Sunday, November 14, 2010

Pencatatan Perkawinan Dalam Pandangan Menurut Pemikir Islam


Pencatatan Perkawinan Dalam Pandangan Menurut Pemikir Islam

Selengkapnya Click DISNI

Permasalahan pencatatan perkawinan dalam kitab-kitab fikih klasik tidak ditemukan. Pembahasannya berkutat pada nikah sirri yang terkait dengan saksi. Menurut jumhur ulama suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syarat sebagaimana telah disebutkan pada bab yang terdahulu, diantaranya adalah wali. Dan hal ini sudah menjadi kesepakatan para Fuqoha. Demikian juga tentang keberadaan dua orang saksi merupakan syarat sahnya suatu perkawinan berdasarkan hasdist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam darul Qutni dan Ibnu Hibban : لآنكاح الا بولى وشا هد عدل dan hadist riwayat Imam at-Turmudzi : ا اللاتى ينكحن انفسهن بغير بينة البغايا .
Dari kedua hadits tersebut, bahwa nikah sirri model pertama adaalah, dimana tidak ada saksi, menurut pendapat sebagian ahli hukum islam perkawinan tersebut tidak memenuhi kriteria nikah yang sah karena persaksian merupakan bukti kehalalan. Model yang kedua, dimana suami berpesan kepada saksi agar merahasiakan perkawinannya, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, Imam malik memandang nikah seperti itu tidak sah dan harus di fasakhkan, dan apabila terbukti secara hukum keduanya melakukan hubungan seks, keduanya harus di hukum jilid atau rajam. Sementara ulama’ lain berpendapat bahwa adanya saksi dalam perkawinan itu merupakan indikasi bahwa perkawinannya sudah tidak termasuk nikah sirri lagi dan dengan demikian perkawinannya dipandang sah. Pandangan yang mirip dengan diatas dikemukakan oleh ulama Hanabilah bahwa akad nikah sirri model kedua tersebut tetap sah akan tetapi hukumnya makruh.[1]
Kalau melihat teks dan penjelasan perundang-undangan indonesia dapat disimpulkan bahwa fungsi pencatatan perkawinan adalah hanya untuk memenuhi urusan administrasi, bukan untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Namun, jika teks-teks tersebut dihubungkan dengan pasal-pasal lain yang ada dalam undang-undang khususnya UU No. 01 tahun 1974 secara keseluruhan, dan dihubungkan dengan perundang-undangan lain yang pernah berlaku di Indonesia, ternyata memunculkan sikap pro dan kontra tentang fungsi pencatatan perkawinan. Ada yang berpandangan bahwa pencatatan perkawinan sebagai syarat sahnya perkawinan dan ada yang berpendapat hanya sebagai syarat administrasi.
Kelompok yang berpendapat pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan adalah kelompok sarjana dan ahli hukum yang selama ini tunduk dan melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum perdata dan ordonasi Perkawinan Kristen Indonesia, yang hanya dengan akta perkawinan dapat dibuktikan sahnya perkawinan berdasarkan pasal 100 BW.[2] Mereka berpendapat, saat mulai sahnya perkawinan adalah setelah pendaftaran/pencatatan perkawinan[3] Adapun alasan yang yang dikemukakan kelompok ini minimal ada lima. Pertama, selain didukung praktik hukum dari badan-badan public seperti diatas, juga pasal-pasal peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU Perkawinan (PP N0. 09 tahun 1975), dan juga dari jiwa dan hakikat undang-undang perkawinan itu sendiri.
Kedua, ayat yang ada dalam pasal 2 UU No. 01 tahun 1974 sebagai satu kesatuan. Artinya, perkawinan yang telah memenuhi syarat keagamaan dan atau kepercayaan itu segera disusul dengan pendaftaran atau pencatatan, karena sebagaimana ditentukan oleh pasal 100 KUH Perdata dan pasal 34 Peraturan Perkawinan Kristen Indonesia, Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon, bahwa akte nikah adalah bukti satu-satunya dari suatu perkawinan.
Ketiga, apabila pasal 2 dikaitkan dengan bab III (pasal 13 s/d 21) dan bab IV (pasal 22 s/d 28) UU No. 01 tahun 1974, masing-masing tentang pencegahan dan batalnya perkawinan hanya bisa dilakukan apabila prosedur (tata cara) pendaftaran atau pencatatannya ditempuh sebagaimana diatur oleh PP No. 09 tahun 1975. Sehingga apabila perkawinan dapat sah diluar pencatatan/pendaftaran, bab mengenai pencegahan dan batalnya perkawinan tersebut hampir tidak ada gunanya. Demikian pula sekiranya pendaftaran/pencatatan perkawinan tidak dianggap sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan, sepertinya banyak diantara perbaikan-perbaikan yang menjadi harapan dari undang-undang ini tidak dapat dicapai, misalnya pegawasan poligami, pencegahan perkawinan anak-anak (dibawah umur) dan semacamnya.[4]
Keempat, dari sisi bahasa. Arti kata “dan” pada pasal 2 ayai 1 UU No. 01 tahun 1974 menurut Soenarto Soerodibroto berarti kumulatif. Penegasannya “menurut pasal 2 UU No. 01 tahun 1974 suatu perkawinan baru sah apabila memenuhi dua persyaratan, yakni: hukum agama dan dicatatkan, yang berarti apabila hanya dilakukan menurut agamanya saja perkawinan itu belum sah”.[5] Sejalan dengan isi pasal 2, tata cara perkawinan termasuk pendaftaran/pencatatan perkawinan PP N0. 09 tahun 1975 berlaku umum bagi umat islam dihubungkan dengan UU No. 22 tahun 1946 (berlaku diseluruh Indonesia dengan UU No 32 tahun 1954), dan bagi yang beragama lain berlaku ordonasi tentang catatan sipil.[6]
Kelima, menurut Saidus ada beberapa pasal yang secara eksplisit menunjang pendapat ini, misalnya isi PP No 09 tahun 1975, pasal 10 ayat 3, “dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaan itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.” Karena itu jalan keluar terbaik untuk terlaksananya pasal-pasal dalam UU No. 01 tahun 1974, khususnya tentang pencegahan dan lain-lain harus dengan mengubah substansi UU No. 01 tahun 1974, bukan hanya prosedurnya saja.[7] Karenanya, demi terwujudnya tujuan dan efektifitas UU No. 01 tahun 1974 tentang izin dan pencegahan perkawinan hanya dengan pencatatan/ pendaftaran.[8]
Adapun kelompok yang berpandangan bahwa pencatatan perkawinan hanya sebagai urusan administrasi umumnya dari kalangan umat islam dan banyak juga ahli-ahli hukum, bahwa saat mulai sahnya perkawinan bukan pada saat pendaftaran/pencatatan; pendaftaran tersebut hanya berfungsi sebagai administrasi saja. Sedang saat mulai sah perkawinan adalah setelah terjadi ijab dan qabul.[9]
Pertama, didukung oleh kebiasaan sejak UU No. 22 tahun 1946 yang berlaku untuk seluruh Indonesia, dengan UU No. 32 tahun 1954, yaitu undang-undang tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, dimana pejabat agama hanya berperan sebagai pengawas nikah, talak dan rujuk, bukan undang-undang yang mengatur perihal dan tatacara perkawinan sebagaimana halnya UU No. 01 tahun 1974.[10]
Kedua, bahwa ayat 1 dari pasal 2 UU No. 01 tahun 1974 adalah lepas dari ayat 2. Bahkan penjelasan undang-undang tentang pasal 2 lebih jelas lagi menunjukkan kea rah pendapat bahwa pencatatan perkawinan hanya sebagai urusan administrasi, dimana disebutkan: “tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945”. Selanjutnya, sesuai dengan UU No. 01 tahun 1974 pasal 12 yang menunjuk kepada peraturan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan tatacara perkawinan, dan PP No. 09 tahun 1975 pasal 45, yaitu peraturan pelaksanaan yang berhubungan dengan pelanggaran pencatatan dapat dikutip pertama, kecuali apabila ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku maka: (a). barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat 3, 40 peraturan pemerintah ini dihukum denda setinggi-tingginyaRp. 7.500. Dari penjelasan diatas menunjukkah bahwa pelanggaran terhadap pencatatan tidak menjadikan tidak sahnya perkawinan, hanya dikenakan hukuman.[11]
Ketiga, dengan tetap berlakunya UU N0. 32 tahun 1954, yang tetap memberlakukan UU No. 22 tahun 1946, karena tidak dicabut oleh UU No. 01 tahun 1974 (pasal 66), bahkan PP No. 09 tahun 1975 sebagai pelaksana UU No. 01 tahun 1974, dengan tegas menyebut UU No. 22 tahun 1946 tetap berlaku (pasal 2 ayat 1).[12]
Menanggapi pendapat Soenarto Soerodibroto, KH. Hasbullah Bakry berpendapat bahwa, arti “dan” dalam pasal ini tidak bersifat kumulatif tetapi alternative. Sebagai tambahan bahwa dengan penggunaan penafsiran logis, sosiologis, histories, tatacara perkawinan islam setelah selesai akad nikah menurut fikih islam, tanpa tata cara adapt pun pernikahannya sudah sah tanpa ragu.[13]
Menurut K. Watjik Saleh, perbuatan pencatatan itu tidaklah menentukan sahnya perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi. Maka keberadaannya hanya bersifat administratif belaka.[14]
Mengutip pendapatnya Sardjono, Asmin mencatat, syarat dan rukun agamalah yang menjadi ukuran sah atau tidaknya sebuah perkawinan. Hal ini menurutnya sesuai dengan isi pasal 2 dan pasal 51 ayat 3 UU No. 01 tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana pasal 51 ayat 3 disebutkan bahwa seorang wali harus menghormati agama dan kepercayaannya si anak yang berada dibawah perwaliannya.[15]
Wasit Aulawi menjelaskan, kalau melihat sejarah proses pembentukan UU No. 01 tahun 1974, konsep awalnya menjadikan pencatatan sebagai syarat sah. Tetapi karena tidak disetujui fraksi Partai Persatuan, akhirnya hanya menjadi syarat administrasi.
Sebagaimana dikutip oleh Khoirudin Nasution, Ahmad Safwat sarjana dari Mesir mengharuskan pencatatan perkawinan berdasar pada pemikiran, bahwa ada hukum yang mewajibkan perilaku tertentu, dan mestinya hukum itu tidak berubah kecuali hanya dengan perubahan tersebut tujuan hukum dapat dicapai dengan tepat guna (efisien). Artinya, kalau ada cara yang lebih efisien untuk mencapai tujuan, cara itulah yang lebih diutamakan. Kehadiran saksi dalam akad nikah menurut Ahmad Safwat, bertujuan sebagai pengumuman kepada khalayak ramai. Kalau ada cara yang lebih baik atau lebih memuaskan untuk mencapai tujuan tersebut, cara ini dapat diganti dengan pencatatan perkawinan secara formal.[16] Dengan kata lain, pencatatan perkawinan bagi Safwat sebagai ganti dari kehadiran saksi, sebuah rukun yang harus dipenuhi untuk sahnya akad nikah.
Menurut Wahbah az-Zuhaili adalah nikah sirri adalah perkawinan yang dihadiri oleh saksi-saksi akan tetapi saksi-saksi tersebut dipesan supaya merahasiakan perkawinan tersebut, baik terhadap keluarga maupun terhadap masyarakat.[17]
Abu Zahrah mengatakan, semua ulama’ fikih disetiap waktu setuju, bahwa tujuan akhir dari pentingnya saksi nikah adalah pengumuman kepada masyarakat tentang adanya perkawinan. Tujuan pencatatan tersebut adalah untuk membedakan antara perkawinan yang halal dengan yang tidak.[18]adapun dasar penetapan tersebut adalah sabda Nabi dan Athar Abu Bakar al-Siddiq.[19] Menurut Abu Zahrah, pertanyaannya adalah apakah dengan dua orang saksi sudah cukup mewakili pengumuman khusus, bahkan bagaimana kalau persaksian tersebut diperintahkan untuk dirahasiakan. Terhadap pertanyaan ini Abu Zahrah muncul tiga jawaban. Pertama, dari Abu Hanifah  yang berpendapat fungsi saksi itu sendiri adalah pengumuman (اعلان). Karena itu, kalau sudah disaksikan tidak perlu lagi ada pengumuman khusus. Dasarnya adalah sabda Nabi yang menyuruh agar perkawinan disaksikan oleh saksi-saksi.[20] Kehadiran saksi dalam melakukan akad nikah, menurut Abu Hanifah, sudah cukup mewakili pengumuman, bahkan meskipun diminta dirahasiakan, sebab menurutnya, tidak ada lagi rahasia kalau sudah ada empat orang.[21] Kedua, pendapat terkenal dari Malik, bahwa menjadi syarat mutlak sahnya akad perkawinan adalah pengumuman (اعلان). Keberadaan saksi hanya syarat pelengkap. Maka perkawinan yang ada saksi tetapi tidak ada pengumuman adalah perkawinan yang tidak memenuhi syarat. Ketiga, pengumuman menjadi syarat sahnya akad perkawinan, maka tanpa ada saksi pun perkawinan tetap sah, sebab pengumumanlah yang menjadi sarana untuk mengetahui perkawinan yang sah dengan yang tidak sah.
Menurut Mahamud Syaltut nikah sirri adalah akad pernikahan yang dilaksanakan oleh kedua belah pihak (pasangan suami – isteri) tanpa dihadiri oleh saksi, tidak dipublikasikan, dan juga tidak dicatatkan dalam akta yang resmi.[22] Syaltut menilai bahwa lafdz  ميثقا غليظا kontrak perkawinan dan janji yang berat, karena ia bukan sekedar perngertian hubungan dan bersatu padu seperti hubungan persahabatan, hubungan diantara anak dan bapak atau yang dipahami oleh banyak orang suatu perjanjian unyuk mengambil manfaat, memiliki dan mengeksploitasi. Oleh karena itu, untuk menjaga kesakraalan nilai pernikahan haruslah dicatatkan dalam akta resmi.[23] Masih menurut Muhammad Shaltut, bahwa perkawinan yang dilakukan dengan jalan terpaksa, ada rasa khawatir diketahui keluarga, sahabat ataupun masyarakat, termasuk perkawinan yang tidak sesuai dengan syari’at. Perkawinan seperti ini tidak akan dapat membentuk keluarga yang baik, tidak dapat meneruskan keturunan, tidak dapat menciptakan hubungan yang baik dengan sesame manusia. Sebaliknya perkawinan yang sesuai dengan syari’at adalah perkawinan yang dapat melahirkan ketentraman (سكينه), dapat meneruskan keturunan, dan dapat menciptakan hubungan baik sesama manusia. Dengan adanya usaha menyembunyikan, meskipun dalam akad nikah ada saksi, keberadaan saksi hanya sekedar sebagai pelengkap rukun perkawinan, yang berarti belum sampai pada tujuan atau fungsi saksi, yakni sebagai sarana penyebarluasan informasi kepada masyarakat agar tidak terjadi fitnah dan keragu-raguan.[24] Ketika menjelaskan nikah sirri, Shaltut juga menggunakan terma lain yang harus dijelaskan, yakni perkawinan ‘urf, yang menurutnya ada dua jenis. Pertama, perkawinan yang dicatatkan dalam buku resmi tetapi ada usaha untuk merahasiakan, menurutnya sama dengan perkawinan sirri, yakni dilarang. Kedua, pernikahan yang dicatatkan dalam buku resmi dan tidak ada usaha menuturinya, perkawinan seperti inilah yang murni perkawinan ‘urf.
Perkawinan ‘urf menurutnya adalah perkawinan yang setelah memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan para fuqoha dilengkapi dengan catatan dalam buku resmi.[25] Adapun tujuan pencatatan perkawinan menurut Shaltut adaalah untuk memelihara hak-hak dan kewajiban paara pihak dalam perkawinan, yakni hak-hak suami/isteri dan anak-anak atau keturunan, seperti pemeliharaan dan warisan. Pencatatan ini sebagai usaaha mengantisipasi semakin menipisnya iman seorang muslim. Sebab menurut Shaltut, salah satu akibat menipisnya iman orang muslim adalah semakin banyak terjadi pengingkaran-pengingkaran janji yang mengakibatkan dalih untuk lari dari kewajiban. Karena ukuran iman itu adalah sesuatu yang tersembunyi (abstrak), salah satu jalan keluarnya sebagai usaha prefentif agar orang tidak lari dari tanggung jawab adalah dengan membuat bukti tertulis.[26]


[1]  Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut, dar al-Fikr,Vol II 1989. hlm. 81.
[2]  Pasal 100 BW. Adanya suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain daripada dengan akta pelaksanaan perkawinan itu yang didaftarkan dalam daftar-daftar catatan sipil, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam pasal-pasal berikut. (KUHPerd. 4, 92; BS. 1, 7, 61; S. 1847-64 pasal 5.)
[3]  Saidus Syahar, Undang-undang dan Masalah Pelaksanaannya ditinjau dari segi hukum islam, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm. 18-19.
[4]  Saidus Syahar, Undang-undang dan Masalah Pelaksanaannya ditinjau dari segi hukum islam, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm. 20-22.
[5]  Dikutip Saidus Syahar, Undang-undang dan Masalah Pelaksanaannya ditinjau dari segi hukum islam, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm. 26.
[6]  Saidus Syahar, Undang-undang, hlm. 16-17.
[7]   Saidus Syahar, Undang-undang, hlm. 83.
[8]   Saidus Syahar, Undang-undang, hlm. 88.
[9]  Saidus Syahar, Undang-undang, hlm. 18-19.
[10] A. Wasit Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, dalam Amrullah Ahmad, editor, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 57.
[11]  Saidus Syahar, Undang-undang, hlm. 20-22.
[12]  Saidus Syahar, Undang-undang, hlm. 24.
[13]  Saidus Syahar, Undang-undang, hlm. 26.
[14]  Watjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Balai Aksara, 1987), hlm. 3.
[15]  Asmin, Status Perkawinan Antar Agama; Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 01 tahun 1974, (Jakarta: Dianrakyat, 1986), hlm. 67.
[16]  Ahmad Safwat, Qa’idat Islah Qanun al-Ahwal al-Syakhsiyyah, makalha pada pertemuan bar Association di Alexandria, Mesir, tanggal 5 Oktober 1917, hlm. 20-30.
[17]  Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut, dar al-Fikr,Vol II 1989. hlm. 71.
[18]  Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi ‘Aqdi al-Ziwaj wa Atharuhu (dar al-Fikr-Arabiyah,), hln. 91.
[19]  Hadits dimaksud adalah اعلنواا لنكاح ولو با لدف . lihat al-Turmudhi, Sunan al-Tirmihi, Kitab Nikah, hadits no 1009; Ibn majah, Sunan Ibn majah, Kitab Nikah, hadits no 1885; Ahmad, Musnad Ahmad, Musnad al-Madaniyin, hadist no 15545. Abu Zahrah, Muhadart, hlm. 91.
[20]  لا نكاح الا بشهود dan teks lain لانكاح الا بولي وشاهدى عدل dan لانكاح الا بشاهدى عدل وولي مرشد, hadits pertama bersumber dari ibn ‘Abbas, dalam al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Kitab Nikah, hadits no 1022.
[21]  Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi ‘Aqdi al-Ziwaj wa Atharuhu (dar al-Fikr-Arabiyah,), hln. 91-92.
[22]  Mahmud Syaltut, Al-fatawa Dirasrah li Musykilat al-Muslim al-Mua’ashirah fi Hayatihi al-yaumiyah wa al-‘Ammah, Mesir: dar al-Kalam. Hlm. 268
[23]  Mahmoed Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syari’atuhu, (Dar al-Qalam: 1966), hlm.152-154
[24]  Mahmud Syaltut, Al-fatawa Dirasrah li Musykilat al-Muslim al-Mua’ashirah fi Hayatihi al-yaumiyah wa al-‘Ammah, Mesir: dar al-Kalam. Hlm. 268-269.
[25]  Mahmud Syaltut, Al-fatawa Dirasrah li Musykilat al-Muslim al-Mua’ashirah fi Hayatihi al-yaumiyah wa al-‘Ammah, Mesir: dar al-Kalam. Hlm. 271.
[26] Mahmud Syaltut, Al-fatawa Dirasrah li Musykilat al-Muslim al-Mua’ashirah fi Hayatihi al-yaumiyah wa al-‘Ammah, Mesir: dar al-Kalam. Hlm. 271.

No comments: