IMPEACHMENT
PENGANTAR
oleh : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
( Data ini merupakan hasil penelitian Mahkamah
Konstitusi RI, dapat dilihat di situs www.mahkamahkonstitusi.go.id )
Selengkapnya Click DISINI
Banyak pihak yang memahami bahwa impeachment merupakan
turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari
jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau
dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan
tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi
negara lain dari jabatannya. Dalam praktek impeachment yang pernah
dilakukan di berbagai negara, hanya ada beberapa proses impeachment yang
berakhir dengan berhentinya seorang pimpinan negara. Salah satunya adalah
Presiden Lithuania, Rolandas Paskas, dimana proses impeachment itu
berakhir pada berhentinya Paskas pada tanggal 6 April 2004. Di Amerika pernah
terjadi beberapa kali proses impeachment terhadap Presiden misalnya pada
Andrew Johnson, Richard Nixon, dan terakhir pada William Clinton. Namun,
kesemua tuduhan impeachment yang dilakukan di Amerika itu tidak berakhir
pada berhentinya Presiden. Pada kasus Richard Nixon, Nixon mengundurkan diri
pada saat proses impeachment berlangsung sehingga belum sampai pada
putusan dari proses impeachment itu.
Setidaknya ada 3 hal yang menarik dalam melakukan
pengkajian mengenai impeachment. Pertama adalah mengenai objek impeachment,
kedua mengenai alasan-alasan impeachment serta terakhir mengenai
mekanisme impeachment. Masing-masing negara yang mengadopsi ketentuan
mengenai impeachment mengatur secara berbeda-beda mengenai hal-hal
tersebut, sesuai dengan pengaturannya dalam konstitusi.
Objek dari tuduhan impeachment tidak hanya
terbatas pada pemimpin negara, seperti Presiden atau Perdana Menteri, namun
juga pada pejabat tinggi negara. Objek dari impeachment diberbagai
negara berbeda-beda dan terkadang memasukkan pejabat tinggi negara seperti
hakim atau ketua serta para anggota lembaga negara menjadi objek impeachment.
Namun objek impeachment yang menyangkut pimpinan negara akan lebih
banyak menyedot perhatian publik. Seiring dengan Perubahan UUD 1945, Indonesia
juga mengadopsi mekanisme impeachment yang objeknya hanya menyangkut
pada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Alasan-alasan impeachment pada masing-masing
negara juga berbeda-beda. Selain itu, perdebatan mengenai penafsiran dari
alasan impeachment juga mewarnai proses impeachment atau menjadi
wacana eksplorasi pengembangan teori dari sisi akademis. Contohnya adalah
batasan dari alasan misdeamenor dan high crime yang dapat
digunakan sebagai dasar impeachment di Amerika Serikat. Di Indonesia,
kedua alasan tersebut diadopsi dan diterjemahkan dengan “perbuatan tercela” dan
“tindak pidana berat lainnya”. Batasan dari misdemeanor dan high
crime di Amerika sendiri masih menjadi perdebatan. Sedangkan definisi atas
alasan impeachment tersebut di Indonesia dijabarkan dalam Pasal 10 ayat
(3) UU MK. Yang disebut “tindak pidana berat lainnya” adalah tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Sedangkan “perbuatan
tercela” adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau
Wakil Presiden. Meski telah disebutkan dan coba didefinisikan dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan, kedua alasan impeachment tersebut masih
memancing perdebatan wacana secara akademis yang dapat digali lebih dalam lagi.
Mengenai mekanisme impeachment di
negara-negara yang mengadopsi ketentuan ini juga berbeda-beda. Namun secara
umum, mekanisme impeachment pasti melalui sebuah proses peradilan tata
negara, yang melibatkan lembaga yudikatif, baik lembaga itu adalah Mahkamah
Agung (Supreme Court) atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).
Bagi negara-negara yang memiliki 2 lembaga pemegang kekuasaan yudikatif yaitu
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, maka besar kecenderungan bahwa Mahkamah
Konstitusi-lah yang terlibat dalam proses mekanisme impeachment tersebut.
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment itu sendiri
berbeda dimasing-masing negara, tergantung pada sistem pemerintahan yang
dimiliki oleh negara tersebut serta tergantung pula pada kewenangan yang
diberikan oleh Konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi dalam keterlibatannya pada
proses impeachment. Di satu negara Mahkamah Konstitusi berada pada
bagian terakhir dari mekanisme impeachment setelah proses itu melalui
beberapa tahapan proses di lembaga negara lain. Contoh negara dalam sistem ini
adalah Korea Selatan. Tak selang beberapa waktu yang lalu, Perdana Menteri
Korea Selatan, Roh Moo Hyun, terkena kasus impeachment atas tuduhan
kasus suap dalam pemilihan umum yang dimenangkannya. Oleh Parlemen Korea
Selatan Roh Moo Hyun telah terbukti bersalah dan diberhentikan dari
kedudukannya. Atas putusan Parlemen itu Roh Moo Hyun dinonaktifkan dari
jabatannya dan dapat mengajukan perkaranya kepada Mahkamah Konstitusi. Setelah
diperiksa di Mahkamah Konstitusi, putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa
Roh Moo Hyun memang melakukan suap tapi tuduhan itu tidak cukup untuk membuat
dia turun dari jabatannya. Oleh karena itu Roh Moo Hyun tetap dalam jabatannya
sebagai Perdana Menteri akibat putusan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan
sebagai benteng terakhir dari proses impeachment di Korea Selatan.
Ada juga sistem yang menerapkan dimana Mahkamah
Konstitusi berperan sebagai jembatan yang memberikan landasan hukum atas
peristiwa politik impeachment ini. Kata akhir proses impeachment berada
dalam proses politik di parlemen. Contoh dari negara yang mengadopsi aturan
demikian adalah Lithuania yang juga baru saja memberhentikan Presidennya,
Rolandas Paskas dalam proses impeachment. Indonesia juga mengadopsi
aturan seperti ini.
Proses impeachment di Indonesia melalui
proses di 3 lembaga negara secara langsung. Proses yang pertama berada di DPR.
DPR melalui hak pengawasannya melakukan proses “investigasi” atas dugaan-dugaan
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindakan-tindakan yang dapat
dikategorikan sebagai tindakan yang tergolong dalam alasan-alasan impeachment.
Setelah proses di DPR selesai, dimana Rapat Paripurna DPR bersepakat untuk
menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan tindakan yang
tergolong alasan untuk di-impeach maka putusan Rapat Paripurna DPR itu
harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Sebelum akhirnya proses impeachment ditangani
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mendapat kata akhir akan nasib
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam ayat yang berbeda dari 4 kewenangan Mahkamah
Konstitusi lainnya yang disebutkan dalam pasal 24C ayat (1), pada ayat (2)
pasal tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Adanya ketentuan ini tentu
memancing perdebatan dan perbedaan penafsiran atas setidaknya 2 masalah yaitu
pertama mengapa penyusun Perubahan UUD 1945 memisahkan kewenangan MK dalam
memeriksa perkara ini? Dan kedua mengenai objek dari perkara ini, apakah MK
memeriksa pendapat DPR ataukah MK juga berwenang untuk “mengadili” Presiden
dan/atau Wakil Presiden? Permasalahan ini memancing perdebatan dan perbedaan
penafsiran secara akademis. Oleh sebab itu, banyak yang bisa digali dan
diteliti mengenai penafsiran ketentuan hingga proses teknis dari mekanisme impeachment
ini.
Terbitnya buku ini, yang merupakan hasil penelitian
yang dilakukan oleh tim peneliti Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah
Konstitusi, perlu mendapat apresiasi. Hadirnya buku ini, setidaknya memunculkan
wacana baru dimasyarakat mengenai impeachment yang juga merupakan hal
yang baru di Indonesia. Selain itu, titik berat dari penelitian ini yang
mencoba mengkaji mengenai hukum acara impeachment di Mahkamah Konstitusi
juga merupakan terobosan sebab MK sendiri sedang menyusun hukum acara yang
terkait dengan pelaksanaan kewenangannya dalam hal ini.
Buku ini menitikberatkan pada satu segi
permasalahan dalam proses impeachment dan masih banyak segi yang bisa
digali dari topik impeachment ini dengan menelusup lebih dalam serta
melihat dari sudut pandang yang berbeda. Kumpulan gagasan serta teori yang
beragam mengenai impeachment akan memperkaya diskusi serta mempertajam
proses perkembangan teori dan pelaksanaan mekanisme impeachment di
Indonesia.
Mekanisme impeachment adalah satu diantara
mekanisme pengawasan serta perimbangan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang baru. Banyak buku-buku yang mengulas sistem ketatanegaraan kita
yang telah usang dan tidak sesuai lagi. Dan banyak perkembangan teori-teori
ketatanegaraan yang kita senantiasa tertinggal. Oleh karena itu, saya
menghimbau agar banyak terbit buku-buku yang akan menulis mengenai sistem
ketatanegaraan kita yang baru dengan mengulas teori-teori baru dalam hukum tata
negara. Dan salah satunya adalah mengenai mekanisme impeachment ini
dikaitkan dengan keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam proses politik
tersebut. Penerbitan buku hasil penelitian ini semoga dapat menjadi pemicu
untuk memperkaya khazanah pengetahuan ketatanegaraan ditengah paceklik ide
untuk menerbitkan buku-buku ilmiah, terutama dibidang Hukum Tata Negara.
Jakarta, Juli 2005
Ketua
Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,
S.H.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah satu
persoalan penting setelah terjadinya empat kali perubahan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 adalah adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif
dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal
7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945.[1]
Pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden selanjutnya
akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apakah
pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak. Amar
putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-kurangnya terdiri dari tiga
kemungkinan. Pertama, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan tidak
dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat. Kedua, amar
putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Ketiga, amar
putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.[2]
Munculnya
ketentuan ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan
untuk lebih mempertegas sistem pemerintahan presidensial yang merupakan salah
satu kesepakatan dasar Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR.[3] Penegasan sistem
pemerintahan presidensial tersebut mengandaikan adanya lembaga kepresidenan
yang mempunyai legitimasi kuat yang dicirikan dengan (1) adanya masa jabatan
Presiden yang bersifat tetap (fixed term); (2) Presiden selain sebagai
kepala negara juga kepala pemerintahan; (3) adanya mekanisme saling mengawasi
dan mengimbangi (checks and balances); dan (4) adanya mekanisme impeachment.[4] Sebelum terjadinya
perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Hal
ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
Oleh karena itu, Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan
hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam
konstitusi. Selain itu, proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan
setelah didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK)
yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Adanya
kemungkinan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya oleh MPR atas usul DPR inilah yang secara teknis ketatanegaraan
disebut dengan istilah impeachment.
Akan
tetapi, yang menjadi persoalan selanjutnya, ketentuan-ketentuan mengenai impeachment
yang terdapat di dalam konstitusi tidak mengatur lebih jauh
persoalan-persoalan teknis, sehingga pada saat ini masih diupayakan formulasi
yang tepat terhadapnya. Ada banyak persolan yang tidak atau belum sepenuhnya
bisa terjawab dengan sebaik-baiknya. Di antara beberapa persoalan tersebut
adalah apakah proses impeachment tunduk pada prinsip-prinsip dan asas-asas
yang terdapat di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, atau perlukah
disusun satu hukum acara tersendiri; apakah diperlukan semacam special
prosecutor yang dibentuk secara khusus untuk melakukan penuntutan terhadap
Presiden di depan sidang yang digelar oleh MK; bagaimanakah tata cara DPR
mengumpulkan bukti-bukti, sehingga bisa sampai pada suatu kesimpulan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,
perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden; apakah yang dimaksud dengan kata “pendapat” yang terdapat di
dalam Pasal 7A dan 7B tersebut berupa “pendapat politik” yang berarti secara
luas bisa dilatarbelakangi persoalan suka atau tidak suka (like and dislike)
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden ataukah “pendapat hukum” yang
berarti harus terukur dan terbingkai oleh norma-norma yuridis; apabila MK
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat dan DPR telah
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden kepada MPR dan MPR pun menerima usulan tersebut, maka
bisakah di kemudian hari, setelah tidak menjabat lagi, Presiden dan/atau Wakil
Presiden diadili (lagi) di peradilan umum dan tidak melanggar asas ne bis in
idem dalam hukum pidana; apakah proses peradilan yang bersifat khusus bagi
Presiden dan/atau Wakil Presiden ini tidak bertentangan dengan asas persamaan
di depan hukum (equality before the law); dan mengingat putusan MK yang
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat tidak mengikat MPR, apakah
ini bisa diartikan bertentangan dengan prinsip supremasi hukum (supremacy of
law) yang dikenal dalam hukum tata negara.
Menurut
Richard A. Posner dalam buku The Investigation, Impeachment, and Trial of
President Clinton, secara historis impeachment berasal dari abad
ke-14 di Inggris. Parlemen menggunakan lembaga impeachment untuk
memproses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang amat powerful,
yang terkait dalam kasus korupsi, atau hal-hal lain yang bukan merupakan
kewenangan pengadilan biasa. Dalam praktek, The House of Commons bertindak
sebagai a grand jury yang memutuskan apakah akan meng-impeach seorang
pejabat. Apabila pejabat itu di-impeach, maka The House of Lords akan
mengadilinya. Apabila dinyatakan bersalah, maka pejabat tersebut akan dijatuhi
hukuman sesuai ketentuan yang telah diatur, termasuk
memecat dari jabatannya.[5]
Di Inggris, impeachment pertama kali digunakan pada bulan November 1330
di masa pemerintahan Edward III terhadap Roger Mortimer, Baron of Wigmore yang
kedelapan, dan Earl of March yang pertama.[6]
Ketika
zaman penjajahan Inggris di Amerika Serikat, impeachment mulai digunakan
pada abad ke-17. Akan tetapi, dalam perkembangannya impeachment lebih
dikenal di Amerika Serikat daripada di Inggris. Di Amerika Serikat, impeachment
diatur dalam UUD yang menyatakan, The House of Representatives (DPR)
memiliki kekuasaan untuk melakukan impeachment, sedangkan Senat
mempunyai kekuasaan untuk mengadili semua tuntutan impeachment. Jadi impeachment
merupakan suatu lembaga resmi untuk mempersoalkan tindak pidana yang
dituduhkan pada Presiden, Wakil Presiden, hakim-hakim, dan pejabat sipil lainnya
dari pemerintahan federal yang sedang berkuasa.
Sejatinya
impeachment merupakan instrumen untuk mencegah dan menanggulangi
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dari pemegangnya. Ketika konstitusi
dirancang pada tahun 1787, di Philadelphia, Pennsylvania, para bapak bangsa
Amerika Serikat sudah melihat adanya kecenderungan para pemimpin menjadi korup
ketika berkuasa. Selain korup, para pemimpin itu juga berusaha untuk terus
berkuasa selama mungkin. Oleh karena itu, mereka menciptakan sebuah konstitusi yang
didasarkan pada fondasi checks and balances yang dapat meminimalisasi
penyalahgunaan kekuasaan. Impeachment didesain sebagai instrumen untuk
“menegur” perbuatan menyimpang, penyalahgunaan dan pelanggaran terhadap
kepercayaan publik dari orang yang mempunyai jabatan publik.[7]
Black's
Law Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai “A
criminal proceeding against a public officer, before a quasi political
court, instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment”.[8]
Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap
seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi
political court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya articles
of impeachment, yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu
peradilan pidana. Jadi artikel impeachment adalah satu surat resmi yang
berisi tuduhan yang menyebabkan dimulainya suatu proses impeachment.[9]
Di Amerika Serikat, pengaturan impeachment terdapat dalam Article 2
Section 4 yang menyatakan, “The President, Vice President, and all
civil officers of the United States, shall be removed from office on
impeachment for and conviction of treason, bribery, or other high crimes and
misdemeanors”. Pasal inilah yang kemudian mengilhami konstitusi-konstitusi
negara lain dalam pengaturan impeachment termasuk Pasal 7A Perubahan
Ketiga UUD 1945. Hanya saja menurut sejarahnya, impeachment tidak mudah
digunakan dan tingkat keberhasilannya dalam menjatuhkan seorang presiden sangat
rendah.
Dalam
konteks Indonesia, persoalan-persolan yang berkaitan dengan impeachment ini
masih memerlukan beberapa penelitian yang lebih mendalam, khususnya yang berkaitan
dengan apakah proses impeachment tunduk pada prinsip-prinsip dan
asas-asas yang terdapat di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, atau
perlukah disusun satu hukum acara tersendiri; keterkaitan proses impeachment
dengan asas ne bis in idem dalam hukum pidana; keterkaitan proses impeachment
dengan asas equality before the law; dan keterkaitan proses impeachment
dengan asas supremacy of law.
B.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
uraian yang terdapat dalam latar belakang masalah di atas, persoalan impeachment
perlu dikaji secara akademis untuk mendapatkan jawaban-jawaban akademis
pula terhadap berbagai persoalan yang terkait dengannya, seperti apakah proses impeachment
tunduk pada prinsip-prinsip dan asas-asas yang terdapat di dalam hukum
pidana dan hukum acara pidana, atau perlukah disusun satu hukum acara
tersendiri; apakah diperlukan semacam special prosecutor yang dibentuk
secara khusus untuk melakukan penuntutan terhadap Presiden di depan sidang yang
digelar oleh MK; bagaimanakah tata cara DPR mengumpulkan bukti-bukti, sehingga
bisa sampai pada suatu kesimpulan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden; apakah yang dimaksud
dengan kata “pendapat” yang terdapat di dalam Pasal 7A dan 7B tersebut berupa
“pendapat politik” yang berarti secara luas bisa dilatarbelakangi persoalan
suka atau tidak suka (like and dislike) kepada Presiden dan/atau Wakil
Presiden ataukah “pendapat hukum” yang berarti harus terukur dan terbingkai
oleh norma-norma yuridis; apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi
syarat dan DPR telah menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR dan MPR pun menerima
usulan tersebut, maka bisakah di kemudian hari, setelah tidak menjabat lagi,
Presiden dan/atau Wakil Presiden diadili (lagi) di peradilan umum dan tidak
melanggar asas ne bis in idem dalam hukum pidana; apakah proses
peradilan yang bersifat khusus bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden ini tidak
bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum (equality before the law);
dan mengingat putusan MK yang memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat
tidak mengikat MPR, apakah ini bisa diartikan bertentangan dengan prinsip
supremasi hukum (supremacy of law) yang dikenal dalam hukum tata negara.
Dengan
merujuk pada keterangan yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa persoalan
yang terangkum dalam identifikasi masalah yang diteliti sebagai berikut:
1. Apakah proses impeachment tunduk pada prinsip-prinsip
dan asas-asas yang terdapat di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, atau
perlukah disusun satu hukum acara tersendiri?
2. Apakah diperlukan semacam special prosecutor yang
dibentuk secara khusus untuk melakukan penuntutan terhadap Presiden di depan
sidang yang digelar oleh MK?
3. Bagaimanakah tata cara DPR mengumpulkan bukti-bukti, sehingga
bisa sampai pada suatu kesimpulan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden?
4. Apakah yang dimaksud dengan kata “pendapat” yang terdapat di
dalam Pasal 7A dan 7B tersebut berupa “pendapat politik” yang berarti secara
luas bisa dilatarbelakangi persoalan suka atau tidak suka (like and dislike)
kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden ataukah “pendapat hukum” yang
berarti harus terukur dan terbingkai oleh norma-norma yuridis?
5. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat dan
DPR telah menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR dan MPR pun menerima usulan
tersebut, maka bisakah di kemudian hari, setelah tidak menjabat lagi, Presiden
dan/atau Wakil Presiden diadili (lagi) di peradilan umum dan tidak melanggar
asas ne bis in idem dalam hukum pidana?
6. Apakah proses peradilan yang bersifat khusus bagi Presiden
dan/atau Wakil Presiden ini tidak bertentangan dengan asas persamaan di depan
hukum (equality before the law)?
7. Mengingat putusan MK yang memutuskan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi
memenuhi syarat tidak mengikat MPR, apakah ini bisa diartikan bertentangan
dengan prinsip supremasi hukum (supremacy of law) yang dikenal dalam
hukum tata negara?
C.
Maksud dan Tujuan
Penelitian
Identifikasi
permasalahan tersebut di atas menurut perlu dan mendesak diteliti dengan maksud
untuk:
1. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum apakah proses impeachment
tunduk pada prinsip-prinsip dan asas-asas yang terdapat di dalam hukum
pidana dan hukum acara pidana, atau perlukah disusun satu hukum acara
tersendiri;
2. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum apakah diperlukan
semacam special prosecutor yang dibentuk secara khusus untuk melakukan
penuntutan terhadap Presiden di depan sidang yang digelar oleh MK;
3. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum bagaimanakah tata cara
DPR mengumpulkan bukti-bukti, sehingga bisa sampai pada suatu kesimpulan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,
perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden;
4. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum apakah yang dimaksud
dengan kata “pendapat” yang terdapat di dalam Pasal 7A dan 7B tersebut berupa
“pendapat politik” yang berarti secara luas bisa dilatarbelakangi persoalan
suka atau tidak suka (like and dislike) kepada Presiden dan/atau Wakil
Presiden ataukah “pendapat hukum” yang berarti harus terukur dan terbingkai
oleh norma-norma yuridis;
5. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum apabila MK memutuskan
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum atau tidak lagi memenuhi syarat dan DPR telah menyelenggarakan sidang
paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
kepada MPR dan MPR pun menerima usulan tersebut, maka bisakah di kemudian hari,
setelah tidak menjabat lagi, Presiden dan/atau Wakil Presiden diadili (lagi) di
peradilan umum dan tidak melanggar asas ne bis in idem dalam hukum
pidana;
6. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum apakah proses peradilan
yang bersifat khusus bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden ini tidak
bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum (equality
before the law); dan
7. Mengetahui dari perspektif ilmu hukum apakah putusan MK yang
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat tidak mengikat MPR bisa
diartikan bertentangan dengan prinsip supremasi hukum (supremacy of law) yang
dikenal dalam hukum tata negara.
D.
Kerangka Teori
1.
Negara Hukum
Sebagaimana
telah menjadi pengetahuan bersama, gagasan Negara Hukum[10]
merupakan gagasan modern yang mempunyai banyak perspektif dan boleh dikatakan
selalu aktual. Istilah Negara Hukum merupakan terjemahan langsung dari istilah (Rechtsstaat).
Dalam memberikan pengertian mengenai gagasan Negara Hukum ini,[11]
setiap orang dapat memberikan bobot penilaian yang berlebihan baik terhadap
kata “negara” maupun kata “hukum”.[12]
Setidaknya terdapat dua tradisi besar gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu
Negara Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang
disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam
tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law.[13]
Salah
satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan topik Negara Hukum (Rechtsstaat)
dalam tradisi Eropa Kontinental adalah Friedrich Julius Stahl. Pandangannya
tentang Rechtsstaat merupakan perbaikan dari pandangan Immanuel Kant.[14]
Unsur-unsur yang harus ada dalam Rechtsstaat[15]
adalah pertama, pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten);
kedua, pemisahan kekuasaan (scheiding van machten); ketiga, pemerintahan
berdasar atas undang-undang (wetmatigheid van het bestuur); dan keempat,
peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).[16]
Sedangkan unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of Law[17] adalah
pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di depan
hukum (equality before the law); ketiga, konstitusi yang berdasarkan
atas hak-hak asasi manusia (constitution based on human rights).[18]
Syarat-syarat
dasar bagi pemerintahan demokratis di bawah konsep Rule of Law adalah
pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang bebas dan
tidak memihak;[19]
ketiga, pemilihan umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan pendapat;
kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam, pendidikan
kewarganegaraan.[20]
Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas
menjadi pilar yang sangat penting baik dalam Negara Hukum tradisi Rechtsstaat
maupun dalam tradisi Rule of Law. Dengan kata lain, keberadaan
kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak menjadi syarat yang penting
bagi kedua tradisi negara hukum tersebut.
Sementara
itu, Franz Magnis-Suseno menyebut empat syarat dalam gagasan Negara Hukum yang
saling berhubungan satu sama lain, yaitu pertama, adanya asas legalitas yang
berarti pemerintah bertindak semata-mata atas dasar hukum yang berlaku; kedua,
adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam fungsinya
untuk menegakkan hukum dan keadilan; ketiga, adanya jaminan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia; dan keempat, adanya pemerintahan berdasarkan sistem
konstitusi atau hukum dasar.[21]
2.
Checks and
Balances System
Sebagaimana
telah menjadi kemakluman bersama, John Locke (1632-1704) memperkenalkan teori
pemisahan kekuasaan.[22]
Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter[23]
bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara
harus
dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau
lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan
politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif (legislative
power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan
federatif (federative power).[24]
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat
undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan
eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan
peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan
kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan
luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi
antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang
kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan
tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya.[25]
Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang
atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan
oleh pihak yang berkuasa.[26]
Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak bisa
dengan mudah melakukan penyalahgunaan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya.
Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih
terjamin.[27]
[1]
Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002),
hal. 42-43 dan 61-62.
[2]
Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Republik Indonesia, Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003,
TLN No. 4316.
[3] Selengkapnya kesepakatan dasar yang disusun
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR adalah (1) tidak mengubah Pembukaan UUD
1945; (2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3)
mempertegas sistem pemerintahan presidensial; (4) Penjelasan UUD 1945
ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam
pasal-pasal; dan (5) perubahan dilakukan dengan cara adendum. Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang,
Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hal. 24-25.
[4] Ibid., hal. 156.
[5] Uraian tentang hal ini, lihat Luhut M.P.
Pangaribuan, “’Impeachment’, Pranata untuk Memproses Presiden”, Kompas,
edisi Senin, 19 Februari 2001.
[6] Naf’an Tarihoran, “Makna Impeachment Presiden
bagi Orang Amerika”, Tesis Magister Studi Kajian Wilayah Amerika Universitas
Indonesia, (Jakarta: Studi Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia, 1999),
hal. 75 yang mengutip berbagai sumber.
[7] Gary McDowell, “’High Crimes and
Misdemeanors’: Recovering the Intentions of the Founders”, <http://jurist.law.pitt.edu/mcdowell.htm>,
diakses 24 November 2004.
[8] Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary:
Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence,
Ancient and Modern (St. Paul, Minn.: West Group, 1991), hal. 516.
[9] Pangaribuan, loc. cit.
[10] Padmo Wahjono dengan mengutip pernyataan
Oemar Seno Adji dalam Indonesia Negara Hukum menyimpulkan bahwa
penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas hukum terletak pada
dua hal, yaitu (1) teori Rechtsstaat yang dicirikan dengan adanya pengakuan
hak-hak asasi manusia, adanya Trias Politica, adanya pemerintahan yang
berdasarkan undang-undang dan adanya peradilan administratif; dan (2) teori Rule
of Law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang bersumber pada hak-hak
asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi semua orang dan adanya
prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya. Padmo Wahjono, “Indonesia ialah
Negara yang Berdasarkan atas Hukum”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 17 Nopember 1979.
[11] Baik konsep Rule of Law maupun Rechtsstaat
selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga pengertian
keduanya pada masa kini mempunyai beberapa perbedaan-perbedaan dengan
pengertian keduanya pada masa lalu. Tentang hal ini lihat misalnya Jimly
Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Cet. I,
(Jakarta: Ind Hill-Co., 1997), hal. 4.
[12]
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum,(Jakarta: Erlangga,
1985),hal.11
[13]
Menurut Wolfgang Friedmann, gagasan Negara Hukum tidak selalu identik
dengan Rule of Law. Sedangkan istilah Rechtsstaat mengandung
pengertian adanya pembatasan kekuasaan negara oleh hukum. Wolfgang Friedmann, Legal
Theory, (London: Steven & Son Limited, 1960), hal. 456. Menurut Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris sebutan untuk istilah Negara Hukum
adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat Government of Law,
But Not of Man. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1976), hal. 8.
[14]
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill
Co, 1989), hal. 30.
[15]
Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme
dan kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang
dipelopori oleh Immanuel Kant yang mengidealkan paham laissez faire laissez
aller dan gagasan negara jaga malam (nachwachtersstaat). Dalam
gagasan ini setiap warga negara dibiarkan menyelenggarakan sendiri usaha-usaha
kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur dalam urusan-urusan yang dapat
ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga pada
malam hari yang melindungi seluruh rakyat agar tetap merasa aman dan hidup
tenteram. Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasioanal di Abad
Globalisasi, Cet. I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 90. Tentang
wawasan-wawasan yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S.
Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai Analisis Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi doktor,
(Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990), hal. 139.
[16]
Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law,
(Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973), hal. 22. Pada titik ini, biasanya
negara hukum dikaitkan dengan paham konstitusionalisme yang mengidealkan hukum
sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah
kepada yang diperintah. C.H. McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern,
(Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974), hal. 146.
[17]
Menurut Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang
pasti tentang Rule of Law ini. Richard H. Fallon, Jr., “The Rule of Law
as a Concept in Constitutional Discourse”, dalam Columbia Law Review,
Volume 97, No. 1, 1997, hal. 1-2.
[18]
A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution,
10th edition,
(London: English Language Book Society and MacMillan, 1971), hal. 223-224.
[19] Menurut A.W. Bradley, pengadilan mempunyai
peran penting dalam tradisi Rule of Law, karena penafsiran-penafsirannya
terhadap peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan bagi
keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu negara. A.W. Bradley, “The
Sovereignty of Parliament – Form or Substance?”, dalam Jeffrey Jowell dan Dawn
Oliver, eds., The Changing Constitution, 4th edition,
(Oxford: Oxford University Press, 2000), hal. 34.
[20] South-East Asian and Pacific Conference of
Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, The Dynamic Aspects of the Rule of
Law in the Modern Age, (Bangkok: International Commission of Jurist, 1965),
hal. 39-45.
[21] Franz Magnis-Suseno memberikan catatan khusus
berkaitan dengan ciri adanya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman.
Menurutnya, dengan adanya asas kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman
dari cabang kekuasaan negara lainnya, maka diharapkan badan yudikataif dapat
melakukan kontrol segi hukum terhadap kekuasaan negara di samping untuk
mencegah dan mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.
Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dari pengaruh kekuasaan
pemerintah akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan
pengabaian hak-hak asasi manusia oleh penguasa, karena kekuasaan kehakiman yang
secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol
terhadap kekuasaan pemerintah sulit menjalankan fungsinya tersebut. Franz
Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: Gramedia, 1993), hal. 298-301. Sementara itu, menurut Moh. Kusnardi
dan Bintan R. Saragih, ciri-ciri negara hukum ada tiga, yaitu (1) pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; (2) peradilan yang bebas; (3)
legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Moh. Kusnardi dan Bintan R.
Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945,
Cet. VI, (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 27; lihat juga Dahlan Thaib, Pancasila
Yuridis Ketatanegaraan, Edisi Revisi, Cet. I, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN,
1994), hal. 87.
[22] Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan
kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal.
Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti
pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas
kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan
itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang
dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian
kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law
and the Constitution, 4th edition, (London: The English Language
Book Society, 1976), hal. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan
kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation
of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan
pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M. McIver, The
Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hal. 364.
[23] Dalam konsep negara modern, totaliter ini
merupakan kebalikan dari demokrasi. Sidney Hook, “Democracy” [Demokrasi: Sebuah
Tinjauam Umum], dalam Denny J.A., Jonminofri, Rahardjo, eds., Menegakkan
Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di
Indonesia, (Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia
Foundation, 1989), hal. 33; Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, “Demokrasi
dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik”, dalam Miriam Budiardjo, Masalah
Kenegaraan, Cet. III, (Jakarta: Gramedia, 1980), hal. 88.
[24] John Locke, Two Treatises of Government,
New Edition, (London: Everyman, 1993), hal. 188.
[25] Ibid.
[26] Abad ke-20 merupakan awal terjadinya
kecenderungan semakin leluasanya kekuasaan eksekutif. Penyebabnya adalah (1)
gelombang dekolonisasi dan terbentuknya negara-negara baru dengan tahap-tahap konsolidasi
awal yang memerlukan pemusatan kekuatan di tangan pemerintah; (2) munculnya era
perang dingin yang membelah dunia ke dalam dua blok Barat dan Timur yang
diikuti persaingan perebutan pengaruh antarblok; (3) timbulnya fenomena perang
antarnegara yang memacu peningkatan anggaran militer di berbagai negara; (4)
semakin kompleksnya lingkup tugas-tugas pemerintahan seiring dengan
perkembangan jaman; dan (5) munculnya ketidakpuasan umum terhadap praktek
multipartai yang dianggap sebagai biang keladi instabilitas internal di
berbagai negara. Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen
dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta:
UI-Press, 1996), hal. 106-116; Jimly Asshiddiqie, “Undang-Undang Dasar 1945:
Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
diucapkan pada tanggal 13 Juni 1998, hal. 10.
[27] Lihat misalnya C.F. Strong, Modern
Political Constitution, (London: Sidwick & Jackson, 1973), hal.
245-247.
No comments:
Post a Comment