TERAPI PSIKOPROBLEM MELALUI SHALAT
(Khoirul
Amin)
Selengkapnya
Download> DISINI
A.
Shalat
Khusyu’ Serta Pengaruhnya dalam Jiwa
Beberapa
sebab utama dari terjadinya problem kejiwaan adalah kebencian pada diri
sendiri, ketidak mampuan untuk bersabar dalam musibah, kegagalan, kekhawatiran
terhadap masa depan, dan khayalan seolah-olah kehidupan ini tidak punya tujuan
akhir. Semua sebab tersebut pada
dasarnya bersumber pada ketakutan dan kecemasan.
Ketakutan
dan kecemasan adalah dua musuh utama bagi problem dan kesehatan jiwa. Tak ada
yang lebih berbahaya bagi keseimbangan
jiwa daripada kecemasan terhadap ketidak pastian masa depan. Hanya
dengan keimanan manusia tidak akan
terlalu cemas, karena sebenarnya manusia tidak akan pernah tahu apa yang
akan terjadi. Masa depan yang akan datang hanya diketahui oleh yang empunya.
Masalah
kecemasan (anxiety) dan kegelisahan (rest lessness) merupakan salah satu
faktor utama yang menyebabkan gangguan kejiwaan (neurosis). Cemas adalah suatu
ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Ia biasanya muncul bila
manusia berada dalam suatu keadaan yang ia duga akan merugikan dan ia rasakan
akan mengancam dirinya, dimana manusia merasa tidak berdaya menghadapinya
karena yang ia cemaskan itu belum terjadi, maka rasa cemas itu sesungguhnya
merupakan ketakutan yang ia ciptakan sendiri.[1]
Kecemasan
dan kegelisahan yang dapat menyebabkan seseorang menderita neurosis atau
masalah kejiwaan adalah karena perasaan tersebut selalu menguasai semua
perjalanan hidupnya. Maka menjadikan keadaan jiwa yang tenang dan tentram
adalah merupakan terapeutik yang pokok dan penting.
Najati
mengemukakan bahwa keadaan tentram dan jiwa yang tenang akan didapatkan
manakala orang dalam keadaan kekhusyu’an menjalankan ibadah shalat, sebagaimana
pendapat Abu al-‘Aza’im yang dikutipnya:
“…Dalam shalat
manusia berdiri dengan khusyu’ dan tawadhu’ kepada Allah penciptanya dan
pencipta seluruh alam semesta. Dengan tubuh yang kecil dan lemah, ia berdiri
dihadapan Tuhan YME, yang menguasai segala sesuatu, mengendalikan setiap atom
dalam wujud, mengatur segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, yang
menentukan kehidupan dan kematian, memberikan rizki, yang dengan perintah-perintah-Nya segala qodlo,
qodlar dan segala sesuatu yang menimpa kita baik kebaikan maupun bencana yang
terjadi. Berdirinya manusia dihadapan Allah dengan khusyu’ dan khudu’ akan
membekalinya suatu tenaga rohani yang menimbulkan dalam diri perasaan yang
tenang, jiwa yang damai, dan kalbu yang tentram. Sebab dalam shalat yang
dilakukan dengan semestinya, manusia mengarahkan seluruh jiwa dan raganya kepada Allah, berpaling dengan semua
kesibukan dan problem-problem dunia dan tidak memikirkan sesuatu kecuali Allah
dan ayat al-Qur’an yang dibacanya. Keterpalingan penuh dari berbagai persoalan
dan problem kehidupan, dan tidak memikirkan selama shalat, dengan sendirinya
akan menimbulkan pada diri manusia itu keadaan yang tentram, jiwa yang tenang
dan pikiran yang bebas dari beban-beban…”[2]
Jadi
jelas disini bahwa seorang yang melakukan shalat dengan benar maka ia menjadi
manusia yang tentram dan memiliki jiwa yang tenang, dan manakala sudah tercapai
ketentraman dan ketenangan dalam jiwa
maka ia terhindar dari segala permasalahan psikisnya dan bagi yang memiliki problem kejiwaan
dengan melakukan shalat yang benar ia akan menjadi tenang dalam menghadapi
problemnya sebagaimana yang dikemukakan oleh
Abu al-‘Aza’im diatas.
Shalat
yang dilakukan secara khusyu’ wal khudu’ sebagaimana yang dikemukakan diatas
memiliki arti bahwa shalat yang dilakukan dengan membawa konsentrasi batin
merendahkan diri dengan cara Rasulullah. Tujuan dari khusyu’ wal khudu’ ini
adalah membawa sifat-sifat ketaatan dalam shalat ke dalam kehidupan sehari-hari
dan akan mampu memberikan perisai terhadap jiwa manusia.
Dampak
yang ditimbulkan dari keadaan tentram dan jiwa santai (tenang) yang dihasilkan
dari pelaksanaan shalat dalam kaitannya dengan proses terapi psikoproblem
adalah meliputi; (1). Meredam syaraf-syaraf yang timbul akibat berbagai tekanan
kehidupan sehari-hari.[3] (2). Dapat membantu
melepaskan diri dari keluhan-keluhan yang ditimbulkan karena berulang kalinya
seseorang tertimpa persoalan atau situasi yang menimbulkan kegelisahan.[4]
Dari
prosesi diulang-ulangnya bebarengan keadaan santai dan ketenangan jiwa yang
ditimbulkan shalat dengan berbagai situasi yang menimbulkan kegelisahan (yang
ada kalanya dengan menghadapinya secara nyata dalam kehidupan ataupun dengan
mengingatnya), pada akhirnya akan membuat terbentuknya ikatan-ikatan
kondisional baru antara situasi-situasi tegang dengan respon keadaan santai dan ketenangan yang
ditimbulkan shalat (yang merupakan respon yang bertentangan dengan respon kegelisahan)
Terlebih
lagi setelah shalat, yang biasanya seseorang masih terus mengucapkan tasbih dan
berdoa kepada Allah, ini tetap membantu berlangsungnya keadaan santai dan jiwa
tenang untuk beberapa lama. Karena dalam berdo’a sesorang sedang melaksanakan
munajat (audensi) dengan Tuhannya, dimana ia menuturkan kepada Tuhannya segala
keluhan dan problem yang dideritanya dan yang membuatnya resah gelisah. Allah
SWT berfirman dalam surat al-Mu’minun (40): 60
وقال ربكم اد عوني استجب لكم
Arinya:
Dan Tuhanmu berfirman, “berdoalah
kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan bagimu.”[5]
Sementara
dalam keadaan santai dan jiwa yang tenang secara otomatis ia akan terbebas dari
kegelisahan-kegelisahan tersebut. Akibatnya, problem itu pun secara bertahap
akan kehilangan kekuatannya untuk menimbulkan kegelisahan. Namun sebaliknya
akan membuatnya terikat secara kondisional dengan keadaan santai dan jiwa yang tenang.
Kalau
William James mengungkapkan bahwa munculnya kecemasan dan keresahan yang
dialami manusia adalah karena kegagalan
dalam mengaktualisasikan potensi-potensi kekuatan yang ada dalam
dirinya, maka dengan shalat, disamping akan membebaskan tenaga psikis manusia
dan berbagai ikatan kegelisahan, ia akan juga membekali manusia dengan kekuatan
rohaniah yang dapat memperbaharui hidupnya, menguatkan keimanannya, serta
memberi kekuatan yang luar biasa yang memungkinkan manusia sanggup menanggung
berbagai derita dan melaksanakan karya-karya dalam hidupnya. Sebab orang yang sedang menjalankan shalat, ia
sedang dalam kesatuan rohani dengan Tuhannya, serta berada dalam limpahan
percikan rohani Tuhannya. Yang kemudian akan menjadi kekuatan bagi manusia
dalam mengaktualisasikan potensi-potensi dirinya yang tersembunyi.
Shalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan
wajahnya kepada Allah sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu
dilakukan secara tekun dan kontinyu, akan menjadi alat pendidikan rohani yang
efektif, memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan
kesadaran. Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan
keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani dilatih menghadapi Zat Yang Maha
Suci, efeknya akan membawa kesucian rohani dan jasmani.[6]
Shalat adalah pelatihan mengekang nafsu syahwat, membersihkan jasmani
dan rohani dari sifat-sifat dan perilaku tercela serta dari perbuatan maksiat,
keji, dan munkar.[7]
Firman Allah dalam surat al-Ankabut (29): 45
اتل مااوحي اليك من الكتب واقم الصلوة ان الصلوة تنهى عن
الفحشاء والمنكر ولذكرالله اكبر والله يعلم ما تصنعو نَ
Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu,
yaitu al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan mengingat Allah (shalat) adalah
lebih besar keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain. Dan Allah mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” [8]
Menurut Muhsin[9] disinilah ayat sesungguhnya shalat mencegah fakhsya’
dan kemungkaran memiliki
pengertian yang lebih jelas. Ayat ini hendak mengatakan bahwa melaksanakan
kewajiban shalat dapat mencegah kebobrokan dalam masyarakat Islam.
Apabila shalat dilakukan dengan tekun dan benar, seseorang akan maksum
dari dosa, bebas dari kesalahan dan pelanggaran apalagi ditunjang oleh
kesabaran yang aktif, dan perjuangan yang gigih dan positif, maka akan
menjadikan sarana mengatasi kesulitan hidup. Allah berfirman dalam surat
al-Baqarah (2):45
واسْتَعِيْنو ا بالصبر َوالصلوةِ
وانها لكبيرة الا على الخشعينَ
Artinya: “Jadikalah shalat dan
sabar sebagai penolongmu. Dan yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi
orang-orang yang khusyu’ ”[10]
Disamping itu juga shalat bisa menimbulkan ketenangan hati dan
ketrentraman batin.[11] Firman Allah dalam surat al-Ma’arij (70):
19-23
ان الانسا ن خلق هلوعاً * اذامسه الشرجزوعاً * واذامسه
الخير منوعاً
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan keluh kesah
lagi kikir. Apabila ia ditimpah kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia
mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat
yang mereka itu tetap dalam shalatnya.” [12]
Ayat diatas memberikan isyarat kepada manusia agar konsisten dalam
mengerjakan shalatnya. Sehingga dirasakan benar dampak dari ia melakukan
shalat.
Dampak
lain yang ditimbulkan shalat dalam kaitannya dengan proses terapeutik adalah terbentuknya jiwa sosial yang sehat, dampak ini
secara signifikan terdapat dalam pelaksanaan shalat jama’ah. Anjuran agama
Islam untuk sering dan mengutamakan shalat jama’ah disamping shalat sendirian
(munfarid) akan lebih memberikan peluang untuk bersosialisasi dengan
lingkungannya dimana ia tinggal. Sosialisasi diri dalam jalinan persahabatan
ini akan membantu klien dalam mengembangkan kepribadian dan kematangan
emosionalnya. Sabda Rasul
تفضل صلاة الجميع صلا ة أحد
كم وحده بخمس وعشرين جزءا, وتجتمع ملا ئكة الليل وملا ئكةالنهار فى صلاة الفجر
Artinya:
Abuhurairah r.a. berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sembahyang
berjamaah lebih afdhal (utama) dari sembahyang sendiri dua puluh lima kali. Dan
malaikat malam berkumpul dengan Malaikat siang di waktu shalat subuh. (Bukhari
Muslim).[13]
Disamping
itu salah satu yang harus diperhatikan dalam segenap prosesi shalat adalah
tindakan mengambil air wudlu (berwudlu). Dalam prosesi ini seseorang bukanlah
sekedar membersihkan tubuh belaka dari segala kotoran yang melekat padanya,
serta dapat membantu mengistirahatkan organ-organ tubuh (fisiologis) dalam
fase-fase tertentu dalam kesibukan kerja hariannya, melainkan dengan
melaksanakan wudlu yang semestinya, akan membuat seseorang mukmin merasa bahwa
diri dan jiwanya menjadi bersih, serta membersihkan dari segala
kesalahan-kesalahannya. Sebuah hadits menyebutkan:
اِذاتو ضاالعبدالمسلم او المؤ
من فغسل وجهه خرج من وجهه كل خطيئة نظر اليها بعينه مع الماء او مع اًخر قطر الماء
فاذاغسل يد يه خرج من يد يه كل خطيئة كان بطشتها يداه مع الماء او مع اخر قطر
الماء فاذا غسل رجليه خر جت كل خطيئة مشتها رجلا ه مع الماء او مع اخر قطر الماء
حتى يخر ج نقيا من الذ نوب
Artinya:
“ Apabila seorang hamba muslim atau
mukmin berwudlu, maka ketika ia membasuh mukanya, keluarlah segala kesalahan
yang diperbuat kedua matanya dengan tetes terakhir air itu. Kemudian apabila ia
membasuh kedua tangannya keluarlah segala kesalahan yang dilakukan keduanya
bersama tetes yang terakhir air itu. Selanjutnya apabila ia membasuh kedua kakinya,
maka keluarlah segala kesalahan yang dilakukan keduanya bersama dengan tetes
terakhir air itu, hingga ia bersih dari dosa-dosa.”[14]
Perasaan
bersihnya tubuh dan jiwa yang selalu ia dapatkan dari wudlu akan mempersiapkan
manusia untuk mengadakan hubungan rohani dengan Allah dan menghantarkannya
kepada keadaan tubuh dan jiwa yang tenang dalam shalat dan segenap prosesi
lainnya, yang akhirnya menjadikan manusia yang benar-benar siap dan mampu
mengatasi dan memproteksi diri dari segala problem jiwa.
B.
Implikasi
Shalat dalam Terapi Psikoproblem
Setiap
manusia memerlukan sesuatu di luar dirinya yang mempunyai kekuatan,
kebijaksanaan dan kemampuan yang melebihinya. Karena tidak selamanya manusia
mampu menghadapi kesukaran dan keperluan hidupnya sendirian, bahkan juga
keperluan kejiwaan, yang akan mempengaruhi kesehatan jiwanya. Sesuatu itu harus
selalu ada, disaat apapun ia memerlukannya, terutama ketika menghadapi
kesulitan dan kesukaran yang tak terpecahkan. Bagi orang beragama sesuatu
adalah keimanan yakni keimanan kepada Allah SWT.[15]
Keimanan (rasa keagamaan) bukanlah perasaan yang hanya bersandar pada
formalitas agama, tanpa subtansi, atau sekedar penunaian seruan ajaran yang
dimanfaatkan untuk menyatakan kepentingan diri sendiri. rasa keagamaan,
sebaliknya ialah pemahaman secara intens
dan pengamalan terhadap agama, sehingga terjadi keselarasan dalam menyembah
Allah dan hidup bermasyarakat. Dengan begitu agama serta para pemeluknya tidak
akan terisolasi dari realitas kehidupan.[16]
Dalam Islam, keimanan merupakan ajaran yang terpenting yang berdiri
atas bangunan dua kalimah syahadat. Pernyataan syahadat ini tidak berarti dan
berpengaruh apa-apa tanpa adanya penghayatan dan disertai dengan pengamalan
nilai-nilai ibadah yang dikandung – dalam hal ini ibadah shalat – dan
demikianlah bahwa iman selalu disertai dengan amal.
Buah iman adalah amal. Dan amalan yang pokok dalam ajaran Islam adalah
shalat. Didalam al-Qur’an Allah telah menegaskan bahwa shalat adalah suatu
rangka pokok iman.[17] Shalat merupakan ibadah
terpokok dan terpenting dalam Islam. Shalat menjadi kewajiban setiap muslim,
terutama yang sudah baligh atau dewasa. Dan perlu ditekankan disini bahwa
shalat mencakup semua rukun Islam.[18] Seorang yang shalat wajib
membaca dua kalimat syahadat. Setelah takbiratul ihram seorang yang shalat
diharamkan makan dan minum atau mengucapkan apapun, kecuali bacaan yang sudah disyari’atkan, ini berarti ia berpuasa
dari apa yang diharamkan didalam shalat.
Keimanan
yang dimanifestasikan dalam bentuk shalat, dimana shalat merupakan satu bentuk
ibadah yang didalamnya berisi olah rohani, sebagai penyeimbang olah jasmani.
Shalat disini tidak hanya sekedar “dilakukan” tetapi juga harus “didirikan”.
Bahasan tentang mendirikan shalat sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya.[19]
Shalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan
wajahnya kepada Allah sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu
dilakukan secara tekun dan kontinyu, akan menjadi alat pendidikan rohani yang
efektif, memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan
kesadaran. Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan
keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani dilatih menghadapi Zat Yang Maha
Suci, efeknya akan membawa kesucian rohani dan jasmani.[20]
Jelas
bahwa Islam tidak sekedar memerintahkan manusia untuk “melakukan” shalat tetapi
“mendirikan” shalat, yang mengandung pengertian yang dalam, yaitu
mengkonsentrasikan pikiran dan perasaan, penyucian roh, jiwa dan badan, serta
kekhusyu’an anggota badan. Sebagaimana diungkap juga oleh Abdu[21] bahwa khusyu’ memiliki
pengaruh besar dan kuat bagi jiwa seseorang, karena khusyu’ dapat
mengantarkan seseorang kepada hal-hal
sebagai berikut:
- Menumbuhkan kemampuan untuk berkonsentrasi.
Ketika sesorang akan
mengerjakan shalat untuk menghadap Tuhanya, biasanya akan muncul hal-hal lain
dalam pikirannya. Maka dia harus berusaha untuk menghilangkan pikiran tersebut
supaya dapat hadir ketika mengagungkan dan bermunajat kepada Allah. Cara ini
akan membantu terbentuknya daya konsentrasi pada diri seseorang.
- Dapat mempengaruhi jiwa seseorang dikala ruhnya berhubungan dengan Tuhan dan menjadi khusyu’ kepada-Nya, sekalipun dalam waktu sebentar. Pengaruh khusyu’ bagi jiwa ini merupakan suatu hal yang pasti terjadi. Karena ruh seseorang yang tidak pernah berkomunikasi terhadap Dzat yang menciptakannya atau bahkan jarang, maka akan muncul dalam dirinya rasa gelisah, tidak qana’ah, cinta dunia, bingung dan lain sebaginya. Tetapi dengan shalat dan bermunajat kepada Allah SWT, seseorang akan dapat berserah diri dan meminta apa saja yang dikehendaki sehingga ia merasa lega dari perasaan-perasaan yang menyertainya. Selain itu, ia akan mencari kekuatan, rasa qana’ah dan ridho dengan memohon kepada Allah SWT. Jika mushalli semakin khusyu’ dan dekat dengan Allah maka semakin bertambah keyakinannya terhadap Allah SWT, sehingga ia tidak mengenal putus asa dan keluh kesah dalam hatinya. Selain itu dia juga akan memilki jiwa yang kuat dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kecil maupun besar dalam kehidupannya.
- Khusyu’ membuat seseorang memiliki sifat rendah hati, sebab ia melihat keangungan Allah, dan sifat tawadhu’ karena ia melihat kemegahan-Nya. Sifat-sifat inilah yang harus dimiliki oleh hamba Allah SWT. Seseorang yang meninggalkan tabiatnya dan mengikuti keinginan hawa nafsunya maka akan muncul dalam dirinya sifat sombong atau bahkan sifat yang lebih jelek dari itu. hal ini terjadi karena manusia keluar dari tabi’atnya dengan tidak mengagungkan Allah dan memujinya.
- Shalat merupakan bentuk wasilah mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Adalah menjadi kewajiban seorang muslim untuk tunduk kepada Dzat yang memberikan nikmat dan menyembah kepada-Nya. Salah satu bentuknya adalah dengan melaksanakan shalat. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat berarti ia ingkar terhadap nikmat Tuhan, Dzat yang maha Mulya dan Agung, menyia-nyiakan hak dan kewajiban atasnya, melangggar sumpah (ikrar) untuk beramal kepada-Nya dan ingkar untuk mengakui keutamaan Dzat yang memberi rizki kepadanya.
Zakiah
mengatakan bahwa dengan terlaksananya shalat wajib lima kali sehari semalam
secara sempurna akan bersihlah jiwa dari berbagai dorongan dan keinginan yang
bertentangan dengan ketentuan Allah. Dan kekuatan iman pun dapat mengendalikan
dorongan hawa nafsu yang tidak mengenal aturan, nilai dan sopan santun, bahkan
sering didukung dan didorong-dorong oleh setan yang selalu mencari kesempatan
untuk menghasut manusia berbuat salah.[22]
Keadaan
seperti diatas akan mengangkat jiwa manusia diatas dorongan-dorongan jasmani,
membebaskannya dari belenggu-belenggu hawa nafsu dan menutup pintu syaitan.
Orang yang mendirikan shalat dalam arti serius akan dijauhkan oleh Allah dari
sifat keluh kesah dan kikir seperti yang terdapat pada kebanyakan orang.[23]
[1] Hana Djumhana Bustaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam Menuju
Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 156
[2] Jamal Mahdi Abu al-‘Aza’im,
sebagaimana yang dikutip Utsman Najati, Al-Qur’an
dan… op. Cit., hlm. 307-308
[3] Sebagaimana pernah
dipaparkan Djamaluddin Ancok, bahwa salah satu dampak terapi yang ditimbulkan
dalam shalat adalah terapi “Olah Raga”. Karena dalam shalat dituntut adanya
proses suatu aktivitas fisik. Dimana konsentrasi otot, tekanan dan massage pada
bagian otot tertentu dalam shalat merupakn proses relaksasi, padahal proses
relaksasi atau pelatihan relaksasi (relaxation
training) dalam teori psikologi adalah merupakan salah satu tehnik yang
diakui dalam proses terapi gangguan jiwa. Lihat Djamaludin Ancok, Shalat dan Kesehatan Jiwa, dalam Psikologi Islam, hlm. 98. Bahasan detail
kajian psikologi dalam ibadah shalat dapat dilihat dalam skripsi ini Bab II.
hlm.58
[4] Dalam shalat yang khusyu’
berarti ia sedang mengalami yang oleh Eugare Wolker (1975) disebut dengan
proses meditasi dan dari hal penelitian meditasi membawa pengaruh yang besar
dalam meredam kecemasan jiwa sesorang (Djamaluddin Ancok, op. Cit., hlm. 98-99)
[5] Departemen Agama RI., op. Cit., hlm. 378
[6] Casmini, op. Cit., hlm. 84
[7] Aziz Salim Basyarahl, op.Cit., hlm. 42
[8] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 321
[9] Muhsin Qira’ati, Pancaran Cahaya Shalat, Penj: Faruq bin
Dhiya’ & Musa al-Kazhim (Bandung: Pustaka Hidayah, 1990), hlm. 73
[10] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 7
[11] Aziz Salim Basyyarahil, op. Cit., hlm. 53
[12] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 454
[13] M. Fuad ‘Abdul Baqi, al-Lu’lu’ Wal Marjan, Penj: Salim
Bahreisy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, tt), hlm. 203
[14] Dititurkan oleh Abu
Hurairah r.a. dalam Shahih Muslim, Penj: H. A. Razak &
Rais Lathif (Jakarta: Widjaya, 1957), hlm. 141
[15] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta:
Gunung Agung, 1995), hlm. 15
[16] Abu Al-Wafa’ al-Ghanami
al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, Penj:
A. Rofi ‘Utsman (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 11
[17] Sebagaimana yang
dijelaskan Allah didalam surat al-Baqarah (2) : 1-4.
الم * ذلك الكتب لا ريب فيه هدى للمتقين * الذين يؤ منو ن بالغيب ويقيمو ن
الصلوة ومما رزقنهم ينفقون * والذين يؤ اليك وماانزل من قبلك وبالاخرةهم
يوقنون * منون بماانزل
Ayat ini menegaskan bahwa
orang-orang yang muttaqien (mukmin) ialah mereka yang beriman akan yang ghaib,
yang tidak kelihatan pada pandangan matanya; mendirikan shalat dan mengeluarkan
sebagian hartanya untuk kemaslahatan umat; kemaslahatan masyarakat, yang
dinamai “jalan Allah”. Ayat ini juga
menegaskan mengerjakan shalat dan mengeluarkan harta untuk yang tersebut,
adalah hasil dari dorongan iman akan Allah yang bersemi dalam jiwa . lihatlah susunan
ayat. Allah meletakkan perkataan “dan mendirikan shalat”, sesudah perkataan
“beriman akan yang ghaib”, dan Allah meletakkan perkataan “ dan mengeluarkan
sebagian harta untuk kemaslahatan umat”, sesudah perkataan “mendirikan shalat”.
Susunan ini memberikan pengertian bahwa: iman yang teguh bersemi di lubuk jiwa,
menarik kepada shalat. Shalat yang ditegakkan dengan sempurna, dengan khusyu’
yang menjadi spiritnya (rohnya), membawa kepada rela mengorbankan sebagian
harta untuk kepentingan pergaulan hidup bersama. Selanjutnya lihat Hasbi
Ash-Shiddiqiey, Op. Cit., hlm. 40
[18] Aziz Salim Basyrahl, Shalat; Hikmah, Falsafah dan Urgensinya
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 63
[19] Lihat Bab I, hlm. 15
[20] Casmini, op. Cit., hlm. 84
[21] Misa Abdu, op. Cit., hlm. 21
[22] Zakiah Daradjat, op. C it., hlm. 14
[23] Lihat Q.S. al-Ma’arij
(70): 19-21) yang sudah dikutip oleh penyusun pada Bab II, hlm.42
No comments:
Post a Comment