Thursday, October 28, 2010

PEKERJA ANAK BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM

PEKERJA ANAK BAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM
Selengkapnya Click DISINI

A.     Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pekerja Anak Bawah Umur
Penelusuran tentang status hukum dari praktek terselubung pekerja anak bawah umur pada hakikatnya memiliki beberapa dimensi, dimana kita harus mengetahui bagaimana hukum Islam melihat anak berikut hak dan kewajiban yang melekat untuk makhluk satu ini.
Dalam mengkaji status hukum  dari pekerja anak perspektif hukum Islam kita perlu menelusuri beberapa hal, diantaranya: (1). Cakap hukum dan bagaimana periodisasi umur yang di atur dalam Islam, (2). Anak, konsep pengasuhan (baca, hadhanah) dan kaitannya dengan relasi kerja dalam Islam. Dari dua point inilah diharapkan status hukum dari praktek terselubung pekerja anak di bawah umur—yang menjadi subjek penelitian—dapat di temukan berdasarkan tinjauan hukum Islam.
1.      Periodeisasi Umur dan kecakapan hukum dalam Islam     
Sebelum membahas tentang periodeisasi umur yang di atur dalam Islam perlu diketahui apa yang dimaksud dengan anak itu sendiri. Definisi anak secara bahasa merujuk pada kamus bahasa Indonesia diartikan dengan manusia yang masih kecil atau manusia yang belum dewasa.[1]
Sedangkan definisi anak dalam Islam merupakan rentang waktu/fase yang terbagi dalam beberapa bagian yang perinciannya akan disinggung dalam penjabaran tentang periodeisasi umur dan kaitannya dengan kecakapan hukum (al-Ahliyah) dalam Islam sebagai berikut :         
Periodeisasi umur dalam kaitannya dengan kecakapan hukum seseorang membahas seputar kapan seseorang dinyatakan sebagai manusia dewasa. Dalam Islam sendiri dikenal istilah tamyiz, baligh, dan rusyd yang masing-masing memiliki kriteria dan akibat hukum sendiri-sendiri.[2]        
Akan tetapi dalam pengkategorian umur untuk mengetahui kapan seseorang dianggap dewasa terdapat keragaman—yaitu terdapat perbedaan umur manusia dalam suatu tahap kehidupan. Artinya periode-periode yang telah di gariskan dalam Islam tentang batasan kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum dan mempertanggung-jawabkan dampak dari perbuatannya tidaklah sepenuhnya berbanding lurus dengan batas umur yang pasti.
Karena harus kita akui bahwa perkembangan fisik maupun psikis seseorang itu tidak dapat dipisahkan dari situasi yang melingkupinya; seperti kadar makanan, pergaulan, tingkat sosial ekonomi, dan tantangan yang dihadapinya.[3]
Dadan Muttaqien menggunakan klasifikasi umur untuk mejawab kecakapan hukum seseorang dalam perkawinan dan perjanjian, pada titik ini penulis akan akan menggunakan teori serupa dalam mengenali periodeisasi umur dalam Islam selanjutnya diharapkan dapat memetakan dan menjadi acuan dalam melihat perbuatan hukum yang di lakukan pekerja. Termasuk di dalamnya pekerja anak. Pekerja anak pada hakikatnya juga melakukan perbuatan hukum, berbicara mengenai perbuatan hukum maka perlu mengulas tentang kecakapan hukum.
Sebagaimana telah di singgung sebelumnya bahwa, periodeisasi kecakapan hukum seseorang tidaklah berbanding lurus dengan usia yang pasti. Maka dari itu ulasan tentang tahapan seseorang untuk menjadi makhluk dewasa erat kaitannya dengan beberapa aspek, diantaranya:
a.       Kematangan usia
Untuk mengetahui dengan tepat sampai dimana daya pikir seseorang telah berkembang pada tiap tahap perkembangannya adalah hal yang sulit. Tetapi untuk tujuan hukum, ahli hukum Islam mengatakan bahwa tidak tepat apabila kita menyamaratakan perlakuan terhadap orang dalam kelompok usia yang berbeda. Berpijak pada prinsip tersebut, ahli-ahli hukum mencari putusannya berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah. Mereka juga belajar memahami perkembangan manusia pada tahap-tahap yang berbeda. Ahli-ahli hukum memberi batasan bahwa usia tujuh tahun adalah usia kematangan.[4]
Batasan tersebut didasarkan pada sumber sunnah yang berbunyi sebagai berikut:          
مرّوا أولادكم باالصلاة إذا بلغوا سبعا واضربواهم إذا بلغوا عشرا 
Artinya:
“Suruhlah anak-anak untuk melaksanakan shalat jika telah berumur 7 (tujuh) tahun, dan apabila telah berumur 10 (sepuluh) tahun (tidak mau melaksanakan) shalat maka pukullah dia”.[5]        
b.      Peranan ‘Aql (daya nalar) dalam menentukan usia kedewasaan
Keadaan yang paling menentukan dan sangat diperlukan dalam menentukan usia kedewasaan (tamyiz) adalah bahwa seorang anak harus sudah ‘aqil (bernalar). Sebagaimana yang dikutif oleh Dadan Muttaqien dari kitab al-Muttali’, bahwa batasan yang tepat dalam menggambarkan tingkat nalar pada seorang anak adalah seorang anak yang bisa memahami perkataan orang dan bisa memberikan tanggapan yang benar terhadap perkataan itu.[6] Dan dalam hal ini usia tujuh tahun masih menyisakan persilangan pendapat antara yang mengatakan bahwa di usia tujuh tahun seorang anak telah mencapai daya nalar yang baik atau belum.
c.       Tingkat kemampuan seorang mumayyiz
Kemampuan ‘aql atau nalar, adalah hal yang di perhitungkan pertama kali pada seorang anak untuk di sebut mumayyiz.      
d.      Bulugh (tanda-tanda pubertas fisik) dan ciri khasnya.
Saat anak beranjak dewasa, menjadi lebih mudah bagi kita untuk mengetahui dengan tepat tingkat perkembangannya. Pada tingkat tertentu dalam kehidupan seorang anak, berbagai macam aspek perkembangannya dapat diamati. Masa pubertas dapat dengan mudah terlihat jika seorang anak berada dalam pengamatan yang terus menerus dan seksama. 
Istilah bulugh yang juga dikenal dengan istilah pubertas merupakan masa transisi fisik dari fase kanak-kanak menjadi fisik orang dewasa dengan ditandai oleh gejala-gejala fisik—penomena mimpi bagi laki-laki dan haid bagi kalangan perempuan.   
Adapun klasifikasi umur yang menginjak era pubertas/transisi fisik menurut para ahli hukum, sebagaiman di rangkum oleh Dadan Muttaqien, bahwa sejauh ini masa pubertas tidak pernah dicapai sebelum usia Sembilan tahun. Mereka juga menekankan bahwa masa puber tidak selalu terjadi di usia ini pada setiap anak, karena banyaknya factor-faktor yang munkin dapat menunda proses kedewasaan fisik. Oleh karena itu sebagian besar ahli hukum seperti: al-Awza’I, Imam Ahmad, al-Syafi’I, Abu Yusuf, dan Muhammad, semua berkesimpulan bahwa lima belas tahun adalah usia paling lambat bagi seseorang untuk mencapai kematangan fisik, terlepas dari tidak tampaknya tanda-tanda fisik.[7]
e.       Rusyd (kedewasaan mental)     
Hukum juga menekankan pentingnya pencapaian rusyd atau kedewasaan mental, yaitu baik kesempurnaan bulugh maupun kematangan mental, dalam arti mampu untuk berfikir (‘aql).
Cara yang digunakan terhadap satu orang dengan lainnya berbeda-beda menurut kegiatan dan kedudukannya dalam masyarakat. Seorang anak petani misalnya, yang mempunyai kecakapan dalam bidang pertanian seperti pengetahuan pada tanaman, benih dan masa tanam, dan lain-lainnya. Selain itu dia juga harus dapat menjual hasil pertaniaannya ke pasar, mencari keuntungan dari hasil penjualan dan keperluaannya. Anak seorang tukang kayu dan anak seorang pedagang juga harus mempunyai keterampilan dasar dalam bidang mereka.        
Demikianlah faktor yang mempengaruhi periodeisasi umur yang terdapat dalam Islam, sederhananya untuk mengenal periode mumayyiz, ‘aqil baligh dan rusyd. Namun terdapat pengecualian pada kondisi-kondisi berikut:
                             i.      Hilang kontrol kesadaran
                           ii.      Paksaan dan pengaruh yang tidak semestinya        
Pemetaan siklus/tahap kehidupan di atas menerangkan kecakapan hukum yang di atur dalam Islam dan tentunya juga berkaitan dengan hak maupun kewajiban (baca, cakap hukum) yang melekat pada sosok setiap Insan dalam periodenya masing-masing.        
            Adapun fokus utama dalam penjabaran periodeisasi umur yang disarikan dari tahap kehidupan tersebut adalah untuk mengenali anak berikut masa yang termasuk dalam kategori anak dan di akhiri dengan mengetahui hak dan kewajiban yang melekat pada setiap tahapan yang termasuk periode anak. 
            Dari pemetaan umum di atas, di dalam ensiklopedi hukum Islam (ed), Abdul Aziz Dahlan, sebagaimana dikutip oleh Kholifaturrohmah, bahwa terdapat tiga masa yang  berkaitan dengan anak—berdasarkan definisi anak—yaitu: tufulah, mumayyiz, ‘aqil, dan baligh yang kesemuanya dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kecakapan, sehingga dapat dikatakan sudah mempunyai kemampuan untuk bertindak secara hukum (sah).[8]       
            Berangkat dari periode yang tergolong masa anak dari keseluruhan tahapan kecakapan hukum yang telah dijabarkan di atas, kita akan menyelami tingkat kecakapan yang dikenal dalam Islam dan tidakan apa yang di atur dalamnya.        

Kecakapan Hukum dalam Islam      
            Dalam hukum Islam, sebagai mana dikutip oleh Syamsul Anwar dari Az-Zuhaili, bahwa kecakapan hukum di sebut al-ahliyyah yang berarti kelayakan. Atas dasar itu, kecakapan hukum (al-ahliyyah) didefinisikan sebagai kelayakan seseorang untuk menerima hukum dan bertindak hukum, atau sebagai  “kelayakan seseorang untuk menerima hak dan kewajiban dan untuk diakui tindakan-tindakannya secara hukum Syariah.”[9]  
            Selanjutnya, dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa kecakapan hukum menurut hukum Islam terbagi kepada dua hal, yaitu:
a.       Kecakapan menerima hukum (kecakapan hukum  pasif), dalam istilah hukum Islam disebut ahliyyatul-wujub; dan
b.      Kecakapan bertindak hukum (kecakapan hukum aktif), dalam istilah hukum Islam disebut ahliyyatul-ada’.[10] Dari dua cakapan tersebut bagi menjadi empat fase sebagai berikut:
1). Fase Kecakapan Hukum Pasif Tidak Sempurna
Fase ini dimulai sejak janin (berada dalam kandungan), pada periode ini janin berhak menerima hak-hak hukum tapi tidak sempurna. Diperolehnya hak ini dengan syarat hingga janin tersebut lahir dalam keadaan hidup walau cuma satu menit. Sedangkan kebalikannya, jika janin lahir kedunia dalam keadaan tidak bernyawa maka kecakapan menerima hak itu gugur, dengan demikian kecakapan menerima hak menjadi tidak sempurna, alias batal.           
Dalam kajin fikih (hukum Islam) rincian hak-hak tersebut adalah:
§         Hak dihormati hidupnya                
Penghomatan hidup yang melekat pada setiap janin pada fase kecakapan/kelayakan menerima hukum tidak sempurna ini di mulai sejak dalam kandungan, sedangkan umur kandungan yang menentukan sejak kapan penghormatan terhadap hidupnya dapat jabarkan berikut ini.          
     Pendapat seputar ini terbagi menjadi: Pertama, hak hidup janin dimulai dari usia janin 120 hari, pendapat ini dinisbatkan pada Imam Romli dari mazhab Syafi’i. Kedua, hak hidup dimulai sejak terjadinya konsepsi—yaitu proses bertemunya sel telur dengan sperma—pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghazali.   
     Sedangkan dalam wacana fikih kontemporer cendrung mengamini pendapat Al-Ghazali dengan menambahkan beberapa landasan dari sumber hukum tentang ruh, dimana ruh merupakan hak Allah.[11]       
     Namun fatwa terakhir, yang melandaskan pada hasil temuan dalam dunia kedokteran mengarahkan bahwa sebelum umur 40 hari dibolehkan untuk menyalahi penghormatan tersebut untuk kasus janin yang tidak diinginkan.
§         Hak waris
§         Hak wasiat
§         Hak wakaf: untuk jenis hak yang satu ini masih menyisakan perdebatan.     
2). Fase Kecakapan Menerima Hukum Sempurna
Fase ini dimulai sejak anak terlahir di dunia hingga meninggal. Periode ini anak telah berhak atas semua hak secara sempurna dan mulai di bebani beberapa kewajiban. Kewajiban yang dikenakan pada anak periode ini umumnya berkaitan dengan harta. Diantaranya:
a)      Zakat mal.
b)      Dalam bidang perdata bisa dikenakan ganti rugi akibat melawan hukum tetapi tidak termasuk dalam bidang pidana.
c)      Memberi infak/nafkah kepada keluarga yang tidak mampu.
3). Fase Kecakapan Menerima Hukum; Kecakapan Memikul Kewajiban Tertentu/Terbatas
Fase ini berlangsung pada periode tamyiz, dimulai dari usia 7 (tujuh) tahun hingga dewasa. Pada pase ini kecakapan yang melekat pada anak adalah:
a)      Tindakan yang murni menguntungkan seperti wasiat dan hibah. Sedangkan untuk tindakan yang murni merugikan di anggap tidak sah.
b)      Sedangkan untuk perbuatan hukum yang mengandung keuntungan di satu sisi dan merugikan di sisi lain baru bisa dilaksanakan jika telah mendapatkan ratifikasi (mauquf).   
4). Fase Kecakapan Menerima Hukum; Kecapan Berbuat Hukum Sempurna
Fase ini dimulai ketika seorang anak menginjak dewasa. Menurut jumhur ahli hukum Islam, kedewasaan itu pada pokoknya ditandai dengan tanda-tanda fisik berupa Ihtilam atau haid, namun bilamana tanda-tanda itu tidak muncul pada saatnya, maka kedewasaan di tandai dengan umur yaitu 15 tahun[12]. Ahli-ahli hukum Hanafi menyatakan dewasa itu adalah Usia 18 tahun bagi orang laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.[13]    
            Selanjutnya Syamsul Anwar menyimpulkan bahwa periodesasi hidup manusia terbagi menjadi periodesasi dalam hubungan vertikial dan periodesasi dalam lapangan mu’amalah maaliyah (horizontal).
            Dalam kaitan dengan tingkat-tingkat kecakapan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan adalah (1) periode janin, dimana subjek hukum memiliki kecakapan menerima hukum tidak sempurna, (2) periode kanak-kanak, yaitu usia 0 tahun hingga genap 11 tahun, di mana ia memiliki kecakapan menerima hukum sempurna, hanya saja untuk kewajiban ia Cuma dapat menerima beberapa kewajiban terbatas, (3) anak mumayiz, yaitu usia 12 tahun hingga genap 18 tahun, di mana ia memiliki kecakapan bertindak hukum tidak sempurna di samping kecakapan menerima hukum sempurna, dan (4) orang berusia genap 18 tahun (memasuki 19 tahun) adalah orang dewasa dan memiliki kecakapan bertindak hukum sempurna di samping kecakapan menerima hukum sempurna. Kecakapan seperti ini juga berlaku untuk tanggung jawab pidana.[14] 
            Demikianlah uraian tentang periodeisasi kecakapan hukum Islam, di mana dapat kita petakan bahwa yang dimaksud dengan anak berada dalam tiga fase: masa janin, kanak-kanak, dan mumayyiz. Dimana setiap tingkatan memiliki kecakapan dalam menerima dan berbuat yang berbeda-beda sebagaimana telah di uraikan secara rinci di atas.

2.      Anak, Konsep Pengasuhan (Baca, Hadhanah) dan Kaitannya dengan Relasi Kerja dalam Islam         
a.       Anak dalam Islam 
Untuk mengetahui bagaimana Islam memandang anak, dalam tulisan ini akan dipaparkan kedudukan anak sebagai karunia dalam perkawinan. Dalam posisi ini anak merupakan salah satu dari beberapa tujuan perkawinan, yaitu tujuan reproduksi/regenerasi.     
     Dalam beberapa sumber dari nash al-Quran dan Sunnah[15] telah dipaparkan tentang salah satu aspek dari perkawinan adalah reproduksi, alias melahirkan keturunan.
     Nabi mengajak untuk hidup berkeluarga dan menurunkan serta mengasuh anak-anak mereka menjadi warga dan umat Islam (muslimin) yang saleh. Beliau juga memuji pasangan yang bisa memberikan anak. Sebab anak akan mengembakan Islam di segala zaman. Dengan demikian, tujuan lain di balik umat yang banyak tersebut adalah agar mereka kelak menyiarkan/menegakakkan ajaran Islam. Konsekwensi lebih jauh adalah, bahwa orang yang dapat dan mampu menyampaikan ajaran Islam adalah orang-orang yang berilmu, tentu mereka ini adalah orang-orang berkualitas dan pada gilirannya akan kuat. Karena itu, tujaun reproduksi adalah melahirkan generasi yang kuat dan banyak.[16]  
     Dengan diketahuinya tujuan dari keberadaan anak adalah regenerasi yang mementingkan kuantitas sekaligus kualitas maka tujuan ini menjadi prinsip umum yang saling berkaitan dalam melihat anak perspektif Islam.    

b.      Konsep hadhanah dalam Islam    
     Secara bahasa hadhanah berasal dari kada “hidan”, artinya: lambung. Seperti kata “hadhanah ath-thaairu baidhahu”, artinya burung itu mengapi telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengepit anaknya.[17]  
     Para ahli fikih mendefinisikan “hadhanah’: Melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum mumayyiz. Tanpa perintah darinya menyediakan seesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.[18] Pengasuhan anak ini sangat urgen dan wajib, mengingat bahwa pengabaian terhadap anak sama halnya menjerumuskan generasi masa depan dalam keterpurukan dan degradari dari beragam dimensi—baik itu kasat mata atapun yang tidak terlihat.     
     Konsep hadhanah/pengasuhan dalam Islam pada hakikatnya merupakan pemenuhan hak bagi anak-anak yang masih kecil. Karena mereka membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya dan orang yang mendidiknya. Ibu merupakan orang yang paling diutamakan dalam mengemban amanat pengasuhan ini. Rasulullah bersabda: “Engkau (ibu) lebih berhak terhadap anaknya”.          
     Walaupun demikian, subtansi dari pengasuhan ini adalah pemenuhan hak anak—baik itu pendidikan, jasmani maupun rohani—yang sudah semestinya mereka dapatkan ketika terlahirkan di muka bumi ini. Spirit ini selaras dengan prinsip anak dalam Islam yang melihat aspek kuatitas dan kualitas dari setiap anak sebagai generasi yang hidup hari ini dan masa depan. Oleh karena itu pelaksanaan pengasuhan ini tidak boleh terlewatkan, karena pelompatan siklus hidup seorang anak akan melahirkan sosok pribadi kurang utuh, alias karbitan. Bahkan fakar hukum Islam Sayyid Sabiq mengatakan bahwa hadhanah dalam Islam merupakan kewajiban bersama, jika seorang ibu tidak mampu dalam menjalannya hadhanah ini sesuai dengan tujuan yang di gariskan maka bisa dijalankan oleh mereka yang lebih kompeten. Di balik ini semua terkandung makna pemeliharaan dan pendidikan anak tersia-sia.
     Sebagai contoh bahwa hadhanah adalah kewajiban bersama adalah jika Ibunya tidak mau atau tidak mampu maka amanah pengasuhan jatuh pada datuk perempuan dan seterusnya dalam kasus-kasus tertentu yang di bahas dalam tema mustahikku al-hadhanah.       
Jenjang waktu hadhanah:   
Ulama hanafiyah
, Sebagian ulama—dari madzhab ini—membatasi hingga mencapai umur tujuh tahun dan sebagian lainnya. Kriteriannya: (1). Hingga haid. (2). Sampai batasan nikmat itu, sekitar sembilan tahun.      
Madzhab Maliki, mengatakan pengasuhan anak di mualai sejak lahir hingga menginjak umur baligh.          
Madzhab Syafi’iyyah, tidak mengenal rentang waktu pengasuhan, karena waktu yang di tentukan tidak di kenal.       
Madzhab Hambali, bahwa jenjang pengasuhan terhitung sejak dilahirkan hingga menginjak umur tujuh tahun.[19]    
Makna Pengasuhan           
     Dalam memahami konsep hadhanah ini merupakan suatu keniscayaan untuk menangkap pesan/semangat yang melatar belakangi pengasuhan dalam Islam. Sebut saja, aturan tentang mustahiq—ketentuan tentang orang yang lebih utama dalam mengemban amanah pengasuhan ini—yang bertujuan agar anak mendapatkan pengasuhan yang terbaik dari keutamaan pengasuh, terlebih jika pengasuhan ini dimaknai sebagai tanggung jawab bersama sebagaimana telah di sebutkan sebelumnya dari pendapat Sayyid Sabiq.    
     Menurut Al-Hasan, sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq bahwa Al-Hasan berkata: “Didiklah anak-anakmu! Didiklah mereka dan pahamkanlah ajaran agama kepada mereka!”. Beliau juga berkata: bahwa saya telah mendengar guruku (Ibnu Taimiyyah) almarhum berkata: Ibu-bapak memperebutkan anaknya yang kecil pada beberapa pengadilan. Lalu ia pilih bapaknya. Maka ibunya berkata kepada Hakim: “Cobalah Tuan tanya megapa ia pilih bapaknya!”, lalu hakim bertanya dan si anak ini menjawab: “Ibuku setiap hari menyuruhku belajar mengaji dan guru mengajiku suka memukulku, sedangkan bapakku membiarkan aku bermain dengan teman-teman”. Lalu hakim memutuskan ibunyalah yang lebih berhak untuk mengasuh si anak.[20]     
     Dari dialog di atas, semangat dalam pengasuhan adalah untuk kepentingan anak dan masa depannya. Jadi dalam pengasuhan selain memelihara anak juga harus mendidik mereka dalam memproyeksikan kebaikannya di hari depan, bukan kepentingan hari ini saja. Demikian pula bagaimana hukum Islam juga mengatur bagaimana ketatnya aturan dalam kasus berpindahnya pengasuh dari suatu tempat ketempat lain yang memiliki fungsi kontrol dalam masa pengasuhan ini agar pengasuh tidak semena-mena dan memenuhi kewajiban dalam pengasuhan itu sendiri.      
     Selain itu, dalam kaitannya antara pendidikan dengan penasuhan adalah sangat erat. Menurut Ahmad Fu’adi al-Ahwani, sebagaimana yang dikutip oleh Samira Jamil Miski, bahwasanya pendidikan dalam Islam sesungguhnya berkisar seputar: (1) Membangun akidah/tanmiyatu al-‘aqidah. (2) Menjernihkan jiwa/ tashfiyatu ar-ruuh. (3) Membentuk kepribadian (disiplin)/tahdzifu an-nafs. (4) Membangun akhlak/taqwiimu al-kholqi. (5) Melatih akal/ tatsqiifu al-‘aql. (6) Pendidikan Jasmani/ taqwiyatu al-jismi. (7) Melengkapinya dengan perangai budi pekerti yang umum/ at-tahalli bi al-adabi al-ijtimaaiyyati as-saamiyyati. Dari perindian di atas dapat dipahami bahwa konsep pendidikan dalam Islam secara umum berkisar seputar pedidikan agama, akhlak, ilmu, dan raga/jasmani. Tanpa membenturkan satu-sama lain.[21]   
     Demikianlah uraian singkat tentang pengasuhan, yang memuat didalamnya fungsi pemeliharaan dan pendidikan yang merupakan hak anak. Dari sini diharapkan dapat melihat bagaimana yang diidealkan dalam Islam sehingga dapat kita ketahui apa yang seharusnya di peroleh setiap anak.        

c.       Relasi anak dalam dunia kerja       
    
Dari dua sub ulasan di atas pada hakikatnya sudah mulai kita bisa kita petakan relasi anak dalam dunia kerja. Pertama, dari aspek kecakapan hukum usia anak tergolong cakap dalam berbuat secara tidak sempurna dengan syarat-syarat pembatas, alias mauquf (butuh ratifikasi). Kedua, Sebelum mereka dewasa setiap anak berhak mendapatkan pengasuhan—termasuk di dalamnya pendidikan, dll—dan hak ini harus dipenuhi sebagaiman di sebutkan bahwa kewajiban hadhanah merupakan kewajiban bersama, walaupun batasan umur di antara anak berbeda-beda dikalangan fuqoha.   
     Dalam dunia kerja, Islam telah membahas beberapa hal yang berkaitan dengan perburuhan. Diantaranya tentang hak dasar buruh dalam al-Quran: Hak buruh atas upah kerjanya, hak atas upah sesuai dengan nilai kerjanya, hak sebagai nafkah keluarga, hak bekerja sebagai kemampuannya, hak atas waktu istirahat, hak atas perlindungan kekerasan, hak jaminan social, dan penghargaan masa kerja. Dari sisi majikan di gariskan beberapa kewajiban, diantaranya: Baik kepada buruh, membangun kesetaraan dengan buruh, bertanggung jawab terhadap kesehatan buruh, jujur dalam menjalankan usaha, bertanggung jawab dalam tugas, larangan menumpuk modal/membekukannya demi kepentingan pribadi, larangan penyalahgunaan kekayaan, dan menghindari berlebih-lebihan, efektif dalam menjalankan usaha.[22]   
     Demikianlah tinjauan hukum Islam terhadap pekerja anak, di mana batasan umur masih terdapat perbedaan akan tetapi dalam pematokan umur ketika melakukan perbuatan dalam hukum perjanjiaan tentang mu’amalah maaliyah sangat berhati-hati—terutama dalam menentukan kapan seoranng anak cakap dalam menerima dan berbuat secara sempurna, yaitu: 18 tahun keatas. Walau seorang anak yang berumur di bawah 18 tahun tetap dibolehkan dalam bekerja namun secara prinsip tetap harus dipenuhi setiap hak yang melekat pada mereka sebagai kewajiban bersama oleh masyarakat, pemerintah, dan semua elemen. Sebagaimana Islam memberikan perhatian yang besar terhadap anak sebagai generasi yang hidup hari ini dan cikal bakal generasi masa depan di satu sisi dan penekanan akan pentingnya kuantitas dan kualitas umat.


[1]. W.J.S. Poerdarminta, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm. 38.
[2]. Dadan Muttaqien, Cakap Hukum: Bidang Perkawinan dan Perjanjian, (Yogyakarta: Insania Cita Press, 2006), hlm. 1.
[3]. Ibid., hlm. 1.


[4]. Ibid., hlm. 2.
[5].Abi Dawud I, tt: 133).
[6]. Ibid., hlm. 4.

[7]. Ibid., hlm. 8.

[8]. Kholifaturrohmah, “Pekerja Anak di Ddesa Proto kec. Kedungwuni kab. Pekalongan Jawa Tengah (Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif)”, skripsi S-1 Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2009), hlm. 11.
[9]. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 109.
[10]. Ibid., hlm. 109.
[11]. Al-Israa (17): 33 dan 85.
[12]. Batasan 15 tahun di dasarkan pada hadis dari Ibn ‘Umar tentang perang.
[13]. Ibid., hlm. 112.
[14]. Ibid., hlm. 116.
[15]. Dalil-dalil al-Quran:
Al-Shura (42): 11
فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلأَرضِ‌ جَعَلَ لَكُم مِّن أَنفُسِكُم أَزوَٲجًا وَمِنَ ٱلأَنعَـٰمِ أَزوَٲجًا‌ يَذرَؤُكُم فِيهِ‌ لَيسَ كَمِثلِهِۦ شَىءٌ‌ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلبَصِيرُ

Al-Nahl (16): 72.
وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّن أَنفُسِكُم أَزوَٲجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّن أَزوَٲجِڪُم بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَـٰتِ‌ أَفَبِٱلبَـٰطِلِ يُؤمِنُونَ وَبِنِعمَتِ ٱللَّهِ هُم يَكفُرُونَ

Al-Nisa (4): 1.
يَـٰأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفسٍ وَٲحِدَةٍوَخَلَقَ مِنہَا زَوجَهَا وَبَثَّ مِنهُمَا رِجَالاًه كَثِيرًا وَنِسَاءً وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَاءَلُونَ بِهِۦ وَٱلأَرحَامَ‌ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيكُم رَقِيبًا

Al-Tariq (86): 6-7.
خُلِقَ مِن مَّاءٍ دَافِقٍ (٦) يَخرُجُ مِن بَينِ ٱلصُّلبِ وَٱلتَّرَائِبِ (٧)

Al-Nisa (4): 9.
وَليَخشَ ٱلَّذِينَ لَو تَرَكُواْ مِن خَلفِهِم ذُرِّيَّةً ضِعَـٰفًا خَافُواْ عَلَيهِم فَليَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَليَقُولُواْ قَولاً سَدِيدًا (٩)

Dalil-dalil Sunnah:
§         تزوجواالودودالولود فانى مكاثر بكم الامم يوم القيامة

§         تناكحوا تكاثرو فانى افاهي بكم  الامم يوم القيامة

[16]. Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, edisi revisi (Yogyakarta: ACAdeMia+TAZZAFA, 2004), hlm., 42.
[17]. Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah/Fikih Sunnah Jilid ke-8, alih bahasa Mohammad Thalib, cet. Ke-1 (Bandung: PT Alma’arif, 1980), hlm173.

[18]. Ibid., hlm 173.
[19]. ‘Abdu ar-Rahma al-Jaziri, Al-fikhu ’ala al-Mazahib al-arba’ah, jilid ke-4, cet. Ke-1 (Kairo: Daaru al-Bayaan al-‘Arabi, 2007), hlm. 459.
[20]. Ibid., hlm. 195.
[21]. Samira Jamil Miski, Makanat al-Mar’ah Fil-Usrah Wa Dauruha al-Tarbawi fi Manzul al-Islam, edisi 1, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2006), hlm. 141.
[22]. Umniah Labibah, Wahyu Pembebasan: Relasi Buruh-Majikan, cet. Ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Alif, 2004), hlm. 32 dan 38.

No comments: