BAB
I
PENDAHULUAN
Selengkapnya Cick DISINI
Latar
Belakang
Al-Quran
merupakan kitab Allah yang diperuntukan bagi penentu jalannya kehidupan dan
alam semesta, didalamnya terkandung makna dan petunjuk kehidupan yang menembus
dimensi ruang dan waktu, atau dengan kata lain Al-Quran merupakan ensiklopedi
kehidupan dalam rangka mewjudkan kebahagian dan kesejahteraan sejati, saidun
fidunya wa saidun fil akhiroh (kesejahteraan didunia dan akhirat) karena
Al-Quran lintas dimensi ruang dan waktu maka wajar jika Al-Qurhan memuat
pesan-pesan ilahi dalam bentuk global, oleh karena itu diperlukan penjelasan
yang lebih rinci mengenai maksud yang terkandung didalam pesan ilahiyah
tersebut, yang kemudian disebut dengan tafsir hal senada juga dinyatakan oleh
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: “Al-Quran
memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan
oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah
mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak
pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.”
Al-Qur’an
adalah masdar al-awwal dari sumber utama ajaran Islam.Al-Qur’an berfungsi
sebagai hudan li al-nasi. Sebagaimana Firman Allah.”Alif, laam raa. (Ini
adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari
gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu)
menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” . Pemahanan umat
terhadap Al-Qur’an itulah yang bisa menjadi menjadi penerang bagi majunya umat.
Pemahaman disini mencakup penafsiran terhadap Al-Qur’an. Penafsiran pada masa
Rasul bersumber dari rasul sendiri melalui al wahyu al-ilahiyi atau melalui
para sahabat yang berkompeten pada penafsiran (ijtihad al-sohabi). Para sahabat
ini mempunyai keutaman-keutamaan dalam menjelaskan nash-nash. Ilmu penafsiran
terus berkembang sejalan waktu, dan muncul pula ilmu–ilmu lain tentang
Al-Qur’an. Dalam hal ini kemudian para ulama mengkelompokkan sendiri ilmu
tentang Al-Qur’an tersebut dalam wadah ulumul qur’an. As-Suyuti menuliskan ada
300 lebih ulumul qur’an, hingga akhirnya beliau memutuskan deadlock untuk
membahas banyak ilmu tersebut.
Secara
garis besar babakan penafsiran dibagi menjadi dua periode yakni periode pertama
dimulai oleh Rosullah SAW sebagai penafsir awal (al-mufasirul awal) yang
kemudian dilanjutkan oleh para shohabat, serta tabiin, kemudian dilanjutkan
periode kedua yang dimulai semenjak tahun 150 H dengan demikian ada tiga sumber
yang dijadikan rujukan oleh para mufasirin dalam menfsirkan ayat-ayat Allah
tersebut pertama Al-Qur’an itu sendiri karena terkadang satu hal yang
dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di
ayat lain. kedua Rasulullah SAW melalui sabda-sabda beliau yang termaktub dalam
Al-hadits. Ketiga Ijtihad yang telah dilakuan oleh shohabat dan ulama’-ulama’
yang mendalam ilmunya (Arrosikhun fil ilmi).
Secara
bahasa Tafsir mempunyai makna idhoh dan tabyin yang berarti menjelaskan atau
menerangkan, secara istilah tafsir adala “suatu ilmu yang di bahas didalamnya
tentang keadaan-keadaan Al-Quran dari segi turunyya, segi lafalnya dan segi
sanadnya segi cara menyebutkan,segi lafalnya dan segi makna-makna yang
berpautan dengan lafal dan yang berpautan dengan hukum”
Sebagaimana
difirmankan Allah bahwa alqur’an terdiri dari ayat-ayat yang muhkam dan
mutasabih. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat di ketahui secara langsung
tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih memerlukkan penjelasan
dengan merujuk kepada ayat-ayat lain. Dalam tafsir munir di jelaskan bahwa
muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya dan tidak ada ikhtilaf dalam
maknanya.Mutasyabih ayat yang tidak jelas maknanya dan ada ikhtilaf antara
dhohir lafadz dengan makna yang di inginkankan dari lafald itu sendiri. Seperti
pada awal-awal surat
.
Biarpun
ayat tersebut adalah ayat yang muhkam, tapi bagaimanapun juga yang namanya
tafsir sangat tergantung kepada kemampuan personal yang menjelaskannya.
Kemampuan itu bertingkat-tingkat sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh
seseorang penafsir dari Al-Qur’an bertingkat-tingkat pula. Kecenderungan
manusia juga berbeda-beda, sehingga apa yang dihidangkan dari pesan –pesan
Ilahi dapat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Selain itu juga
keberadaan seseorang pada lingkungan budaya atau kondisi sosial, dan
perkembangan ilmu, juga mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam menangkap
pesan-pesan Al-Qur’an. Selain itu pengaruh perbedaan penafsiran juga bisa
disebabkan perbedaan dalam methode, dan pendekatan, juga tekhnik interpretasi
yang mana hal itu bisa melahirkan produk yang berbeda dari pemikiran
mufassirun.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Secara
singkat tafsir adalah suatu upaya mencurahkan pemikiran untuk memahami,
memikirkan dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an agar dapat
diaplikasikan sebagaian dasar utama penetapan hukum . Pada Al-Qur’an istilah
tafsir di sebutkan dalam surat
Al-Furqan :33,”tidakkah orang-rang kafir itu datang kepadamu (membawa) seuatu
yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang
paling baik penafsirannya(penjelasannya)”.
Kata
tafsir merupakan masdar dari kata fasara yang mempunyai arti keadaan jelas
(nyata dan terang) dan memberikan penjelas. Para
ulama kebanyakan memberikan pengertian tentang tafsir pada intinya untuk
menjelaskan hal-hal yang masih samar yang di kandung dalam Al-Qur’an sehingga
dengan mudah dapat dimengerti, mengeluarkan hukum yang terkandung didalamnya
untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu ketentuan hukum . Jalaluddin
As-Suyuti mendefinisikan ilmu tafsir sebagai ilmu yang membahas
ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, sastranya,
lafadlnya, makna-makna yang berhubungan dengan lafadl-lafaldnya, makna-makna
yang berhubungan dengan dengan hukum-hukum dan sebagainya.Dari zaman ulama
mutaqoddimin ilmu tafsir baru di kodifikasikan oleh Jalal al-Din al-Bulqini
dengan nama Mawaqi’ al-Ulum Min Mawaqi’ al- Nujum . Al-Bulqini sendiri adalah
guru dari As-Suyuti.
Banyak
para ulama yang berselisih pendapat tentang pengertian tafsir dan ta’wil.Fungsi
dari kedua-duanya adalah sama-sama menjelaskan makna sutu ayat yang samar, maka
ada kalangan ulama yang menyamakan maksud tafsir dan ta’wil. Di samping itu,
terdapat pula ulama yang membedakan, seperti al_Raghib al-Ashfahani, Ibnu
Manshur al- Maturidi, dan Abu Thalib al-Taghlibi.mereka berpendapat bahwa
tafsir lebih umum dibanding ta’wil, sebab tafsir umumnya berfungsi menerangkan
maksud yang terkandung dalam susunan kalimat. Ta’wil di gunakan untuk
menjelaskan pengertian kitab-kitab suci, sedangkan tafsir selain fungsi
demikian juga berfungsi menerangkan hal-hal yang lainnya .
Menurut
Prof. Dr. M. Amin Abdullah mengetakan tafsir lebih dikenal sebagai cara mngurai
bahsa, konteks, dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks atau nash
kitab suci.Dalam hal ini teks dijadikan sebagai subjek.Ta’wil adalah cara untuk
memahami teks dengan menjadikan teks, atau lebih tepat disebut pemahaman,
pemaknaan, dan interpretasi terhadap teks, sebagai objek kajian.
B. Pendekatan Kajian Tafsir
Al-Qur’an
sebagai the way of life tidaklah cukup di pahami hanya dengan penguasaan bahasa
Arab dan mengetahui terjemahannya. Untuk memperoleh penafsiran yang tepat dan
meraih ruh dari maksud Al-Qur’an memerlukan rambu-rambu dalam bingkai ilmu
tafsir.
Dalam
mengkaji Al-Qur’an juga dikenal beberapa macam metode tafsir seperti:
1.
Metode Tafsir Tahlili
Para
ulama membagi wujud tafsir Al-Qur’an dengan metode tahlili kepada tujuh macam,
yaitu: tafsri bi-al ma’tsur, tafsri bi al-ra’yi, tafsri shufi,tafsir falasafi,
tafsir fiqhi, tafsri ilmi dan tafsir adabi.
2.
Metode Tafsir Maudhu’i
3.
Metode Tafsir Muqaran
4.
Metode Tafsir Ijmali
Sedangkan
yang di maksud metode pendekatan dalam kajian tafsir adalah pola pikir
(al-ittijah al-fikr) yang di pergunakan untuk membahas suatu masalah .Untuk
pendekatan penafsiran Al-Qur’an terjadi perbedaan metode dalam perbedaan zaman.
Pada zaman rasul yang menguasai tasyri’(konstruksi Syari’at) adalah Rasulullah
sendiri . Terhadap Al-Qur’an Rasulullah SAW merupakan orang pertama yang berhak
untuk menafsirkan AL-Qur’an (mufassir awwal), karena pada masa Nabi segala
persoalan yang berkaitan dengan persoalan umat bisa langsung ditanyakan kepada
Nabi SAW. Pada masa sahabat menggunakan beberapa pendekatan yang antara lain
sebagai berikut:
1.
Dengan pendekatan Al-Qur’an itu sendiri
Bahwa dalam ayat yang masih bersifat
global terdapat penjelasannya pada ayat lain. Begitu juga ayat-ayat yang
bersifat mutlak atau masih umum, terdapat pada tempat lain ayat yang menjadi
qayyid atau mengkhusukannya.
2.
Penafsiran di kembalikan kepada Nabi
Hal ini dilakukan ketika terutama
ketika para sahabat Nabi mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat dari
Al-qur’an.
3.
Pemahaman dan Ijtihad Sahabat Nabi
Hal ini di perlukan jika mereka tidak
menemukan tafsiran suatu ayat dalam kitabAllah dan juga tidak menemukannya dari
penjelasan Nabi . Diantara para sahabat Nabi yang mempunyai keistimewaan dalam
menjelaskan nash adalah Khulafa’al-rosyidun, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab,
Abdullah bin Umar, A’isyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin
Malik, Abu Musa al- Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubadah bin Shomad dan Abdullah
bin Amru bin Ash .
Dalam
pendekatan tafsir untuk kajian tafsir dapat di bedakan dari beberapa cabang.
Hal ini Sebagaimana dikutip dari buku Metodologi Ilmu Tafsir oleh M. Alfatih
Suryadilaga dkk. Pendekatan kajian tafsir itu adalah:
1.
Pendekatan Objektif dan Pendekatan
Subjektif
a.
Pendekatan Objektif
Pendekatan
objektif adalah pendekatan empiris yang bertumpu pada kepentingan ilmiah
semata. Dalam pendekatan ini dibicarakan kaitan antara ayat-ayat kauniyah yang
terdapat dalam Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan-pengetahuan modern yang timbul
pada masa sekarang. Sejauh mana paradigma ilmiah dapat memberi dukungan dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan penggalian jenis ilmu pengetahuan, teori-teori
baru dan hal-hal yang ditemukan lewat masa turunnya Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an
sendiri terdapat lebih dari delapan ratus ayat-ayat kauniyah.
b.
Pendekatan Subjektif
Pendekatan
subjektif adalah pendekatan yang terkait dengan kepentingan pribadi atau
kelompok.Pendekatan tersebut tergantung pada warna budaya dan aqidah ahli
tafsirnya;apakah dia politikus ataukah praktisi sebuah madzhab yang banyak
mempengaruhinya. Seperti pendekatan yang di lakukan oleh sufi di mana Al-Qur’an
dikaji dengan sudut pandang yang sesuai dengan teori-teori tasawuf dan
mengabaikan aspek-aspek lain.
2.
Pendekatan Langsung dan Tidak Langsung
a.
Pendekatan Langsung
Pendekatan
langsung adalah pendekatan yang menggunakan data primer. Data primer dalam
kajian tafsir adalah Al-Qur’an itu sendiri, hadist-hadist yang diriwayatkan
dari Rasulullah saw, dan pendapat-pendapat sahabat serta pendapat
tabi’in.Seperti ayat Al-Qur’an yang mutlaq di tafsirkan dengan ayat muqayyad
dan ayat yang mujmal di tafsirkan oleh ayat lain yang mufassol.
b.
Pendekatan Tidak Langsung
Pendekatan
ini adalah menggunakan data skunder, yaitu upaya yang di tempuh setelah melalui
pendekatan primer. Dengan kata lain ia merupakan pengembangan dari pendekatan
pertama, seperti pendapat-pendapat ulama, riwayat kenyataan sejarah di masa
turunnya Al-Qur’an, pengertian bahsa dan lafadl Al-Qur’an, kaedah lafadl bahsa,
kaedah-kaedah intinabat serta teori-teori ilmu pngetahuan. Oleh karena data
yang dikemukakan terdapat data historis seperti hadist, riwayat sahabat, serta
kenyataan sejarah di masa turunnya Al-Qur’an, maka sebelum digunakan perlu
proses pemeriksaan dengan kritik sejarah.
3.
Pendekatan Komprehensif dan Pendekatan
Sektoral
a.
Pendekatan Komprehensif
Pendekatan
komprehensif adalah pendekatan yang membahas objek penelitian tidak dari satu
aspek tertentu saja, tetapi secara menyeluruh. Dalam hal ini, kandungan
ayatAl-Qur’an berusaha dijelaskan dari berbagai seginya dengan memperhatikan
runtutan ayat-ayat AL-Qur’an sebagai yang tercantum di dalam mushaf. Segala
segi yang di anggap perlu di uraikan bermula dari arti kosakata, asbab
an-nuzul, munasabah al-ayat, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan teks
atau kandungan ayat.
b.
Pendekatan Sektoral
Pendekatan
sektoral adalah pendekatan yang membahas objek dengan memandangnya terlepas
dari objek lainnya. Pendekatan ini berusaha mengkaji Al-Qur’an secara singkat
dan global tanpa uraian panjang lebar. Arti dan maksud ayat dijelaskan dengan
uraian singkat yang dapat menjelaskan artinya tanpa menyinggung hal-hal selain
arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, ayat
demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutan dalam mushaf setelah di
kemukakan arti-arti itu dalam kerangka uraian yang mudah dengan bahasa dan cara
yang dapat dipahami oleh orang yang berilmu dan awam.
4.
Pendekatan Disipliner, Pendekatan Multi
disipliner, dan Pendekatan Interdisipliner
a. Pendekatan Disipliner
a. Pendekatan Disipliner
Pendekatan
ini merupakan pendekatan yang mengkaji objek dari sebuah disiplin ilmu.
Macam-macam pendekatan disipliner antara lain:
1. Pendekatan Syar’i
Pendekatan
ini berusaha mengkaji Al-Qur’an dengan mengeluarkan hukum-hukum Islam produk
istinbat yang diyakininya.Dalam dimensi sejarah, hukum-hukum tersebut secara
bertahap digali, hingga sampailah era perhatian terhadap produk-produk istinbat
. Dari sini timbullah mazhab yang satu sama lain saling berbeda. Katika madzhab-madzhab
telah ada di kalangan umat Islam terjadi banyak kasus hukum . Pada akhirnya hal
itu diselesaiakan berdasarkan AL-Qur’an, sunah, qiyas, istihsan, dan lain-lain,
maka keluarlah hukum-hukum Islam produk istinbat yang diyakini benar. Hal yang
demikian terlihat dalam corak penafsiran ayat-ayat yang berbeda-beda, kerna
pendekatan kajian yang digunakan juga berbeda.
2. Pendekatan Sosio-Historis
Pendekatan
ini menekankan pentignya memahami kondisi-kondisi aktual ketika Al-Qur’an
diturunkan, dalam rangka menafsirkan pernyataan legal dan sosial ekonominya.
Atau dengan kata lain, memahami Al-Qur’an dalam konteks kesejarahan dan
harfiyah, lalu memproyeksikannya kepada situasi masa kini kemudian membawa
fenomena-fenomena sosial ke dalam naungan-naungan tujuan Al-Qur’an.
Aplikasi pendekatan kesejarahan ini menekankan pentingya perbedaan antar tujuan atau”ideal moral” Al-Qur’an dengan ketentuan legal spesifiknya. Idela moral yang dituju Al-Qur’an lebih pantas diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya. Jadi dalam kasus seperti perbudakan yang di tuju Al-Qur’an adalah emansipasi budak. Sementara penerimaan Al-Qur’an terhadap pranata tersebut secara leagl, dikarenakan kemustahiilan untuk menghapuskan seketika.
Aplikasi pendekatan kesejarahan ini menekankan pentingya perbedaan antar tujuan atau”ideal moral” Al-Qur’an dengan ketentuan legal spesifiknya. Idela moral yang dituju Al-Qur’an lebih pantas diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya. Jadi dalam kasus seperti perbudakan yang di tuju Al-Qur’an adalah emansipasi budak. Sementara penerimaan Al-Qur’an terhadap pranata tersebut secara leagl, dikarenakan kemustahiilan untuk menghapuskan seketika.
Metode
ini dikenalkan oleh banyak sarjana muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman,
Abid Al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, dan Muhammad Arkoun.
Dalam metode ini terjadi perdebantan tentang kaidah usul yang berbunyi wa
al-asoh ana al-am a’la sababin khosin mu’tabarin umumihi atau yang lebih di
kenal dengan al-ibroh bi umum al-lafdli la bi khusus al-sabab. Karena ada yang
mengatakan al-ibroh bi umum al-sabab la bi khusus al-lafdli.
3. Pendekatan Filosofis
Pendekatan
filosofis adalah upaya pemahaman Al-qur’an dengan cara menggabungkan antara
filsafat dan agama atas dasar penakwilan teks –teks agama kepda makna-makna
yang sesuai dengan filsafat. Dlam pendekatan ini ada semacam usaha-usaha untuk
memaksakan pra-konsepsi ke dalam Al-Qur’an atau penyelarasan tradisi filsafat
Yunani_Hellenis dengan AL-Qur’an.
4. Pendekatan Linguistik (riwayat dan Bahasa)
Pendekatan
linguistik atau riwayat dan bahasa ini adalah suatu pendekatan yang cenderung
mengandalkan periwayatan dan kebahasaan. Dalam pendekatan ini, ditekankan
pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an, memaparkan ketelitian redaksi ayat,
ketika menyampaikan pesan-pesannya, mengikat penafsirannya dalam bingkai teks
ayat-ayat sehingga membatasi terjerumus dalam subjektifitas berlebihan.
Pendekatan ini berupaya menguraikan sebuah susunan kalimat dalam suatu ayat
dengan menguraikan sebuah susunan kalimat dalam suatu ayat dengan memakai
kalimat-kalimat dan huruf-huruf yang ada didalam ayat tersebut tanpa memakai
kalimat dan huruf lain.
b.
Pendekatan Multi disipliner
Pendekatan
ini berupaya membahas dan mengkaji objek dari beberapa disiplin ilmu, artinya
ada upaya untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an atau suatu objek dengan mengkaitkan
disiplin-disiplin ilmu yang berbeda.
c.
Pendekatan Interdisipliner
Pendekatan
interdisipliner adalah sutu pendekatan yang membahas dan meneliti objek harus
(tidak boleh tidak)menggunakan beberapa disiplin ilmu .
5. Pendekatan Tekstual dan Pendekatan Konstektual
Pada dasarnya
pendekatan tekstual dan kontekstual adalah sama dengan beberapa pendekatan di
atas. Hanya saja istilah ini muncul dari sumber yang berbeda
a.
Pendekatan Tekstual
Secara sederhana tekhnik ini dapat
diasosiasikan dengan tafsir bi al-ma’tsur. Nash yang dihadapi ditafsirkan
sendiri dengan nash baik AL-Qur’an ataupun hadist .
b.
Pendekatan Konstektual
Al-Qur’an adalah Kitab suci yang
salih li kulli zaman wa makan. Selama empat belas abad Al-Qur’an tetap bertahan
sebagai penerang dalam memecahkan berbagai masalah. Prof. Dr. Amin Abdullah
memaparkan ada dua ranah keprihatinan umat islam dewasa ini dalam memahami
Al-Qur’an.pertama , bagaimana dapat memahami ajaran Al-Qur’an yang bersifat
universal(rahmatan li al-alamin) secara tepat, setelah terjadi proses
modernisasi, globalisasi, dan informasi yang membawa perubahan sosial yang
begitu cepat.kedua, bagaimana sebenarnya konsepsi dasar AL-Qur’an dalam
menaggulangi ekses-ekses negatif dari deru roda perubahan sosial pada era
modernitas seperti saat ini . Untuk itulah Al-Qur’an berusaha di dialogkan
dengan realita zaman sekarang, memalui studi kontekstualitas Al-Qur’an. Studi
tentang kontekstual adalah studi tentang peradaban.Jadi pada dasarnya sama juga
dengan Pendekatan Sosio-Historis. Pendekatan sejarah tersebut tidak bisa lepas
dari asbab al-nuzul ayat Al-Qur’an yang biasanya-walau tidak seluruhnya-
bersumber dari sunah, atsar ataupun dari tabi’in.Jadi, secara metodologis
tekhnik ini termasuk kedalam metode tafsir bi al-ma’tsur .
Hubungan teks dan konteks bersifat
dialektis;teks menciptakan konteks, persis sebagaimana konteks menciptakan
teks;sedangkan makna timbul dari keduanya .
Kesimpulan
dari pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual sebetulnya sangat sekali
meletakkan sekat di antara keduanya.
Dari
pengertian diatas tafsir mempunyai cakupan sebagai berikut:
1.
Dalam hal segi turunya yang meliputi
sebab nuzul, tempat nuzul, dan masa nuzul.
2.
Dalam hal sanad, yang meliputi pembahasan
mengenai kemutawatiran, keahadiannya, dan kesyudzudzannya
3.
Dalam perkataan cara penyebutannya
meliputi segala segala cara menyebut lafal Al-Quran, seperti madd dan idghom
4.
dalam hal perkataan lafal-lafalnya
meliputi segala yang berpautan dengan lafal dari segi hakekatnya, majaz, dan
musytaraknya
5.
dalam hal hal perkataan makna-maknanya
yang berpautanb dengan lafal, meliputi fasal dan wasal
6.
dalam perkataan makna-makananya yang
berpautan dengan huku, meliputi umum khusus, ihkam dan nash.
C.
Bentuk-bentuk Metodologi Tafsir
Secara
metologis tafsir mempunyai bentuknya sebagai berikut:
1.
Metode Tahlili
Metode
Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an
dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh
Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat
dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa
kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan
kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan
kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil
syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya. Menurut
Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini
adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan
Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam
dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini
menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah . Kelemahan lain
dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya
mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat
mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan
Al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi
berikutnya.
2.
Metode Ijmali
Metode
ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan
menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas
sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun
memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.
Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh
lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada
pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat
yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
3.
Metode Muqorin / Muqoran
Tafsir al-Muqarim adalah penafsiran sekolompok ayat
al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara
ayat dengan ayat atau antaraa ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun
redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan
segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. Pendapat yang sama
mengemukakan bahwa: Metode tafsir muqorin sering disebut metode komperatif,
yaitu tafsir Al-Qur'an yang dala menafsirkan ayat-ayat Al-qur'an dengan cara
membandingkan ayat, riwayat atau pendapat yang satu dengan yang lainnya, untuk
dicari persamaan dan perbedaannya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jadi
yang dimaksud dengan metode komporatif ialah: (a) membandingkan teks (nash)
ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua
kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang
sama, (b) membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat
bertentangan, dan (c) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam
menafsirkan al-Qur’an.
Tafsir muqorin
untuk mencapai tujuannya, meneliti sejumlah ayat al-Qur’an dengan memperhatikan
tafsir ayat tersebut dari berbagai mufassir kemudian memban-dingkan arah dan
kecenderungan yang diperlihatkan mufassir dalam karya-karya mereka. Istilah
metode muqaran identik dengan kata al-manhaj al-muqaran.
Menurut
pendapat Ath Thahir Ahmad As-sawi dan didukung oleh Muhamad Farid Wajdi
mengatakan bahwa kata al-manhaj mempunyai arti Ath Thariq al-wadhih yang
berarti: jalan yang terang. Sedangkan al-muqaran artinya perbandingan.
Berdasarkan hal diatas kemudian al-manhaj al-muqaran diartikan sebagai
perbandingan penafsiran para mufassirin tentang ayat-ayat alquran. Masalah
pokok yang menjadi obyek pembahasan al-manhaj al-muqaran ini adalah:
membandingkan ayat dengan ayat, membandingkan ayat dengan hadis, membandingkan
pendapat ulama tafsir yang satu dengan pendapat yang lain.
Sedangkan
Dr. Abdul Hay Al Farmawi dalam kitabnya Al Bidayah Fi Al-Tafsir Al-Maudhu’i
memberikan penjelasan tentang al-muqaran sebagai penjelasan ayat-ayat alquran
yang telah ditulis oleh sekelompok mufassirin. Dalam persoalan ini mufassir
melakukan pembahasan dengan cara menyelidiki, meneliti kitab-kitab tafsir yang
berhubungan dengan ayat-ayat tersebut. Tafsir itu baik terkait dengan tafsir
salaf maupun khalaf, naqli maupun aqli. Kemudian diadakan perbandingan diantara
bermacam-macam aliran tafsir yang telah ada tersebut. Oleh karena itu obyek
pokok pembahasan tafsir al-muqaran ini sangat luas sekali, tidak hanya sekedar
membandingkan ayat dengan ayat ataupun ayat dengan hadist. Sedangkan Nasiruddin
Baidan dalam bukunya metode penafsiran alquran mengatakan bahwa ruang lingkup
metode muqaran (komparatif) memang amat luas, yakni meliputi perbandingan
berbagai pendapat para mufassir, aliran-aliran dan kecenderungan-kecenderungan
mereka, perbandingan ayat alquran dengan hadist nabi, dan perbandingan diantara
berbagai ayat yang mempunyai persamaan redaksi dalam satu kasus yang sama
ataupun berbeda.
Hal
yang senada dengan pendapat diatas juga dikemukakan oleh Quraisy Shihab. Beliau
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan metode tafsir muqaran adalah cara
menafsirkan alquran dengan membandingkan ayat-ayat alquran yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus
yang berbeda, dan memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah yang sama atau
diduga sama.
Dari
pendapat tersebut diatas dapat ditarik pemahaman bahwa metode muqaran
(komparatif) mempunyai model yang dikembangkan dengan cara :
Membandingkan teks ayat-ayat quran yang mempunyai persamaan atau kemiripan redaksi yang beragam, dalam kasus yang sama atau diduga sama.
Membandingkan ayat Quran dengan hadist nabi yang pada lahirnya antara keduanya tampak bertentangan. Membandingkan berbagai pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat al Quran.
Membandingkan teks ayat-ayat quran yang mempunyai persamaan atau kemiripan redaksi yang beragam, dalam kasus yang sama atau diduga sama.
Membandingkan ayat Quran dengan hadist nabi yang pada lahirnya antara keduanya tampak bertentangan. Membandingkan berbagai pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat al Quran.
Tafsir
al-Qur’an dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas.
Ruang lingkup kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang
berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konotasi kata atau
kalimat yang dikandungnya. Maka, M. Quraish Shihab, menyatakan bahwa ”dalam
metode ini khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat (juga ayat
dengan hadis)... biasanya mufassirnya menejelaskan hal-hal yang berkaitan
denagan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan
kasus masalah itu sendiri.
Ciri
utama metode ini adalah ”perbandingan” (komparatif). Di sinilah letak salah
satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode yang lain.
Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat
dengan ayat atau dengan hadis, perbandingan dengan pendapat para ulama. Untuk
lebih jelsnya, perlu mengkaji kelebihan dan kelemahan dari metode ini:
1.
Kelebihan:
Kelebihan metode ini
antara lain:
a. Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada pada
pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain. Di dalam penafsiran ayat
al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan
keahlian mufassirnya,
b. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang
lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada
yang kontradiktif. Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu
mazhab atau aliran tertentu,
c. Tafsir dengan metode ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui
berbagai pendapat tentang suatu ayat,
d. Dengan menggunakan metode ini, mufassir didorong untuk mengkaji
berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat para mufassir yang lain.
2.
Kelemahan:
Kelemahan metode ini
antara lain:
a.
Penafsiran dengan memakai metode ini
tidak dapat diberikan kepada pemula yang baru mempelajari tafsir, karena
pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang ekstrim,
b.
Metode ini kurang dapat diandalkan untuk
menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat, karena metode
ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah,
c.
Metode ini terkesan lebih banyak
menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah dilakukan oleh para ulama daripada
mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.
No comments:
Post a Comment