Prinsip Dasar Pernikahan dalam Islam
Selengkapnya Click DISINI
1.
Dalam
memilih calon suami/isteri, faktor agama/akhlak calon harus menjadi
pertimbangan pertama sebelum keturunan, rupa dan harta, sebagaimana diajarkan
oleh Rasul.
artinya:
Wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan, kekayaannya, nasabnya,
kecantikannya dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama niscaya kalian beruntung.
(H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah) artinya: Pilihlah gen bibit
keturunanmu, karena darah (kualitas manusia) itu menurun. (H.R. Ibnu Majah).
2.
Bahwa
nikah atau hidup berumah tangga itu merupakan sunnah Rasul bagi yang sudah
mampu. Dalam kehidupan berumah tangga terkandung banyak sekali keutamaan yang
bernilai ibadah, menyangkut aktualisasi diri sebagai suami/isteri, sebagai
ayah/ibu dan sebagainya. Bagi yang belum mampu disuruh bersabar dan berpuasa,
tetapi jika dorongan nikah sudah tidak terkendali padahal ekonomi belum siap,
sementara ia takut terjerumus pada perzinaan, maka agama menyuruh agar ia
menikah saja, Insya Allah rizki akan datang kepada orang yang memiliki semangat
menghindari dosa, entah dari mana datangnya (min haitsu la yahtasib).
Nabi
bersabda:
artinya:
Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian sudah mampu untuk menikah nikahlah,
karena nikah itu dapat mengendalikan mata (yang jalang) dan memelihara kesucian
kehormatan (dari berzina), dan barang siapa yang belum siap, hendaknya ia
berpuasa, karena puasa bias menjadi obat (dari dorongan nafsu). (H.R. Bukhari
Muslim)
artinya:
Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak nikah diantara hamba-hamba sahayamu yang laki dan yang perempuan. Jika mereka fakir, Allah
akan memampukan mereka dengan karunia Nya. Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi
Maha Mengetahui. (Surat al Nur, 32)
3.
Bahwa tingkatan ekonomi keluarga itu berhubungan
dengan kesungguhan berusaha, kemampuan mengelola (managemen) dan berkah dari Allah
SWT. Ada keluarga yang ekonominya pas-pasan tetapi hidupnya bahagia dan
anak-anaknya bisa sekolah sampai ke jenjang tinggi, sementara ada keluarga yang
serba berkecukupan materi tetapi suasananya gersang dan banyak urusan keluarga
dan pendidikan anak terbengkalai. Berkah artinya terkumpulnya kebaikan
ilahiyyah pada seseorang/keluarga/masyarakat seperti terkumpulnya air di dalam kolam.
Secara sosiologis, berkah artinya terdayagunanya nikmat Tuhan secara optimal.
Berkah dalam hidup tidak datang dengan sendirinya tetapi harus diupayakan.
Firman Allah :
artinya: Sekiranya penduduk negeri-negeri itu
beriman dan ber-taqwa, niscaya Kami akanmelimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan dari bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami
akan sisksa mereka disebabkan oleh perbuatan mereka. (Surat al A’raf, 96)
artinya: Allah menyayangi orang yang bekerja secara
halal, membelanjakan hasilnya secara sederhana, dan mengutamakan sisa (tabungan)
untuk kekurangan dan kebutuhannya (di waktu mendatang). (H.R. Ibn. Najjar dari
Aisyah).
4.
Suami isteri itu bagaikan pakaian dan pemakainya.
Antara keduanya harus ada kesesuaian ukuran, kese-suaian mode, asesoris dan pemeliharaan
kebersihan. Layaknya pakaian, masing-masing suami dan isteri harus bisa
menjalankan fungsinya sebagai (a) penutup aurat (sesuatu yang memalukan) dari
pandangan orang lain, (b) pelindung dari panas dinginnya kehidupan, dan (c)
kebanggan dan keindahan bagi pasangannya. Dalam keadaan tertentu pakaian
mungkin bisa diperkecil, dilonggarkan, ditambah asesoris dan sebagainya,
Mengatasi perbedaan selera, kecenderungan dan hidup antara suami isteri,
diperlukan pengorbanan kedua belah pihak. Masing-masing harus bertanya: Apa
yang dapat saya berikan, bukan apa yang saya mau.
artinya: Mereka (isteri-isterimu) adalah (ibarat)
pakaian kalian, dan kalian adalah (ibarat) pakaian mereka. (Surat al Baqarah 187)
artinya: Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan
aku (Nabi) adalah orang yang paling baik terhadap isteri. (H.R. Turmuzi dari
Aisyah)
5.
Bahwa cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah)
merupakan sendi dan perekat rumah tangga yang sangat penting. Cinta adalah
sesuatu yang suci, anugerah Tuhan dan sering tidak rationil. Cinta dipenuhi nuansa
memaklumi dan memaafkan. Kesabaran, kesetiaan, pengertian, pemberian dan
pengorbanan akan mendatangkan/menyuburkan cinta, sementara penyelewengan,
egoisme, kikir dan kekasaran akan menghilangkan rasa cinta.
Hukama berkata:
artinya: Tanda-tanda cinta sejati ialah (1) engkau
lebih suka berbicara dengan dia (yang kau cintai) dibanding berbicara dengan orang
lain, (2) engkau lebih suka duduk berduaan dengan dia dibanding dengan orang
lain, dan (3) engkau lebih suka mengikuti kemauan dia dibanding kemauan orang
lain/diri sendiri).
artinya: …..Sekiranya engkau (Nabi) kasar dan keras
hati (kepada sahabat-sahabatnya), niscaya mereka lari dari sisimu. (Surat Ali Imran,
159)
artinya: Tidak bisa memuliakan wanita kecuali
lelaki yang mulia, dan tidak sanggup menghinakan wanita kecuali lelaki yang
tercela. (Hadis)
6.
Bahwa salah satu fungsi perkawinan adalah untuk
menyalurkan hasrat seksual secara sehat, benar dan halal. Hubungan suami isteri
(persetubuhan) merupakan hak azazi, kewajiban dan kebutuhan bagi kedua belah
pihak. Persetubuhan yang memenuhi tiga syarat (sehat, benar dan halal) itulah
yang berkualitas, dan dapat mendatangkan ketenteraman (sakinah).
Oleh karena itu, masing-masing suami isteri harus
menyadari bahwa hal itu bukan hanya hak bagi dirinya semata, tetapi juga hak
bagi yang lain dan kewajiban bagi dirinya. Dalam Islam, hubungan seksual yang
benar dan halal adalah ibadah.
Firman Allah :
artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasan Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan rasa kasih sayang diantaramu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir. (Surat ar Rum, 21)
artinya: Nabi bersabda, Persetubuhanmu dengan
isterimu itu memperoleh pahala. Para sahabat bertanya; Apakah orang yang
menyalurkan syahwatnya dapat pahala? Nabi menjawab: Tidakkah kalian tahu bahwa jika
ia menyalurkan hasratnya di tempat yang haram, maka ia berdosa? Nah, demikian
pula jika menyalurkan hasratnya kepada isterinya yang halal, maka ia memperoleh pahala. (H.R.
Muslim)
7.
Bahwa pergaulan dalam rumah tangga juga membutuhkan
suasana dinamis, dialog dan saling menghargai. Kekurangan dalam hal keuangan keluarga
misalnya, oleh orang bijak dapat dijadikan sarana untuk menciptakan suasana
dinamis dalam keluarga. Sebaliknya suasana mapan yang lama (baik mapan cukup
maupun mapan dalam kekurangan) dapat menimbulkan suasana rutin yang
menjenuhkan. Oleh karena itu suami isteri harus pandai-pandai menciptakan suasana
baru, baru dan diperbaharui lagi, karena faktor kebaruan secara psikologis
membuat hidup menjadi menarik. Kebaruan tidak mesti dengan mendatangkan hal-hal
yang baru, tetapi bisa juga barang lama dengan kemasan baru.
8.
Salah satu penyebab kehancuran rumah tangga adalah
adanya orang ketiga bagi suami atau bagi isteri (other women/man).
Datangnya orang ketiga dalam rumah tangga bisa disebabkan karena
kelalaian/kurang waspada (misalnya kasus adik ipar atau pembantu), atau karena
pergaulan terlalu bebas (ketemu bekas pacar atau teman sekerja), atau karena ketidakpuasan
kehidupan seksual, atau karena kejenuhan rutinitas. Suami/isteri harus saling
mempercayai, tetapi harus waspada terhadap kemungkinan masuknya virus
orang ketiga.
Artinya: “Nabi melarang seorang lelaki memasuki
kamar wanita yang bukan muhrim. Seorang sahabat menanyakan boleh tidaknya
memasuki kamar saudara ipar. Nabi menjawab: Masuk ke kamar ipar itu sama dengan
maut (berbahaya).” (Hadis)
artinya: Tidak halal bagi seorang wanita yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk berpergian selama tiga hari tanpa
disertai muhrimnya. (H.R. Bukhari, Muslim dan Abu Daud, dari Ibn Umar)
9.
Bahwa perkawinan itu bukan hanya mempertemukan dua
orang; suami dan isteri semata, tetapi juga dua keluarga besar antar besan.
Oleh karena itu suami/isteri harus bisa berhubungan secara proporsional dengan kedua
belah pihak keluarga, orang tua, mertua, adik dan kakak ipar dan seterusnya.
10.
Bahwa masalah harta benda sering menjadi sumber
perselisihan keluarga, baik selagi masih hidup maupun setelah ditinggal mati (warisan).
Orang tua diajarkan untuk berlaku adil terhadap anak-anaknya -termasuk dalam
hal pemberian harta-. Ada dua jalan untuk mengalihkan hak pemilikan harta orang
tua kepada anak, yaitu hibah, yakni pemberian ketika orang tua masih
hidup, dan pembagian harta warisan setelah orang tua mati.
Pedoman pembagian harta warisan dalam Islam sudah
sangat jelas, tetapi kesepakatan keluarga (ahli waris) dapat membuat keputusan
lain dalam pembagian harta. Harta waris yang diperoleh dengan cara rebutan/perselisihan
biasanya tidak berkah, karena cara perolehannya disertai rasa permusuhan/tidak
ridla.
artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
dari sebagian yang lain diantaramu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa
urusan harta itu ke pengadilan supaya kamu dapat menguasai (harta orang lain)
dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui (kesalahanmu). (Surat al Baqarah, 188)
11.
Bahwa karena selalu berdekatan, komunikasi antara
suami isteri biasanya menjadi sangat intens. Keharmonisan hubungan antara suami
isteri dipengaruhi oleh kesamaan atau keseimbangan watak/temperamen, kesamaan
hobbi, kedekatan visi dan sebagainya. Keharmonisan suami dan isteri akan
terwujud jika masing-masing berfikir untuk memberi, bukan untuk
menuntut, saling menghargai, bukan saling merendahkan. Dalam kehidupan,
seringkali dijumpai bahwa kesulitan yang dihadapi justeru mengandung hikmah
yang besar, asal orang dapat menerima dan menghadapinya secara benar dan sabar.
Isteri biasanya kurang senang dinasehati suami jika nasehat itu seperti nasehat
guru kepada murid, meskipun ia mengakui kebenaran nasehat suaminya, demikian juga
sebaliknya.
artinya: Wahai orang yang beriman, tidak halal bagi
kamu mempusakai wanita dengan secara paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebahagian dari apa yang telah engkau berikan
kepada mereka, terkecualijika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.
Pergauilah mereka dengan secara patut, tetapi jika kamu tidak menyukai mereka
(maka bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (an Nisa 19)
artinya: Tidak bisa memuliakan wanita, kecuali
lelaki yang mulia juga, dan tidak sanggup merendahkan derajat wanita kecuali
lelaki yang rendah (tercela) juga. (Hadis)
12.
Pada dasarnya sistem perkawinan dalam Islam adalah monogami.
Poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu, bagaikan pintu darurat,
dan dengan persyaratan-persyaratan yang berat. Secara sosiologis, poligami
terjadi disebabkan oleh banyak hal, antara lain:
a.
Suami hanya menuruti dorongan syahwatnya, tanpa
mengukur tanggung jawabnya.
b.
Isteri kurang mengerti hal-hal yang dapat mengikat
perasaan suami untuk tetap konsentrasi di rumah.
c.
Pergaulan yang terlalu akrab dengan wanita lain,
misalnya karena setiap hari selalu bersama (seperti teman sekerja), atau karena
simpati kepada problem yang dihadapi si wanita itu sehingga si lelaki terdorong
ingin menjadi dewa penolong.
d.
Perpisahan yang terlalu lama antara suami dan
isteri.
e.
Campur tangan luar atau pelecehan harga diri suami
oleh isteri/keluarganya sehingga suami merasa tidak berwibawa di rumah, dan
selanjutnyya mencari kewibawaan di luar rumah.
f.
Isteri tak berdaya menghadapi kehendak suami, atau
sefaham bahwa poligami itu manusiawi saja.
Poligami yang dilakukan demi
menjaga kesucian, adalah lebih baik daripada toleransi terhadap perzinahan.
Ungkapan yang berbunyi; jika ingin makan daging kambing cukup beli sate,
tidak harus repot-repot memelihara kambing, sebenarnya adalah ungkapan
sesat dari orang bodoh. Seorang bijak mengatakan bahwa poligami hanya bisa dilakukan
oleh tiga orang, yaitu:
(1)
oleh “raja”, yang dengan kekuasannya ia dapat
mengatur isteri isterinya,
(2)
oleh orang berilmu, dimana dengan ilmunya ia bisa
memanaj keluarga besarnya,
(3)
orang ngawur, dimana ngawurnya itu membuatnya tak
perduli dengan problem.
13.
Perceraian. Dilihat dari sudut hak dan kewajiban,
perkawinan merupakan kontrak sosial yang mengikat antara suami dan isteri, yakni
bahwa suami memikul kewajiban yang melahirkan hak, sebagaimana juga isteri
memiliki hak-hak yang lahir dari kewajiban yang dipikulnya.
Jika salah satu pihak tidak menjalankan
kewajibannya, maka hal itu berpengaruh kepada hak-hak yang dimilikinya, dan
sebaliknya menjadi hak bagi pihak lain untuk menggugatnya. Misalnya; suami
wajib memberi nafkah keluarga, yang dengan itu suami memiliki hak untuk
memimpin rumah tangga. Jika suami ternyata tidak sanggup memberi nafkah,
sebaliknya isteri justeru bekerja keras dan bisa memberi nafkah keluarganya,
maka hak kepemimpinan suami dalam rumah tangga pasti menjadi tidak penuh karena
terdesak oleh kontribusi yang diberikan oleh isteri.
a.
Ta’lik talak yang diucapkan suami setelah akad
nikah merupakan bentuk perlindungan kepada isteri dari kelalaian suami.
b.
Jika suami/isteri merasa bahwa hak-hak mereka tidak
dipenuhi, sementara jalan keluar tidak ada, maka agama memberikan jalan keluar kepada
pasangan itu untuk memilih satu dari dua pilihan: Kembali bersatu secara
terhormat, atau berpisah secara baik-baik. artinya: Talak yang dapat dirujuk
itu hanya dua kali, setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. (Q/2:229)
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. (Q/2:229)
c.
Perceraian (talak) adalah sesuatu yang dihalalkan
tetapi tidak disukai Tuhan. artinya : Sesuatu yang halal yang sangat dimurkai Allah
adalah talak.
d.
Untuk mencegah terjadinya perceraian, dianjurkan
keluarga turun tangan, yakni dengan mengirimkan tenaga mediasi (hakam). artinya:
Jika kamu khawatir akan terjadi persengeketaan di antara keduanya (suami
isteri), maka kirimkanlah seorang pendamai (hakam) dari keluarga suami dan dari
keluarga siteri. Jika kedua juru damai itu berniat untuk mendamaikan, niscaya
Allah akan memberikan taufiq kepada kedua suami isteri itu. Sesunguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (an Nisa, 35)
e.
Perceraian yang ke I dan yang ke II (talak raj’i)
tidak langsung
memutuskan hubungan, oleh karena itu disediakan peluang untuk rujuk selama masa ‘iddah. Masa ‘iddah merupakan peluang bagi kedua belah pihak untuk merenungkan kembali hubungan diantara mereka. Pada rumah tangga yang beran-takan, anak-anak biasanya menjadi korban pertama dari apa yang dilakukan orang tuanya.
memutuskan hubungan, oleh karena itu disediakan peluang untuk rujuk selama masa ‘iddah. Masa ‘iddah merupakan peluang bagi kedua belah pihak untuk merenungkan kembali hubungan diantara mereka. Pada rumah tangga yang beran-takan, anak-anak biasanya menjadi korban pertama dari apa yang dilakukan orang tuanya.
No comments:
Post a Comment