BIOGRAFI IBN KHALDUN
Selengkapnya Download > DISINI
A. Riwayat Hidup
Di penghujung masa
peradaban Islam, Ibn Khaldun merupakan sosok yang hidup pada zaman ini.
Kelahirannya yang bertepatan dengan abad ke-14 M/8 H mengiringi perubahan dalam
sejarah dunia. Abad ini menandakan sebuah fase awal perubahan kondisi sosial
politik dan pengetahuan. Ini merupakan cikal-bakal lahirnya Renaesance di
Eropa, sebuah era baru bagi Eropa. Sementara priode ini bagi umat Islam
merupakan kemunduran dan desintegrasi. Simbol kebesaran kebudayaan Islam di
Eropa (Andalusia) telah banyak jatuh kepihak
kerajaan Kristen, kemunduran ini disebabkan kerajaan Islam terpecah belah, yang
satu sama lain saling memperebutkan kekuasaan. Pusat kebudayaan Islam di
Andalusia pada waktu itu, yaitu Toledo, Cordova dan Sevilla telah dikuasai oleh
penguasa Kristen, tinggal kerajaan kecil yang masih berdiri yang berada di
Adalusia Selatan yang hampir terbatas di Granada, Almeria dan Jibraltar.
Kawasan ini dipimpin oleh Banu Ahmar.[1]
Pusat peradaban Islam
yang ada di Timur yaitu kekhalifaan ‘Abbasyiah telah jatuh kepasukan orang
Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk atau lebih dikenal dengan Hulugu cucu dari
Jenghis Khan. Dia bergerak dari Mongol pada tahun 1253 M. Kerajaan Islam yang
berdiri di Timur dibasmi dengan sangat kejam oleh pasukan Mongol yang barbar.[2] Sedangkan
di Afrika Utara Dinasti al-Muwahhidun (pada akhir abad ke-7 M) telah runtuh dan
di kawasan ini timbul tiga dinasti-dinasti kecil, di mana di dalam atau di luar
dinasti-dinasti ini berada di bawa kekuasan sebagian kaum Khawarij. Di Tunisia,
ketika itu disebut Afrika, berdiri Dinasti Banu Hafs dengan ibu kotanya Tunis. Di Magrib Tengah
berdiri Dinasti Banu ‘Abd al-Wahdi dengan ibu kotanya Tilimsan (Tlemcen). Dan
dinasti yang ketiga adalah Dinasti Banu Mar’in, dinasti ini adalah dinasti yang
terkuat di antara dinasti yang ada di Magrib ketika itu, dengan ibu kotanya Fez.[3]
Untuk mengetahui
biografi Ibn Khaldun secara terperinci sebenarnya telah ada kitab al-Ta’rif
bi Ibn Khaldun wa Rihlatu Syarqan wa Garban yang ditulis Ibn Khaldun
sendiri sebagai sebuah karya otobiografi. Dari situ diketahui bahwa nama Ibn Khaldun
adalah Abu Zaid ‘Abd ar-Rahman Ibn Muhammad Ibn Khaldun wali al-Din al-Tunisi
al-Hudrami lahir di Tunis
pada tanggal 1 Ramadhan 732 H (7 mei 1332 M).[4]
Nama Ibn Khaldun dihubungkan dengan garis keturunan kakeknya yang kesembilan
yaitu Khalid bin Utsman; Abd al-Rahman bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin
Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abd al-Rahman bin Khaldun. Ibn Khaldun wafat
di Kairo pada tanggal 17 Maret 1406.[5] Menurut
Abdul Wahid Wafi secara garis besar masa hidup bisa dibagi menjadi empat
periode. Pertama, adalah masa kelahiran dan masa studinya di Tunis dimulai dari tahun
732-751 H (1332-1351 M) atau kurang lebih selama dua puluh tahun. Kedua,
adalah waktu Ibn Khaldun bertugas di pemerintahan dan terjun kedunia politik,
selama kurang lebih dua puluh lima tahun, dari tahun 751 H hingga tahun 776 H
atau antara tahun 1351-1382 M. Tahap ketiga adalah masa mengarang kitab
al-’Ibar yang dimulai sewaktu Ibn Khaldun pindah ke Mesir 1382 M atau 776 H
selama delapan tahun. Empat tahun pertama dijalaninya di Benteng Ibn Salamah
antara tahun 1382-1386 M dan empat tahun sisanya yaitu antara tahun 1386-1390 M
di Tunisia. Sementara tahap keempat adalah saat memberi kuliah dan
memimpin pengadilan tinggi Maz|hab Maliki di Mesir mulai tahun 784-808 H
(1390-1404 M). Masa ini berlangsung kira-kira dua puluh empat tahun sampai
meninggalnya Ibn Khaldun di Mesir tahun 810 H (1406 M).[6]
Asal-usul Ibn Khaldun
menurut Ibn Hazm, ulama Andalusia yang wafat
tahun 456 H/1063 M dalam kitabnya Jumhuratu al-Ansabi al-`Arab,
disebutkan bahwa keluarga Ibn Khaldun berasal dari Hadramaut di Yaman. Nenek
moyang Ibn Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia
(Spanyol) bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M
atau sekitar abad ke-3 H, karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang
dicapai oleh tentara Islam.[7] Pada
abad ke VII M, anak cucu Khaldun lahir dan tumbuh di kota Qarmunah di Andalusia sebelum mereka
bertransmigrasi ke Isybilla atau Sevillla sekarang. Perpindahan ke Sevilla
terjadi pada masa pemerintahan Amir Abdullah Ibn Muhammad bin Abdirrahman
al-Umawi (274-300 H) ketika Andalusia dalam suasana
perpecahan dan yang paling parah adalah di Sevilla. Dalam suasana seperti itu
anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib mengadakan pemberontakan bersama Umayyah
Ibn Abdul Gofir. Setelah berhasil merebut kekuasaan, dia mendirikan
pemerintahan (sebagai amir) di Sevilla. Akan tetapi karena kekejaman dan
kekerasannya dia tidak disenangi rakyat dan akhirnya Kuraib yang menjadi amir
di Sevilla meninggal terbunuh pada tahun 899 H.[8]
Pada masa berikutnya, Banu Khaldun tetap tinggal di Sevilla dengan tidak
mengambil peranan yang berarti sampai datangnya pemerintahan raja-raja kecil
(al-Towaif) di mana Sevilla waktu itu berada dalam kekuasaan Banu Abbad.
Setelah raja-raja
Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja Murabith pada 1031 M di
bawah pimpinan Yusuf Ibn Tasyfin. Beberapa waktu kemudian, Dinasti Muwahhidun
di bawah pimpinanMuhammad Ibn Tumart yang dikenal sebagai Mahdi membangun
kekuasaan di Maghribi dan merampas Andalusia dari raja-raja Murabith pada tahun
1147 M. Untuk tujuan stabilisasi kekuasaan mereka mengangkat Abu Hafs untuk
memerintah Sevilla di bawah pengawasan raja-raja Muwahhidun. Pada pemerintahan
Muwahhidun inilah Banu Khaldun menjalin hubungan dengan keluarga pemerintah,
sehingga mereka kembali mempunyai kedudukan yang terhormat. Setelah kerajaan
Muwahhidun mengalami kemunduran dan Andalusia
menjadi kacau balau akibat serangan Raja Castilla. Banu Khaldun akhirya
meyelamatkan diri dan pindah ke Tunisia
bersama pemerintahan Banu Hafs pada tahun 620 H/1223 M. Nenek moyang Ibn Khaldun
yang pertama mendarat ke Tunisia
adalah al-Hasan Ibn Muhammad (kakek keempat Ibn Khaldun), kemudian disusul oleh
saudara-saudaranya yang lain seperti Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar Muhammad
dan lain-lain. Kakek-kakek Ibn Khaldun itu rata-rata menduduki jabatan penting
di dalam pemerintahan Banu Hafs. Sedangkan anaknya Abu Abdillah Muhammad (ayah
Ibn Khaldun) tidak tertarik kepada jabatan pemerintahan, akan tetapi ia lebih
tertarik bidang ilmu dan pendidikan. Ayah Ibn Khaldun meninggal tahun 749
H/1349 M pada waktu ia baru berusia 18 tahun.[9]
Pada masa kecil,
pendidikan yang diperoleh Ibn Khaldun di antaranya adalah pelajaran agama,
bahasa, logika dan filsafat. Di antara guru-guru Ibn Khaldun adalah Muhammad
bin Sa`ad Burral al-Ansari, Muhammad bin Abdissalam. Dari catatanya dua di
antara guru-guru yang besar pengaruhnya terhadap pembentukan dan pendalaman
Ilmu syari`at, Ilmu Bahasa dan Filsafat adalah Muhammad bin Abdil Muhaimin
al-Hadrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-Abilli yang disebut Ibn Khaldun
sebagai syekh Ilmu-ilmu Rasional. Selain itu, Ibn Khaldun dalam kitabnya
al-Ta’rif juga menyebutkan beberapa buku yang pernah dipelajariya waktu kecil.
Di antara buku-buku tersebut adalah ’al-Lamiya fi al-Qira’at dan
al-Ra`iyah fi Rasmi al-Mushaf karangan al-Syatibi, kemudian al-Tasil
Fi ’Ilmi li al-Nahwi karangan Abu Faraj al-Asfahani, al-Muallaqat, Kitabul
Hammasah Li al-A`lam sebuah ontologi puisi karangan Abu Tamam dan
al-Muttanabi. Selain itu, Ibn Khaldun juga mempelajari sebagian besar kitab
hadits terutama Sahih Muslim dan Muwattha’ karya Imam Maliki, at-Taqdi
li Ahaditsi al-Muata’ karangan Ibn Abdi al-Barr, Ulumul al-Hadits
karangan Ibni al-Salah, Kitabu al-Tahzib karangan al-Burda’i,
juga Muhktasaru al-Mudawwanah karangan Suhnun yang membahas fiqih
mazhab Maliki, Mukhtasaru al-Nil al-Hajib tentang Fiqih dan Ushul Fiqh; serta as-Sirru
karangan Ibn Ishak..[10]
Pada tahun 749 H,
kedua orang tua Ibn Khaldun beserta banyak gurunya meninggal dunia akibat wabah
penyakit Pes yang melanda sebagian besar belahan dunia di Timur dan Barat, yang
meliputi negara Islam dari Samarkand
hingga Maghribi. Kebanyakan guru dan sastrawan menyelamatkan diri lari ke
Tunisia, Magribi Jauh bersama sultan Abul Hasan, yang waktu itu memimpin Daulah
Bani Marin tahun 750 H. Situasi yang berubah secara drastis di Tunisia akibat
penyakit Pes menjadi sebab Ibn Khaldun tidak dapat melanjutkan studinya dan
bertekad untuk mengikuti jejak kedua kakeknya yang pertama dan kedua, serta
keluarganya yang lain untuk terjun kedunia politik.[11]
Pada masa kehidupan
Ibn Khaldun wilayah Islam bagian Maghrib terbagi menjadi tiga daerah kekuasaan.
Dibandingkan Dinasti Banu> H}afs} dengan ibu kotanya Tunis dan Dinasti
Banu> ‘Abd al-Wahdi> dengan ibu kotanya Tilimsan (Tlemcen), Dinasti Banu
Marin adalah yang terkuat, khususnya di masa pemerintahan Sultan Abul Hasan
1330 H. Ia menduduki Tilimsan dan seluruh Maghribi Tengah dibawah kekuasaan
bani Abdilwad tahun 737 H. Sebelas tahun kemudian, 748H sultan mengusai Tunisia
dari tangan kekuasaan Bani Hafs. Begitu sultan Abu al-Hasan meninggalkan
Tunisia pada tahun 750 H, Abu al-Fadl bin Sultan bin Abi Yahya Al Hafs
menyerang kekuasaan Banu Marin dan membangkitkan kembali kebesaran keluarganya
Bani Hafs di Tunisia. Al-Fadl mengangkat dirinya sebagai pemimpin tertinggi dan
mengangkat Abu Muhammad Ibn Tafrakin sebagai perdana menterinya. Pada masa
pemerintahan Abu al-Fadl dan perdana menteri Ibn Tafrakin inilah untuk pertama
kalinya Ibn Khaldun masuk ke dunia pemerintahan dan menduduki jabatan sebagai
kitabah al-alamah, yaitu penulis kata-kata alhamdulillah dan as-sukru
lillah di antara bismillah yang menduhului surat-surat atau instruksi
sultan.[12]
Pada permulaan tahun
753 H, Amir Qusanthihah Abu Zaid, cucu sultan Abu Yahya al-Hafs menyerang ke
Tunisia untuk merampas kembali sisa peninggalan ayahnya dari tangan kekuasaan
Ibn Tafrakin. Ibn Khaldun waktu itu masuk dalam barisan Ibn Tafrakin menerima
kekalahan dari Abu Zaid. Setelah kekalahan ini, Ibn Khaldun akhirnya berdiam di
Baskarah, Maghribi Tengah sampai Abu ’Anan menggantikan ayahnya sultan Abul
Hasan sebagai pemimpin Banu Marin. Sejak awal memerintah, Abu ’Anan sudah
memperhitungkan langkah politis yang ditempuhya untuk mengembalikan daerah
kekuasan ayahnya yang lepas. Untuk merealisasikan tujuanya ini, pertama-pertama
dia menyerang pemerintahan Bani Abdilwad di Magribi tengah dengan Ibu Kota
Tilimsan tahun 753 H. Berikutnya Abu ’Anan menyerang pemerintahan Banu H{afs di
Bijayah yang terletak di Maghribi Dekat atau Tunisisa dan menurunkan rajanya
Abu Abdillah Muhammad al-Hafs dengan menjadikanya sebagai tawanan perang dan mengirimkanya
ke Fez. Pada
masa ini Ibn Khaldun yang sedang berada ditempat persembunyian di Baskarah
berusaha bertemu dengan sultan yang sedang berada di Tilimsan. Ibn Khaldun
terus berusaha mendekatkan diri pada sultan Abu ’Anan sampai akhirnya ia
diangkat sebagai Majlis Ilmu Pengetahuan dan menjadi pengawal sultan waktu
menuju tempat shalat di Fez tahun 755 H. Karena kepercayaan sultan, tahun
berikutnya Ibn Khaldun diangkat menjadi sekretaris dan muwaqqi atau
penulis instruksi sultan. Meskipun begitu, jabatan muwaqqi yang dipegang
Ibn Khaldun tidak berlangsung lama. Pada tahun 1357 M, Ibn Khaldun terlibat
dalam persekongkolan untuk menggulingkan sultan Abu ’Anan bersama Amir Abu Abdullah
Muhammad al-Hafs, bekas Gubernur Tunisia yang dipecat dan diasingkan
di Fez. Akhirnya Ibn Khaldun ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 1357 M/758
H. Tak lama kemudian Amir Abu Abdullah dilepas sedangkan Ibn Khaldun tetap
dipenjarakan. Sepeninggal Abu ’Anan tumpuk kepemimpinan diberikan pada putra
mahkota yaitu Abu Zayyan. Namun Wazir al Hasan bin Umar merebut tumpuk kekuasan
Bani Marin dan mendudukan salah seorang putra Abu ’Anan yang lain yaitu al-Said
bin Abi ’Anan untuk dijadikan sebagai pemerintahan boneka al-Hasan. Setelah
menggapai kuasa Wazir al-Hasan akhirnya melepas Ibn Khaldun dan
mengembalikan kedudukanya seperti semula.[13]
Kemudian pada tahun itu juga setelah kekuasaan berada di tangan wazir al Hasan
Ibn Umar yang tidak begitu lama, salah seorang putra Ya’qub bin Abdil Haq,
pendiri dinasti Banu Marin yaitu al-Mansur di Maghribi Jauh, menggulingkan dan
merebut kedudukan sultan dari tangan wazir itu. Ibn Khaldun pun
menggabungkan diri dengan al-Mansur dan dia diangkat menjadi sekretarisnya.[14]
Setelah sekian lama
dengan al-Mansur, kemudian Ibn Khaldun meninggalkanya dan menjalin kerjasama
dengan Abu Salim, putra Wazir al Hasan yang berniat membalas dendam dan
mengulingkan al-Mansur. Pada waktu Abu Salim telah menduduki singgasana, Ibn Khaldun
diangkat menjadi sekretarisnya dan dua tahun kemudian diangkat menjadi Mahkamah
Agung. Disinilah Ibn Khaldun menunjukkan prestasinya yang luar biasa. Tetapi
itupun tidak berlangsung lama, karena pada tahun 762 H/1361 M para pembesar dan
pemikir masa itu memberontak kepada Abu Salim di bawah pimpinan wazir Umar
Ibn Abdullah yang aslinya juga sebagai ipar sultan.[15]
Pemberontakan itu
berakhir dengan dipecatnya sultan Abu Salim dan digantikan dengan saudaranya,
Tasyfin sebagai pemerintahan boneka Umar ibn Abdullah. Sedangkan Wazir Umar bin
Abdullah mengangkat dirinya menjadi diktator. Seperti perjalanya sebelumnya,
Ibn Khaldun mencoba mendekatkan diri pada Wazir Umar ibn Abdullah. Namun
ketika Ibn Khaldun menginginkan kedudukan yang lebih tinggi dari rekanya yang
lain, Wazir tidak mengabulkanya. Merasa sakit hati maka akhirnya Ibn Khaldun
meninggalkan jabatan yang disandangnya dan melangkahkan kakinya meninggalkan
Maghrib menuju Granada di Andalusia pada permulaan tahun 764 H/1362 M. Di
Granada Ibn Khaldun hidup dengan Sultan Muhammad Abu Yusuf bin Ismail bin al
Ahmar al-Nasri (raja ketiga Dinasti Ahmar) dan wazir Lisannudin Ibn
al-Khatib, teman akrab Ibn Khaldun. Pada masa inilah Ibn Khaldun menjalani tugas
sebagai duta untuk negara Castilla dalam hubungan diplomatis dengan Pedro Si
Bengis atau dalam bahasa Ibn Khaldun disebut sebagai Bitruh al-Hunsyah
bin Uzqunas.[16]
Ibn Khaldun tidak lama tinggal di Granada,
karena terjadi keretakan hubungan dengan wazir yang juga temanya sendiri
Lisanuddin al-Khatib. Akhirnya Ibn Khaldun meninggalkan Andalusia
dan kembali ke Maghribi menuju Bijayah.
Apa yang mendorong
Ibn Khaldun menuju Bijayah ini tidak lain karena telah ada perjanjian kontrak
antara Ibn Khaldun dengan Amir Abu Abdillah; Jika Abu ’Anan berhasil
digulingkan, Amir Abdullah akan menjadi raja Bijayah sedangkan Ibn Khaldun
menjadi hijabahnya (perdana menteri). Ketika Ibn Khaldun meninggalkan
Andalusia, Abu Abdillah Muhammad al-Hafs, Amir Bijayah yang dipecat dan ditahan
di Fez oleh
sultan Abu ’Anan tempo waktu telah berhasil merebut kursi kepemimpinan Bijayah
kembali tahun 765 H/1363 M dan mengangkat saudara Ibn Khaldun, Yahya Ibn Khaldun
sebagai wazirnya. Ibn Khaldun datang dari Granada di Bijayah tahun 766 H
dan langsung menduduki jabatan hijabah yang merupakan jabatan paling
tinggi di negeri itu. Tak lama kemudian pemberontakan besar terjadi di Bijayah.
Pertentangan terjadi antara Amir Bijayah Abu Abdillah dengan putra pamanya,
Sultan Abul Abbas Ahmad, Gubernur Qusanthiha. Akhirya pada tahun 767 H
pemberontakan itu dimenangkan oleh Abul Abbbas yang memang sejak awal telah
berniat menguasai Bijayah. Abu Abdillah, sahabat Ibn Khaldun akhirnya terbunuh.
Ibn Khaldun yang saat itu menjabat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi Bijayah
tidak dapat berbuat apa-apa. Sampai pada akhirnya Ibn Khaldun bersedia tunduk
dan mengakui kepemimpinan Abul Abbas atas Bijayah. Di bawah pemerintahan Abul Abbas
Ibn Khaldun menjadi hijabah. Namun tidak lama menduduki jabatan hijabah
Abul Abbas, karena kebencian dan intrik yang terjadi antara Ibn Khaldun dan
sultan akhirnya dia berniat meninggalkan Bijayah untuk pergi Baskarah.[17]
Di Baskarah Ibn Khaldun
menjalin persekutuan dengan Abu Hammu, sultan Tilimsan dari dinasti Abdulwaad
dan saudara ipar Amir Bijayah, Abu Abdillah yang telah wafat. Sejak awal
kedatanganya di Baskarah, Ibn Khaldun sudah ditawari Abu Hammu menjadi wazirnya
sebagai ganti atas bantuan diberikan dalam usaha menggulingkan Abul Abbas,
namun ia enggan menerima tawaran itu dan mengirimkan adiknya, Yahya. Ibn Khaldun
saat itu merasa sudah enggan berkecimpung dalam dunia politik terbukti dengan
penolakanya terhadap jabatan hajib. Biarpun demikian ia masih bersedia
menjadi pendukung Abu Hammu untuk mengkonsolidasikan bantuan dari para kabilah.
Abu Hammu sangat berambisi menaklukkan Bijayah, namun sebelum penyerangan di
Bijayah dilakukan, dalam perjalanan, tentaranya sudah dikalahkan oleh tentara
Abul Abbas. Ketika kekalahan Abu Hammu untuk kedua kalinya sudah di depan mata
akibat kepungan dari sultan Abul Faris Abdul Aziz putra Abul Abbas tahun 772
H/1368 M, untuk keselamatan jiwanya akhirnya Ibn Khaldun meminta izin kepada
Abu Hammu untuk pergi ke Andaluisa. Niatnya untuk ke Andalusia
ternyata gagal, sebab ketika Ibn Khaldun masih sampai di pelabuhan Hunain ia
tertangkap oleh pasukan Abu Faris. Semalam dia dipenjarakan dan baru dilepaskan
setelah memberikan keterangan tentang Bijayah kepada Abu Faris yang sulit
ditaklukkanya itu.[18]
Ibn Khaldun tidak
lama tinggal dengan sultan Abu Faris. Setelah sultan menguasai Tilimsan dari
Abu Hammu, Ibn Khaldun minta untuk mengundurkan diri dan hidup bersama Wali Abu
Madyan di Baskarah. Sultan mengizinkan dengan ganti rugi bahwa Ibn Khaldun akan
menyebarluaskan seruan sultan di antara para kabilah untuk memusuhi Abu Hammu
dan mendukungnya. Beberapa saat di Baskarah bersama Wali Abu Madyan, Ibn Khaldun
kembali ke Tilimsan ketika Amir Baskarah Ahmad bin Yusuf bin Mazni berniat
mengadakan pemberontakan pada sultan. Belum sampai di Tilimsan, Ibn Khaldun
mendengar berita bahwa sultan Abu Abdul Aziz telah digantikan oleh putranya
al-Said dibawah asuhan Wazir Ibn Gazi. Maka sejak tahun itu juga 774 H,
pemerintahan berpindah dari Tilimsan ke Fez.
Tilimsan sendiri sudah dikuasai kembali oleh tentara Abu Hammu. Melihat
kejadian itu Ibn Khaldun langsung mengubah tujuan dari Tilimsan menuju Fez.[19]
Pada tahun 776 H/1372
M di Maghribi jauh terjadi suatu pergolakan yang berakhir dengan dipecatnya
sultan al-Said dan disingkirkanya Wazir ibn Ghazi oleh sultan Abul Abbas
Ahmad, putra sultan Abu Salim. Ibn Khaldun yang dikhawatirkan akan ikut serta
melakukan persekongkolan akhirnya ditangkap, meski tidak lama kemudian dilepas
karena terbukti tidak bersalah. Kejadian ini membuat Ibn Khaldun berkesimpulan
bahwa seluruh pintu Istana Maghrib tertutup baginya dan semua amir telah
mencurigainya sebagai oportunisme politik. Sejak itulah Ibn Khaldun bertekad
untuk meninggalkan Maghrib menuju Andalusia
untuk yang kedua kalinya pada tahun 776 H.[20]
Tidak lama setelah
Ibn Khaldun sampai di Andalusia ia berniat
kembali ke Mahgrib tepatnya ke Tilimsan yang waktu itu dikuasai Abu Hammu dan
disana terdapat adiknya Yahya Ibn Khaldun sebagai hajibnya. Tapi akibat
permusuhanya dengan Abu Hammu, maka terlebih dahulu Ibn Khaldun harus meminta
maaf kepada sultan dan berjanji untuk tidak terjun ke dunia politik lagi. Ibn Khaldun
berhasil masuk Tilimsan pada tahun 1372 M dan berjanji bahwa sisa umurnya akan
dipergunakan untuk membaca, menulis dan mengarang.[21] Pertama
kali sampai di Tilimsan reputasi politik Ibn Khaldun menggantarkanya untuk
diberi kepercayaan oleh Abu Hammu guna mengkonsolidasikan seluruh kabilah yang
tesebar agar tunduk di bawah pemerintahanya. Tugas itu ia manfaatkan untuk
mencari tempat yang paling cocok untuk membaca dan mengarang. Pada akhirnya dia
bertolak ke daerah Banu Arif dan di tempat inilah Ibn Khaldun dan keluarganya
baru merasa hidup tenang dan tentram jauh dari politik.[22]
Di Qal’at Ibn Salamahdi Toljin inilah Ibn Khaldun mengalihkan perjalanan
hidupnya dari petualang politik pada dunia ilmu pengetahuan dan mulailah ia
menyusun karya besarnya yang kemudian dikenal dengan kitab al-’Ibar,
pembahasan tentang sejarah alam semesta.[23]
Dari sinilah ia Pendahuluan kitab yang membahas tentang kerangka teoritik yang
dia pakai dalam menjelaskan sejarahnya dan tentang peradaban pada umumnya itu
biasa disebut dengan kitab al-Muqaddimah. Al-Muqaddimah ini selesai
ditulis oleh Ibn Khaldun dalam waktu lima bulan dan berakhir pada pertengahan
779 H/ November 1377 M.[24]
Selain menyusun kitab al-Muqaddimah Ibn Khaldun juga menyusun kitab
sejarah alam semesta yang disebut dengan Kitab Al-I’bar, wa Diwan
al-Mubtada wa al-Khabar, fi ’Ayyami al-’Arab wa al-Barbar, wa Man
as-arahum min Zawa al-Sulthan al-Akbar (Kitab pelajaran dan arsip
sejarah zaman permulaan sampai zaman akhir, mencakup peristiwa-peristiwa
politik mengenai orang-orang Arab, non-Arab, bangsa Barbar, serta raja-raja
besar yang semasa denganya). Ibn Khaldun menulis kitab al-’Ibar mulai tahun 776
H hingga tahun 780 H.[25]
Setelah menyelesaikan
al-Muqaddimah, ia merasa jenuh dalam pengasingan dan ia hendak
pengunjungi tempat kelahiranya di Tunisia. Pada saat itu Abu ‘Abbas
yang pernah ia hianati masih menjadi seorang sultan di sana. Untuk itu, Ibn Khaldun memintak maaf
dan mengajukan izin agar bisa kembali ke tanah kelahirannya, untuk melakukan
beberapa penelitian ilmiah, dan akhirnya sultan mengizinkan permohonannya.
Kesenangannya untuk menikmati hidup di daerah kelahirannya ternyata tidak
berlangsung lama. Beberapa temannya menunjukkan permusuhan terhadapnya, kondisi
ini menjadi kurang bersahabat, di samping itu sultan menyuruh para sarjana
membantunya menumpas para pemberontak. Hal ini dirasa berbahaya dan tidak baik
oleh Ibn Khaldun. Akhirnya ia dengan alas an menunaikan ibadah haji memohon
kepada sultan untuk pergi. Pada tahun 1382 M ia meninggalkan Tunisia menuju Alexandria, untuk menuju ke Makkah ia lebih dahulu
mampir ke Mesir daerah yang sebelumya sudah mengenal Ibn Khaldun lewat karya al-Muqaddimah.[26]
Di Mesir dia diangkat
menjadi guru, dan memberikan pelajaran tentang gejala-gejala sosial dalam
masyarakat, selain memberi kuliah ia juga diangkat sebagai Qadi (hakim) dari
Mazhab Maliki. Kejujuran dalam menjalankan tugasnya ini yang membuat ia banyak
dimusuhi di kalangan petinggi istana. Sebagai orang asing menjadi ketua
Mahkamah Agung itu bukan merupakan kejadian yang biasa, karena menjadi pemimpin
tertinggi Mahkamah Agung merupakan impian dan dicari-cari oleh para Fuqaha>
(ahli fiqh), Ibn Khaldun bekerja di Mahkamah Madrasah Salihliyah, Distrik Bain
al-Qasrani.[27]
Ketika ia mendegar berita yang menyedihkan, tentang keluarganya yang berangkat
dari Tunisa untuk bergabung dengan dirinya tinggal di Kairo mengalami
kecelakaan, perahu yang ditumpangi tenggelam dekat Alexandria pada tahun 1384
M, ia kemudian meletakkan jabatannya sebagai Qadi.[28]
Setelah sekian lama ia larut dalam kesedihan, akhirnya ia kembali mengajar dan
diangkat sebagai guru besar di Universitas Zahiriyah. Baru pada tahun 1387 M,
ia menunaikan haji ke Mekkah. Sepulangnya dari Mekkah ia ditunjuk menjadi dosen
dan guru besar di Universitas Baibars. Sebuah jabatan yang segera dilepas
setelah beberapa Qadi lainnya menyatakan perlawanannya terhadap Sultan Barquq.
Pada tahun 1389 M Ibn Khaldun diangkat menjadi Qadi untuk kedua kalinya,
setelah Sultan Barquq wafat dan digantikan oleh putranya Sultan Faraj.[29]
Di masa-masa tuanya
ini Ibn Khaldun tidak serta merta meninggalkan suka duka kehidupan politik. Ia
justru terlibat pada peristiwa besar sejarah, pada tahun 1400 M ketika Timur
Lenk (Mongol) menyerang Syiria dan mengancam Damaskus. Akhirnya Ibn Khaldun
diminta oleh Timur Lenk untuk menulis tentang Afriaka Utara yang sulit ia sulit
ditaklukkan. Kemudian ia kembali ke Mesir dan menulis surat
panjang kepada sultan Tunisia
menyangkut pertemuannya dengan Timur.[30]
Sesampainya di Kairo Ibn Khaldun diangkat kembali sebagai Qadi untuk ke-enam
kalinya pada akhir Februari 1406 M, jabatan baru ini hanya dilaksanakan
beberapa hari sebab pada 17 Maret 1406 (25 Ramadhan 808) Ibn Khaldun wafat
dalam kedudukan sebagai Qadi.[31]
B.
Karya-karya
Ibn Khaldun
Sebenarnya Ibn Khaldun
sudah memulai kariernya dalam bidang tulis menulis semenjak masa mudanya,
tatkala ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan kemudian dilanjutkan ketika ia
aktif dalam dunia politik dan pemerintahan.[32]
Di antara karanganya waktu muda adalah Lubb al-Muhasal Fi Usul al-Din
(Sebuah kitab tentang permasalahan filsafat dan pendapat-pendapat teologi),
yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta al-Akhiran karya
Imam Fakhruddin al-Razi. Selain itu Ibn Khaldun juga mengarang risalah tasawwuf
dengan judul Syifa’ As-Sail li Tahzib al-Masail.[33]
Adapun karya Ibn Khaldun di masa kematangan pemikiranya yang terkenal adalah:
1.
Al-Muqaddimah
Lil ’alamah Ibn Khaldun
Karya monumental ini,
Ibn Khaldun memaparkan sekian persoalan sejarah, sosial, ekonomi, watak dan
karakter penguasa dan negara yang ada pada waktu itu. Karya al-Muqaddimah inilah
yang mengantar Ibn Khaldun menjadi terkenal pada masanya dan hingga sekarang,
bahkan tidak sedikit orang yang meneliti dan mengkaji pemikiran Ibn Khaldun
yang tersirat dalam al-Muqaddimah-nya. Dalam karya ini terkandung
asas-asas teoretis-inovatif tentang `Ilm al-Umran.[34]
Al-Muqaddimah menguraikan manfaat besar historiografi (ilmu
sejarah), mengemukakan pengertian (tahqiq) segala bentuk metode historiografi
dan secara sepintas menyebutkan kesalahan para sejarawan. Metode yang ditulis
olehnya menekankan pencarian objektivitas, ia ingin agar doktrinnya selaras
dengan fakta-fakta.[35] Metode
Ibn Khaldun secara tegas menyingkirkan individu tertentu tapi masyarakat secara
umum, suatu ciri khas yang dianggap penting untuk dicatat dari awal kajian al-Muqadimah-nya.
Dari sudut genetika Ibn Khaldun tidak lagi percaya pada sifat-sifat bawaan yang
sangat istimewa. Baginya pendidikan dan lingkungannya yang penentukan keyakinan
dan kecenderungan individu.[36] Sehingga
ia berkeyakinan bahwa penguasa negara bukanlah pemimpin yang mendapat kekuasaan
dari Tuhan. Sehingga ia dipenjara selama dua tahun di Maroko karena gagasannya
ini mengganggu dan mengancam kedudukan raja.[37]
Al-Muqaddimah dalam penulisannya Ibn Khaldun mempunyai tujuan
sebagai karya kritik historis. Hal ini berlandaskan para sejarawan-sejarawan
Timur yang cenderung mencampur adukkan antara fakta dan tradisi dengan
penempatkan berbagai peristiwa sejarah. Sudut pandang yang kedua adalah
sosiologi, terletak usahanya untuk menjelaskan fenomena-fenomena sosial.
Masyarakat keberadaannya dipandang sebagai fakta dan mahkluk sosial oleh Ibn Khaldun.
Sosiologi menurut Ibn Khaldun membahas asal-usul masyarakat dan mengamati hal-hal
yang menyebabkan terjadinya perubahan dan perbedaan-perbedaan di antara
kelompok-kelompok sosial dan juga pola kehidupan mereka. Di dalam al-Muqaddimah
masyarakat dipandang juga sebagai makhluk politik, masyarakat membentuk
negara, di mana organisasi politik membahas karakteristikkarakteristik geografis
dan ekonomi kelompok.[38] Ibn
Khaldun lebih dikenal karena al-Muqqadimah-nya, bukan karena kitab al-‘Ibarnya.
Karena seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan dan sejarah
termuat dalam al-Muqaddimah. Sedangkan kitab al-‘Ibar adalah
bukti empiris-historis dari teori yang telah dikembangkan dalam al-Muqaddimah.[39]
Secara garis besar
isi al-Muqaddimah Ibn Khaldun ini terdiri dari tiga bagian yaitu: Pertama,
Ibn Khaldun mengawalinya dengan menyebut pujian kepada Allah SWT, serta
Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia mengkritisi pembahasan
para sejarawan seperti al-Mas’udi, Abu Hayyan dan Ibn Rifqi. Latar belakang
inilah yang menjadi alasan ia mengarang al-Muqaddimah dan kitab al-‘Ibar,
sambil menerangkan metode dan pembagiannya. Kedua, bab pendahuluan
tentang manfaat besar historiografi atau keutamaan sejarah, pengertian segala
variasi historiografi. Serta ulasan sepintas kesalahan yang dilakukan para
sejarawan.[40]
Ketiga, Kitab al-Muqaddimah bagian tiga ini merupakan bagian
pokok dan paling penting di bandingkan bagian lainnya. Bagian ini terdiri dari
kata pengantar dan enam pembahasan pokok.
Di antara keenam
pokok pembahasan utama yang dibicarakan dalam bagian ini terdiri dari:[41] Pertama,
tentang peradaban umat manusia secara umum, ilmu bumi, pengaruh alam
geografis terhadap pembentukan watak manusia serta persepsi suprnatural yang
ada manusia beserta bahasan ilmu para Nabi. Kedua, tentang peradaban padang pasir (masyarakat
pengembara), kabilah dan bangsa pengembara. Pokok pembahasan ini terdiri dari
29 pembahasan. Ketiga, Tentang negara-negara, khilafah, kekuasaan raja,
dan pembicaraan tentang tingkatan pemerintahan. Pokok pembahasan ini terdiri
dari 54 pembahasan. Keempat, Tentang peradaban orang-orang penetap,
kota-kota, dan provinsi-provinsi yang terdiri dari 22 pembahasan. Kelima, Tentang
keahlian, mata pencarian, usaha hidup dengan segala aspeknya. Yang terdiri dari
33 pembahasan. Keenam, Tentang ilmu pengetahuan, cara memperoleh dan
mempelajarinya yang terdiri dari 61 pembahasan.
- Kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man Asarahum min Zawi al-Sultan al-Akbar.
Sementara makna atau
arti dari kata al-‘Ibar merupakan kata yang banyak perbedaan dalam
penafsiran yang dilakukan oleh peneliti tentang pemikiran Ibn Khaldun. Yves
Lacoste, memberi makna al-’Ibar sebagai berikut; Kata ‘Ibar merupakan
kata jamak kata ‘Ibrah. Pada mulanya ia berasal dari kata ‘Abara yang
berarti lewat dari satu titik ke titik yang lain dan melangkai suatu hambatan.[42]
Sedangkan sarjana
asal Iraq, Muhsin Mahdi telah meneliti dengan cermat makna yang terkandung
dalam kata ‘Ibrah kata jamaknya ‘Ibar yang artinya praktis sama dengan
semua bahasa yang digunakan oleh bangsa Semit, terutama bahasa Hebrew, Syric
dan ‘Arab, yaitu melalui, melampaui, menyeberang; juga dapat bermakna melanggar
perbatasan.[43]
Sementara itu Zainab al-Khudairi memahami dari pandangan Muhsin Mahdi dalam
karnya Ibn Khaldun’s Philosophy of History, bahwa kata (‘Ibarah jamaknya
‘Ibar) kadang-kadang dipakai dengan kata hikmah, pepatah atau suri
teladan.[44]
Sebelum Ibn Khaldun
menulis karyanya ‘Ibar banyak sejarawan yang menulis sejarah dengan
tidak cermat, bahkan sesuatu yang tidak masuk akal. Dalam al-Muqaddimah,
Ibn Khaldun menegaskan bahwa kajian-kajian sejarah haruslah kritis. Historiografi
‘Arab-Muslim yang ditulis oleh al-Mas’udi (w.857) dan al- Bakhri (w. 1094)
mendapat kritik dari Ibn Khaldun. Pada umumnya karya sejarah Islam terdahulu mengalami
tujuh kelemahan pokok. Tujuh kelemahannya sebagai berikut; Satu; Sikap
memihak kepada pendapat-pendapat atau mazhab-mazhab tertentu. Kedua:
Terlalu percaya kepada penukil berita sejarah. Ketiga; Gagal menangkap maksud-maksud apa yang
dilihat dan didengar serta menyampaikan laporan atas dasar persangkaan dan
perkiraan itu. Keempat; Perkiraan yang tidak punya dasar (terhadap
sumber berita). Kelima; Kebodohan dalam mencocokkan kenyataan dengan
kejadian yang sebenarnya. Keenam; Kegemaran banyak orang untuk
mendekatkan diri kepada para pembesar dan orang-orang yang berpengaruh dengan
jalan memuji dan menyanjung serta menyiarkan hal-hal yang baik-baik saja
tentang mereka. Ketujuh; ketidaktahuan tentang hakikat situasi dalam kultur.[45]
Dengan ketujuh kriteria
itulah Ibn Khaldun kengkritik sejarawan, ahli tafsir dan ulama terkenal yang
banyak melakukan kesalahan dalam penulisan dan mengemukakan hikayat-hikayat dan
pristiwa-peristiwa sejarah. Menurut Ibn Khaldun mereka hanya menukilkan
hikayat-hikayat dan peristiwa sejarah tanpa mengetahui kevalidan peristiwa
tersebut. Mereka tidak mengeceknya dengan prinsip yang berlaku pada situasi
historis. Sehingga penuh dengan sesuatu yang tidak bisa diterima oleh nalar dan
akal sehat. Karena bagi Khaldun sejarah merupakan sebuah disiplin ilmu yang
memiliki metode (mazhab) mantap, aspek penggunaan yang sangat banyak dan
memiliki sasaran yang mulia.[46]
Bagi Ibn Khaldun
sejarah bukan hanya menceritakan sekian rentetan peristiwa yang menghibur bagi
para pembaca. Tapi bagaimana peristiwa-peristiwa itu mengajak kita memahami
tentang makhluk, bagaimana situasi dan kondisi membentuk perubahan. Dalam
hakikat sejarah terkandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran,
keterangan yang mendalam tentang asal dan sebab benda wujudi, dan juga
pengertian tentang subtansi, essensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa.[47]
Bagi Ibn Khaldun
sejarah itu mempunyai dua aspek yang penting, yang pertama aspek lahir dan
kedua aspek batin. Kalau ditinjau dari luarnya saja, sejarah memang tidak lebih
dari cerita dan kisah masa-masa negara yang sudah lalu, yang memang biasanya
banyak diagung-agungkan oleh banyak orang. Akan tetapi jika ditinjau dari aspek
batinnya, yaitu aspek yang lebih dalam dan lebih bermakna, sejarah adalah suatu
renungan dan penelitian, di mana orang memikirkan hubungan sebab akibat, serta
mencoba merumuskan kembali kaidahkaidah yang melatar belakangi setiap
perkembangan yang terjadi. Karena itu, sejarah merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan dari apa yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun sebagai “hikmah.”[48]
Pada mulanya Ibn Khaldun
hendak mencatat semua peristiwa sejarah yang terjadi pada zamannya dari Timur
sampai Magrib dan dunia seluruhnya dalam karyanya (al-‘Ibar) dan
menyusun suri tauladan dalam peristiwa masa lampau sampai ke masanya. Selain
itu juga ia ingin mencatat sejarah yang dialaminya sendiri, yaitu preode
kemunduran dunia Islam pada umumnya dan Islam Barat (Magrib dan Afrika) pada
khususnya. Namun kemudian ia tahu bahwa hal ini bukan tujuan satu-satunya.
Sebab jika ia melakukan hal yang demikian niscaya ia akan menggunakan kata
“tarikh” (sejarah) karena kata ini yang lebih tepat ketimbang kata yang
lainnya.[49]
Kitab al-’Ibar terdiri
dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab al-Muqaddimah Ibn
Khaldun, atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya
yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan,
keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya.
Buku kedua kitab al-l’bar, terdiri dari empat jilid yang membicarakan
orang-orang Yahudi, Yunani, Romawi, dan Persia pada masa pra lslam.
Kedatangan Islam,
kehidupan Nabi dan sejarah khalifah ar-rasyidin ditulis pada suplemen
khusus jilid kedua. Buku ketiga membahas secara mendetail kekhalifahan
Umayyah dan Abbasiyah, Dinasti Fatimiyyah di Mesir dan orangorang Moor di
Spanyol sampai pada masa kekuasaan Saljuk, perang sabil, dan sejarah Dinasti
Mamluk di Mesir sampai pada akhir abad ke-8 H. Bagian ketiga Kitab al-’Ibar
terdiri dari dua jilid, membicarakan sejarah bangsa Barbar dan suku-suku
tetangganya.
3.
Al-Ta’rif bi Ibn
Khaldun wa Rihlatu Gharban wa Syarqan
Karya ini dapat
dipandang semacam otobiografi. Sebelum Ibn Khaldun seperti Yaqut al-Hamawi
dalam karyanya Mu’jam al-Udaba’ dan Lisanuddin al-Khatib seorang ilmuwan yang
sezaman dengan Ibn Khaldun dalam karyanya al-Ihathah bi Akhbar Garnatah, telah
menyusun karya semacam otobiografi. Namun karyabiografi- biografi yang disusun
sebelum masa Ibn Khaldun masih sangat sederhana dan ringkas sekali. Sementara
otobiografi yang Ibn Khaldun tulis ini sangat lengkap tentang perjalanan
hidupnya.[50]
C.
Corak
Pemikiran Ibn Khaldun
Karakter pemikiran
Ibn Khaldun mengalami percampuran yang unik yaitu antara dua tokoh yang saling
bertolak belakang, al-Gazali dan Ibn Rusyd. Ibn Rusyd adalah pengikut
Aristoteles yang setia, sedangkan al-Gazali adalah penentang filsafat
Aristoteles yang gigih. Kesamaan antara Ibn Khaldun dan al-Gazali tersebut
antara lain nampak dalam hal peran dan batas akal dalam kemampuanya untuk
menganalisa kenyataan, kepercayaan pada logika sebagai alat berpikir yang
valid, penolakan adanya hukum kausalitas sekunder karena bertentangan dengan
dalil agama dan membuang jauh-jauh penalaran neo-platonik dan teori emanasi.
Disamping itu juga patut dikemukakan bahwa Ibn Khaldun sangat dipengaruhi oleh
gagasan Ibn Sina (980-1037 M). Melalui gagasan Fakhr al-Din al-Razi dalam hal
kritik dan reaksi yang diberikan terhadap gagasan emanasi dan ketidakmamapuan
Tuhan untuk mengetahui hal-hal yang partikular serta pandangan platonik mengenai
pengetahuan sebagai pengingatan kembali.[51]
[1]
Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, hlm. 8.
[2]
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Ceceo Lukman Hakim dan
Dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 619.
[3] Ali Abdul Wahid Wafi, Ibn Khaldun, Riwayat dan
Karyanya, hlm. 9.
[4]
Fuad Baali dan Ali Wahdi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, hlm. 9.
[5] A.
Syafii Ma’arif, Ibn Khaldun dalam Pandangan, hlm. 11.
[6]
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibn Khaldun, Riwayat dan Karyanya, hlm. 1-2.
[7] Ibid., hlm 3-5.
[8]
Lihat dalam A. Mukti Ali, Ibn Chaldun dan Asal-usul Sosiologi, Jilid-1,
(Yokyakarta: Yayasan Nida,1990), hlm. 13-14.
[9]
Ibid., hlm. 15-16.
[10]
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibn Khaldun Riwayat dan Karyanya, hlm. 12.
[11]
Ibid., hlm. 20.
[12]
Ibid., hlm. 22.
[13]
Ibid., hlm. 27.
[14]
Ibid., hlm. 28.
[15]
Ibid., hlm. 30.
[16]
Ibid., hlm. 33.
[17]
Ibid., hlm. 36-38.
[18]
Ibid., hlm. 39-40.
[19]
Ibid., hlm. 41.
[20]
Ibid., hlm. 42-44.
[21]
Ibid., hlm. 45.
[22]
Ibid., hlm. 46.
[23]
Qal’at Ibn Salamah atau Qal’at bani Salamah ini disebut juga Qal’at Taoughzout
terletak di Oran, Aljazair. Nama Salamah sendiri diambil dari nama pemimpin
Dinasti Bodlatin di Toljin yang tinggal di Taoghzout dan mendirikan Qal’at
disana.
[24]
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 38.
[25]
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibn Khaldun, Riwayat dan Karyanya, hlm. 49.
[26]
Fuad Baali dan Ali Wahdi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, hlm. 13.
[27]
A. Mukti Ali, Ibn Chaldun dan Asal-usul Sosiologi, hlm. 53.
[28] Fuad Baali dan Ali Wahdi, Ibn Khaldun dan
Pola Pemikiran Islam, hlm. 13.
[29]
Ahmad Syafii Ma’arif, Ibn Khaldun dalam Pandangan, hlm. 19.
[30]
Fuad Baali dan Ali Wahdi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, hlm. 14.
[31]
Ahmad Syafii Ma’arif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur,
hlm. 23.
[32]
Seyyed Hossein Nasr & Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
terj. Tim Penerjemah Mizan, Buku Pertama (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 444.
[33]
Kitab ini secara mendasar membahas tentang pertanyaan substansial ulama Sufi
tentang mungkin-tidaknya mencapai pengetahuan mistik tanpa bantuan seorang
syekh sufi. Ibn Khaldun merinci tentang tiga tahap perjalanan spiritual untuk mujahadat.
Ketiga jalan itu adalah al-Taqw, al-Istiqmah dan
al-Kayf. Untuk tahapan pertama dan kedua tidak membutuhkan syekh,
sedangkan tahap ketiga membutuhkan bimbingan seorang guru sufi. Abderrahmane
Lakhsasi, “Ibn Khaldun” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, hlm.
449.
[34]
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 8.
[35] Ibid.,
hlm. 7.
[36]
Gaston Bouthol,. Teori-teori Filsafat Sosial Ibn Khaldun, hlm. 43.
[37] George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori
Sosiologi Modern, terj. Mandan, Ali. (Jakarta:
Prenada Media, 2003), hlm. 8.
[38]
Gaston Bouthol, Teori-teori Filsafat Sosial Ibn Khaldun, hlm. 35-36.
[39]
A. Syafii Maarif, Ibn Khaldun dalam Pandangan, hlm. 24-25.
[40]
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 12.
[41] Ibid.,
hlm. 68.
[42] Ibid.,
hlm. 22.
[43]
LSIPM. Kontribusi Pemikiran Ibn Khaldun di Bidang Sejarah, Filsafat dan
Agama, Negara dan Hukum serta Perubahan Sosial (Yogyakarta: LSIPM, 1985),
hlm. 5.
[44]
Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, hlm. 23.
[45]
Ibn Khaldun. Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 4-6. Hal ini dijelaskan pula
secara rinci oleh Ahmad Syafii Maarif, dalam Ibn Khaldun dalam Pandangan
Penulis Barat dan Timur, hlm. 25.
[46]
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 12.
[47] Ibid.,
hlm. 3.
[48]
Kata-kata h}ikmah diterjemahkan oleh Franz Rosenthal dengan “philosophy”
sedangkan Ibn Khaldun memandang filsafat sangat hati-hati sekali dan penuh
dengan kecurigaan. Ia menulis bahwa ilmu filsafat, meskipun sangat berkembang
sesuai dengan perkembangan kemajuan, namun banyak juga kerugian yang
ditimbulkannya terhadap agama, dari situ harus diwaspadai. Sebagaimana anggapan
Rahman Zainuddin, bahwa mungkin lebih baik kata al-h}ikmah itu dibiarkan
saja tidak perlu diterjemahkan. Namun ada kalanya hikmah tampak
diidentik dengan filsafat, sehinggi menurutnya yang dilakukan oleh Franz
Rosenthal adakanya benar. Lebih lanjut lihat, A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan
dan Negara, hlm. 531.
[49]
Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, hlm. 23-24.
[50]
Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, hlm. 38.
[51]
Lihat dalam Abderrahmane Lakhsasi, “Ibn Khaldun” dalam Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam, hlm. 454-455.
No comments:
Post a Comment