah menjadi kesepakatan para Fuqoha. Demikian juga
tentang keberadaan dua orang saksi merupakan syarat sahnya suatu perkawinan
berdasarkan hasdist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam darul Qutni dan Ibnu
Hibban : لآنكاح الا بولى وشا هد عدل dan hadist riwayat Imam at-Turmudzi : ا اللاتى ينكحن انفسهن بغير بينة البغايا .
Dari kedua
hadits tersebut, bahwa nikah sirri model pertama adaalah, dimana tidak ada
saksi, menurut pendapat sebagian ahli hukum islam perkawinan tersebut tidak
memenuhi kriteria nikah yang sah karena persaksian merupakan bukti kehalalan.
Model yang kedua, dimana suami berpesan kepada saksi agar merahasiakan
perkawinannya, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, Imam malik
memandang nikah seperti itu tidak sah dan harus di fasakhkan, dan apabila
terbukti secara hukum keduanya melakukan hubungan seks, keduanya harus di hukum
jilid atau rajam. Sementara ulama’ lain berpendapat bahwa adanya saksi dalam
perkawinan itu merupakan indikasi bahwa perkawinannya sudah tidak termasuk
nikah sirri lagi dan dengan demikian perkawinannya dipandang sah. Pandangan
yang mirip dengan diatas dikemukakan oleh ulama Hanabilah bahwa akad nikah
sirri model kedua tersebut tetap sah akan tetapi hukumnya makruh.[1]
Kalau melihat
teks dan penjelasan perundang-undangan indonesia dapat disimpulkan bahwa
fungsi pencatatan perkawinan adalah hanya untuk memenuhi urusan administrasi, bukan
untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Namun, jika teks-teks tersebut
dihubungkan dengan pasal-pasal lain yang ada dalam undang-undang khususnya UU
No. 01 tahun 1974 secara keseluruhan, dan dihubungkan dengan perundang-undangan
lain yang pernah berlaku di Indonesia, ternyata memunculkan sikap pro dan
kontra tentang fungsi pencatatan perkawinan. Ada yang berpandangan bahwa pencatatan
perkawinan sebagai syarat sahnya perkawinan dan ada yang berpendapat hanya
sebagai syarat administrasi.
Kelompok yang
berpendapat pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan adalah kelompok
sarjana dan ahli hukum yang selama ini tunduk dan melaksanakan perkawinan
berdasarkan hukum perdata dan ordonasi Perkawinan Kristen Indonesia, yang hanya
dengan akta perkawinan dapat dibuktikan sahnya perkawinan berdasarkan pasal 100
BW.[2] Mereka berpendapat, saat
mulai sahnya perkawinan adalah setelah pendaftaran/pencatatan perkawinan[3] Adapun alasan yang yang
dikemukakan kelompok ini minimal ada lima.
Pertama, selain didukung praktik hukum dari badan-badan public seperti
diatas, juga pasal-pasal peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU Perkawinan
(PP N0. 09 tahun 1975), dan juga dari jiwa dan hakikat undang-undang perkawinan
itu sendiri.
Kedua,
ayat yang ada dalam pasal 2 UU No. 01 tahun 1974 sebagai satu kesatuan.
Artinya, perkawinan yang telah memenuhi syarat keagamaan dan atau kepercayaan
itu segera disusul dengan pendaftaran atau pencatatan, karena sebagaimana
ditentukan oleh pasal 100 KUH Perdata dan pasal 34 Peraturan Perkawinan Kristen
Indonesia, Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon, bahwa akte nikah adalah bukti
satu-satunya dari suatu perkawinan.
Ketiga,
apabila pasal 2 dikaitkan dengan bab III (pasal 13 s/d 21) dan bab IV (pasal 22
s/d 28) UU No. 01 tahun 1974, masing-masing tentang pencegahan dan batalnya
perkawinan hanya bisa dilakukan apabila prosedur (tata cara) pendaftaran atau
pencatatannya ditempuh sebagaimana diatur oleh PP No. 09 tahun 1975. Sehingga
apabila perkawinan dapat sah diluar pencatatan/pendaftaran, bab mengenai
pencegahan dan batalnya perkawinan tersebut hampir tidak ada gunanya. Demikian
pula sekiranya pendaftaran/pencatatan perkawinan tidak dianggap sebagai salah
satu syarat sahnya perkawinan, sepertinya banyak diantara perbaikan-perbaikan
yang menjadi harapan dari undang-undang ini tidak dapat dicapai, misalnya
pegawasan poligami, pencegahan perkawinan anak-anak (dibawah umur) dan
semacamnya.[4]
Keempat,
dari sisi bahasa. Arti kata “dan” pada pasal 2 ayai 1 UU No. 01 tahun 1974
menurut Soenarto Soerodibroto berarti kumulatif. Penegasannya “menurut pasal 2
UU No. 01 tahun 1974 suatu perkawinan baru sah apabila memenuhi dua
persyaratan, yakni: hukum agama dan dicatatkan, yang berarti apabila hanya
dilakukan menurut agamanya saja perkawinan itu belum sah”.[5] Sejalan dengan isi pasal
2, tata cara perkawinan termasuk pendaftaran/pencatatan perkawinan PP N0. 09
tahun 1975 berlaku umum bagi umat islam dihubungkan dengan UU No. 22 tahun 1946
(berlaku diseluruh Indonesia
dengan UU No 32 tahun 1954), dan bagi yang beragama lain berlaku ordonasi
tentang catatan sipil.[6]
Kelima,
menurut Saidus ada beberapa pasal yang secara eksplisit menunjang pendapat ini,
misalnya isi PP No 09 tahun 1975, pasal 10 ayat 3, “dengan mengindahkan
tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaan itu,
perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang
saksi.” Karena itu jalan keluar terbaik untuk terlaksananya pasal-pasal dalam
UU No. 01 tahun 1974, khususnya tentang pencegahan dan lain-lain harus dengan
mengubah substansi UU No. 01 tahun 1974, bukan hanya prosedurnya saja.[7] Karenanya, demi
terwujudnya tujuan dan efektifitas UU No. 01 tahun 1974 tentang izin dan
pencegahan perkawinan hanya dengan pencatatan/ pendaftaran.[8]
Adapun kelompok yang
berpandangan bahwa pencatatan perkawinan hanya sebagai urusan administrasi
umumnya dari kalangan umat islam dan banyak juga ahli-ahli hukum, bahwa saat
mulai sahnya perkawinan bukan pada saat pendaftaran/pencatatan; pendaftaran
tersebut hanya berfungsi sebagai administrasi saja. Sedang saat mulai sah
perkawinan adalah setelah terjadi ijab dan qabul.[9]
Pertama,
didukung oleh kebiasaan sejak UU No. 22 tahun 1946 yang berlaku untuk seluruh
Indonesia, dengan UU No. 32 tahun 1954, yaitu undang-undang tentang pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk, dimana pejabat agama hanya berperan sebagai pengawas
nikah, talak dan rujuk, bukan undang-undang yang mengatur perihal dan tatacara
perkawinan sebagaimana halnya UU No. 01 tahun 1974.[10]
Kedua,
bahwa ayat 1 dari pasal 2 UU No. 01 tahun 1974 adalah lepas dari ayat 2. Bahkan
penjelasan undang-undang tentang pasal 2 lebih jelas lagi menunjukkan kea rah
pendapat bahwa pencatatan perkawinan hanya sebagai urusan administrasi, dimana
disebutkan: “tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945”. Selanjutnya,
sesuai dengan UU No. 01 tahun 1974 pasal 12 yang menunjuk kepada peraturan
peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan tatacara perkawinan, dan PP No.
09 tahun 1975 pasal 45, yaitu peraturan pelaksanaan yang berhubungan dengan
pelanggaran pencatatan dapat dikutip pertama, kecuali apabila ditentukan lain
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku maka: (a). barang siapa yang
melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat 3, 40 peraturan
pemerintah ini dihukum denda setinggi-tingginyaRp. 7.500. Dari penjelasan
diatas menunjukkah bahwa pelanggaran terhadap pencatatan tidak menjadikan tidak
sahnya perkawinan, hanya dikenakan hukuman.[11]
Ketiga,
dengan tetap berlakunya UU N0. 32 tahun 1954, yang tetap memberlakukan UU No.
22 tahun 1946, karena tidak dicabut oleh UU No. 01 tahun 1974 (pasal 66),
bahkan PP No. 09 tahun 1975 sebagai pelaksana UU No. 01 tahun 1974, dengan
tegas menyebut UU No. 22 tahun 1946 tetap berlaku (pasal 2 ayat 1).[12]
Menanggapi
pendapat Soenarto Soerodibroto, KH. Hasbullah Bakry berpendapat bahwa, arti
“dan” dalam pasal ini tidak bersifat kumulatif tetapi alternative. Sebagai
tambahan bahwa dengan penggunaan penafsiran logis, sosiologis, histories,
tatacara perkawinan islam setelah selesai akad nikah menurut fikih islam, tanpa
tata cara adapt pun pernikahannya sudah sah tanpa ragu.[13]
Menurut K.
Watjik Saleh, perbuatan pencatatan itu tidaklah menentukan sahnya perkawinan,
tetapi menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi. Maka
keberadaannya hanya bersifat administratif belaka.[14]
Mengutip
pendapatnya Sardjono, Asmin mencatat, syarat dan rukun agamalah yang menjadi
ukuran sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Hal ini menurutnya sesuai dengan
isi pasal 2 dan pasal 51 ayat 3 UU No. 01 tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana
pasal 51 ayat 3 disebutkan bahwa seorang wali harus menghormati agama dan
kepercayaannya si anak yang berada dibawah perwaliannya.[15]
Wasit Aulawi
menjelaskan, kalau melihat sejarah proses pembentukan UU No. 01 tahun 1974,
konsep awalnya menjadikan pencatatan sebagai syarat sah. Tetapi karena tidak
disetujui fraksi Partai Persatuan, akhirnya hanya menjadi syarat administrasi.
Sebagaimana
dikutip oleh Khoirudin Nasution, Ahmad Safwat sarjana dari Mesir mengharuskan
pencatatan perkawinan berdasar pada pemikiran, bahwa ada hukum yang mewajibkan
perilaku tertentu, dan mestinya hukum itu tidak berubah kecuali hanya dengan
perubahan tersebut tujuan hukum dapat dicapai dengan tepat guna (efisien).
Artinya, kalau ada cara yang lebih efisien untuk mencapai tujuan, cara itulah
yang lebih diutamakan. Kehadiran saksi dalam akad nikah menurut Ahmad Safwat,
bertujuan sebagai pengumuman kepada khalayak ramai. Kalau ada cara yang lebih
baik atau lebih memuaskan untuk mencapai tujuan tersebut, cara ini dapat
diganti dengan pencatatan perkawinan secara formal.[16] Dengan kata lain,
pencatatan perkawinan bagi Safwat sebagai ganti dari kehadiran saksi, sebuah
rukun yang harus dipenuhi untuk sahnya akad nikah.
Menurut Wahbah
az-Zuhaili adalah nikah sirri adalah perkawinan yang dihadiri oleh saksi-saksi
akan tetapi saksi-saksi tersebut dipesan supaya merahasiakan perkawinan
tersebut, baik terhadap keluarga maupun terhadap masyarakat.[17]
Abu Zahrah
mengatakan, semua ulama’ fikih disetiap waktu setuju, bahwa tujuan akhir dari
pentingnya saksi nikah adalah pengumuman kepada masyarakat tentang adanya
perkawinan. Tujuan pencatatan tersebut adalah untuk membedakan antara
perkawinan yang halal dengan yang tidak.[18]adapun dasar penetapan
tersebut adalah sabda Nabi dan Athar Abu Bakar al-Siddiq.[19] Menurut Abu Zahrah,
pertanyaannya adalah apakah dengan dua orang saksi sudah cukup mewakili
pengumuman khusus, bahkan bagaimana kalau persaksian tersebut diperintahkan
untuk dirahasiakan. Terhadap pertanyaan ini Abu Zahrah muncul tiga jawaban. Pertama,
dari Abu Hanifah yang berpendapat fungsi
saksi itu sendiri adalah pengumuman (اعلان). Karena itu, kalau sudah disaksikan tidak
perlu lagi ada pengumuman khusus. Dasarnya adalah sabda Nabi yang menyuruh agar
perkawinan disaksikan oleh saksi-saksi.[20] Kehadiran saksi dalam
melakukan akad nikah, menurut Abu Hanifah, sudah cukup mewakili pengumuman,
bahkan meskipun diminta dirahasiakan, sebab menurutnya, tidak ada lagi rahasia
kalau sudah ada empat orang.[21] Kedua, pendapat
terkenal dari Malik, bahwa menjadi syarat mutlak sahnya akad perkawinan adalah
pengumuman (اعلان). Keberadaan saksi hanya syarat pelengkap. Maka perkawinan yang
ada saksi tetapi tidak ada pengumuman adalah perkawinan yang tidak memenuhi
syarat. Ketiga, pengumuman menjadi syarat sahnya akad perkawinan, maka
tanpa ada saksi pun perkawinan tetap sah, sebab pengumumanlah yang menjadi
sarana untuk mengetahui perkawinan yang sah dengan yang tidak sah.
Menurut Mahamud
Syaltut nikah sirri adalah akad pernikahan yang dilaksanakan oleh kedua belah
pihak (pasangan suami – isteri) tanpa dihadiri oleh saksi, tidak
dipublikasikan, dan juga tidak dicatatkan dalam akta yang resmi.[22] Syaltut menilai bahwa
lafdz ميثقا
غليظا kontrak perkawinan dan janji yang berat, karena ia bukan
sekedar perngertian hubungan dan bersatu padu seperti hubungan persahabatan,
hubungan diantara anak dan bapak atau yang dipahami oleh banyak orang suatu
perjanjian unyuk mengambil manfaat, memiliki dan mengeksploitasi. Oleh karena
itu, untuk menjaga kesakraalan nilai pernikahan haruslah dicatatkan dalam akta
resmi.[23] Masih menurut
Muhammad Shaltut, bahwa perkawinan yang dilakukan dengan jalan terpaksa, ada
rasa khawatir diketahui keluarga, sahabat ataupun masyarakat, termasuk
perkawinan yang tidak sesuai dengan syari’at. Perkawinan seperti ini tidak akan
dapat membentuk keluarga yang baik, tidak dapat meneruskan keturunan, tidak
dapat menciptakan hubungan yang baik dengan sesame manusia. Sebaliknya
perkawinan yang sesuai dengan syari’at adalah perkawinan yang dapat melahirkan
ketentraman (سكينه), dapat meneruskan keturunan, dan dapat menciptakan hubungan
baik sesama manusia. Dengan adanya usaha menyembunyikan, meskipun dalam akad
nikah ada saksi, keberadaan saksi hanya sekedar sebagai pelengkap rukun
perkawinan, yang berarti belum sampai pada tujuan atau fungsi saksi, yakni
sebagai sarana penyebarluasan informasi kepada masyarakat agar tidak terjadi
fitnah dan keragu-raguan.[24] Ketika menjelaskan nikah
sirri, Shaltut juga menggunakan terma lain yang harus dijelaskan, yakni
perkawinan ‘urf, yang menurutnya ada dua jenis. Pertama, perkawinan yang
dicatatkan dalam buku resmi tetapi ada usaha untuk merahasiakan, menurutnya
sama dengan perkawinan sirri, yakni dilarang. Kedua, pernikahan yang dicatatkan
dalam buku resmi dan tidak ada usaha menuturinya, perkawinan seperti inilah
yang murni perkawinan ‘urf.
Perkawinan ‘urf
menurutnya adalah perkawinan yang setelah memenuhi syarat dan rukun yang telah
ditetapkan para fuqoha dilengkapi dengan catatan dalam buku resmi.[25] Adapun tujuan pencatatan
perkawinan menurut Shaltut adaalah untuk memelihara hak-hak dan kewajiban paara
pihak dalam perkawinan, yakni hak-hak suami/isteri dan anak-anak atau
keturunan, seperti pemeliharaan dan warisan. Pencatatan ini sebagai usaaha
mengantisipasi semakin menipisnya iman seorang muslim. Sebab menurut Shaltut,
salah satu akibat menipisnya iman orang muslim adalah semakin banyak terjadi
pengingkaran-pengingkaran janji yang mengakibatkan dalih untuk lari dari
kewajiban. Karena ukuran iman itu adalah sesuatu yang tersembunyi (abstrak),
salah satu jalan keluarnya sebagai usaha prefentif agar orang tidak lari dari
tanggung jawab adalah dengan membuat bukti tertulis.[26]
[1] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, Beirut,
dar al-Fikr,Vol II 1989. hlm. 81.
[2] Pasal 100 BW. Adanya suatu
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain daripada dengan akta
pelaksanaan perkawinan itu yang didaftarkan dalam daftar-daftar catatan sipil,
kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal berikut. (KUHPerd. 4, 92;
BS. 1, 7, 61; S. 1847-64 pasal 5.)
[3] Saidus Syahar, Undang-undang dan Masalah
Pelaksanaannya ditinjau dari segi hukum islam, (Bandung: Penerbit Alumni,
1981), hlm. 18-19.
[4] Saidus Syahar, Undang-undang dan Masalah
Pelaksanaannya ditinjau dari segi hukum islam, (Bandung: Penerbit Alumni,
1981), hlm. 20-22.
[5] Dikutip Saidus Syahar, Undang-undang dan
Masalah Pelaksanaannya ditinjau dari segi hukum islam, (Bandung: Penerbit Alumni,
1981), hlm. 26.
[6] Saidus Syahar, Undang-undang, hlm.
16-17.
[7] Saidus Syahar, Undang-undang, hlm.
83.
[8] Saidus Syahar, Undang-undang, hlm.
88.
[9] Saidus Syahar, Undang-undang, hlm.
18-19.
[10] A. Wasit Aulawi, Sejarah
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, dalam Amrullah Ahmad, editor, Dimensi
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
hlm. 57.
[11] Saidus Syahar, Undang-undang, hlm.
20-22.
[12] Saidus Syahar, Undang-undang, hlm. 24.
[13] Saidus Syahar, Undang-undang, hlm. 26.
[14] Watjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia,
(Jakarta: Balai Aksara, 1987), hlm. 3.
[15] Asmin, Status Perkawinan Antar Agama;
Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 01 tahun 1974, (Jakarta: Dianrakyat,
1986), hlm. 67.
[16] Ahmad Safwat, Qa’idat Islah Qanun al-Ahwal
al-Syakhsiyyah, makalha pada pertemuan bar Association di Alexandria, Mesir,
tanggal 5 Oktober 1917, hlm. 20-30.
[17] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, Beirut,
dar al-Fikr,Vol II 1989. hlm. 71.
[18] Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi ‘Aqdi
al-Ziwaj wa Atharuhu (dar al-Fikr-Arabiyah,), hln. 91.
[19] Hadits dimaksud adalah اعلنواا لنكاح ولو با لدف
. lihat al-Turmudhi, Sunan al-Tirmihi, Kitab Nikah, hadits no 1009; Ibn
majah, Sunan Ibn majah, Kitab Nikah, hadits no 1885; Ahmad, Musnad
Ahmad, Musnad al-Madaniyin, hadist no 15545. Abu Zahrah, Muhadart,
hlm. 91.
[20] لا نكاح الا بشهود dan teks lain لانكاح
الا بولي وشاهدى عدل dan لانكاح الا بشاهدى عدل وولي مرشد, hadits pertama bersumber dari ibn ‘Abbas, dalam al-Tirmidhi, Sunan
al-Tirmidhi, Kitab Nikah, hadits no 1022.
[21] Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi ‘Aqdi
al-Ziwaj wa Atharuhu (dar al-Fikr-Arabiyah,), hln. 91-92.
[22] Mahmud Syaltut, Al-fatawa Dirasrah li
Musykilat al-Muslim al-Mua’ashirah fi Hayatihi al-yaumiyah wa al-‘Ammah,
Mesir: dar al-Kalam. Hlm. 268
[23] Mahmoed Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa
Syari’atuhu, (Dar al-Qalam: 1966), hlm.152-154
[24] Mahmud Syaltut, Al-fatawa Dirasrah li
Musykilat al-Muslim al-Mua’ashirah fi Hayatihi al-yaumiyah wa al-‘Ammah,
Mesir: dar al-Kalam. Hlm. 268-269.
[25] Mahmud Syaltut, Al-fatawa Dirasrah li
Musykilat al-Muslim al-Mua’ashirah fi Hayatihi al-yaumiyah wa al-‘Ammah,
Mesir: dar al-Kalam. Hlm. 271.
[26] Mahmud Syaltut, Al-fatawa
Dirasrah li Musykilat al-Muslim al-Mua’ashirah fi Hayatihi al-yaumiyah wa
al-‘Ammah, Mesir: dar al-Kalam. Hlm. 271.
No comments:
Post a Comment