ZAKAT USAHA TRANSPORTASI
Selengkapnya Click DISINI
Al-Qur’an tidak memberi ketegasan tentang harta wajib
zakat dan syarat-syarat apa yang harus diperhatikan, serta tidak menjelaskan
berapa besar yang dizakatkan. Persoalan ini diserahkan pada sunnah Nabi, baik
dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Sunnah itulah yang menafsirkan yang
bersifat umum dan menerangkan yang masih samar, memberikan contoh konkrit
pelaksanaannya dan membuat prinsip-prinsip aktual yang dapat diterapkan dalam
kehidupan manusia. Hal itu karena Rasulullah SAW yang bertanggung jawab
menjelaskan al-Qur’an baik dengan ucapan, perbuatan, maupun ketetapan beliau,
dan beliau pulalah yang lebih tahu maksud dari firman Allah tersebut.[1]
Hal itu merupakan suatu perwujudan firman Allah SWT, sebagai berikut:
Di antara ahli hukum Islam membagi hukum Islam dalam dua kategori, hukum yang
berhubungan dengan ibadah murni dan
hukum yang berhubungan dengan
kemasyarakatan. Dalam kategori pertama hampir tidak ada campur tangan bagi
penalaran. Sedangkan dalam kategori yang kedua terbuka kesempatan bagi
pemikiran atau penalaran intelektual dalam mencari cara pelaksanaan,
sesuai dengan kepentingan masyarakat dan
prinsip keadilan sebagai dasar pertimbangan dan tolok ukur utama. Sementara itu
juga kepentingan masyarakat dan keadilan itu dapat berubah dan berbeda karena
perubahan dan perbedaan zaman, lingkungan, situasi, dan kebudayaan.[3]
Zakat merupakan ibadah ijtima’iyah yang
mempunyai peran sangat penting dalam hidup dan matinya umat manusia itu
sendiri. Dengan adanya kemajuan ilmu dan teknologi, maka semakin banyak hal-hal
yang berkaitan dengan hasil usaha dan juga penghasilan-penghasilan lain yang
cukup besar, namun secara tekstual belum ada ketentuan mengenai kewajiban untuk
menunaikan zakat.
Para ulama berbeda pendapat mengenai diwajibkannya zakat atas usaha transportasi, bagi mereka yang
berpendapat bahwa zakat merupakan ibadah mahdah, maka selain harta kekayaan
yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya tidak wajib untuk dikeluarkan
zakatnya. Alasan yang dikemukakan adalah pada asalnya manusia itu bebas dari
beban, prinsip ini tidak boleh dilanggar begitu saja tanpa adanya nas yang
benar dari Allah dan Rasul-Nya sedangkan ketentuan yang mengatur itu tidak ada.
[4]
Adapun ulama yang memandang bahwa semua usaha
termasuk salah satunya usaha transportasi adalah wajib dipungut zakatnya,mereka
beralasan bahwa ketentuan zakat dalam nas-nas al-Qur’an masih bersifat umum
tanpa merinci harta apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya. Seperti firman
Allah SWT sebagai berikut:
ياأيهاالذين امنواأنفقوامن طيّبات ماكسبتم
وممّاأخرجنالكم من الأرض[5]
Di samping ayat tersebut juga berdasarkan ketentuan
ayat 141 surat
at-Taubah, sebagai
berikut :
Alat-alat transportasi seperti kuda sebagai binatang
tunggangan di masa Nabi digunakan sebagai angkutan pribadi untuk memenuhi
kebutuhan pokok keluarga atau sebagai sarana angkutan perang, sehingga tidak
wajib untuk dipungut zakatnya. Akan
tetapi alat-alat transportasi seperti mobil pada masa sekarang ini tidak
saja digunakan sebagai angkutan pribadi saja, akan tetapi mobil sengaja dimiliki atau dibeli
untuk dipergunakan sebagai sarana guna mencari keuntungan.
Adapun mengenai penetapan harta yang wajib dizakati
ini pada prinsipnya ada 4 hal:
1.
Bahwasanya zakat
itu terdapat pada semua harta yang mengandung illat kesuburan atau sifat
berkembang, baik berkembang dengan
sendirinya atau dikembangkan dengan
jalan diperdagangkan.
2.
Zakat dikenakan
pada semua jenis tumbuhan dan buah-buahan yang bernilai ekonomi.
3.
Zakat itu
terdapat dalam segala harta yang dikeluarkan dari perut bumi, baik yang
berbentuk cair maupun yang berwujud padat.
4.
Bahwa gaji,
honor, dan uang jasa, yang diterima di dalamnya ada harta zakat yang wajib
ditunaikan.[7]
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas maka
kendaraan-kendaraan yang ada dalam usaha transportasi dapat dimasukkan dalam
kategori harta zakat, menurut prinsip yang pertama, yaitu mengandung illat
kesuburan atau sifat berkembang, dalam hal ini
dengan memperdagangkan manfaatnya.
Zakat sebagai ibadah maliyah yang berarti
ayat-ayat al-Qur’an mengenai hal ini bersifat luwes dan kenyal
penafsirannya bisa berkembang sesuai
dengan perkembangan ekonomi masyarakat yang sedang berjalan, qiyas atau
analogi untuk mewajibkan zakat pada harta-harta yang illat (alasan hukum)
nya sama memegang peranan penting.
Berdasarkan prinsip namā dan istinmā
ini, maka kendaraan dalam usaha transportasi dapat dikategorikan sebagai harta
yang wajib dizakati, karena sudah di luar kebutuhan pokok dan termasuk harta
yang berkembang (namā) atau diharapkan perkembangannya(istinmā).
Adapun untuk menentukan zakat usaha transportasi
dalam hal nisab, kadar zakat, haul dan kapan waktu pengeluarannya, diperlukan
adanya suatu kategorisasi, yaitu usaha transportasi dikategorikan terhadap
jenis harta wajib apa.
Tentang penentuan zakat usaha transportasi dimasukkan
dalam kategori zakat apa, nisab atau kadar zakat dan kapan waktu pengeluarannya
terdapat berbagai pendapat ulama. Pada bagian ini penyusun akan menguraikan
beberapa pendapat ulama tersebut.
Untuk pembahasan ini penyusun banyak mengutip
pendapat ulama melalui Fiqh az-Zakah karya Yūsuf al-Qaradawī, karena menurut
penyusun buku ini banyak menerangkan tentang pendapat-pendapat tersebut:[8]
1.
Pendapat
pertama: dinilai dan disamakan zakatnya
dengan zakat dagang menurut pendapat ini pemilik kendaraan-kendaraan yang
diinvestasiakan seperti kapal terbang, kapal laut dagang, mobil, dan sejenisnya
diperlakukan seperti pemilik barang dagangan. Berdasarkan hal itu
kendaraan-kendaraan harus dinilai harganya setiap tahun kemudian ditambahkan
keuntungannya yang ada,baru dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% seperti zakat
barang dagang yang berpendapat seperti ini adalah Abu Wafa Ibnu Aqil dan para
ulama dari mazhab Syi’ah, mereka beralasan:
a.
Keumuman bunyi
nas-nas yang mewajibkan zakat atas kekayaan, tanpa membeda-bedakan antara satu
kekayaan dengan kekayaan yang lain.
b.
Analogi kekayaan
yang diinvestasi itu dengan kekayaan yang diperdagangkan masing-masing adalah
kekayaan yang dimaksudkan untuk dikembangkan dan di sini tidak ada perbedaannya
antara yang berputar bendanya dengan
yang berputar hasilnya.
Pendapat
yang sama dikemukakan oleh Mujahid yang menafsirkan ما كسبتم dalam ayat 267 surat al-Baqarah adalah أى من التجارة yaitu perdagangan.[9]
2. Pendapat
kedua: Dikeluarkan zakatnya dari hasil investasi yang sudah diterima sebagai
zakat uang. Menurut pendapat ini, zakat tidak dipungut dari total harga setiap
tahun, tapi dipungut dari keuntungan dan hasil investasi. Yang perpendapat
seperti ini adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud,Mu’awiyah, Nasir, Baqir, Ibnu Aziz,
Hasan Basri, Zuhri, Makhul dan Auza’i. Disebutkan bahwa zakat dipungut dari
keuntungan yang diperoleh dari hasil investasi, saat diterima, tanpa menunggu
setahun.
Sedangkan
Imam Hadi dari maż\hab Zaidi mensyaratkan satu tahun sebagai salah satu syarat
dikeluarkannya zakat. Menurut Imam Hadi yang mengutip pendapat al-Hasr fi Mażhab an-Nasir bahwa “ toko, rumah
dan barang-barang yang disewakan bila sewanya mencapai 200 dirham setahun, maka
zakatnya adalah 2,5%, bila tidak cukup maka tidak ada zakatnya.
1.
Pendapat ketiga:
Dizakatkan labanya sebagai zakat hasil tanaman dan buah-buahan. Pendapat ketiga
ini menyetujui pendapat yang kedua di atas, yaitu zakat dipungut dari laba,
tetapi tidak sependapat dengannya tentang besarnya yang harus dizakatkan.
Menurut pendapat ini besarnya zakat adalah 10% atau 5% berdasarkan
penganalogian kepada hasil pertanian. Bila pendapat kedua di atas
menganalogikan benda-benda itu kepada harta dagang maka pendapat ini menganalogikannya
kepada tanah pertanian ,serta menganalogikan laba yang diperoleh dengan hasil
tanaman dan buah-buahan. Hal ini oleh karena hasil tanah pertanian yang
diperoleh pemiliknya tidak berbeda dengan laba pabrik,gedung,
kendaraan-kendaraan dan lain-lain yang diperoleh oleh pemiliknya . Adapun yang
berpendapat seperti ini adalah Abu Zahra, Abdul Wahab Khallaf, dan Abdur Rahman
Hasan dalam kuliah-kuliahnya di Damaskus pada tahun 1952.
2.
Pendapat
keempat, membedakan antara harta benda yang termasuk tidak bergerak dan harta
benda yang bergerak. Yang termasuk kategori pertama, dipungut zakat 2,5%,
sedangkan yang termasuk kategori kedua dipungut zakatnya 5% atau 10%. pendapat
ini adalah menurut pendapat Yūsuf al-Qaradawī. Namun perbedaan ini adalah tidak
mutlak. Oleh karena Nabi SAW pernah memungut zakat dari madu sebesar 10%,
sedangkan lebah bukanlah kekayaan tak bergerak bahkan lebih dekat kepada
kekayaan yang bergerak dan sarang lebah itupun dapat dipindahkan.82
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa penganalogian tentang zakat usaha transportasi dalam nisab, haul, dan
pada zakat dapat dilakukan dengan dua
cara, apakah akan dianalogikan pada perdagangan sehingga kendaraan-kendaraan
dan laba tiap tahun diperhitungkan
dengan zakat 2,5 %, atau akan dianalogikan dengan hasil pertanian yang menzakatkan
hasilnya saja tanpa menunggu masa satu tahun
dengan kadar zakat 5% atau 10%.
[1]
Yūsuf al-Qaradawī, Hukum zakat, hlm. 122.
[2]
An-Nahl (16 ): 44.
[3]
Munawir Sjadzali, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1988), hlm.
121.
[4]
Yūsuf al-Qaradawī, Hukum Zakat, hlm. 435.
[5]
Al-Baqarah (2): 276.
[6]
At-Taubah (9): 60.
[7]
Syechul Hadi Permono, ٍٍٍSumber-Sumber
Penggalian Zakat, hlm. 51.
[8]Yūsuf
al-Qaradawī, Fiqh az-Zakah, alih bahasa Salman Harun dkk. Cet. Ke-6 (Bogor: Litera Antar Nusa, 2002), hlm. 441-453.
[9]
Imām at-Tabār, Tafsir At-Tābārī, III:
54, (Beirut: Dār al-Fikr,
1978M).
82 Yūsuf al-Qaradawī, Hukum Zakat, hlm.
441-454.
No comments:
Post a Comment