Sunday, March 27, 2011

TERAPI PSIKOPROBLEM MELALUI SHALAT


TERAPI PSIKOPROBLEM MELALUI SHALAT
(Khoirul Amin)
Selengkapnya Download> DISINI

A.     Shalat Khusyu’ Serta Pengaruhnya dalam Jiwa

Beberapa sebab utama dari terjadinya problem kejiwaan adalah kebencian pada diri sendiri, ketidak mampuan untuk bersabar dalam musibah, kegagalan, kekhawatiran terhadap masa depan, dan khayalan seolah-olah kehidupan ini tidak punya tujuan akhir. Semua sebab tersebut pada dasarnya bersumber pada ketakutan dan kecemasan.
Ketakutan dan kecemasan adalah dua musuh utama bagi problem dan kesehatan jiwa. Tak ada yang lebih berbahaya bagi keseimbangan  jiwa daripada kecemasan terhadap ketidak pastian masa depan. Hanya dengan keimanan manusia tidak akan  terlalu cemas, karena sebenarnya manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi. Masa depan yang akan datang hanya diketahui oleh yang empunya.
Masalah kecemasan (anxiety) dan kegelisahan (rest lessness) merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan gangguan kejiwaan (neurosis). Cemas adalah suatu ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Ia biasanya muncul bila manusia berada dalam suatu keadaan yang ia duga akan merugikan dan ia rasakan akan mengancam dirinya, dimana manusia merasa tidak berdaya menghadapinya karena yang ia cemaskan itu belum terjadi, maka rasa cemas itu sesungguhnya merupakan ketakutan yang ia ciptakan sendiri.[1]
Kecemasan dan kegelisahan yang dapat menyebabkan seseorang menderita neurosis atau masalah kejiwaan adalah karena perasaan tersebut selalu menguasai semua perjalanan hidupnya. Maka menjadikan keadaan jiwa yang tenang dan tentram adalah merupakan terapeutik  yang pokok dan penting.
Najati mengemukakan bahwa keadaan tentram dan jiwa yang tenang akan didapatkan manakala orang dalam keadaan kekhusyu’an menjalankan ibadah shalat, sebagaimana pendapat Abu al-‘Aza’im yang dikutipnya:
“…Dalam shalat manusia berdiri dengan khusyu’ dan tawadhu’ kepada Allah penciptanya dan pencipta seluruh alam semesta. Dengan tubuh yang kecil dan lemah, ia berdiri dihadapan Tuhan YME, yang menguasai segala sesuatu, mengendalikan setiap atom dalam wujud, mengatur segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, yang menentukan kehidupan dan kematian, memberikan rizki, yang  dengan perintah-perintah-Nya segala qodlo, qodlar dan segala sesuatu yang menimpa kita baik kebaikan maupun bencana yang terjadi. Berdirinya manusia dihadapan Allah dengan khusyu’ dan khudu’ akan membekalinya suatu tenaga rohani yang menimbulkan dalam diri perasaan yang tenang, jiwa yang damai, dan kalbu yang tentram. Sebab dalam shalat yang dilakukan dengan semestinya, manusia mengarahkan seluruh jiwa dan raganya  kepada Allah, berpaling dengan semua kesibukan dan problem-problem dunia dan tidak memikirkan sesuatu kecuali Allah dan ayat al-Qur’an yang dibacanya. Keterpalingan penuh dari berbagai persoalan dan problem kehidupan, dan tidak memikirkan selama shalat, dengan sendirinya akan menimbulkan pada diri manusia itu keadaan yang tentram, jiwa yang tenang dan pikiran yang bebas dari beban-beban…”[2]

Jadi jelas disini bahwa seorang yang melakukan shalat dengan benar maka ia menjadi manusia yang tentram dan memiliki jiwa yang tenang, dan manakala sudah tercapai ketentraman dan ketenangan dalam jiwa  maka ia terhindar dari segala permasalahan psikisnya  dan bagi yang memiliki problem kejiwaan dengan melakukan shalat yang benar ia akan menjadi tenang dalam menghadapi problemnya sebagaimana yang dikemukakan oleh  Abu al-‘Aza’im diatas.
Shalat yang dilakukan secara khusyu’ wal khudu’ sebagaimana yang dikemukakan diatas memiliki arti bahwa shalat yang dilakukan dengan membawa konsentrasi batin merendahkan diri dengan cara Rasulullah. Tujuan dari khusyu’ wal khudu’ ini adalah membawa sifat-sifat ketaatan dalam shalat ke dalam kehidupan sehari-hari dan akan mampu memberikan perisai terhadap jiwa manusia.
Dampak yang ditimbulkan dari keadaan tentram dan jiwa santai (tenang) yang dihasilkan dari pelaksanaan shalat dalam kaitannya dengan proses terapi psikoproblem adalah meliputi; (1). Meredam syaraf-syaraf yang timbul akibat berbagai tekanan kehidupan sehari-hari.[3] (2). Dapat membantu melepaskan diri dari keluhan-keluhan yang ditimbulkan karena berulang kalinya seseorang tertimpa persoalan atau situasi yang menimbulkan kegelisahan.[4]
Dari prosesi diulang-ulangnya bebarengan keadaan santai dan ketenangan jiwa yang ditimbulkan shalat dengan berbagai situasi yang menimbulkan kegelisahan (yang ada kalanya dengan menghadapinya secara nyata dalam kehidupan ataupun dengan mengingatnya), pada akhirnya akan membuat terbentuknya ikatan-ikatan kondisional baru antara situasi-situasi tegang dengan respon keadaan santai dan ketenangan yang ditimbulkan shalat (yang merupakan respon yang bertentangan dengan respon kegelisahan)
Terlebih lagi setelah shalat, yang biasanya seseorang masih terus mengucapkan tasbih dan berdoa kepada Allah, ini tetap membantu berlangsungnya keadaan santai dan jiwa tenang untuk beberapa lama. Karena dalam berdo’a sesorang sedang melaksanakan munajat (audensi) dengan Tuhannya, dimana ia menuturkan kepada Tuhannya segala keluhan dan problem yang dideritanya dan yang membuatnya resah gelisah. Allah SWT berfirman dalam surat al-Mu’minun (40): 60
وقال ربكم اد عوني استجب لكم

Arinya: Dan Tuhanmu berfirman, “berdoalah kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan bagimu.”[5]
Sementara dalam keadaan santai dan jiwa yang tenang secara otomatis ia akan terbebas dari kegelisahan-kegelisahan tersebut. Akibatnya, problem itu pun secara bertahap akan kehilangan kekuatannya untuk menimbulkan kegelisahan. Namun sebaliknya akan membuatnya terikat secara kondisional dengan keadaan santai  dan jiwa yang tenang.
Kalau William James mengungkapkan bahwa munculnya kecemasan dan keresahan yang dialami manusia adalah karena kegagalan  dalam mengaktualisasikan potensi-potensi kekuatan yang ada dalam dirinya, maka dengan shalat, disamping akan membebaskan tenaga psikis manusia dan berbagai ikatan kegelisahan, ia akan juga membekali manusia dengan kekuatan rohaniah yang dapat memperbaharui hidupnya, menguatkan keimanannya, serta memberi kekuatan yang luar biasa yang memungkinkan manusia sanggup menanggung berbagai derita dan melaksanakan karya-karya dalam hidupnya. Sebab  orang yang sedang menjalankan shalat, ia sedang dalam kesatuan rohani dengan Tuhannya, serta berada dalam limpahan percikan rohani Tuhannya. Yang kemudian akan menjadi kekuatan bagi manusia dalam mengaktualisasikan potensi-potensi dirinya yang tersembunyi.
Shalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan wajahnya kepada Allah sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu dilakukan secara tekun dan kontinyu, akan menjadi alat pendidikan rohani yang efektif, memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran. Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani dilatih menghadapi Zat Yang Maha Suci, efeknya akan membawa kesucian rohani dan jasmani.[6]
Shalat adalah pelatihan mengekang nafsu syahwat, membersihkan jasmani dan rohani dari sifat-sifat dan perilaku tercela serta dari perbuatan maksiat, keji, dan munkar.[7] Firman Allah dalam surat al-Ankabut (29): 45
اتل مااوحي اليك من الكتب واقم الصلوة ان الصلوة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكرالله اكبر والله يعلم ما تصنعو نَ
Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [8]

Menurut Muhsin[9] disinilah ayat sesungguhnya shalat mencegah  fakhsya’  dan kemungkaran memiliki pengertian yang lebih jelas. Ayat ini hendak mengatakan bahwa melaksanakan kewajiban shalat dapat mencegah kebobrokan dalam masyarakat Islam.
Apabila shalat dilakukan dengan tekun dan benar, seseorang akan maksum dari dosa, bebas dari kesalahan dan pelanggaran apalagi ditunjang oleh kesabaran yang aktif, dan perjuangan yang gigih dan positif, maka akan menjadikan sarana mengatasi kesulitan hidup. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah (2):45
واسْتَعِيْنو ا بالصبر َوالصلوةِ وانها لكبيرة الا على الخشعينَ
Artinya: “Jadikalah shalat dan sabar sebagai penolongmu. Dan yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ ”[10]
Disamping itu juga shalat bisa menimbulkan ketenangan hati dan ketrentraman batin.[11]  Firman Allah dalam surat al-Ma’arij (70): 19-23
ان  الانسا ن  خلق هلوعاً * اذامسه الشرجزوعاً * واذامسه الخير   منوعاً
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpah kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat yang mereka itu tetap dalam shalatnya.” [12]

Ayat diatas memberikan isyarat kepada manusia agar konsisten dalam mengerjakan shalatnya. Sehingga dirasakan benar dampak dari ia melakukan shalat.
Dampak lain yang ditimbulkan shalat dalam kaitannya dengan proses terapeutik adalah terbentuknya jiwa sosial yang sehat, dampak ini secara signifikan terdapat dalam pelaksanaan shalat jama’ah. Anjuran agama Islam untuk sering dan mengutamakan shalat jama’ah disamping shalat sendirian (munfarid) akan lebih memberikan peluang untuk bersosialisasi dengan lingkungannya dimana ia tinggal. Sosialisasi diri dalam jalinan persahabatan ini akan membantu klien dalam mengembangkan kepribadian dan kematangan emosionalnya. Sabda Rasul
تفضل صلاة الجميع صلا ة أحد كم وحده بخمس وعشرين جزءا, وتجتمع ملا ئكة الليل وملا ئكةالنهار فى صلاة الفجر
Artinya: Abuhurairah r.a. berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sembahyang berjamaah lebih afdhal (utama) dari sembahyang sendiri dua puluh lima kali. Dan malaikat malam berkumpul dengan Malaikat siang di waktu shalat subuh. (Bukhari Muslim).[13]

Disamping itu salah satu yang harus diperhatikan dalam segenap prosesi shalat adalah tindakan mengambil air wudlu (berwudlu). Dalam prosesi ini seseorang bukanlah sekedar membersihkan tubuh belaka dari segala kotoran yang melekat padanya, serta dapat membantu mengistirahatkan organ-organ tubuh (fisiologis) dalam fase-fase tertentu dalam kesibukan kerja hariannya, melainkan dengan melaksanakan wudlu yang semestinya, akan membuat seseorang mukmin merasa bahwa diri dan jiwanya menjadi bersih, serta membersihkan dari segala kesalahan-kesalahannya. Sebuah hadits menyebutkan:
اِذاتو ضاالعبدالمسلم او المؤ من فغسل وجهه خرج من وجهه كل خطيئة نظر اليها بعينه مع الماء او مع اًخر قطر الماء فاذاغسل يد يه خرج من يد يه كل خطيئة كان بطشتها يداه مع الماء او مع اخر قطر الماء فاذا غسل رجليه خر جت كل خطيئة مشتها رجلا ه مع الماء او مع اخر قطر الماء حتى يخر ج نقيا من الذ نوب
Artinya: “ Apabila seorang hamba muslim atau mukmin berwudlu, maka ketika ia membasuh mukanya, keluarlah segala kesalahan yang diperbuat kedua matanya dengan tetes terakhir air itu. Kemudian apabila ia membasuh kedua tangannya keluarlah segala kesalahan yang dilakukan keduanya bersama tetes yang terakhir air itu. Selanjutnya apabila ia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah segala kesalahan yang dilakukan keduanya bersama dengan tetes terakhir air itu, hingga ia bersih dari dosa-dosa.”[14]

Perasaan bersihnya tubuh dan jiwa yang selalu ia dapatkan dari wudlu akan mempersiapkan manusia untuk mengadakan hubungan rohani dengan Allah dan menghantarkannya kepada keadaan tubuh dan jiwa yang tenang dalam shalat dan segenap prosesi lainnya, yang akhirnya menjadikan manusia yang benar-benar siap dan mampu mengatasi dan memproteksi diri dari segala problem jiwa.

B.     Implikasi Shalat dalam Terapi Psikoproblem

Setiap manusia memerlukan sesuatu di luar dirinya yang mempunyai kekuatan, kebijaksanaan dan kemampuan yang melebihinya. Karena tidak selamanya manusia mampu menghadapi kesukaran dan keperluan hidupnya sendirian, bahkan juga keperluan kejiwaan, yang akan mempengaruhi kesehatan jiwanya. Sesuatu itu harus selalu ada, disaat apapun ia memerlukannya, terutama ketika menghadapi kesulitan dan kesukaran yang tak terpecahkan. Bagi orang beragama sesuatu adalah keimanan yakni keimanan kepada Allah SWT.[15]
Keimanan (rasa keagamaan) bukanlah perasaan yang hanya bersandar pada formalitas agama, tanpa subtansi, atau sekedar penunaian seruan ajaran yang dimanfaatkan untuk menyatakan kepentingan diri sendiri. rasa keagamaan, sebaliknya ialah pemahaman secara intens dan pengamalan terhadap agama, sehingga terjadi keselarasan dalam menyembah Allah dan hidup bermasyarakat. Dengan begitu agama serta para pemeluknya tidak akan terisolasi dari realitas kehidupan.[16]
Dalam Islam, keimanan merupakan ajaran yang terpenting yang berdiri atas bangunan dua kalimah syahadat. Pernyataan syahadat ini tidak berarti dan berpengaruh apa-apa tanpa adanya penghayatan dan disertai dengan pengamalan nilai-nilai ibadah yang dikandung – dalam hal ini ibadah shalat – dan demikianlah bahwa iman selalu disertai dengan amal.
Buah iman adalah amal. Dan amalan yang pokok dalam ajaran Islam adalah shalat. Didalam al-Qur’an Allah telah menegaskan bahwa shalat adalah suatu rangka pokok iman.[17] Shalat merupakan ibadah terpokok dan terpenting dalam Islam. Shalat menjadi kewajiban setiap muslim, terutama yang sudah baligh atau dewasa. Dan perlu ditekankan disini bahwa shalat mencakup semua rukun Islam.[18] Seorang yang shalat wajib membaca dua kalimat syahadat. Setelah takbiratul ihram seorang yang shalat diharamkan makan dan minum atau mengucapkan apapun, kecuali bacaan yang  sudah disyari’atkan, ini berarti ia berpuasa dari apa yang diharamkan didalam shalat.
Keimanan yang dimanifestasikan dalam bentuk shalat, dimana shalat merupakan satu bentuk ibadah yang didalamnya berisi olah rohani, sebagai penyeimbang olah jasmani. Shalat disini tidak hanya sekedar “dilakukan” tetapi juga harus “didirikan”. Bahasan tentang mendirikan shalat sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya.[19]
Shalat merupakan aktifitas seorang muslim dalam rangka menghadapkan wajahnya kepada Allah sebagai Zat yang Maha Suci. Maka manakala shalat itu dilakukan secara tekun dan kontinyu, akan menjadi alat pendidikan rohani yang efektif, memperbaharui dan memelihara jiwa manusia serta memupuk pertumbuhan kesadaran. Makin banyak shalat itu dilakukan dengan kesadaran dan bukan dengan keterpaksaan, maka semakin banyak pula rohani dilatih menghadapi Zat Yang Maha Suci, efeknya akan membawa kesucian rohani dan jasmani.[20]
Jelas bahwa Islam tidak sekedar memerintahkan manusia untuk “melakukan” shalat tetapi “mendirikan” shalat, yang mengandung pengertian yang dalam, yaitu mengkonsentrasikan pikiran dan perasaan, penyucian roh, jiwa dan badan, serta kekhusyu’an anggota badan. Sebagaimana diungkap juga oleh Abdu[21] bahwa khusyu’ memiliki pengaruh besar dan kuat bagi jiwa seseorang, karena khusyu’ dapat mengantarkan  seseorang kepada hal-hal sebagai berikut:
  1. Menumbuhkan kemampuan untuk berkonsentrasi.
Ketika sesorang akan mengerjakan shalat untuk menghadap Tuhanya, biasanya akan muncul hal-hal lain dalam pikirannya. Maka dia harus berusaha untuk menghilangkan pikiran tersebut supaya dapat hadir ketika mengagungkan dan bermunajat kepada Allah. Cara ini akan membantu terbentuknya daya konsentrasi pada diri seseorang.
  1. Dapat mempengaruhi jiwa seseorang dikala ruhnya berhubungan dengan Tuhan dan menjadi khusyu’ kepada-Nya, sekalipun dalam waktu sebentar. Pengaruh khusyu’ bagi jiwa ini merupakan suatu hal yang pasti terjadi. Karena ruh seseorang yang tidak pernah berkomunikasi terhadap Dzat yang menciptakannya atau bahkan jarang, maka akan muncul dalam dirinya rasa gelisah, tidak qana’ah, cinta dunia, bingung dan lain sebaginya. Tetapi dengan shalat dan bermunajat kepada Allah SWT, seseorang akan dapat berserah diri dan meminta apa saja yang dikehendaki sehingga ia merasa lega  dari perasaan-perasaan yang menyertainya. Selain itu, ia akan mencari kekuatan, rasa qana’ah  dan ridho dengan memohon kepada Allah SWT. Jika mushalli  semakin khusyu’ dan dekat dengan Allah maka semakin bertambah keyakinannya terhadap Allah SWT, sehingga ia tidak mengenal putus asa dan keluh kesah dalam hatinya. Selain itu dia juga akan memilki jiwa yang kuat dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kecil maupun besar dalam kehidupannya.
  2. Khusyu’ membuat seseorang memiliki sifat rendah hati, sebab ia melihat keangungan Allah, dan sifat tawadhu’ karena ia melihat kemegahan-Nya. Sifat-sifat inilah yang harus dimiliki oleh hamba Allah SWT. Seseorang  yang meninggalkan tabiatnya dan mengikuti keinginan hawa nafsunya maka akan muncul dalam dirinya sifat sombong atau bahkan sifat yang lebih jelek dari itu. hal ini terjadi karena manusia keluar dari tabi’atnya dengan tidak mengagungkan Allah dan memujinya.
  3. Shalat merupakan bentuk wasilah mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang tak terhitung jumlahnya. Adalah menjadi kewajiban seorang   muslim untuk tunduk kepada Dzat yang memberikan nikmat dan menyembah kepada-Nya. Salah satu bentuknya adalah dengan melaksanakan shalat. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan shalat berarti ia ingkar terhadap nikmat Tuhan, Dzat yang maha Mulya dan Agung, menyia-nyiakan hak dan kewajiban atasnya, melangggar sumpah (ikrar) untuk beramal kepada-Nya dan ingkar untuk mengakui keutamaan Dzat yang memberi rizki kepadanya.
Zakiah mengatakan bahwa dengan terlaksananya shalat wajib lima kali sehari semalam secara sempurna akan bersihlah jiwa dari berbagai dorongan dan keinginan yang bertentangan dengan ketentuan Allah. Dan kekuatan iman pun dapat mengendalikan dorongan hawa nafsu yang tidak mengenal aturan, nilai dan sopan santun, bahkan sering didukung dan didorong-dorong oleh setan yang selalu mencari kesempatan untuk menghasut manusia berbuat salah.[22]
Keadaan seperti diatas akan mengangkat jiwa manusia diatas dorongan-dorongan jasmani, membebaskannya dari belenggu-belenggu hawa nafsu dan menutup pintu syaitan. Orang yang mendirikan shalat dalam arti serius akan dijauhkan oleh Allah dari sifat keluh kesah dan kikir seperti yang terdapat pada kebanyakan orang.[23]


[1] Hana Djumhana Bustaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam Menuju Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 156
[2] Jamal Mahdi Abu al-‘Aza’im, sebagaimana yang dikutip Utsman Najati, Al-Qur’an dan… op. Cit., hlm. 307-308

[3] Sebagaimana pernah dipaparkan Djamaluddin Ancok, bahwa salah satu dampak terapi yang ditimbulkan dalam shalat adalah terapi “Olah Raga”. Karena dalam shalat dituntut adanya proses suatu aktivitas fisik. Dimana konsentrasi otot, tekanan dan massage pada bagian otot tertentu dalam shalat merupakn proses relaksasi, padahal proses relaksasi atau pelatihan relaksasi (relaxation training) dalam teori psikologi adalah merupakan salah satu tehnik yang diakui dalam proses terapi gangguan jiwa. Lihat Djamaludin Ancok, Shalat dan Kesehatan Jiwa, dalam Psikologi Islam, hlm. 98. Bahasan detail kajian psikologi dalam ibadah shalat dapat dilihat dalam skripsi ini Bab II. hlm.58
[4] Dalam shalat yang khusyu’ berarti ia sedang mengalami yang oleh Eugare Wolker (1975) disebut dengan proses meditasi dan dari hal penelitian meditasi membawa pengaruh yang besar dalam meredam kecemasan jiwa sesorang (Djamaluddin Ancok, op. Cit., hlm. 98-99)
[5] Departemen Agama RI., op. Cit., hlm. 378
[6] Casmini, op. Cit., hlm. 84
[7] Aziz Salim Basyarahl, op.Cit., hlm. 42
[8] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 321
[9] Muhsin Qira’ati, Pancaran Cahaya Shalat, Penj: Faruq bin Dhiya’ & Musa al-Kazhim (Bandung: Pustaka Hidayah, 1990), hlm. 73
[10] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 7
[11] Aziz Salim Basyyarahil, op. Cit., hlm. 53

[12] Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 454
[13] M. Fuad ‘Abdul Baqi, al-Lu’lu’ Wal Marjan, Penj: Salim Bahreisy (Surabaya: PT. Bina Ilmu, tt), hlm. 203
[14] Dititurkan oleh Abu Hurairah r.a. dalam  Shahih Muslim, Penj: H. A. Razak & Rais Lathif (Jakarta: Widjaya, 1957), hlm. 141
[15] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1995), hlm. 15

[16] Abu Al-Wafa’ al-Ghanami al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, Penj: A. Rofi ‘Utsman (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 11
[17] Sebagaimana yang dijelaskan Allah didalam surat al-Baqarah (2) : 1-4.
الم * ذلك الكتب لا ريب فيه هدى للمتقين * الذين يؤ منو ن بالغيب ويقيمو ن الصلوة ومما رزقنهم ينفقون * والذين يؤ اليك وماانزل من قبلك وبالاخرةهم يوقنون *  منون بماانزل
Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang muttaqien (mukmin) ialah mereka yang beriman akan yang ghaib, yang tidak kelihatan pada pandangan matanya; mendirikan shalat dan mengeluarkan sebagian hartanya untuk kemaslahatan umat; kemaslahatan masyarakat, yang dinamai “jalan Allah”.  Ayat ini juga menegaskan mengerjakan shalat dan mengeluarkan harta untuk yang tersebut, adalah hasil dari dorongan iman akan Allah yang bersemi dalam jiwa . lihatlah susunan ayat. Allah meletakkan perkataan “dan mendirikan shalat”, sesudah perkataan “beriman akan yang ghaib”, dan Allah meletakkan perkataan “ dan mengeluarkan sebagian harta untuk kemaslahatan umat”, sesudah perkataan “mendirikan shalat”. Susunan ini memberikan pengertian bahwa: iman yang teguh bersemi di lubuk jiwa, menarik kepada shalat. Shalat yang ditegakkan dengan sempurna, dengan khusyu’ yang menjadi spiritnya (rohnya), membawa kepada rela mengorbankan sebagian harta untuk kepentingan pergaulan hidup bersama. Selanjutnya lihat Hasbi Ash-Shiddiqiey, Op. Cit., hlm. 40
[18] Aziz Salim Basyrahl, Shalat; Hikmah, Falsafah dan Urgensinya (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 63
[19] Lihat Bab I, hlm. 15

[20] Casmini, op. Cit., hlm. 84
[21] Misa Abdu, op. Cit., hlm. 21
[22] Zakiah Daradjat, op. C it., hlm. 14
[23] Lihat Q.S. al-Ma’arij (70): 19-21) yang sudah dikutip oleh penyusun pada Bab II, hlm.42

No comments: