SEJARAH PERKEMBANGAN DAN
PERTUMBUHAN HADITS
Selengkapnya Click DISINI
1.
Perkembangan Hadits Pada Masa Rasullullah SAW
a.
Cara Rasulullah Menyampaikan Hadis
Dalam riwayat Bukhari, disebutkan Ibnu
Mas’ud pernah bercerita, bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan hadisnya dengan
berbagai cara, sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya dan
tidak mengalami kejenuhan.
Ada beberapa cara yang digunakan oleh
Rasulullah SAW. Dalam menyampaikan hadis kepada para sehabat yaitu:
·
Pertama,
melalui jama’ah yang berada dipusat pembinaan atau majelis Al-Ilm terkadang
kepala suku yang jauh dari madinah mengirim utusannya ke majelis, untuk
kemudian mengajarkan kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
·
Kedua,
melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikan pada orang lain.
·
Ketiga,
cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW, adalah melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka,
seperti ketika haji wada dan futuh mekkah.
b.
Perbedaan Antara Sahabat dalam Menguasai Hadis
1)
Perbedaan
mereka dalam soal kesempatan bersama dengan Rasulullah SAW
2)
Perbedaan
dalam soal kesanggupan untuk selalu bersama Rasulullah SAW
3)
Perbeadaan
mereka dalam soal kekuatan hafalan dan kesungguhan bertanya pada sahabat lain.
4)
Perbedaan
mereka dalam waktu masih islam dan jarak tempat tinggal mereka dari majelis Rasulullah SAW.
c.
Sahabat Yang Banyak Menerima Hadits dari Rasulullah SAW
dengan beberapa penyebabnya, mereka adalah:
1)
As-Sabiqun
al-awalun (yang mula-mula masuk islam). Seperti Abubakar, Umar Bin Khatab,
Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud. Mereka banyak menerima
hadis dari nabi Muhammad Rasulullaah SAW, karena lebih awal masuk dari
sahabat-sahabat lain.
2)
Ummahad
Al-Mukminin (isteri-isteri rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu
Salamah. Mereka lebih dekat denga Rasulullah SAW dari pada isteri lainnya.
Hadits-hadits yang diterima kebanyakan berkaitan dengan soal-soal keluarga dan
pergaulan suami-isteri.
3)
Para sahabat yang selalu dekat dengan Rasulullah SAW dan juga
menuliskan hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Bin Amr Al-As.
4)
Sahabat
yang tidak lama bersama Rasulullah SAW, tetapi banyak bertanya kepada sahabat
lainnya dengan sungguh-sungguh seperti Abu Hurairah.
5)
Para sahabat yang sungguh-sungguh mengikuti majelis Rasulullah SAW dan
banyak bertanya kepada lain dan dari sudut usia mereka hidup lebih lama dari
wafatnya Rasulullah SAW.
d.
Menghafal dan menulis hadis
1)
Menghafal
hadis
Jika Nabi Muhammad Rasulullah SAW menginstruksikan
pada sahabatnya supaya menulis dan menghafalnya, sedangkan terhadap hadis,
beliau menyuruh mereka menghafal dan melarang mereka menulisnya secara resmi.
Ini bertujuan untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al-Qur’an
dan Hadis sebagai dua sumber ajaran Islam.
2)
Menulis
hadis
Sekalipun ada larangan Rasulullah SAW, untuk menulis
hadis ternyata ada sejumlah sahabat yang memiliki catatan hadits yaitu:
·
Abdullah
Bin Amr Bin Al-As
Hadits-hadits yang terhimpun dalam catatannya
berkisar sekitar 1000 hadis yang menurut pengakuannya diterima langsung dari
Rasulullah SAW yaitu ketika beliau berada di sisi Rasulullah SAW tanpa ada yang
menemaninya.
·
Jabir
Bin Abdillah Bin Amr Al-Anshari (w.78 H) ia memiliki catatan hadits tentang
manasik haji. Hadits-haditsnya kemudian diriwayatkan oleh muslim catatan ini
dikenang dengan Shaitah Jabir.
·
Abu
Hurairah Ad-Dawi memiliki catatan hadits yang dikenal dengan As-Sahafiah dan
As-sahahihah. Hasil karyanya diwariskan kepada putranya yang bemama Hamam.
·
Abu
Syah (Umar Bin Sa’ad Al- Anmari) seorang penduduk yaman. Ia memilih kepada
Rasulullah SAW agar dicatatatkan hadits yang disampaikan beliau ketika pidato
pada peristiwa Futuh Mekkah.
2.
Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
perkembangan penyebaran hadits dilanjutkan oleh para sahabat beliau, terutama
oleh khulaf Ar-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan dan Ali
Bin Abi Thalib). Namun pada saat itu perkembangan hadits tidak begitu
diutamakan karena prioritas yang paling utama pada saat itu adalah terfokus
kepada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, dan periwayatan hadits sendiri
belum begitu berkembang dan masih di batasi.
1)
Menjaga
Pesan Rasulullah SAW
Nabi Muhammad adalah Nabi yang sangat
peduli terhadap keselamatan hidup umatnya baik itu kehidupan dunia terlebih
untuk kehidupan akhirat. Beliau tidak henti-henti dan tidak bosan-bosanya
memberikan nasehat, peringatan bahkan teguran terhadap umatnya. Beliau selalu
meminta kepada para umatnya agar selalu berpegang teguh pada Al-Quran dan
As-sunnah yang telah beliau ajarkan dan yang telah beliau sampaikan serta
beliau meminta agar sumber ajaran tersebut disampaikan atau didakwahkan kepada
orang lain yang belum mengetahui tentang kebenaran yang disampaikan oleh
beliau. Hal ini tercennin dalam hadis beliau berikut ini.
Artinya:
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Jika kalian
berpegang teguh kepada keduanya niscaya tidak akan tersesat yaitu kitab Allah
(Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya.”
Dan sabdanya pula
Artinya:
“Sampaikan dariku walaupun satu ayat atau satu hadis.”
Karena para sahabat-sahabat beliau sangat
patuh dan sangat menghormati beliau, maka perintah yang beliau sampaikan
tersebut dapat dilaksanakan dengan baik oleh para sahabat sehingga pada masa
sahabat perkembangan dan imperium islam sangat luas dan wilayah dakwah islampun
menjadi luas.
2)
Teliti dalam meriwayatkan dan menerima hadits
Kehati-hatian dan usaha membatasi
periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan kekhawatiran mereka akan
terjadinya kekeliruan pada hadits. Mereka menyadari bahwa hadits adalah sumber
hukum setelah Al-Qur’an yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaiman
Al-Qur’an. Oleh karena itu, para sahabat khususnya khulafa Ar-rasyidin dan
sahabat lainnya berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadits.
Abubakar sebagai khalifah yang pertama
menunjukkan perhatiannya dalam memelihara hadits. Menurut Adz Dzahabi, Abu
Bakar adalah sahabat yang pertama sekali menerima hadits dengan hati-hati.
Apabila ada sesorang yang ingin menyampaikan sebuah hadits, maka beliau
menyuruhnya untuk mendatangkan saksi-saksi dan apabila saksi tersebut
menyatakan benar maka hadits tersebut pula dinyatakan benar.
Sikap kehati-hatian itu sangat diutamakan
oleh para sahabat dan itu juga di tunjukkan oleh Umar Bin Khatab, beliau juga
apabila ada hadits yang ingin disampaikan maka orang tersebut harus
mendatangkan saksi-saksi yang dapat dipercaya. Tetapi beliau juga selalu
menerima hadis tanpa syarat tertentu atau hadis tersebut dianggap benar, seperti
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan sahabat-sahabat yang lain juga
mereka melakukan hal yang sama dan bahkan orang yang merupakan sumber hadits
tersebut harus melakukan sumpah terlebih dahulu seperti yang dilakukan oleh Ali
Bin Abi Thalib.
3)
Periwayatan Hadits
Ada dua jalan yang ditempuh oleh para
sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. Pertama, dengan jalan
periwayatan lafzhi, kedua adalah periwayatan maknawi.
a.
Periwayatan
Lafzhi
Periwayatan lafzi adalah periwayatan
hadis yang redaksinya persis seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah SAW., ini
hanya bisa dilakukan apabila mereka benar, benar nebghafl hadis yang disabdakan
oleh Rasulullah SAW.
Kebanyakan para sahabat menempuh
periwayatan hadits melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis
sesuai dengan redaksi dari Rasulullah SAW, dan bukan menurut redaksi mereka.
Bahkan menururt Ajjal Al-Khatib, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan
hadis itu dilakukan dengan lafzhi bukan dengan maknawi. Sebagian dari mereka
secara ketat melarang meriwayatkan hadis dengan makanannya saja (maknawi),
bahkan mereka tidak membolehkan mengganti satu huruf atau satu katapun. Begitu
pula mendahulukan susunan kata yang disebut rasul belakangan atau sebaliknya
meringankan bacaan yang siqal (berat) dan sebaliknya. Dan dalam hal ini Umar
Bin Khatab pernah berkata: “barang siapa yang mendengar hadis dari Rasulullah
SAW kemudian ia meriwayatkannya sesuai yang ia dengar maka ia akan selamat.
b.
Periwayatan
Maknawi
Para sahabat lainnya berpendapat bahwa
dalam keadaan darurat karena tidak menghafal persis yang diwurudkan oleh Nabi
Muhammad SAW, di bolehkan meriwayatkan hadits berdasarkan maknanya (maknawi).
Periwayatan maknawi adalah periwayatan hadis yang matanya tidak sama dengan
yang didengarnya dari Rasulullah SAW. Tetapi isi dan maknanya tetap terjaga
secara utuh sesuai dengan yang dimaksud oleh Nabi Muhammad SAW.
Mekipun begitu para sahabat melakukan
dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis, ia
menggunakan term-term tertentu untuk meguatkan penukilannya.
Periwayatan hadis dengan maknawi
mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadits dengan
hadits yang lainnya berbeda-beda, meskipun maksud dan maknanya tetap sania. Hal
itu sangat bergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang
meriwayatkan haits-hadis tersebut.
3.
Perkembangan Hadits Pada Masa Tabi’in
·
Wawasan Hukum Zaman Tabi’in
Antara Islam sebagai agama dan hukum
terdapat kaitan langsung yang tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah
tinggal menetap di Madinah Nabi SAW. melakukan kegiatan legislasi, namun
ketentuan-ketentuan yang bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah, bahkan
justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu.
Dasar-dasar itu memang tidak semuanya langsung bersifat kehukuman atau
legalistik, sebab selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etika. Maka sejak di
Makkah Nabi mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain
mendasari konsep-konsep tentang harta yang halal dan yang haram (semua harta
yang diperoleh melalui penindasan adalah haram), keharusan menghormati hak
milik sah orang lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar,
perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya. Itu semua tidak
akan tidak melahirkan sistem hukum, sekalipun keadaan di Makkah belum
mengizinkan bagi Nabi untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi dan
kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat wajar dari apa yang
telah dirintis pada periode Makkah itu.
Pada masa para sahabat yang kemudian
disusul masa para Tabi’in, prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil
digunakan, menopang ditegakkannya kekuasaan politik Imperium Islam yang
meliputi daerah antara Nil sampai Amudarya, dan kemudian segera melebar dan
meluas sehingga membentang dari semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus.
Daerah-daerah itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap sebagai
heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab: al-Da’irat al-Ma’murah) telah
mempunyai tradisi sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi, termasuk tradisi
kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan warisan Yunani-Romawi, dan
Indo-Iran umumnya. Karena itu mudah dipahami jika timbul semacam tuntutan
intelektual untuk berbagai segi kehidupan masyarakat yang haruas dijawab para
penguasa yang terdiri dari kaum Muslim Arab itu.
Tuntutan intelektual itu mendorong
tumbuhnya suatu genre kegiatan ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab,
yaitu Ilmu Fiqh. Tapi sebelum ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya yang telah
terjadi pada masa tabi’in itu ialah semacam pendekatan ad hoc dan
praktis-pragmatis terhadap persoalan-persoalan hukum, dengan menggunakan
prinsip-prinsip umum yang ada dalam Kitab Suci, dan dengan melakukan rujukan
pada Tradisi Nabi dan para Sahabat serta masyarakat lingkungan mereka yang
secara ideal terdekat, khususnya masyarakat Madinah.
·
Pusat-pusat Pembinaan Hadis
Tercatat beberapa kota yang menjadi pusat
pembinaan dalam periwayatan hadis sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam
mencari hadis, yaitu ialah Madinah Al-Munawaroh, Mekah Al-Mukaroma, kufah
basrah, syam, mesir, magrib, dan Andalas, yaman, dan khurasan dan sejumlah para
sahabat Pembina hadits pada kota-kota tersebut, ada beberapa orang yang
tercatat banyak meriwayatkan hadis, antara lain Abu Hurairah, Abdullah Bin
Umar, Anas Bin Malik, Aisyah, Abdullah Bin Abbas, Jabir bin Abdillah, dan Sa’id
Al-Khudzri.
No comments:
Post a Comment