GADAI MENURUT
HUKUM ISLAM
Selengkapnya Download>
DISINI
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Gadai
1. Pengertian
Kata gadai dalam
bahasa Arab disebut dengan ar-Rahn. Kata tersebut menurut arti aslinya
adalah as-S|a>bit ( tetap atau lestari ). Kata ar-Rahn adalah
bentuk masdar dari : [1]رهـن - يـر هـن - رهـنـا yang artinya menggadaikan atau menungguhkan.
Di kalangan ulama sepakat dalam merumuskan pengertian رهـن dari segi bahasa mempunyai dua makna yaitu الـثـبـوت و الـد وا م yang berarti tetap dan kekal. Sedangkan arti
lainnya الحـبـس (menahan)[2].
Seperti dinyatakan dalam Al-Quran
Sedangkan
pengertian gadai menurut istilah, mereka berbeda pendapat, as-Sayyid Sa>biq
mengemukakan bahwa gadai menurut istilah adalah :
جـعـل عـيـن لـهـا قـيمـة مـا لـيـة في نـظـر الـثـرع
و ثـيـقـة بـد ين بحـيـث يـمكـن أحـد ذ لك
الـد يـن أو أحـد بـعـضـه مـن تلك الـعين[4]
Maksudnya
adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’
sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil
seluruh atau sebagian hutang tersebut karena adanya barang. Pengertian yang
lain terdapat dalam kitab al-Mugni yang disusun oleh Imam Ibnu Qudamah
sebagai berikut :
االمـال الـذي يـجـعـل و تـيـقـة بالـد ين
لـيـسـتـونـي مـن ثـمـنـه إن تـعـذ ر إسـتيفـاوْه مـمـن هـو عـلـيـه[5]
Bahwa yang dimaksud dengan gadai yaitu suatu benda yang dijadikan
kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, maka benda itu
dapat dijadikan alat pembayar hutang.
Menurut Ahmad
Azhar Basyir, gadai menurut istilah ialah :
Menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan hutang; dengan adanya benda yanmg menjadi tanggungan itu seluruh
atau sebagian hutang dapat diterima.[6]
Dari defenisi-defenisi di
atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan gadai ( ر هـنـا
) adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’
sebagai jaminan hutang, dalam arti seluruh hutang atau sebagiannya dapat
diambil sebab sudah ada barang jaminan tersebut, dan dapat dijadikan pembayaran
hutang jika hutang itu tidak dapat dibayar.
Gadai menurut syari’at
Islam berarti penahanan atau pengekangan. Sehingga dengan akad gadai menjadikan
kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama. Yang punya hutang
bertanggung jawab untuk melunasi hutangnya, sedangkan orang yang berpiutang
bertanggung jawab untuk menjamin keutuhan barang jaminan. Apabila hutang itu
telah dibayar, maka penahanan atau pengekangan oleh sebab akad itu menjadi
lepas. Sehingga keduanya bebas dari tanggung jawab masing-masing.
Jika seseorang ingin
berhutang kepada orang lain, maka ia menjadikan barang miliknya baik berupa
barang bergerak maupun barang tidak bergerak atau berupa ternak yang berada
dalam kekuasaannya sebagai jaminan sampai ia melunasi hutangnya. Pada dasarnya
barang jaminan tetap dipegang oleh penerima gadai, tetapi apabila terjadi
kesepakatan diantara kedua pihak (pemberi dan penerima gadai) maka barang gadai
dapat diserahkan kepada orang lain yang adil dan mampu menjaga amanah[7].
Pemilik barang (yang berutang) disebut Rahn (yang menggadaikan)
sedangkan penerima barang (pemberi gadai) disebut murtahin dan barang
yang digadaikan adalah ruhn atau marhun.
2.
Dasar hukum Gadai
Gadai merupakan perbuatan
yang halal dan dibolehkan bahkan termasuk perbuatan yang mulia karena
mengandung manfaat yang sangat besar dalam pergaulan hidup manusia di dunia
ini. Sebagaimana halnya dengan jual beli yang merupakan faktor yang sangat
penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia, sebagaiman firman
Allah :
و إن كـنـتم عـلي سـفـرولـم تـجـدواكا تـبـا فـر هـن مـقـبـو ضـة فـإ ن
أمـن بـعـضـكـم بـعـضـا فـلـيـوْدالـذي اوْ تمن أمنته وليتق الله ربه ولاتكـتموا
الـشـهادة ومـن يـكـتمـها فإنه أثم قلبـه و الله بـما تـعـلـمـون عـلـيم[8]
Dengan ayat di atas,
ulama sepakat bahwa gadai dibolehkan dalam keadaan bepergian..
Dari ayat tersebut dapat
diketahui bahwa Allah memerintahkan kepada pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian saat dalam perjalanan tetapi tidak mampu menyediakan seseorang yang
bertugas mencatat perjanjian tersebut, untuk memperkuat adanya perjanjian,
pihak yang berhutang harus menyerahkan barang gadai kepada pihak yang
menghutangi. Ini dilakukan agar mampu menjaga ketenangan hatinya, sehingga tidak
mengkhawatirkan atas uang yang diserahkan kepada rahin.
Dasar hukum lainnya adalah hadis Nabi SAW. Yang
berbunyi sebagai berikut :
Hadis ini merupakan dasar
bagi ulama yang membolehkan gadai dalam keadaan mukim (tidak musafir) karena
peristiwa itu terjadi pada saat nabi berada di tempat.
Sunnah yang berfungsi
sebagai penjelasan dari al-Qur’an memberikan ketentuan-ketentuan umum hukum
muamalah, bahwa gadai adalah cara mendapatkan rezki yang halal, maka hadis nabi
banyak yang menerangkan perincian tentang gadai tersebut, seperti: mengenai
biaya dan pemanfaatan barang gadai baik yang bergerak maupun barang tetap.
Dalam melakukan akad
gadai hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum
muamalah, prinsip yang dimaksud adalah :
a.
Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah,
kecuali yang ditentukan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
b.
Muamalah dilaksanakan atas dasar sukarela, tanpa
mengandung unsur-unsur paksaan.
c.
Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan
manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
d.
Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan,
menghidari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam
kesempitan[10].
Salah satu prinsip diatas
sesuai dengan kaidah ushul fiqh yaitu :
Dari uraian di atas dapat
ditarik pengertian bahwa sumber hukum muamalah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah,
selain itu manusia diperbolehkan juga untuk mengatur bentuk-bentuk muamalah
yang berkembang dalam masyarakat asal tidak bertentangan dengan nash.
Sumber hukum gadai,
selain al-Qur’an dan as-Sunnah, yang diperbolehkan untuk dijadikan pegangan
adalah adat istiadat yang merupakan kebutuhan masyarakat yang bersifat positif.
B.
Mekanisme Pelaksanaan Gadai Menurut Hukum Islam
Dalam melaksanakan gadai
ada beberpa mekanisme yang harus diperhatikan atau dipenuhi, apabila mekanisme
tersebut sudah dipenuhi maka pebuatan tersebut dapat dikatakan sah, begitu juga
halnya dengan gadai. Mekanisme-mekanisme tersebut disebut dengan rkun. Oleh
karena itu gadai dapat dikatakan sah apabila terpenuhi rukun-rukunnya.
Selanjutnya rukun itu diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pula. Jadi
jika rukun-rukun tersebut tidak terpenuhi syarta-syaratnya, maka perjanjian
yang dilakukan dalam hal ini gadai dinyatakan batal.
Dalam kitab al-Fiqh
‘Ala> al-Maza>hib al-Arabi’ah dinyatakan bahwa rukun gadai itu ada
tiga yaitu :
1.
Aqid (orang yang melakukan akad) yang meliputi :
a.
Ra>hin, yaitu orang yang menggadaikan barang
(penggadai)
b.
Murtahin, yaituorang yang berpiutang, yang
memerihara barang gadai sebagai imbalan uangyang dipinjamkan (penerima gadai).
2.
Ma’qu>d ‘alaih (yang diakadkan) yang meliputi
dua hal yaitu :
a.
Marhu>n (barang yang digadaikan).
b.
Marhu>n bih (hutang yang karenanya diadakn
gadai).
3.
Si>gah (akad gadai).[12]
Sedangkan menurut DR.
Wahab az-Zuhaili mengatakan bahwa rukun gadai itu adalah :
1.
Sigat akad ( I>ja>b qa>bu>l)
2.
Aqid (Penggadai dan penerima gadai).
3.
Marhu>n (barang gadaian).
4.
Marhu>n bih (hutang)[13].
Dalam rukun gadai Abu
Hanifah hanyan mensyaratkan ijab qabul saja yang merupakan rukun
akad. Beliau berpendapat bahwa ijab qabul merupak hakekat dari akad.[14]
Ad. I,
Sigat Akad.
Yang dimaksud dengan
sigat akad yaitu dengan cara bagaimana
ijab qabul yang merupakan rukun akad itu dinyatakan.
Ahmad Azhar Basyir
mengatakan :
Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang
dibenarkan syara’, yang merupakan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya.
Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan
sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.[15]
Gadai belum dinyatakan
sah apabila belum ada ijab dan qabul, sebab dengan adanya ijab dan qabul
menunjukkan kepada kerelaan atau suka sama suka dari pihak yang mengadakan
transaksi gadai. Suka sama suka tidak dapat diketahui kecuali dengan perkataan
yang menunjukkan kerelaan hati dari kedua belah pihak yang bersangkutan, baik
itu perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan yang dapat diketahui maksudnya
dengan adanya kerelaan, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Hasbi
ash-Shiddieqiy :
Akad adalah perikatan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan
syara’, yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak. Gambaran yang menerangkan
maksud diantara kedua belah pihak itu dinamakan ijab dan qabul. Ijab adalah
permulaan penjelasan yang terbit dari salah seorang yang berakad, untuk siapa
saja yang memulainya. Qabul adalah yang terbit dari tepi yan lain sesudah
adanya ijab buat menerangkan persetujuannya.[16]
Sigat dapat dilakukan
dengan lisan , tulisan atau syarat yang memberikan pengertian dengan jelas
tentang adanya ijab qabul dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi
kebiasaan dalam ijab dan qabul.[17]
a. Sigat secara lisan.
Merupakan cara alami seseorang untuk mengutarakan
keinginannya, oleh karena itu akad dipandang sah apabila ijab qabul dinyatakan
secara lisan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun mengenai bahasa tidak
terikat oleh aturan khusus asal dapat dimengerti dan dipahami oleh pihak-pihak
yang melakukan akad, agar tidak menimbulkan perselisihan ataupun sengketan
dikemudian hari.
b. Sigat akad dengan
tulisan.
Metode lain yang
dilakukan oleh orang untuk menyatakan keinginannya adalah dengan tulisan. Jika
kedua belah pihak tidak berada ditempat, maka transaksi dapat dilakukan melalui
surat. Ijab akan terjadi setelah pihak kedua menerima dan membaca surat
tersebut. Apabila dalam ijab tersebut tidak disertai dengan pemberian tenggang
waktu, maka qabul harus segera dilakukan dalam bentuk tulisan atau surat.
Apabila disertai tenggang waktu, qabul
supaya dilakukan sesuai dengan lamanya
tenggang waktu tersebut.[18]
c. Sigat akad dengan isyarat.
Ini berlaku bagi
mereka yang tidak dapat bicara atau bisu dan tidak dapat menulis. Jika orang
tersebut dapat menulis, maka hendaknya dilakukan dengan menulis saja, karena
keinginan yang dinyatakan dengan tulisan menyakinkan daripada dinyatakan dengan
isyarat.
d. Akad dengan perbuatan.
Jumhur ulama
mengatakan bahwa syarat sahnya gadai adalah hendaknya dalam akad gadai tidak
ditetapkan suatu syarat yang bertentangan dengan tujuan akad gadai itu.
Ad. 2.
Aqid (Subyek gadai).
Yaitu orang yang
melakukan akad, dalam hal ini penggadai dan penerima gadai. Untuk sahnya gadai
kedua belah pihak harus mempunyai keahlian (kecakapan) melakukan akad yakni
baliq, berakal dan tidak mah}ju>r ‘alaih (orang yang tidak cakap
bertindak hukum). Maka akad gadai tidak sah jika pihak-pihak yang bersangkutan
orang gila atau anak kecil yang belum tamyiz, berdasarkan hadis Nabi saw. yang
berbunyi :
ر فع
القلم عن ثلاثة : عـن الـنـا ءـم حـتي يـسـتـيـقـظ و عـن الـصـغـيـر حـتي
يـكـبـروعـن الـمـجـنـو ن حـتي يـعـقـل أو يـفـيـق.[19]
Imam asy-Syafi’I melarang
gadai yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang bodoh secara
mutlak, walaupun mendapat izin dari walinya, atas pertimbangan bahwa wali boleh
membelanjakan harta mah}ju>r ‘alaih dengan digadaikan karena dua hal
yaitu :
a.
Dalam keadaan darurat yang sangat menghendaki dilakukan
gadai. Dengan syarat wali tidak mendapatkan biaya itu selain mengadaikan harta mah}ju>r
‘alaih.
b.
Gadai itu mengandung kemaslahatan bagi mah}ju>r
‘alaih.[20]
Dalam hal ini Imam Abu
Hanifah berbeda pendapat yakni tidak mensyaratkan bagi akid baliq. Oleh sebab
itu menurut beliau gadainya anak kecil yang sudah tamyiz dan orang dewasa bodoh
yaitu dua orang yang sudah tahu arti muamalah, dengan syarat adanya persetujuan
walinya.[21]
Ad. 3.
Marhu>n (obyek gadai)
Untuk lebih jelasnya
barang gadai disyaratkan :
a. Merupakan benda
bernilai menurut ketentuan hukum Islam yaitu benda yang dapat diambil
manfaatnya secara biasa, bukan paksaan dan secara riil telah menjadi hak milik
seseorang, misalnya : pakarangan, rumah dan lain sebagainya.[22]
Sebagaimana
jual beli syarat marhun harus suci dan bukan barang najis serta halal
dipergunakan. Oleh sebab itu tidak sah menggadaikan barang najis seperti kulit
bangkai meski sudak disamak, juga menggadaikan babi dan anjing karena hewan
tersebut tidak sah diperjualbelikan.
b. Barang tersebut
dapat dimanfaatkan.
Imam as-Syafi’I mengatakan sebagai berikut :
Barang gadai dapat diambil manfaatnya menurut syara’ meskipun pada saat
yang akan datang, seperti hewan yang masih kecil, dia boleh digadaikan sebab
nantinya dapat diambil manfaatnya.[23]
Setiap barang yang boleh diperjualbelikan, boleh juga dijadikan barang
jaminan (digadaikan), kecuali manfaatnya. Oleh karena itu tidak menggadaikan
manfaat hak jalan.
c.
Marhun berupa barang.
Karena tidak boleh menggadaikan dengan pemanfaatan, seperti yang telah
dijelaskan di atas, juga tidak sah menggadaikan hutang piutang, karena tidak
jelas bendanya.
d.
Marhun adalah milik orang yang melakukan akad,
baik barang maupun manfaatnya.[24]
Salah satu persyaratan
barang dagangan yang ditentukan oleh fuqaha ialah barang itu harus diserah
terimakan, jadi barang yang tidak ada, tidak dapat diserah terimakan, agar
terhindar dari unsur-unsur penipuan.
Jadi barangnya harus ada
dalam kekuasaannya, dengan demikian burung di udara, ikan di laut, binatang
yang di hutan dan sebagainya tidak memenuhi syarat untuk dijadikan obyek akad.
Gadai merupakan bagian
dari Mu’amalah, oleh karena itu gadai juga mengutif prinsip-prinsip muamalah
antara lain :
1.
Dilaksanakan dengan memelihara keadilan, menghindar
dari unsur-unsur penganiayaan.
2.
Dilakukan atas dasar suka sama suka.[25]
Ad. 4.
Marhu>n bih. (hutang).
Yang dimaksud marhu>n
bih yaitu hutang yang karenanya diadakan gadai. Adapun syarat-syaratnya
adalah :
a.
Penyebab penggadaian adalah hutang.
b.
Hutang sudah tetap.
c.
Hutang itu tetap seketika atau yang akan datang.
Oleh karenanya, sah gadai sebab harga masih masa khiyar,
juga sah akad gadai pada al-ja’lu (pengupahan) yaitu pemberian upah dari
seseorang kepada orang lain atas jasanya.
d.
Bahwa hutang itu telah diketahui benda, jumlah dan sifatnya.[26]
C.
Pemanfaatan Barang Gadai.
Sebagaimana telah
ditegaskan di muka bahwa gadai bukan termasuk pada akad pemindahan hak milik,
tegasnya bukan pemilikan suatu benda dan bukan pula kadar atas manfaat suatu
benda (sewa menyewa), melainkan hanya sekedar jaminan untuk suatu hutang
piutang, itu sebabnya ulama sepakat bahwa hak milik dan manfaat suatu benda
yang dijadikan jaminan (Marhun) berada dipihak rahi>n (Yang
menggadaikan). Murtahin (yang menerima barang gadai) tidak boleh
mengambil manfaat barang gadai kecuali diizinkan oleh rahin dan barang
gadai itu bukan binatang. Ulama Syafi’I, Imam Malik dan ualam-ulama yang lain
berargumen menggunakan hadis Nabi saw. Tentang manfaat barang gadai adalah
milik ra>hin bukan milik murtahin. Hadisnya yaitu :
لا
يـغـلـق الـر هـن مـن صـاحـبـه الـذي رهـنـه لـه غـنـمـه و عـلـيـه
Barang gadaian dipandang
sebagai amanat bagi murtahin sama dengan amanat yang lain, dia tidak
harus membayar kalau barang itu rusak, kecuali karena tindakannya.[28]
Lebih lanjut Ibnu Quda>mah
dalam kiatbnya al-Mugny menjelaskan bahwa pengambilan manfaat dari
barang gadai itu mencakup pada dua keadaan yaitu :
1.
Yang tidak membutuhkan kepada biaya seperti rumah,
barang-barang dan sebagainya.
2.
Yang membutuhkan pembiayaan.[29]
Mengenai hukum penerima
gadai dengan mengambil manfaat dari barang yang membutuhkan biaya dengan seizin
yang menggadaikan adalah sebanding dengan biaya yang diperlukan. Dari dua
bagian di atas dapat ditemui adanya barang bergerak dan barang tetap. Barang
bergerak adalah barang yang dalam penyerahannya tidak membutuhkan akte otentik
seperti buku dan lain sebagainya. Sedangkan barang tetap adalah barang yang
dalam penyerahannya memerlukan suatu akte yang otentik seperti rumah, tanah dan
lain-lain.
Dalam pemanfaatan barang
gadai yang berupa barang yang bergerak dan membutuhkan pembiayaan, ulama
sepakat membolehkan murtahin mengambil manfaat dari barang tersebut
seimbang dengan biaya pemeliharaannya., terutama bagi hewan yang bisa diperah
dan ditunggangi, mereka beralasan sesuai dengan hadis nabi saw. Yang berbunyi :
الـرهـن يـركـب بـنـفـقـته إذاكان مـرهونـا ولبن الـدريـشرب
بـنـفـقـته
إذا
كان مـرهـونـا وعلي الـذي يـركـب و يـشـرب الـنفـقـة [30]
Adapun jika barang itu
tidak dapat diperah dan ditunggangi (tidak memerlukan biaya), maka dalam hal
ini boleh bagi penerima gadai mengambil manfaatnya dengan seizin yang
menggadaikan secara suka rela, tanpa adanya imbalan dan selama sebab gadaian
itu sendiri bukan dari sebab menghutangkan. Bila alasan gadai itu dari segi
menghutangkan, maka penerima gadai tidak halal mengambil manfaat atas barang
yang digadaikan meskipun dengan seizin yang menggadaikan.[31]
Jika memperhatikan
penjelasan di atas dapat diambil pengertian bahwa pada hakekatnya penerima
gadai atas barang jaminan yang tidak membutuhkan biaya tidak dapat mengambil
manfaat dari barang jaminan tersebut.
[1]
Jamal ad-Din Muhammad bin Mukram al-Ansyari, Lisan al-‘Arab, ( Mesir:
Dar al-Fikr, t.t ), XVII: 48.
[2]
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (
Beirut: Dar
al-Fikr, t.t ), III: 187.
[3]
Al-Baqarah (2) : 283.
[4]
As-Sayyid Sa>biq, Fiqh
as-Sunnah… III : 187.
[5] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin
Muhammad bin Quda>mah, al-Mugni Li Ibni Quda>mah, (Riyad:
Mahtabaturriyah al-Hadi>sah, t.t), IV :361.
[6]
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba Utang Piutang Gadai,
(Bandung: al-Ma’arif, 1983), hlm: 50.
[8]
Al-Baqarah (2): 283
[9]
Imam al-Bukha>ri,S}ahih
al-Bukha>ri bab Fi Rahni Fi al-Hadits (Beirut: Da>r al-fikr, 1891),
III: 1115, Hadis riwayat al-Bukhari dari Musaddad dari Ab al-Wahid dari
al-A’mas dari Ibrahim.
[10]
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Yogyakarta:
UII Press, 2000),
hlm : 15-16.
[11]
H. Asjmuni Abd. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1976), hlm: 42.
[12]
Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab
al-Fiqh ‘Ala> al- Maza>hib al-Arba’ah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t),
II : 320.
[14]
Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry,Kitab
al-Fiqh ‘ala> al-Maza>hi>b …., II : 320
[15]
Ahmad Azhar Basyir, Asa-asas …., hlm :
65.
[16]
Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, t.t), hlm: 21-22.
[17]
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas….., hlm: 68.
[18] Ibid.,
hlm: 68-70.
[19] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Bab
Talaq al-Ma’tuhu Wa as}-S}agiru wa an-Na>imu (Beirut: Da>r al-Fikr: t.t), I: 629, Hadis
no. 651. Hadis riwayat Ibnu Ma>jah dari Ali bin Abi Tha>lib.
[20]
Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry,
Kitab al-Fiqh…., hlm: 328.
[21] Ibid.,
hlm: 327.
[22]
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam
Tentang …, hlm: 53.
[23] Abd. Ar-Rahma>n al- Jazi>ry, Kitab
al-Fiqh….., hlm : 329
[24]
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang …., hlm: 53-54.
[25]
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas …, hlm: 15-16.
[26] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab
al-Fiqh…, hlm : 330.
[27]
Asy-Syaukani, Nail
al-Aut}a>r (Beirut:
Da>r al-Fkr, t.t), IV: 264. Hadis riwayat asy-Syafi’I danad-Daruquthni dari
Ibn Abi Fudaik dari Ibn Abi Zaib dari Ibn Syiha>b dari Ibn al-Musayyab dari
Abi Hurairah.
[28]
Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1970), hlm: 376.
[29] Ibn Quda>mah, al-Mugni> Li>
Ibn Quda>mah, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah al-‘Arabiyyah, t.t), IV:
426.
[30] Ima>m al-Bukha>ry>, S}ahi>h
al-Bukha>ry>….., hlm: 116, Hadis riwayat Bukhari dari Abu
Hurairah.
[31]
Rahmat Syafi’I, Konsep Gadai (rahn) dalam Fiqh Islam : Antara Nilai Sosial
dan Nilai Komersial, dalam H. Chuzaimah T. Yanggo, HA. Hafiz Anshary AZ
(edt) Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Ketiga (Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus, 1995), hlm: 69.
No comments:
Post a Comment