Prinsip, Faktor dan Hukum
Perkawinan
Selengkapnya Click DISINI
Perkawinan
antara laki-laki dan perempuan dimaksudkan sebagai upaya memelihara kehormatan
diri (hifzh al-‘irdl) agar mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan
terlarang, memelihara kelangsungan kehidupan manusia/keturunan (hifz al-nasl)
yang sehat, mendirikan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi kasih sayang antara
suami dan isteri dan saling membantu antara keduanya untuk kemaslahatan
bersama. Hal ini telah dinyatakan dengan jelas dalam Qs.
Al-Rûm (33): 21:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kamu
pasangan-pasangan dari jenis (yang sama dengan) kamu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepada mereka, dan dijadikan-Nya di antara kamu
(dan pasanganmu) rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Untuk maksud di atas, maka tanzhîm al-usrah
(pengaturan keluarga) dan usaha-usaha dalam menjaga kesehatan reproduksi
menjadi suatu ikhtiar yang harus mendapat perhatian yang serius dari semua
pihak, termasuk di dalamnya adalah pengaturan tentang batas usia perkawinan
yang dapat menjamin terpenuhinya kesehatan reproduksi dan kemaslahatan.
Qs. al-Nûr, 32 :
وَأَنْكِحُوا الأيَامَى مِنْكُمْ
“Dan nikâhkanlah mereka yang
belum bersuami”.
Imâm Syâfi’î mengatakan :
‘‘ويستحب للأب أن لا يزوجها حتى تبلغ لتكون من أهل الإذن ولأنه
يلزمها بالنكاح حقوق’’.
“Sebaiknya
ayah tidak mengawinkannya (anak perempuan belia) sampai dia baligh, agar
dia bisa menyampaikan izinnya, karena
perkawinan akan membawa berbagai kewajiban (tanggung jawab)”.[1]
Ijbâr dan Wali Mujbir
Selama ini ada pandangan
umum yang menyatakan bahwa perempuan menurut fiqh Islam tidak berhak
menentukan pilihan atas pasangan hidupnya. Yang menentukan dalam hal ini
adalah ayah atau kakeknya. Hal ini lalu menimbulkan asumsi umum bahwa Islam
membenarkan kawin paksa. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh suatu
pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan ‘hak Ijbâr’. Hak ijbâr dipahami
oleh banyak orang sebagai hak memaksakan suatu perkawinan oleh orang lain yang
dalam hal ini adalah ayahnya.
Sebelum menjelaskan
persoalan memilih pasangan (jodoh) ini lebih jauh perlu dijelaskan terlebih
dahulu secara singkat mengenai beberapa kata dalam bahasa Arab yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan paksaan/memaksa atau yang
memiliki konotasi yang sama. Antara lain adalah kata Ikrâh dan Taklîf.
Kedua kata ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti paksaan atau
memaksa, atau dibebani/diwajibkan mengerjakan sesuatu. Qs. Al-Baqarah (2): 256 misalnya
menyebutkan :
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
“Tidak ada paksaan dalam agama”.
Qs. Al-Nahl (16):
106:
إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ
“Kecuali orang dipaksa,
sedangkan hatinya masih beriman”.
Mengenai taklîf
, Qs. Al-Baqarah (2): 286 menyebutkan :
لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak memaksakan
(beban) kepada seseorang kecuali menurut kemampuannya”.
Kemudia kata ijbâr.
Dalam kamus Al-Munawwir, misalnya, dikatakan: ajbarahu ‘alâ al-amr, yang
berarti mewajibkan, memaksa agar mengerjakan.
Pada ketiga kata bahasa
Arab di atas, sebenarnya terdapat perbedaan yang cukup signifikan untuk dapat
memahami persoalan dalam kajian ini. Ikrâh adalah suatu paksaan terhadap
seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu dengan suatu ancaman yang
membahayakan terhadap jiwa atau tubuhnya, tanpa dia sendiri mampu melawannya.
Sementara bagi orang yang dipaksa, perbuatan tersebut sebenarnya bertentangan
dengan kehendak hati nuraninya atau pikirannya.[2]
Taklîf adalah suatu paksaan
terhadap seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Akan tetapi pekerjaan ini
sebenarnya merupakan konsekwensi logis belaka dari penerimaannya atas suatu
keyakinan. Jadi, pekerjaan tersebut sebenarnya adalah suatu kewajiban bagi
orang tersebut (mukallaf), karena dia telah dengan sadar menjatuhkan
pilihannya untuk mengikuti atau mengakui sesuatu keyakinan. Misalnya adalah
shalat lima waktu, puasa bulan ramadhan dan kewajiban-kewajiban agama yang
lain. Ini juga sama dengan kewajiban melaksanakan suatu aturan atau
undang-undang negara, organisasi dan lain-lain.
Adapun Ijbâr adalah
suatu tindakan untuk melakukan sesuatu atas dasar tanggungjawab. Istilah ijbâr
dikenal dalam fiqh Islam dalam kaitannya dengan soal perkawinan. Dalam fiqh
madzhab Syâfi’î orang yang memiliki kekuasaan atau hak ijbâr adalah ayah
atau (kalau tidak ada), kakek. Jadi, apabila seorang ayah dikatakan sebagai wali
mujbir, maka dia adalah orang yang mempunyai kekuasaan atau hak untuk
mengawinkan anak perempuannya, meskipun tanpa persetujuan dari pihak yang
bersangkutan, dan perkawinan ini dipandang sah secara hukum. Hak Ijbâr
dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan atau tanggungjawab ayah terhadap
anaknya, karena keadaan dirinya yang dianggap belum/tidak memiliki kemampuan
atau lemah untuk bertindak.[3]
Dari
segi akibat hukum, maka antara Ikrâh dan Taklîf memiliki
perbedaan yang berlawanan. Memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu dengan
secara ikrâh dapat dipandang sebagai suatu pelanggaran terhadap hak
asasi manusia. Jika perbuatan yang dipaksakan tersebut dilaksanakan, maka
perbuatan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Sebaliknya memaksa orang lain
untuk mengerjakan sesuatu secara taklîf, justeru merupakan pahala,
karena termasuk dalam katagori amar ma’ruf nahi munkar atau dalam bahasa yang lebih umum pemaksaan
tersebut dipandang dalam rangka penegakan hukum. Penolakan atas paksaan ini
merupakan pelanggaran hukum, pelakunya berdosa atau harus dihukum.
Kembali pada persoalan Ijbâr dan Wali Mujbir . Dalam wacana
yang berkembang secara umum, istilah wali mujbir dimaknai sebagai orang
tua yang memaksa anaknya untuk kawin atau menikah dengan pilihannya, bukan
pilihan anaknya. Oleh karena itu dalam tradisi yang ada dalam masyarakat kita
dan masih berlaku sampai hari ini kemudian terkenal dengan istilah ‘kawin
paksa’, satu istilah yang memiliki konotasi
‘ikrâh ’. Pemaknaan ijbâr dengan konotasi ikrâh tentu saja
tidak benar.
Dengan memahami makna Ijbâr di atas, maka sebenarnya kekuasaan
seorang ayah terhadap seorang perempuan untuk menikah dengan seseorang
laki-laki, bukanlah suatu tindakan memaksakan kehendaknya sendiri dengan tidak
memperhatikan kerelaan sang anak, melainkan hak mengawinkan, jadi
bukan hak memaksakan kehendak atau memilihkan pasangan (jodoh).
Sebab Ijbâr seorang ayah lebih bersifat tanggungjawab belaka, dengan
asumsi dasar anak perempuannya belum
atau tidak memiliki kemampuan untuk bertindak sendiri. Dalam pengertian seperti
inilah, maka hak ijbâr ayah terhadap putrinya, dalam madzhab Syâfi’î,
dikaitkan dengan beberapa persyaratan, antara lain :
1. Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu
terhadap laki-laki calon suaminya.
2. Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu
terhadap ayahnya.
3. Calon suami haruslah orang yang kufu’
(setara/sebanding).
4. Mas kawin (mahar) harus tidak kurang dari mahar
mitsil, yakni mas kawin perempuan lain yang setara.
5. Calon suami diduga tidak akan melakukan perbuatan
atau tindakan yang akan menyakiti hati perempuan itu.[4]
Boleh jadi dalam tradisi masyarakat yang berkembang pada masa Imam Syâfi’î,
beberapa persyaratan di atas menjadi ukuran minimal bagi indikasi
kerelaan perempuan untuk menikah dengan seorang laki-laki, calon suaminya itu.
Jadi sekali lagi perlu dikatakan bahwa ijbâr bukanlah suatu tindakan
pemaksaan kehendak sang wali dalam menentukan calon suami. Dengan demikian,
maka kalimat ‘tanpa izinnya’, hendaknya diartikan sebagai ‘tanpa harus ada
pernyataan secara eksplisit darinya (perempuan)’. Pemaknaan Ijbâr
sebagai pemaksaan kehendak dari ayah untuk menentukan pilihannya, jelas menafikan
unsur kerelaan yang menjadi asas/dasar dalam setiap akad (transaksi), termasuk
akad nikah ini. Pemaksaan kehendak dalam menentukan pilihan dapat dikatakan
sebagai ikrâh. Dalam pandangan para ahli fiqh Islam, pemaksaan secara ikrâh
mengakibatkan ketidakabsahan suatu pernikahan.
Dr. Wahbah al Zuhaili, mengutip pendapat para ulama madzhab fiqh,
mengatakan:
“Adalah tidak sah perkawinan dua orang calon mempelai tanpa kerelaan mereka
berdua. Jika salah satunya dipaksa secara ikrâh dengan suatu ancaman misalnya
membunuh atau memukul atau memenjarakan, maka akad perkawinan tersebut menjadi fasad (rusak).”[5]
Hal
ini sesuai dengan hadîs Nabi Saw:
إن الله تجاوز عن
أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه. أخرجه ابن ماجه والبيهقي.
“Tuhan membebaskan dosa umatku, karena keliru, lupa dan dipaksa”. Riwayat
Ibnu Majah dan al-Bayhaqî.[6]
Selanjutnya mengenai kalimat
‘tidak ada urusan apapun bagi bapak’ sebagaimana disebutkan dalam hadîs di
atas, Wahbah mengatakan:
“Yang dimaksud dengan kata-kata Nabi tersebut ialah tidak boleh
mengawinkan. Hadîs ini, di samping menafikan kawin paksa, menurutnya,
sekaligus juga menunjukkan bahwa dalam masalah perkawinan, unsur kerelaan
merupakan salah satu syarat bagi keabsahannya. Pemaksaan (ikrâh) sudah
tentu bertentangan dengan unsur ini. Perkawinan dengan cara ikrâh adalah
tidak sah. Inilah pendapat fiqh yang kuat (râjih). Karena
bagaimanapun unsur kerelaan dari pihak-pihak yang terkait dalam suatu akad
(transaksi) apa saja, termasuk akad pernikahan, merupakan asas atau dasar yang
menentukan keabsahannya”.[7]
Hukum Menikah
Dalam Islam
وَأَنكِحُوا
الأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِن عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَّكُونُوا
فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ. النور، 24: 32.
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Qs.
Al-Nûr (24): 32).
Kosa kata penting
أنكحوا : Fi’il
amr yang berarti kawinkanlah. Akar katanya adalah n-k-h yang
berarti kawin atau mengawini. Dengan imbuhan hamzah di depan, artinya berubah
menjadi mengawinkan. Kata ini memerlukan dua objek (maf’ûl).
الأيامى : Bentuk
jam’ dari kata Ayyim, yang berarti orang yang tidak memiliki pasangan,
baik lelaki (tidak memiliki istri) atau perempuan (tidak memiliki suami), baik
karena memang belum pernah melangsungkan pernikahan (perawan atau jejaka), atau
pernah kemudian cerai (duda atau janda). Bentuk jama’ asalnya adalah ayayim,
kemudian huruf ya’ yang kedua dipindah ke tempat huruf mim dan
sebaliknya, sehingga menjadi ayamîy,
kemudian ya’ akhir dirubah menjadi alif, menjadi ayâmâ.
Ulama bahasa Arab, seperti al-Kasâ‘i, Abu ’Ubayd dan Abu ’Amr, berkata bahwa
kata ini pada awalnya digunakan untuk perempuan yang belum memiliki pasangan,
tetapi digunakan juga untuk lelaki.
صالحين
: Bentuk jam’ dari kata shâlih , yang
berarti pantas, layak, baik dan bermanfaat. Implikasinya bisa dalam berbagai
hal; spiritual, moral, intelektual, dan fisik. Al-Qurtûbî mengartikan shâlih_ dengan keimanan,
berarti shâlih_ dalam wilayah spiritual dan moral
keagamaan. Sementara di dalam terjemahan di atas mengartikannya dengan
kelayakan yang lebih merujuk kepada kondisi materil (fisik, ekonomi atau yang
lain).
عبادكم : Bentuk jam’ dari kata ’abd,
yang berarti hamba sahaya lelaki, biasanya bentuk jam’ yang digunakan
adalah ’abîd bukan ’ibâd. Kata ini apabila dinisbahkan kepada Allâh Swt
berarti semua makhluk di dunia ini.
إمائكم : Bentuk jam’ dari
amah, yang berarti hamba sahaya perempuan, lawan kata ‘abd (hamba
sahaya lelaki).
Arti umum ayat
Di
dalam ayat ini, Allâh Swt memerintahkan umat Islam untuk mengawinkan
orang-orang yang belum memiliki pasangan, baik lelaki maupun perempuan.
Perintah ini, seperti kata Imam al-Syawkânî, adalah merupakan lanjutan dari
perintah-perintah pada ayat sebelumnya; memejamkan mata dari
pandangan-pandangan yang merangsang dan menjaga diri dari segala hal yang
medorong kepada perzinahan (Qs. Al-Nûr (24): 30-31). Artinya, Allâh pada ayat
sebelumnya ingin menutup jalan kepada perbuatan zina, kemudian dalam ayat ini
(24: 32) Allâh Swt meminta untuk melapangkan jalan kepada perkawinan, sebagai
cara terbaik untuk menutup kemungkinan terjadinya perbuatan zina.
Di dalam ayat ini, Allâh Swt berkata: “Wahai orang-orang
yang beriman, kawinkanlah orang-orang yang tidak memiliki pasangan, lelaki atau
perempuan, dari kalangan orang-orang yang merdeka, juga orang-orang yang baik,
shâlih dan bertakwa dari kalangan mereka yang masih menjadi hamba
sahaya. Kalau diantara mereka yang akan dikawinkan masih faqîr (tidak memiliki
kecukupan ekonomi), maka janganlah menjadi penghalang mereka untuk
melangsungkan pernikahan, karena Allâh Swt akan membuat mereka mampu dan
memberikan kelapangan kepada mereka dari rizki-Nya, sesungguhnya Dia Maha Kaya,
Luas-rizki, dan Mengetahui segala keadaan dan keperluan hamba-hamba-Nya”.
Fikih
ayat:
1.
Mengawinkan itu kewajiban siapa?
Di
dalam ayat ini ada perintah. Sebelum membicarakan perbedaan ulama tafsir dan
fikih tentang bentuk perintah; wajib atau bukan, tapi yang jelas ada perintah.
Karena yang digunakan adalah kata berbentuk perintah (fi’l amr); ankihû,
yang berarti perintah mengawinkan. Yang menjadi pertanyaan adalah perintah ini
ditujukan kepada siapa?, atau Allâh dalam ayat ini berbicara kepada siapa (mukhâtab)?
Perbedaan ini secara sekilas nampak sederhana, tetapi ia mempunyai konsekwensi
hukum yang serius, yaitu tentang hak wali untuk mengawinkan perempuan yang
diwalikannya, atau hak seorang perempuan untuk mengawinkan dirinya tanpa wali.
Permasalahan ini akan dibahas pada pembahasan berikutnya. Di sini, hanya yang
berkaitan dengan tanggung jawab mengawinkan orang yang belum (atau tidak)
berkeluarga.
Dalam hal ini ulama tafsir, seperti dikatakan al-Qurthûbi
dan al-Syawkânî, berbeda dalam dua pendapat; pertama yang mengatakan
bahwa perintah ini ditujukan kepada para wali dalam nikah untuk menikahkan
orang-orang yang di bawah asuhan mereka, kedua bahwa ia ditujukan kepada suami
atau calon suami untuk mengawini perempuan-perempuan yang belum memiliki suami.
Pendapat pertama berdalih bahwa ankihû dengan imbuhan hamzah,
berarti mengawinkan. Ia adalah kata yang memerlukan dua obyek. Seperti
dikatakan Bapak Ahmad mengawinkan (dalam bahasa Arab menggunakan kata ankaha)
anaknya yang bernama Fatimah dengan Abdullah. Berarti, yang paling tepat untuk
menerima perintah ayat ini adalah para wali perempuan-perempuan. Karena kata ankaha
hanya bisa benar kalau dikaitkan dengan wali sebagai subjek, sedangkan objek
pertamanya adalah calon suami dan objek kedua adalah calon istri.
Perintah ayat ini, secara bahasa, tidak bisa ditujukan
kepada lelaki sebagai calon suami yang akan kawin, karena kalau untuk arti ini
tidak diperlukan imbuhan awal hamzah dalam kata tersebut, semestinya yang
digunakan di dalam ayat itu adalah kata wankihû (kawinilah) bukan
kata wa‘ankihû (kawinkanlah). Tetapi karena ayat ini menggunakan kata
yang kedua, maka yang menjadi mukhâthab adalah para wali. Pendapat ini
didukung oleh banyak ulama tafsir seperti al-Qurthûbî (XII:159) dan al-Syawkânî
(IV:33).
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa perintah nikah
ditujukan kepada lelaki calon suami. Mereka berhujjah bahwa kata ayyim secara
literal berarti perempuan yang belum bersuami, bukan lelaki yang belum
beristri. Karena itu, orang yang tepat mengawini perempuan adalah lelaki
sebagai calon suami, bukan sebagai wali. Lelaki, sebagai calon suami, juga
adalah orang yang secara nyata menjalankan kehidupan perkawinan. Kalaupun kata ankihû
memerlukan dua obyek, maka yang pertama adalah perempuan yang akan dikawin dan
kedua adalah diri lelaki yang akan mengawin. Bagi mereka, ayat ini berarti,
wahai para lelaki (calon suami) kawinkanlah perempuan-perempuan yang tidak
bersuami dengan diri kamu sekalian.
Walaupun Imam al-Qurthûbî mengatakan bahwa dalam hal ini
hanya ada dua pendapat, ternyata ada tiga, karena Imam al-Jashshâsh (V/178)
dari mazhab Hanafi tidak setuju dengan kedua tafsiran di atas. Bagi beliau yang
menjadi mukhâthab adalah semua orang (‘ammat al-nâs), bukan hanya
wali atau calon suami, dengan alasan bahwa obyek perintah ayat adalah orang
yang belum berpasangan (ayâmâ) lelaki atau perempuan. Seorang perempuan
bisa dikawinkan oleh walinya, tetapi lelaki mengawinkan dirinya. Karena itu
‘mengawinkan’ dalam ayat ini bukan hanya melangsungkan akad nikah kepada
mereka, tetapi lebih umum lagi yaitu merangsang (targhîb) mereka untuk
melangsungkan pernikahan. Upaya ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Ayat ini
bagi al-Jashshâsh termasuk ayat targhîb al-zawâj, sama dengan
hadits-hadits yang menekankan perlunya perkawinan, yaitu yang dikenal dengan ahadits
al-targhîb li-al-zawâj.
Beberapa ulama tafsir kontemporer, seperti al-Shâbûnî
(II/184), juga memilih pendapat al-Jashshâsh. Bagi al-Shâbûni, mukhâthab ayat
tersebut adalah semua umat Islam tanpa kecuali, baik sebagai komunitas atau
individu, dan untuk individu baik ia sebagai lelaki, atau perempuan, baik
berstatus wali, calon suami, suami, atau status sosial yang lain seperti ulama,
pejabat pemerintah, atau yang lain. Semua komponen masyarakat adalah orang yang
diperintahkan oleh ayat untuk mengupayakan pelaksanaan perkawinan antar
orang-orang yang belum memiliki pasangan. Dengan demikian, semua orang
berkewajiban untuk melapangkan jalan perkawinan orang-orang yang tidak
berpasangan, dengan memberikan motivasi kepada calon suami istri, memberikan
bantuan kepada mereka, menutup jalan perzinahan dalam masyarakat, meciptakan
lapangan kerja, dan upaya-upaya lain yang akan menciptakan suasana kondusif
bagi kehidupan perkawinan. Dalihnya adalah bahwa perintah ‘mengawinkan’ adalah
bukan perintah melangsungkan ‘akad pernikahan’ sehingga secara khusus harus
berkaitan dengan wali atau calon suami, tetapi lebih luas dari itu, yaitu
menciptakan kemudahan-kemudahan untuk terjadinya perkawinan antar orang-orang
yang tidak berpasangan. Karena itu, khithâb dari ayat ini adalah sangat
luas kepada semua orang, sesuai dengan kemampuan dan status masing-masing. Hal ini seperti yang diungkap dalam suatu hadits:
‘‘إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه، فزوجوه، إلا تفعلوا، تكن فتنة في
الأرض وفساد كبير’’. رواه الترمذي.
“Apabila
datang kepada kamu orang yang kamu rela melihat agama dan akhlaknya, maka
kawinkanlah ia, kalau tidak dilakukan, maka akan timbul fitnah di bumi dan
kerusakan yang besar”. H.R. al-Turmudzî (lihat: Ibn al-atsir, 1984:XII/142,
no. Hadits: 8977).
Kata ‘kawinkanlah’ di dalam hadits ini juga umum dan
kepada semua orang. Yang diperintahkan adalah memudahkan jalan kepada
pernikahan. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, mencarikan pasangan
yang tepat kepada yang belum berpasangan, memberikan motivasi dan bantuan
materil.
Substansi dari permasalahan ini adalah bahwa menikah
di dalam Islam termasuk hal yang terpuji, baik dan bermanfaat. Karena itu,
Allâh Swt mendukung dan memerintahkan untuk mewujudkan segala upaya untuk
merealisasikan perkawinan antar orang-orang yang belum berpasangan. Allâh Swt
melepaskan perintah itu dalam bentuk jam’ (plural), yang berarti kepada
semua orang, tanpa membatasi siapapun.
2. Hak perempuan untuk mengawinkan dirinya
Imam
al-Qurthûbî mengatakan bahwa yang diperintahkan (mukhâthab) di dalam
ayat ini adalah para wali untuk mengawinkan perempuan yang ada di bawah asuhan
mereka. Berarti, yang berhak mengawinkan (melangsungkan akad nikah) adalah wali
dari perempuan dengan lelaki calon suaminya. Perempuan sendiri tidak punya hak
untuk mengawinkan dirinya. Kalau perempuan berhak mengawinkan dirinya tanpa
walinya, perintah menikahkan akan ditujukan kepada perempuan sebagaimana
ditujukan kepada lelaki, tetapi karena hanya ditujukan kepada lelaki, berarti
perempuan tidak diberikan hak oleh syara’ untuk melangsungkan akad nikah
bagi dirinya. Redaksi ayat sangat jelas menggunakan jam’ mudzakkar
(plural maskulin).
Tafsiran ayat seperti ini adalah merupakan pendapat
mayoritas ulama selain ulama mazhab Hanafi. Mazhab Syafi’i bahkan lebih jauh
mengatakan bahwa ayat ini memberikan hak kepada wali mujbir untuk
memaksakan kehendaknya mengawinkan perempuan perawan yang di bawah
perwaliannya, walaupun tanpa izin dan kerelaan dari perempuan tersebut. Bagi
mazhab Syafi’i, ayat ini sebenarnya memberikan hak kepada wali untuk semua
perempuan, tetapi karena ada hadits yang memerintahkan pengambilan izin dari perempuan
janda, maka yang boleh dipaksa kawin oleh wali yang berhak adalah perempuan
perawan saja, yang sudah dewasa atau masih kecil.
Mazhab Hanafi tidak sependapat dalam hal ini dan
mengkritik semua dalil yang digunakan oleh jumhur ulama, termasuk ayat ini.
Kata al-Jashshâsh, lafal ayâmâ di dalam ayat tersebut untuk perempuan
dan lelaki, seperti yang dikatakan para pakar bahasa. Apabila lelaki tidak
boleh dikawinkan tanpa kerelaannya, maka perempuan juga sama tidak boleh
dikawinkan tanpa kerelaannya. Karena kedua jenis merupakan obyek perintah
kawin, semestinya tidak ada satupun yang istimewa dan dibedakan dari yang lain.
Karena itu, seorang wali tidak berhak untuk memaksakan perkawinan kepada
perempuan perawan sekalipun, tanpa kerelaan dan izin darinya. Perintah
mengawinkan di dalam ayat ini juga tidak ditujukan kepada wali, tetapi kepada
semua umat Islam. Dengan demikian, ayat ini tidak bisa dijadikan dasar untuk
mengatakan bahwa perempuan tidak punya hak untuk mengawinkan dirinya, atau akad
nikah hanya merupakan hak perogratif wali kepada perempuan yang di bawah
perwaliannya. Bahkan, dengan dalil lain (seperti yang akan dijelaskan lebih
lanjut) mazhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan boleh melangsungkan akad
nikah untuk dirinya tanpa wali sekalipun, sama seperti lelaki. Ayat ini, bagi
al-Jashshâsh, tidak diterima untuk mendasari keabsahan para wali memaksakan
perkawinan kepada perempuan-perempuan tanpa kerelaan, bahkan juga tidak untuk
pendapat yang mengatakan bahwa perempuan tidak berhak melangsungkan akad
pernikahan.
Untuk mengatakan ketidak absahan akad nikah yang
dilangsungkan oleh perempuan, jumhur ulama memperkuat dengan berbagai dalil.
Diantaranya ayat-ayat al-Qur‘an yang menisbahkan lafal nikah kepada lelaki; QS.
2: 221, 232, QS. 4: 3, 22, 127. Beberapa hadits juga dijadikan dasar bagi
pendapat ini. Yang paling utama adalah hadits ‘Aisyah ra, bahwa baginda Nabi
bersabda:
‘‘أيما امرأة نكحت
بغير إذن وليها، فنكاحها باطل، فنكاحها باطل، فنكاحها باطل’’. رواه أبو داود
والترمذي.
Artinya: “Sesiapa perempuan yang menikah tanpa
seizin walinya, maka nikahnya adalah batal, nikahnya batal, nikahnya batal”.
H.R. Abu Dawud dan Turmudzi (lihat: Ibn al-athîr, 1984: XII/138, no. Hadits:
8961).
Hadits
ini menunjukkan bahwa keabsahan pernikahan perempuan dikaitkan dengan izin
walinya, karena itu ia tidak bisa berdiri sendiri untuk melangsungkan akad
pernikahan. Artinya, perempuan tidak berhak melangsungkan akad nikah, dan kalau
terjadi maka akad itu tidak sah. Yang berhak melangsungkan akad nikahnya adalah
wali yang sah.
3. Hukum menikah
Kalau ayat ini dipahami secara
harfiah, maka menikah hukumnya adalah wajib. Karena ‘mengawinkan/mengawini’
disampaikan dalam bentuk perintah, sedangkan perintah seperti kata ulama ushûl
al-fiqh pada dasarnya adalah menunjuk kepada hukum wajib ( الأصل في الأمر للوجوب ). Tetapi ulama fikih dalam
hal ini berbeda dalam tiga pendapat; pertama mengatakan bahwa menikah adalah wajib,
kedua mengatakan menikah adalah mubâh dan ketiga menikah adalah mandûb atau sunnah.
Perbedaan ini untuk menikah dalam keadaan normal, tidak ada kondisi
eksternal yang mempengaruhi atau
memaksa. Apabila ada kondisi eksternal, maka menikah bisa jadi mandûb, wâjib,
bahkan bisa harâm. Dalam hal bahwa menikah bisa berubah dari hukum
asalnya karena suatu kondisi dan keadaan tertentu, ulama fikih tidak berbeda
pendapat. Tetapi dalam keadan netral dari segala kondisi, ulama berbeda
pendapat.
Al-Zhâhiriyyah. Mazhab ini berpendapat bahwa hukum asal menikah adalah wajib, karena ayat ini
disampaikan dalam bentuk perintah, dan perintah menunjukkan kewajiban. Menikah
juga merupakan jalan untuk menjaga diri dari terjerumus kepada yang haram
(zina). Meninggalkan zina adalah wajib, sedangkan jalan untuk meninggalkannya
adalah dengan menikah, maka menikah juga wajib. Karena di dalam fikih ada
diktum bahwa apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan
melaksanakan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib hukumnya. Dalam redaksi
bahasa Arab dikenal dengan: ( لا يتم الواجب إلا به فهو واجب ).
Pendapat ini
dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa: Sahabat
‘Akkaf bin Wada’ah bertemu dengan Nabi Muhammad Saw, baginda bertanya
kepadanya: “’Akkaf, apakah anda punya istri”. “Tidak!”, jawab ‘Akkaf. “Punya
hamba perempuan?”. “Tidak juga wahai Rasul”. “Terus anda juga sehat,
kuat dan cukup hidup?”. “Ya, al-hamdu lillâh”. “Kalau begitu,
anda adalah kawan syetan, kalau kamu mau ikut para pendeta Kristen, silahkan
pergi kepada mereka, kalau kamu mau ikut kami, maka kerjakan apa yang kami
kerjakan”, tegas baginda Nabi. Kemudian baginda menambahkan: “Menikah adalah
sunnah kami, orang-orang yang hidup bujang (lajang) diantara kamu adalah
orang-orang yang buruk. Sesungguhnya orang yang hidup membujang akan mati dalam
kehinaan”.
Perintah Nabi Saw di dalam hadits ini sangat jelas,
yaitu untuk menikah, karena menikah termasuk sunnah baginda dan baginda juga
mencela kehidupan membujang. Di dalam surat al-Nisa ayat 3, juga ada perintah
untuk menikah, dengan menggunakan redaksi perintah (fi’l amr). Hadits-hadits yang
datang dengan redaksi perintah dalam hal menikah juga banyak. Semua ini, bagi
mazhab Zâhiri mengindikasikan bahwa hukum menikah adalah wajib. Diantaranya adalah hadits:
عن عبد الله بن مسعود، قال: قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر
وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء. أخرجه البخاري ومسلم
والترمذي وأبو داود.
Artinya: “Dari Abdullâh bin Mas’ud ra, berkata:
Rasulullâh Saw bersabda: wahai anak muda, sesiapa di antara kamu yang mampu
menikah, menikahlah, karena dengan menikah akan lebih memejamkan mata (dari
melihat yang haram) dan menjaga diri (dari zina), apabila kamu tidak mampu menikah,
maka berpuasalah, karena puasa adalah kendali bagi dirinya”. H.R. Bukhâri,
Muslim, Turmudzi dan Abu Dawud. (Ibn al-Athir, 1984: XII/122, no. hadits:
8919).
Al-Syâfi’iyyah. Mazhab ini berpendapat bahwa menikah adalah
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan seksual manusia, pemenuhan kebutuhan ini
adalah sama dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis manusia yang lain,
seperti makan, minum, tidur dan lain-lain. Ia tidak ada kaitannya dengan hukum
wajib. Ia sebagai kebutuhan manusia sudah ada sebelum perintah ayat ini ada.
Karena itu, yang lebih tepat adalah bahwa hukum menikah itu mubâh. Ia
boleh dilakukan, boleh juga ditinggalkan. Allâh tidak memuji orang yang
menikah, dan tidak mencela orang yang tidak menikah. Bahkan untuk suatu tujuan
yang lebih mulia, menikah bisa menjadi penghalang, karena itu ia menjadi tidak
terpuji, dan sebaliknya tidak menikah menjadi lebih baik dan terpuji. Allâh
juga pernah memuji Nabi Yahya as karena keberanian beliau untuk tidak menikah.
فَنَادَتْهُ الْمَلاَئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ
يُّصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَى مُصَدِّقًا
بِكَلِمَةٍ مِنَ اللهِ وَسَيِّداً وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ.
Artinya: “Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil
Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya):
“Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu)
Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan,
menahan diri (dari perempuan) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang
saleh”. (QS. Ali Imron, 3: 39).
Hashûr di dalam bahasa Arab berarti orang yang
meninggalkan perempuan, padahal ia memiliki kemampuan. Kalau menikah itu
terpuji, maka Allâh tidak semestinya memuji Nabi Yahya as dengan predikat
demikian.
Jumhur
ulama. Kalau mazhab Zhâhirî
berpendapat menikah adalah wâjib dan mazhab Syâfi’i berpendapat mubâh, maka
mazhab-mazhab lain, Hanafi, Mâliki dan Hanbali berpendapat bahwa
hukum menikah pada asalnya adalah mandûb, atau sunnah.
Abu Bakr al-Jashshâsh (370H), ulama terkemuka dalam
mazhab Hanafi, di dalam kitab Ahkâm al-Qur‘an (1983: V/ 178) berkata bahwa
perintah ayat di atas pada lahirnya adalah wajib, tetapi ia tidak dipahami
wajib karena beberapa hal, diantaranya adalah berita-berita yang sampai kepada
kita bahwa ada beberapa orang, baik pada zaman baginda Nabi Saw, sahabat atau
tabi’in yang tidak menikah (mungkin karena memang tidak ingin menikah, atau
meninggal sebelum menikah sehingga dianggap tidak menikah). Kalau perintah ayat
adalah wajib, maka tidak ada berita mengenai orang-rang yang tidak menikah.
Kedua dengan logika consequence (iltizâm), bahwa kalau perintah
ayat ini wajib, maka memaksa orang untuk menikah menjadi wajib, tetapi baginda
Nabi melarang kita untuk memaksa perempuan menikah tanpa persetujuannya.
Seorang tuan yang memiliki hamba juga tidak berhak memaksa hamba sahayanya
untuk menikah, padahal hamba sahaya termasuk yang diperintahkan untuk
dinikahkan. Larangan memaksa menikah karena ia merupakan hak pribadi setiap
orang untuk melaksanakannya atau tidak, karena itu hukum menikah adalah tidak
wajib. Dari alasan-alasan ini, al-Jashshâsh menegaskan bahwa ulama salaf dan
khalaf telah sepakat (ijma’) untuk mengatakan bahwa perintah ayat tersebut
tidak menunjukkan wajib, tetapi sunnah saja.
Beberapa ulama kontemporer juga mendukung pendapat
ini karena beberapa hadits yang mengajak dan memuji perkawinan. Al-Zuhaylî
dalam ensiklopedi fikihnya (1989: VII/33-36) juga mendukung pendapat ini dan
mengkritik pendapat mazhab Zâhiri dan Syâfi’i. Hujjah mazhab Zâhiri adalah
lemah, karena perintah ayat itu harus dipalingkan dari wajib menjadi sunnah
karena banyak alasan. Diantaranya bahwa di dalam surat al-Nisa‘ perintah
menikah dikaitkan dengan kesukaan, suatu perintah yang dikaitkan kesukaan
adalah menafikan kewajiban perintah itu. Adapun hadits ‘Akkaf adalah kasuistik
yang bersifat spesial dan individual, tidak bisa dijadikan hukum umum untuk
semua orang. Sedangkan untuk menjawab pendapat Imam al-Syâfi’i, beliau
mengatakan bahwa banyak hadits-hadits Nabi yang memerintahkan dan mendorong
orang-orang Islam untuk menikah. Semua ini, bagi beliau, menjadi dasar yang
kuat bahwa menikah adalah sunnah dan termasuk ibadah.
Al-Shâbûnî juga
berpendapat demikian dengan berdasarkan hadits Nabi Saw: “Barang siapa yang
tidak menyukai sunnahku (menikah), ia tidak termasuk golonganku”.
Perbedaan pendapat ini,
seperti yang sudah ditegaskan, adalah ketika keadaan seseorang itu normal,
tidak terlalu menginginkan pernikahan, hawa nafsunya masih bisa dikontrol dan
tidak takut dirinya berbuat zina. Apabila ia merasa sudah tidak bisa mengontrol
dirinya lagi dari berbuat zina, maka menikah menjadi wajib untuk menghindari
perbuatan haram.
Imam al-Qurthûbî (1993:
XII/159) berkata: “Ulama kita berpendapat bahwa hukum menikah tergantung
keadaan seseorang dari kemungkinan berzina, tidak kuat menahan nafsu, munculnya
kekuatan untuk menahan nafsu dan keadaan di mana dia sudah merasa dirinya aman
dari perbuatan zina. Apabila ia merasa tidak aman, mungkin jatuh dalam
perbuatan zina, maka baginya menikah adalah keharusan, apabila merasa aman
tetapi nafsunya cenderung untuk menikah dan
memiliki bekal, maka menikah adalah sunnah, tetapi kalau tidak mempunyai
bekal maka sebaiknya menahan diri sekuat mungkin dengan berpuasa, karena puasa,
seperti disebutkan dalam sebuah hadits adalah bisa menjadi kendali bagi
dirinya”.
C. Ayat dan hadits yang terkait
Seperti yang dikatakan oleh al-Jashshâsh bahwa ayat ini memberikan motivasi
kepada kehidupan perkawinan, maka beberapa ayat lain dan hadits-hadits juga
bisa dikaitkan dengan ayat tersebut dan bisa menjadi dasar untuk motivasi dan
hukum perkawinan dalam Islam. Yaitu ayat yang menegaskan perkawinan sebagai
salah satu sunnah para rasul (QS. Al-Ra’d, 13: 38), pasangan lelaki dan
perempuan merupakan salah satu tanda kebesaran dan keagundan Allah Swt (QS. Al-Rûm, 30: 21),
disamping perintah menikah dalam surat al-nisa’, ayat ketiga.
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِن قَبْلِكَ
وَجَعَلْنَا لَهُم أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن يَّأْتِيَ
بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنْ اللهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ.
Artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah.
Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”, (QS. Al-Ra’d, 13: 38).
وَمِن ءَايَاتِهِ أَن خَلَقَ لَكُم مِّن
أَنفُسِكُم أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً
وَّرَحْمَةً إِنَّ فِي ذلِكَ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُونَ.
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Al-Rûm, 30: 21).
وَإِنْ
خِفْتُم أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي اليَتَامَى فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِن خِفْتُم أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم ذلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا.
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”, (QS. Al-Nisa’, 4: 3).
Sedangkan
hadits-hadits yang berkaitan dengan permaslahan ini, disamping yang telah
disebutkan di atas, adalah hadits berikut ini:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: ‘‘جاء ثلاثة رهط
إلى بيوت أزواج النبي صلى الله عليه وسلم، يسألون عن عبادة النبي صلى الله عليه
وسلم، فلما أخبروا، كأنهم تقالوها، قالوا: فأين نحن من رسول الله صلى الله عليه
وسلم، وقد غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر؟ قال أحدهم: أما أنا فأصلي الليل أبدا،
وقال الآخر: وأنا أصوم الدهر ولا أفطر، وقال الآخر: وأنا أعتزل النساء، ولا أتزوج
أبدا. فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم إليهم، فقال: ‘‘أنتم الذين قلتم كذا كذا؟
أما والله، إني لأخشاكم لله، وأتقاكم له، ولكني أصوم وأفطر، وأصلي وأرقد، وأتزوج
النساء، فمن رغب عن سنتي فليس مني’’. أخرجه البخاري ومسلم والنسائي.
Dari Anas bin Malik ra berkata: “Ada
tiga orang datang ke rumah isttri-istri baginda Nabi Saw menanyakan perihal
ibadaha baginda. Ketika mereka diberitahu, mereka merasa tertinggal jauh dari
ibadah baginda. Mereka berkata: “Jauh sekali kita dari baginda Rasulullah Saw,
padahal baginda telah diampuni segala dosa-dosanya”. Seseorang diantara mereka
berkata: “Aku akan sembahyang sepanjang malam selamanya”. Seorang yang lain
berkata: “Aku akan puasa sepanjang tahun dan tidak berbuka seharipun”. Yang
lain lagi berkata: “Aku akan meninggalkan perempuan (untuk beribadah) dan tidak
akan kawin selamanya”. Kemudian datang baginda Rasulullah Saw seraya berkata:
“Kenapa kamu berkata demikian?, ingatlah, demi Allah, aku adalah orang yang
paling takut diantara kalian kepada Allah, dan paling bertakwa diantara kalian
kepada-Nya, tetapi aku terkadang berpuasa dan terkadang berbuka, sembahyang
(malam) dan juga tidur, aku juga mengawini perempuan, maka barangsiapa yang
tidak menyukai sunnah (amalan)-ku ini, ia tidak termasuk golonganku”.
HR. Bukhari, Muslim dan al-Turmudzi (lihat: Ibn al-Atsîr, 1984: I/200).
D.
Kesimpulan hukum ayat
Dari
pembahasan di atas beberapa hal yang berkaitan dengan hukum fikih dari surat
al-Nûr ayat 24 bisa disimpulkan sebagai berikut:
1. Menikah
adalah termasuk hal yang baik dan terpuji dalam Islam, karena itu perlu
disosilasikan segala hal yang akan memotivasi orang untuk melangsungkan
perkawinan.
2. Adalah
merupakan kewajiban bersama untuk mendorong orang hidup berumah tangga.
3. Hukum
menikah adalah sunnah mengikut pendapat mayoritas ulama fikih, mubah bagi
mazhab Syafi’i dan wajib bagi mazhab Zahiri.
4. Kefakiran
dalam perspektif al-Qur’an tidak semestinya menjadi penghalang untuk memulai
hidup berumah tangga, karena dengan perkawinan mungkin akan menjadi motivasi
besar bagi lelaki atau perempuan untuk bekerja lebih keras bagi memeperoleh
rizki Allah Swt, Tuhan Maha Pemberi dan Pemurah.[]
[2] Al-Kâsânî, Badâi’ al-Shanâ’i’, juz VII, h.
175-176.
[3] Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, (1997) juz IX,
h. 6691.
[4] Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, (1997) juz IX,
h. 6685-6686.
[5] Ibid, juz IX, h. 6567.
[6] Ibn Majah, Al-Sunan, kitab: al- Thalaq, no.
hadits: 2043, juz I, h. 659. Al-Bayhaqî, al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut: Dâr
al-Fikr, tt), juz VI, h. 88.
[7] Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, (1997) juz IX,
H. 6567.
No comments:
Post a Comment