JILBAB DALAM LINTASAN SEJARAH ISLAM
Selengkapnya Click DISINI
- Pengertian dan Sejarah Jilbab
Jilbab atau hijab
merupakan bentuk peradaban yang sudah dikenal beratus-ratus tahun sebelum
datangnya Islam. Ia memiliki bentuk yang sangat beragam. Hijab bagi
masyarakat Yunani memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat Romawi.
Demikian pula halnya dengan hijab pada masyarakat Arab pra-Islam. Ketiga
masyarakat tersebut pernah mangalami masa keemasan dalam peradaban jauh sebelum
datangnya Islam. Hal ini sekaligus mamatahkan anggapan yang menyatakan, bahwa hijab
hanya dikenal dalam tradisi Islam dan hanya dikenakan oleh wanita-wanita
muslimah saja. Dalam masyarakat Yunani, sudah menjadi tradisi bagi
wanita-wanitanya untuk menutup wajahnya dengan ujung selendangnya, atau dengan
mengunakan hijab khusus yang terbuat dari bahan tertentu, tipis dan
bentuknya sangat baik.[1]
Peradaban Yunani
tersebut kemudian ditiru oleh bangsa-bangsa disekitarnya. Namun, akhirnya
peradaban tersebut mengalami kemerosotan dan kemunduran karena kaum wanitanya
dibiarkan bebas dan boleh melakukan apapun, termasuk pekerjaan yang dilakukan
oleh laki-laki. Sementara itu dalam masyarakat Romawi, seperti diungkapkan
Farid Wajdi, kaum wanita sangat memperhatikan hijab mereka dan tidak
keluar rumah kecuali dengan wajah tertutup. Bahkan mereka masih berselendang
panjang yang menjulur menutupi kepala sampai ujung kaki.[2]
Peradaban-peradaban
silam yang mewajibkan pengenaan hijab bagi wanita tidak bermaksud
menjatuhkan kemanusiaannya dan merendahkan martabatnya. Akan tetapi, semata
untuk menghormati dan memuliakannya, agar nilai-nilai dan norma-norma sosial
dan agama mereka tidak runtuh. Selain itu juga untuk menjaga peradaban dan
kerajaan mereka agar tidak runtuh.
Gereja-gereja
terdahulu dan biarawati-biarawatinya yang bercadar dan berkerudung memakai
kebaya panjang, menutupi seluruh tubuhnya sehingga jauh dari kekejian dan
kejahatan.[3]
Dalam masyarakat Arab
pra-Islam, hijab bukanlah hal baru bagi mereka. Biasanya, anak wanita
yang sudah mulai menginjak usia dewasa, mengenakan hijab sebagai tanda
bahwa mereka minta untuk segera dinikahkan. Di samping itu bagi mereka, hijab
merupakan ciri khas yang membedakan antara wanita merdeka dan para budak atau
hamba sahaya. Dalam syair-syair mereka, banyak dijumpai istilah-istilah khusus
yang kesemuanya mengandung arti yang relatif sama dengan hijab. Di
antara istilah-istilah yang sering mereka gunakan adalah niqab, khimar,
qina', khaba, dan khadr.[4]
Ada lagi
bentuk-bentuk hijab yang lain seperti sarung, selimut, baju besi dan
jilbab. Bangsa Arab pra-Islam mewajibkan wanitanya berhijab. Mereka
menganggapnya sebagai tradisi yang harus dilakukan. Dan ketika Islam datang, ia
mensyahkan tradisi tersebut.
Hijab berasal dari kata dasar h-j-b, bentuk kata
kerjanya hajaba yang diterjemahkan dengan "menyelubungi,
memisahkan, menabiri, menyembunyikan, dan menutupi". Hijab
diterjemahkan dengan ”penutup, selubung, tirai, tabir, pemisah". Merujuk
pada Ibn Manzur dalam Lisan al-'Arab, hijab berarti as-Satr
(sekat, pembatas, penutup). Hijab menurutnya adalah nama sesuatu yang
dipakai untuk menutupi atau memisahkan antara dua hal.[5]
Allah
berfirman:
و من بيننا
و بينك حجاب
Hijab yang bentuk jamaknya al-hujub menurut istilah
adalah sesuai dengan pemaknaan di dalam segi bahasanya. Yang dimaksudkan ialah
sekat yag menjadi pembatas antara
laki-laki dan perempuan untuk menghindari terjadinya fitnah.[6]
Sedangkan jilbab kata jalaba
berarti mengalihkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Sedangkan
jilbab menurut Ibn Manzur adalah pakaian panjang yang lebih lebar dari khimar
(kerudung), bukan selendang dan bukan pula selimut kain besar, yang menutupi
kepala, punggung, dada, dan seluruhnya dengan jilbab tersebut.[7]
Jilbab juga diartikan sebagai pakaian yang dipakai wanita untuk menutupi
kepala, punggung dan dada.[8]
Merujuk pada istilah
terebut di atas, pada dasarnya antara hijab dan jilbab memiliki arti
yang sama, yaitu bahwa keduanya merupakan pakaian wanita yang menutup bagian
tubuh sehingga tidak terlihat. Jadi, jilbab yang dimaksud di dalam penelitian
ini adalah jilbab yang secara umum dimaknai sebagai baju kurung yang longgar
disertai kerudung yang menutup bagian kepala, punggung dan dada perempuan.
Ibn Khaldun
menggunakan kata hijab dengan pergertian tabir dan keterpisahan bukan
penutup.[9]
Sedangkan kata jilbab yang jamaknya jala>bi>b ialah pakaian yang menutup
seluruh tubuh dari kepala sampai kaki atau menutupi sebagian besar tubuhnya
dipakai di bagian luar sekali seperti halnya baju hujan.[10]
Dalam al-Qur'an,
kata-kata hijab terdapat di delapan
tempat (QS 7:46, 35:53, 38:32, 41:5, 17:45, 19:17, 83:15)[11]
yang pada umumnya memiliki arti sebagai pemisah seperti tirai dan tabir.
Sebagaimana dalam ayat berikut, hijab menunjukkan tabir tempat Maryam
mengasingkan diri dari orang-orang sekitarnya.
فاتخذ من دونهم حجابا فأرسلنا إليهم روحنا
فتمثل لها بشرا سويا[12]
Istilah hijab
juga merujuk pada tabir yang dibentangkan dirumah Rasulullah dan digunakan
pertama kali untuk memisahkan antara istri-istri beliau dengan laki-laki yang
bukan muhrimnya. Hal ini tercatat dalam ayat berikut:
وإذا سألتموهن متاعا فسألوهن من وراء حجاب
[13]
Dalam bidang fiqh,
salah satu pengertian hijab adalah segala sesuatu yang menghalagi atau
menutupi aurat perempuan dari pandangan mata,[14]
sehingga perempuan yang berhijab disebut Mahjubah. Hal tersebut
berkaitan dengan surat an-Nur ayat 31 dan surat al-Ahzab ayat 59 tentang
keharusan bagi mukminat untuk menutup auratnya dari laki-laki yang bukan
muhrimnya dengan memakai pakaian yang sering disebut dengan terminologi jilbab.
Al-Albani kemudian memandang bahwa jilbab merupakan bagian dari hijab.[15]
Abu 'Abdullah
al-Qurtubi memberikan pengertian bahwa jilbab adalah baju kurung longgar atau
lebar dan lebih lebar dari selendang atau kerudung.[16]
Dan di dalam kamus al-Munawwir dijelaskan juga bahwa jilbab adalah baju kurung
panjang sejenis jubah panjang.[17]
Dengan merujuk pada
kata hijab yang terdapat dalam surat al-Ahzab ayat 53, Abu Syuqqah
berpendapat bahwa ada dua bentuk hijab yaitu tirai (tabir) yang ada di
dalam rumah Rasulullah untuk membatasi atau memisahkan antara istri-istri
beliau ketika berbicara dengan laki-laki yang bukan muhrimnya dan pakaian yang
dikenakan oleh istri-istri beliau untuk menutupi seluruh tubuhnya termasuk
wajah ketika mereka keluar rumah.[18]
Menurut Fatima
Marnissi, konsep hijab mengandung tiga dimensi yang ketiganya saling
memiliki keterikatan. Dimensi pertama adalah dimensi visual yakni suatu dimensi
yang punya pengertian untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan orang. Sesuai
dengan akar kata hijab yang berarti menyembunyikan. Dimensi kedua adalah
bersifat ruang yang berarti untuk memisahkan, untuk membuat batas dan untuk
mendirikan pintu gerbang. Dimensi ketiga adalah sebagai bagian dari etika yang
berkaitan dengan persoalan larangan.[19]
Dan jilbab merupakan
fenomena simbolik yang sarat makna. Di Indonesia jilbab pernah mencuat
kepermukaan pada tahun 1980-an, karena dikesankan sebagai suatu identitas untuk
komunitas yang punya idiologi tertentu.
Jika yang dimaksud
jilbab sebagai penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah
menjadi wacana dalam code Bilalama (3000 SM) kemudian berlanjut dalam code
Hamurabi (2000 SM) dan code Asyiria (1500 SM).[20]
Pada waktu ada debat tentang jilbab di Prancis tahun 1989, Maxime Radison,
seorang ahli Islamologi terkemuka dari Prancis mengingatkan bahwa di Asyiria
ada larangan berjilbab bagi wanita tuna susila. Dua abad sebelum masehi,
Tertullen, seorang penulis Kristen apologetik, menyerukan agar semua wanita
berjilbab atas nama kebenaran.[21]
Penggunaan jilbab
pertama kali, menurut kalangan antropologis bukan berawal dari perintah dan
ajaran kitab suci, tapi dari suatu kepercayaan yang beranggapan bahwa si mata
iblis (the evil eye) harus dicegah dalam melakukan aksi jahatnya dengan
cara mengenakan cadar. Penggunaan jilbab dikenal sebagai pakaian yang digunakan
oleh perempuan yang sedang mengalami menstruasi guna menutupi pancaran mata
dari cahaya matahari dan sinar bulan. Pancaran mata tersebut diyakini sangat
berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan di dalam lingkungan alam dan manusia.
Penggunaan kerudung yang semula dimaksudkan sebagai pengganti gubuk pengasingan
bagi keluarga raja atau bangsawaan. Keluarga raja tersebut tidak lagi harus
mengasingkan diri ketika ketika menstruasi di dalam gubuk pengasingan yang
dibuat khusus, tapi cukup dengan memakai pakaian khusus yang dapat menutupi
anggota badannya yang dianggap sensitif. Dan dahulu perempuan yang mengenakan
jilbab jelas dari keluarga terhormat dan bangsawan.[22]
Modifikasi menstrual
hut menjadi cadar (menstrual hoot) juga dilakukan di New Genuine, British Columbia, Asia
dan Afrika bagian tengah, Amerika bagian tengah dan lainnya. Selain menggunakan
cadar, perempuan haid juga menggunakan zat pewarna (cilla') pada daerah
sekitar mata guna mengurangi ketajaman pandangan mata. Ada lagi yang menambahkan dengan memakai
kalung dan bahan tertentu seperti dari logam, manik-manik dan bahan dari
tengkorak manusia.[23]
Nasiruddin juga
mamaparkan, bahwa masyarakat tradisional dahulu kala telah muncul perdebatan yang seru tentang jilbab.
Apakah boleh wanita yang bukan bangsawan mengenakan jilbab sebagai pengganti
pengasingannya di gubuk menstruasi. Agama Yahudi, Kristen, dan agama
kepercayaan sebelum Islam juga telah mewajibkan jilbab bagi para wanita, yang
jelas tradisi berjilbab, kerudung, dan cadar telah ada jauh sebelum ayat-ayat
mengenai hijab diturunkan.[24]
Hanya saja diskursus jilbab dalam Islam berbeda dengan agama dan kepercayaan
sebelumnya. Sebagaimana halnya ayat-ayat haid, ayat-ayat hijab dalam surat al Ahzab: 59 dan
an-Nur: 31 tidak berbicara dalam konteks teologi, dalam arti dikaitkan dengan
asal-asul darah sakral menstrual taboo, sebagaimana dalam agama Yahudi dan
Kristen serta kepercayaan animisme.
Ketentuan penggunaan
jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua,
seperti Mesopotamia, Babylonia dan Asyiria.
Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya budak
perempuan dilarang mengenakannya. Dalam perkembangan selanjutnya, jilbab
menjadi simbol kelas menengah atas masyarakat kawasan tersebut.
Ketika terjadi perang
antara Romawi-Bizantium dengan Persia,
rute perdagangan antara pulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat
buruk wilayah perperangan,. Kota
di tepi pesisir jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai wilayah transit
perdagangan.[25]
Institusionalisasi
jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan
dengan peradaban Hellenisme dan Persia
di kedua kota
penting tersebut. Peda periode ini, jilbab yang hanya merupakan pakaian pilihan
(accasional costume) mendapat legitimasi (institusionalized)
menjadi pakaian wajib bagi perempuan Islam.[26]
B. Latar Belakang
Turun Ayat Jilbab
Berkaitan dengan
diperintahkannya jilbab, para ahli tafsir menyatakan bahwa kaum wanita pada
zaman pra-Islam dulu biasa berjalan di depan kaum laki-laki dengan leher dan
dada terbuka serta lengan telanjang. Mereka biasa meletakkan kerudung mereka di
belakang pundak dengan membiarkan dadanya terbuka. Hal ini acapkali
mendatangkan keinginan dari kaum laki-laki untuk menggodanya, karena mereka
terkesima dengan keindahan tubuh dan rambutnya. Kemudian Allah memerintahkan
kepada wanita untuk menutupkan kain kerudungnya pada bagian yang biasa mereka
perlihatkan, untuk menjaga diri mereka dari kejahatan laki-laki hidung belang.[27]
Di jazirah Arab pada
zaman dahulu bahkan sampai kedatangan Islam, para laki-laki dan perempuan
berkumpul dan bercampur-baur tanpa
halangan. Para wanita pada waktu itu juga
mengenakan kerudung, tapi yang dikerudungi hanya terbatas pada bagian belakang
saja, adapun leher, dada, dan kalungnya masih kelihatan. Oleh karena tingkahnya
tersebut dapat mendatangkan fitnah dan dapat menimbulkan kerusakan yang banyak,
dan dari hal itulah Allah lalu menurunkan peraturan sebagaimana terdapat dalam surat an-Nur: 31 dan
al-Ahzab: 59.[28]
M. Quraisy Shihab
menyatakan, bahwa wanita-wanita muslim pada awal Islam di Madinah memakai
pakaian yang sama secara general dipakai oleh semua wanita, termasuk wanita
tuna susila dan hamba sahaya. Mereka semua juga memakai kerudung, bahkan
jilbab, tapi leher dan dadanya mudah terlihat dan tak jarang juga mereka
memakai kerudung tapi ujungnya dikebelakangkan hingga leher telinga dan dada
mereka terus terbuka. Keadaan inilah yang digunakan oleh orang-orang munafik
untuk mengoda wanita muslimah. Dan ketika mereka diingatkan atas perlakuan yang
mereka perbuat mereka mengatakan "kami kira mereka hamba sahaya". Hal
ini disebabkan oleh karena pada saat itu identitas wanita muslimah tidak
terlihat dengan jelas, dan dalam keadaan inilah Allah memerintahkan kepada
wanita muslimah untuk mengenakan jilbabnya sesuai dengan petunjuk Allah kepada
Nabi saw dalam surat al-Ahzab: 59.[29][30]
Menurut pendapat yang
lain, ayat-ayat hijab turun secara bertahap. Pertama kali Allah
memperingatkan kepada istri-istri Nabi saw, supaya tidak berbuat dan berprilaku
seperti wanita kebanyakan ketika itu. Firman Allah dalam ayat berikut:
يا نساء النبي لستن كأحد من النساء إن اتقيتن فلا تخضعن بالقول فيطمع
الذي في قلبه مرض و قلن قولا معروفا [31]
Kemudian Allah
berfirman dalam ayat berikut:
وقرن في بيوتكن و لا تبرجن تبرج الجاهلية
الأولى [32]
وإذا سألتموهن متاعا �-family: Verdana;">Setelah Allah
memerintahkan kepada istri-istri Nabi saw, Allah meneruskan dengan satu
larangan supaya tidak berhadapan langsung dengan laki-laki yang bukan mahram,
sebagaimana firman-Nya :�اسألوهن من وراء
حجاب ذالكم أطهر لقلوبكم وقلوبهن [33]
Selanjutnya
istri-istri Nabi saw juga perlu keluar rumah untuk menunaikan hajatnya, maka
Allah memerintahkan mereka untuk menutup aurat apabila hendak keluar rumah.
Firman-Nya :
يأيها النبي قل لأزوجك و بناتك و نساء المؤمنين
يدنين عليهن من جلابيبهن ذالك أدني أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما [34]
Dan menurut satu
pendapat bahwa penetapan syari'at tentang pemakaian jilbab ini bertahap,
ketententuannya turun secara berangsur-angsur sehingga manusia tidak dikejutkan
dengan perubahan ketentuan dalam masalah aurat. Yang pertama, dalam surat al-A'raf ayat 26
dijelaskan bahwa Allah telah menurunkan (menyediakan) pakaian bagi manusia
untuk menutup auratnya. Kedua, dalam surat
an-Nur ayat 30, Allah memberi petunjuk agar kaum mukminin menahan diri dari
untuk tidak melihat wanita yang bukan mahramnya dan memelihara kemaluannya
(naluri seks). Sebaliknya pada surat
an-Nur ayat 31, para mukminat juga diperintahkan agar tidak memandang kepada
laki-laki dan menjaga kemaluannya. Bahkan dalam kelanjutan ayat ini para wanita
juga dianjurkan untuk tidak menampakkan perhisannya selain apa yang biasa
nampak kecuali kepada laki-laki mahramnya. Ketiga, pada surat al-Ahzab ayat 33, Allah menganjurkan
kepada istri-istri Nabi agar tetap di rumah dan tidak berhias seperti
orang-oarng jahiliyah yang cenderung mempertontonkan perhiasannya/ tubuhnya.
Maksud dari larangan ini adalah untuk menghilangkan dosa dari keluarga
Rasulullah. Keempat, dalam surat
al-Ahzab ayat 59, Allah dengan tegas memerintahkan kepada Nabi agar mengatakan
kepada istri-istrinya, anak-anaknya dan perempuan mukminat agar mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya. Dalam ayat ini juga menjelaskan
tujuan dari perintah-Nya tersebut, yaitu (a) supaya mereka lebih mudah dikenal
sebagai perempuan baik-baik, merdeka dan telah berkeluarga, (b) supaya mereka
tidak diganggu, disakiti, atau diperlakukan tidak senonoh oleh laki-laki, untuk
membendung terjadinya perbuatan yang diharamkan.[35]
Dengan hal ini dapat
diketahui bahwa jilbab bukanlah milik Islam tapi ia merupakan warisan dari
masa-masa sebelumnya yang kemudian mendapat legitimasi keagamaan dalam ajaran
Islam.
C.
Wacana Jilbab dalam Islam
Ada
dua istilah yang digunakan dalam al-Quran yang digunakan untuk penutup kepala
yaitu khumur dan jalabib, keduanya dalam bentuk jamak dan generik. Kata khumur
(QS an-Nur: 31) bentuk jamak dari kata khimar dan jalabib (QS
al-Ahzab: 59) bentuk jamak dari kata jilbab.
Al-Qur'an dan al-Hadis tidak pernah secara khusus menyinggung
bentuk pakaian penutup muka. Bahkan, dalam al-hadis, muka termasuk dalam
pengecualian dan dalam suasana ihram tidak boleh ditutupi. Lagi pula, ayat-ayat
yang berbicara tentang penutup kepala tidak satu pun disangkutpautkan dengan
unsur mitologi dan strata sosial. Dua ayat tersebut di atas merupakan tanggapan
terhadap kejadian khusus yang terjadi pada masa Nabi. Penerapan ayat seperti
ini menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama usul fiqh, apakah yang
dijadikan pengangan, apakah lafaznya yang bersifat umum ataukah sebab turunnya
yang bersifat khusus.
Dua ayat tersebut dalam konteks keamanan dan kenyamanan kaum
perempuan. Bandingkan dengan tradisi chador dalam tradisi Sasania-Persia,
dianggap sebagai pengganti kemah menstrual (menstrual hut), tempat pengasingan
perempuan menstruasi di luar perkampungan. Sedangkan dalam tradisi Yunani,
jilbab dianggap sebagai indentitas kelas sosial tertentu.
Ayat khimar turun untuk menanggapi model pakaian perempuan
yang ketika itu menggunakan penutup kepala (muqani'), tetapi tidak menjangkau
bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan. Menurut Muhammad
Sa'id al-'Asymawi, Surat al-Nur 24:31 turun untuk memberikan pembedaan antara
perempuan mukmin dan perempuan selainnya, tidak dimaksudkan untuk menjadi
format abadi (uridu fihi wadl' al-tamyiz, wa laisa hukman muabbadan).
Ayat jilbab juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat
yang bermaksud membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan
jilbab, maka datanglah laki-laki iseng mengganggu karena dikira budak.
Peristiwa ini menjadi sebab turunnya surat al-Ahzab 33:33. Menurut
Al-'Asymawi dan Muhammad Syahrur, terkait dengan alasan dan motivasi tertentu
(illat); karenanya berlaku kaidah: Suatu hukum terkait dengan illat, di mana
ada illat di situ ada hukum. Jika illat berubah, maka hukum pun berubah.
Ayat hijab, sangat terkait dengan keterbatasan tempat
tinggal Nabi bersama beberapa istrinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang
berkepentingan dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan (perlu diingat, ayat hijab ini turun setelah kejadian tuduhan
palsu hadis al-ifk terhadap 'Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab:
hijab) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi, tidak lama
kemudian turunlah ayat hijab.
Sedangkan,
hadis yang berhubungan langsung dengan penggunaan jilbab hanya ditemukan
dalam dua hadis ahad, hadis yang diriwayatkan perorangan, bukan
secara kolektif dan massif (masyhur atau mutawatir). Hadis pertama
bersumber dari Aisyah, Rasulullah bersabda, "Tidak diperkenankan seorang
perempuan yang beriman kepada Allah dan Rasulnya jika sudah sampai usia balig
menampakkan (anggota badannya) selain muka dan kedua tangannya sampai di
sini," sambil menunjukkan setengah hasta.
Hadis kedua dari Abu Daud yang diterima dari Aisyah, yang
menceritakan ketika Asma binti Abi Bakr masuk ke rumah kediaman Rasulullah SAW,
lalu Rasulullah mengatakan kepadanya, "Wahai Asma, sesungguhnya perempuan
jika sampai usia balig, tidak boleh dipandang kecuali yang ini," sambil
Rasulullah menunjukkan wajah dan telapak tangannya.
Menurut al-'Asymawi, kedua hadis tersebut termasuk hadis
ahad, bukan mutawatir atau masyhur. Berdasar dengan hadis ahad
memang kontroversial di kalangan ulama Usul Fiqh. Salah satu hadis
tersebut di-mursal-kan (jaringan penutur terputus sampai pada tabaqat sahabat)
oleh Abu Daud, karena bersumber dari Khalid ibn Darik yang bukan hanya tidak
berjumpa (mu'asarah) tetapi juga tidak ketemu (liqa') dengan Aisyah.[36] Di samping itu, hadits
ini mulai populer pada abad ketiga Hijriah., dipopulerkan oleh Kha>lid ibn
Darik, yang kemudian dimonumentalkan dalam Sunan Abu Daud. Kalau sekiranya
hadis ini direpresentasikan pada umat Islam, maka sejak awal jilbab menjadi
tradisi kolektif keseharian (sunnah mutawatirah bi al-fi'l), bukannya dengan kualifikasi
hadis ahad-mursal. Tradisi jilbab di kalangan sahabat dan
tabi'in, menurut al-'Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada
keharusan agama.
Muhammad
Syahrur dalam bukunya Al-Kitab wa al-Qur'an juga pernah menyatakan hijab
hanya termasuk dalam urusan harga diri, bukan urusan halal atau haram.[37]
Pada awal abad ke-19 Qasim Amin dalam Tahrir al-Mar'ah sudah mempersoalkan hal
ini. Namun perlu ditegaskan, meskipun pemikir itu berpandangan kritis terhadap
jilbab, tetapi mereka tetap mengidealkan penggunaan jilbab bagi perempuan. Inti
wacana mereka adalah bagaimana jilbab tidak membungkus kreativitas dan
produktivitas perempuan, bukannya melarang atau menganjurkan pembukaan jilbab.
Ketika gerakan para
mullah mulai marak di Iran pada tahun 1970-an dan mencapai puncaknya ketika
Imam Khomeini berhasil menggusur Reza Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek
dunia Barat di Timur Tengah, maka Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam
terhadap boneka Barat. Simbol-simbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini
dan komunitas Black Veil menjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh
dunia. Semenjak itu jilbab mulai menghiasi kampus dunia Islam, tidak terkecuali
Indonesia. Identitas jilbab seolah sebagai lambang kemenangan.
Perkembangan
berikutnya, ketika perang dingin blok Timur dan blok Barat usai berbarengan
dengan semakin pesatnya kekuatan pengaruh globalisasi, maka timbul kecemasan
lebih kompleks dari kalangan umat Islam. Islam dan berbagai pranatanya
berhadapan langsung dengan dunia Barat. Apa yang dilukiskan Huntington benturan
Barat-Islam akan terjadi pada pasca benturan Timur-Barat, menunjukkan adanya
tanda kebenaran, terutama setelah peristiwa 11 September 2001.
Sebagian umat Islam
percaya bahwa untuk mengembalikan kekuatan Islam seperti zaman kejayaan dulu,
umat Islam harus kembali kepada formalisme keagamaan dan sejarah masa
lampaunya. Semangat mengembalikan simbol dan identitas Islam masa lalu terus
dipompakan, termasuk di antaranya penggunaan jilbab bagi kaum perempuan dan
pemeliharaan kumis dan jenggot bagi laki-laki.
Kadar
proteksi dan ideologi di balik fenomena jilbab di Indonesia tidak terlalu
menonjol. Fenomena yang lebih menonjol ialah jilbab sebagai tren, mode, dan
privacy sebagai akumulasi pembengkakan kualitas pendidikan agama dan dakwah di
dalam masyarakat. Lagi pula, bukankah salah satu ciri budaya bangsa dalam
potret perempuan masa lalu adalah kerudung? Tidak perlu over estimate atau
fobia bahwa fenomena jilbab merupakan bagian dari jaringan ideologi tertentu
yang menakutkan. Jilbab tidak perlu dikesankan seperti "imigran
gelap" yang selalu dimata-matai, seperti yang pernah terjadi pada masa
lalu yaitu fenomena jilbab dicurigai sebagai bagian dari ekspor Revolusi Iran.
Sepanjang fenomena jilbab tumbuh di atas kesadaran sebagai sebuah pilihan dan
sebagai ekspresi pencarian jati diri seorang perempuan muslimah, tidak ada
unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah saja. Tidakkah manusiawi jika seseorang
menentukan pilihannya secara sadar?
Pada masa
sekarang, jilbab yang dicitrakan sebagai sebuah indentitas muslimah yang baik
mengalami semacam distorsi yang bergeser dari aturan yang melingkupinya. Kaidah
atau aturan berbusana semakin jauh dari etika islam. Jilbab yang semula
merupakan hal yang boleh dikatakan harus, sekarang berubah menjadi semacam
aksesoris pelengkap yang mendukung penampilan para wanita islam. Hal ini
mengkhawatirkan. Berkaitan dengan latar belakang turunnya ayat jilbab yang
meluruskan tradisi jilbab wanita pra-Islam yang melilitkan jilbabnya
kepunggungnya, agar dijumbaikan ke depan dadanya, agar tidak memancing
laki-laki iseng mengganggu, karena menganggap mereka adalah budak. Namun hal
ini kembali terjadi pada masa belakangan ini. Berapa banyak kita menyaksikan
para muslimah yang memakai jilbab dengan mencontoh kembali cara berjilbabnya
wanita jahiliyyah. Seakan-akan dengan telah memakai jilbab dengan seadanya
mereka telah memenuhi kewajiban mereka menutup aurat. Jilbab yang berkembang
belakangan disebut dengan kudung gaul atau kudung gaya selebritis. Islam secara
spesifik memang tidak menentukan bentuk dari busana muslimah, namun yang jelas
menetapkan kaidah yang jelas untuk sebuah busana agar disebut sebagai busana
muslimah.
Syarat-syarat busana
muslimah menurut Al Albani adalah: (1) Busana yang meliputi seluruh badan
selain yang dikecualikan (muka dan telapak tangan). (2) Busana (jilbab) yang
tidak merupakan bentuk perhiasan kecantikan. (3). Merupakan busana rangkap dan
tidak tipis. (4) Lebar dan tidak sempit, sehingga tampak bagian dari bentuk
tubuh. (5) Tidak berbau wangi-wangian dan tidak tipis. (6) Tidak menyerupai
busana laki-laki. (7) Tidak menyerupai busana wanita-wanita kafir. (8) Tidak
merupakan pakaian yang menyolok mata atau aneh dan menarik perhatian.[38]
Sedangkan menurut H. RAy Sitoresmi Prabu Ningrat, jilbab
lebih merupakan produk sejarah, karena ajaran Islam sendiri tidak memberikan
corak atau model pakaian secara rinci. Karena ia lebih merupakan mode, maka
bisa berbeda atara daerah satu dengan daerah lainnya. Dan lagi menurutnya
berdasarkan dari ajaran Islam yang terkandung dalam surat al-A'raf ayat 26, al-Ahzab
ayat 59 dan an-Nur ayat 31 diketahui bahwa esensi dari pakaian yang bernafaskan
taqwa bagi wanita mukminah mengandung unsur sebagai berikut, (a) menjauhkan
wanita dari gangguan laki-laki jahat dan nakal, (b) menjadi pembeda antara
wanita yang berakhlaq terpuji dengan wanita yang berakhlaq tercela, (c)
menghindari timbulnya fitnah seksual bagi kaum laki-laki dan (d) memelihara
kesucian agama dari wainta yang bersangkutan. Pakaian yang memenui empat prinsip
ini seharusnya memiliki syarat-syarat sebagai berikut, yaitu, menutupi seluruh
badan kecuali muka dan telapak tangan, bahan yang digunakan tidak terlalu tipis
sehingga tembus pandang atau transparant dan berpotongan tidak ketat hingga
dapat menimbulkan semangat erotis bagi yang memandangnya.[39]
Berkaitan dengan fungsi jilbab yang disyari'atkan dalam Islam
ini adalah menutup aurat wanita yang diwajibkan menutupnya. Sampai seberapa
ukuran tubuh yang harus ditutup dengan jilbab akan sangat tergantung dengan
pemahaman ulama terhadap nas}-nas al-Qur'an dan Sunnah yang bersifat zanni
(dapat ditafsirkan), dan pendapat para fuqaha' dalam ijtihad mereka tentang
batas aurat wanita sebagaimana yang digariskan dalam surat an-Nur ayat
31:"wala yubdina zinatahunna illa ma zahara minha...".
Perbedaan pendapat ulama tentang aurat tersebut adalah sebagai berikut:
- Jumhur fuqaha', diantaranya mazhab-mazhab Maliki, Syafi'i, Ibn Hazm, Syi'ah Zaidiah, yang masyhur dari Hambali dan salah satu riwayat dari mazhab Hanafi dan Syi'ah Imamiah yang diriwayatkan dari tingkatan tabi'in seperti Ata' dan Hasan Basri dan tingkatan sahabat seperti 'Ali ibn Abi Talib, A'isyah dan Ibn Abbas berpendapat bahwa:"hanya muka dan kedua telapak tangan saja yang bukan termasuk aurat wanita."
- Sufyan as-Sauri, Mazin dan salah satu kalangan dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa, muka dan kedua talapak tangan dan telapak kaki tidak termasuk aurat bagi kaum wanita.
- Salah satu pendapat dari kalangan mazhab Hambali dan sebagian Syi'ah Zaidah dan Zahiri berpendapat bahwa hanya muka saja dari tubuh wanita yang tidak ternasuk aurat.
Salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibn Hambal dan berpendapat Abu
Bakar ibn 'Abdu ar-Rahman dari kalangan tabi'in mengatakan bahwa seluruh tubuh
wanita tanpa pengecualian adalah aurat.[40]
[1]. Muhammad Farid Wajdi, Dairat al-Ma'arif
al-Qarn al-Isyrin, Jil. III, (Bairut: Dar al-Ma'rifah, 1991), hlm. 335.
[3]. Abd Rasul Abd Hasan al-Ghaffar, Wanita Islam
dan Gaya Hidup
Modern, terj. Baurhanuddin Fanani, (Bandung: Pustaka Hidayat, 1984), hlm.
38.
[4]. Ibid, hlm. 41. Lihat juga dalam Fenomenologi
Jilbab oleh Nasirudin Umar dalam http://www.smu-net.com/main.php?&act=ag&xkd=50
akses tanggal 5 Juli 2004.
[5]. Abu al-Fadl Jamal Al-Din Muhammad ibn Makram Ibn
Manzur, Lisan al-Arab, (Bairut: Dar as}-S{adr, 1414 H - 1994 M), I: 298.
Lihat juga IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia,
(Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 317.
[10]. Hayya binti Muba>rak al-Barik: Ensiklopedi
Wanita Muslimah, terj. Amir Hamzah Fahrudiin, (Jakarta: Darul Falah, 1997),
hlm. 149.
[11]. Muh}ammad Fuad al-Baqi, Al-Mu'ja>m
al-Mufah}ra>s} li Alfa>z}
al-Qur'a>n al-Kari>m,
(Bairut: Da>r al-Fikr, 1994), hlm. 246.
[14]. Pengertian lainnya adalah orang yang gugur hak
warisnya untuk menerima warisan baik secara keseluruhan atau sebagiannya yang
disebabkan adanya orang yang lebih berhak menerima. Lihat Abdul Aziz Dahlan
(ed), Ensiklopedi hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997),
II: 545.
[15]. Muh}ammad Nasi>r al-Di>n al-Alba>ni>,
Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Hawin
Murtadho, (Solo: at-Tibyan,2001), hlm. 29.
[16] . Abu> Abdullah al-Qurt}u>bi>, al-Jami' li
ah}ka>m al-Qur'a>n, cet. ke-1, (Bairut: Da>r al-Kutu>b
al-'A<liyah, 1993), hlm. 156.
[17]. Ahmad Warso Munawwir, al-Munawwir
Kamus Arab Indonesia,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 199
[19] . Fatima Marnissi, Wanita
di Dalam Islam, terj. Yaziar Rudianti, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 118.
[21] . KH. Husein Muhammad, Fiqh
Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta:
LKiS, 2002), Pengantar Dr. Andre Feillanrd, hlm. xix
[23]. Nasiruddin Umar, Konstruksi
Seksual: Menstrual Taboo dalam Kajian Kultural dan Islam,makalah dalam
seminar Nasional tentang Islam, Seksualitas dan Kekerasan terhadap Perempuan,
2000, hlm. 12. lihat juga Nashiruddin Umar dalam Perspektif Gender dalam
Islam, http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/5kaki.html,
akses tanggal 5 Juni 2004.
[26]. Nog Darol Mahmada, pengantar KirtikJilbab atas
Jilbab..., hlm. xiii
[28]. Fazlurrahman, Nasib Wanita sebelum Islam, cet.
ke-1, (Jatim: Putra Pelajar, 2000), hlm. 112-113.
[29]. M. Quraisy Syihab, Wawasan
al-Qur'an Tafsir Maudhu'I atas berbagai Persoalan Umat, cet.ke-8, (Bandung:
Mizan, 1998), hlm. 171-172.
[35]. Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Islam, cet. ke-1, (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1993), III: 317.
[37] Muh}ammad Syah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur'a>n: Qiraah Mu'as}irah,
(Damaskus: al- Ahalli li at}-T{iba>'ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi', 1990), hlm.
607.
[39]. H. RAy Sitoresmi Prabuninggrat, Sosok Wanita
Muslimah, cet. ke-2, (Yogyakarta: PT. Duta Wacana, 1997), hlm. 39-40.
[40]. Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Islam, cet. ke-1 (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve,1993), III: 318.
No comments:
Post a Comment