Friday, November 5, 2010

KAFA'AH

Download DISINI

A.     Pengertian Kafa’ah
Secara bahasa kafa’ah berasal dari kata  كافاءyang berarti المساوة (sama) atau المماثلة (seimbang).[1] Dalam firman Allah SWT disebutkan juga kata-kata yang berakar kafa’ah و لم يكن له كفوا احد .[2] Juga dalam hadis المؤمنون تكافؤا دماؤهم [3] dari uaraian di atas dapat dijelaskan bahwa  kafa’ah dari arti bahasanya berarti sama atau seimbang. Sedangkan secara terminologi kafa’ah selalu dikaitkan dengan masalah perkawinan. Ibnu Manzur mendefinisikan kafa’ah sebagai suatu keadaan keseimbangan ksesuaian atau keserasian. Ketika dihubungan dengan nikah, kafa’ah diartikan sebagai kondisi keseimbangan antara calon suami dan istri baik dari segi kedudukan, agama, keturunan, dan sebagainya.[4]
Sedangkan menurut Abu Zahrah kafa’ah adalah suatu kondisi di mana dalam suatu perkawinan haruslah didapatkan adanya keseimbangan antara suami dan istri mengenai beberapa aspek tertentu yang dapat mengosongkan dari krisis yang dapat merusak kehidupan perkawinan.[5]
Dan demikian dari definisi di atas dapat dipahami bahwa istilah kafa’ah sangat terkait erat dengan masalah perkawinan, yakni adanya kesesuaian antara calon suami dan istri dalam beberapa aspek tertentu yang dapat menghindarkan terjadinya krisis dalam rumah tangga sehingga dapat menunjang tercapainya keluarga yang bahagia dan sejahtera.

B.     Eksistensi dan Urgensi Kafa’ah dalam Perkawinan
Adanya kafa’ah dalam perkawinan dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya krisis rumah tangga. Keberadaannya dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai dan tujuan perkawinan. Dengan adanya kafa’ah dalam perkawinan diharapkan masing-masing calon mampu mendapatkan keserasian dan keharmonisan. Berdasarkan konsep kafa’ah, seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan hidupnya dengan mempertimbangkan segi agama, keturunan, harta, pekerjaan maupun hal yang lainnya. Adanya berbagai pertimbangan terhadap masalah-masalah tersebut dimaksudkan agar supaya dalam kehidupan berumah tangga tidak didapati adanya ketimpangan dan ketidak cocokan. Selain itu, secara psikologis seseorang yang mendapat pasangan yang sesuai dengan keinginannya akan sangat membantu dalam proses sosialisasi menuju tercapainya kebahagiaan keluarga. Proses mencari jodoh memang tidak bisa dilakukan secara asal-asalan dan soal pilihan jodoh sendiri merupakan setengah dari suksesnya perkawinan.[6] Walaupun keberadaan kafa’ah sangat diperlukan dalam kehidupan perkawinan, namun dikalangan ulama berbeda pendapat baik mengenai keberadaannya maupun kreteria-kreteria yang dijadikan ukurannya.
Pendapat berbagai  Mazhab tersebut antara lain :
1.      Mazhab Hanafi 
Mazhab Hanafi memandang penting aplikasi kafa’ah dalam perkawinan. Keberadaan kafa’ah menurut mereka merupakan upaya untuk mengantisipasi terjadinya aib dalam keluarga calon mempelai. Jika ada seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kufu’ tanpa seizin walinya, maka wali tersebut berhak memfaskh perkawinan tersebut, jika ia memandang adanya aib yang dapat timbul akibat perkawinan tersebut.[7]
Segi-segi kafa’ah menurut mazhab ini tidak hanya terbatas pada faktor agama tetapi juga dari segi yang lain. Sedangkan hak menentukan kafa’ah menurut mereka ditentukan oleh pihak wanita.[8] Dengan demikian yang menjadi obyek penentuan kafa’ah adalah pihak laki-laki.
2.      Mazhab Maliki
Di kalangan mazhab Maliki ini faktor kafa’ah juga dipandang sangat penting untuk diperhatikan. Kalaupun ada perbedaan dengan ulama lain, hal itu hanya terletak pada kualifikasi segi-segi kafa’ah, yakni tentang sejauh mana segi-segi tersebut mempunyai kedudukan hukum dalam perkawinan. Yang menjadi prioritas utama dalam kualifikasi mazhab ini adalah segi agama dan bebas dari cacat disamping juga mengakui segi-segi yang lainnya. Penerapan segi agama bersifat absolut. Sebab segi agama sepenuhnya menjadi hak Allah. Suatu perkawinan yang tidak memperhatikan masalah agama maka perkawinan tersebut tidak sah. Sedang mengenai segi bebas dari cacat, hal tersebut menjadi hak wanita. Jika wanita yang akan dikawinkan tersebut menerima, maka dapat dilaksanakan, sedangkan apabila menolak tetapi perkawinan tersebut tetap dilangsungkan maka pihak wanita tersebut berhak menuntut faskh.[9]
3.      Mazhab Syafi’i
Kafa’ah menurut Mazhab Syafi’i merupakan masalah penting yang harus diperhatikan sebelum perkawinan. Keberadaan kafa’ah diyakini sebagai faktor yang dapat menghilangkan dan menghindarkan munculnya aib dalam keluarga. Kafa’ah adalah suatu upaya untuk mencari persamaan antara suami dan istri baik dalam kesmpurnaan maupun keadaan selainbebas dari cacat.[10]
Maksud dari adanya kesamaan bukan berarti kedua calon mempelai harus sepadan dalam segala hal, sama kayanya, nasab, pekerjaan atau sama cacatnya. Akan tetapi maksudnya adalah jika salah satu dari mereka mengetahui cacat seseorang yang akan menjadi pasangannya sedangkan ia tidak menerimanya, maka ia berhak menuntut pembatalan perkawinan. Selanjutnya Mazhab Syafi’i juga berpendapat jika terjadi suatu kasus dimana seorang wanita menuntut untuk dikawinkan dengan lelaki yang tidak kufu’ dengannya, sedangkan wali melihat adanya cacat pada lelaki tersebut, maka wali tidak diperbolehkan menikahkannya. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Fatimah binti Qais yang datang kepada Nabi dan menceritakan bahwa ia telah dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah. Lalu Nabi menanggapi, “jika engkau menikah dengan Abu Jahm, aku khawatir engkau akan mendurhakainya. Namun jika engkau kawin dengan Mu’awiyah dia seorang pemuda Qurais yang tidak mempunyai apa-apa”. Akan tetapi aku tunjukkan kepadamu seorang yang lebih baik dari mereka yaitu Usamah.[11]
4.      Mazhab Zahiri
Mazhab ini dengan tokoh sentralnya Ibnu Hazm, berpendapat mengenai kafa’ah yaitu bahwa semua orang Islam adalah bersaudara, tidaklah haram seorang budak yang berkulit hitam menikah dengan wanita keturunan Bani Hasyim, seorang muslim yang sangat fasik pun sekufu’ dengan wanita muslimah yang mulia selama ia tidak berbuat zina.[12]  Pendapat ini didasarkan  pada  ayat :انما المؤمنون اخوة. [13]. Berdasarkan ayat ini, maka semua muslim adalah bersaudara. Kata bersaudara menunjukkan arti bahwa setiap muslim mempunyai derajat yang sama termasuk dalam hal memilih dan menentukan pasangannya.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa mayoritas ulama mengakui keberadaan kafa’ah dalam perkawinan. Sementara mengenai Ibn Hazm, walaupun secara formal ia tidak mengakui kafa’ah tapi secara subtansial ia mengakuinya,  yakni dari segi agama dan kualitas keberagamaan.
Keberadaan kafa’ah ini selain diakui oleh ulama di atas, juga diakui oleh fuqaha lain seperti Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan: “dalam suatu perkawinan hendaknya harus ada unsur keseimbangan antara suami dan istri dalam beberapa unsur tertentu yang dapat menghindarkan dari krisis yang dapat merusak kehidupan rumah tangga.[14]

C.     Kriteria- Kriteria  Kafa’ah.
Para ulama menetapkan kriteria-kriteria untuk menetapkan kufu’ tidaknya seseorang. Dalam menetapkan kriteria ini para ulama banyak  berbeda pendapat. Menurut mazhab Maliki, faktor-faktor yang dapat menjadi kriteria kafa’ah hanya dari segi agama. Namun dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa mazhab ini juga mengakui kriteria-kriteria kafa’ah dalam 3 segi, yaitu : agama, kemerdekaaan dan bebas dari cacat.[15] Bahkan dalam kitab al- Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, dikatakan bahwa Ulama Malikiyah juga mempertimbangkan segi keturunan, kekayaan dan pekerjaan sebagai kriteria kafa’ah.[16]
Abu Hanifah sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ahmad, berpendapat bahwa kriteria kafa’ah hanya terbatas pada faktor agama dan nasab saja. Akan tetapi menurut riwayat lain, mazhab ini juga mengakui kriteria kafa’ah dari segi nasab, kemerdekaan, pekerjaan dan kekayaan. Sama halnya dengan Mazhab Syafi’i, mereka mengakui beberapa segi yang perlu diperhatikan dalam kafa’ah yaitu agama, nasab, kemerdekaan dan pekerjaan. Namun di kalangan para sahabat Syafi’i juga ditemukan pendapat yang menyatakan bahwa mereka juga mengakui kriteria kafa’ah dari segi  bebas cacat.[17] Sedangkan dari kalangan Hanabilah ditemukan dua sumber yang berbeda. Sumber pertama mengatakan bahwa Ahmad mempunyai ide yang sama dengan Syafi’i, dengan catatan Ahmad mengeluarkan urusan bebas dari aib secara jasmani. Sumber kedua menyebutkan Ahmad hanya mencantumkan unsur taqwa sebagai kriteria kafa’ah, sama dengan Malik.[18]
Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa masalah kafa’ah dalam perkawinan menimbulkan perbedaaan pendapat di kalangan Ulama baik mengenai eksistensi maupun kriterianya. Masing-masing ulama mempunyai batasan yang berbeda mengenai masalah ini. Jika diamati, perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan dalam menilai sejauh mana segi-segi kafa’ah itu mempunyai kontribusi dalam melestarikan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, jika suatu segi dipandang mampu menjalankan peran dan fungsinya dalam melestarikan kehidupan rumah tangga, maka bukan tidak mungkin segi tersebut dimasukkan dalam kriteria kafa’ah.
Segi-segi kriteria kafa’ah yang dapat kita temui dari penjelasan kriteria kafa’ah di atas dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.      Segi Agama.
Semua ulama mengakui agama sebagai salah satu unsur kafa’ah yang paling esensial. Penempatan agama sebagai unsur kafa’ah tidak ada perselisihan dikalangan ulama. Agama juga dapat diartikan dengan kebaikan, istiqomah dan mengamalkan apa yang diwajibkan agama. Adaikan ada seorang wanita solehah dari keluarga yang kuat agamanya menikah dengan pria yang fasik, maka wali wanita tersebut mempunyai hak untuk menolak atau melarang bahkan menuntut faskh, karena keberagaman merupakan suatu unsur yang harus dibanggakan melebihi unsur kedudukan, harta benda, nasab dan semua segi kehidaupan lainnya.[19]
Dasar penetapan segi agama ini adalah:
افمن كان مؤمناكمن كان فاسقا  [20]
تنكح المرأ ة لأ بع : لما لها و لحسبها و لجما لها و لد ينها فا ظفر بذا ت الد ين تر بت يداك  [21]

2.      Segi Nasab.
Maksud nasab disini adalah asal usul atau keturunan seseorang yaitu keberadaan seseorang berkenaan dengan latar belakang keluarganya baik menyangkut kesukuan, kebudayaan maupun setatus sosialnya. Dalam unsur nasab ini terdapat dua golongan yaitu pertama golongan Ajam, kedua golongan Arab. Adapun golongan arab terbagi menjadi dua suku yaitu suku Quraisy dan selain Quraisy.[22]
Dengan ditetapkannya nasab sebagai kriteria kafa’ah, maka orang Ajam dianggap tidak sekufu’ dengan orang Arab baik dari suku Quraisy maupun suku selain Quraisy. Orang Arab yang tidak berasal dari suku Quraisy dipandang tidak kufu’ dengan orang Arab yang berasal dari suku Quraisy. Selain itu, untuk orang Arab yang berasal dari keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthalib hanya dapat sekufu’ dengan seseorang yang berasal dari keturunan yang sama, tidak yang lainnya.[23]
3.      Segi Kemerdekaan.
Kriteria tentang kemerdakaan ini sangat erat kaitannya dengan masalah perbudakan. Perbudakan diartikan dengan kurangnya kebebasan. Budak adalah orang yang berada dibawah kepemilikan orang lain. Ia tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri. Adapun maksud kemerdekaan sebagai kriteria kafa’ah adalah bahwa seorang budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan yang merdeka. Demikian juga seorang budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan yang merdeka sejak lahir.[24]
Kemerdekaan juga dihubungkan dengan keadaan orang tuanya, sehingga seorang anak yang hanya bapaknya yang merdeka, tidak kufu’ dengan orang yang kedua orang tuanya merdeka. Begitu pula seorang lelaki yang neneknya pernah menjadi budak, tidak sederajat dengan perempuan yang neneknya tidak pernah menjadi budak, sebab perempuan merdeka jika dikawinkan denga laki-laki budak dipandang tercela. Sama halnya jika dikawinkan denga laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.[25]
4.      Segi Pekerjaan.
Yang dimaksud dengan pekerjaan adalah berkenaan dengan segala sarana maupun prasarana yang dapat dijadikan sumber penghidupan baik perusahaan maupun yang lainnya.[26]Jadi apabila ada seorang wanita yang berasal dari kalangan orang yang mempunyai pekerjaan tetap dan terhormat, maka dianggap tidak sekufu’ dengan orang yang rendah penghasilannya. Sementara itu Ar-Ramli berpendapat bahwa dalam pemberlakuan segi ini harus diperhatikan adat dan tradisi yang berlaku pada suatu tempat. Sedangkan adat yang menjadi standar penentuan segi ini, adalah adat yang berlaku di mana wanita yang akan dinikahi berdomisili.[27] Konsekuensinya, jika pekerjaan yang disuatu tempat dipandang terhormat tapi di tempat si wanita dianggap rendah, maka pekerjaan tersebut dapat menghalangi terjadinya kufu’.
5.      Segi Kekayaan.
Yang dimaksud kekayaan di sini adalah kemampuan seseorang untuk membayar mahar dan memenuhi nafkah. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan manusia terdapat stratifikasi sosial, diantara mereka ada yang kaya dan ada yang miskin. Walaupun kualitas seseorang terletak pada dirinya sendiri dan amalnya, namun kebanyakan manusia merasa bangga dengan nasab dan bertumpuknya harta. Oleh karena itu sebagian fuqaha’ memandang perlu memasukkan unsur kekayaan sebagai faktor kafa’ah dalam perkawinan. Tapi menurut Abu Yusuf, selama seorang suami mampu memberikan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan nafkah dari satu hari ke hari berikutnya tanpa harus membayar mahar, maka ia dianggap termasuk kedalam kelompok yang mempunyai kafa’ah. Abu Yusuf beralasan bahwa kemampuan membayar nafkah itulah yang lebih penting untuk menjalani kehidupan rumah tangga kelak. Sementara mahar dapat dibayar oleh siapa saja di antara keluarganya yang mempunyai kemampuan misalnya bapak ataupun kakek.[28]
Secara umum dasar penetapan segi kekayaan ini adalah beberapa hadis berikut ini:
الحسب الما ل والكرام التقوى   [29]
ان أحساب الناس بينهم فى هذه الد نيا هذا المال   [30]

6.      Segi Bebas dari Cacat.
Cacat yang dimaksudkan adalah keadaan yang dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menuntut faskh. Karena orang cacat dianggap tidak sekufu’ dengan orang yang tidak cacat. Adapun cacat yang dimaksud adalah meliputi semua bentuk cacat baik fisik maupun psikis yang meliputi penyakit gila, kusta atau lepra.[31]
Sebagai kriteria kafa’ah, segi ini hanya diakui oleh ulama Malikiyah tapi dikalangan sahabat Imam Syafi’i ada juga yang mengakuinya. Sementara dalam Mazhab Hanafi maupun Hanbali, keberadaan cacat tersebut tidak menghalani kufu’nya seseorang.[32] Walaupun cacat tersebut dapat menghalangi kesekufu’an seseorang, namun tidak berarti dapat membatalkan perkawinan. Karena keabsahan bebas dari cacat sebagai kriteria kafa’ah hanya diakui manakala pihak wanita tidak menerima. Akan tetapi jika terjadi kasus penipuan atau pengingkaran misalnya sebelum perkawinan dikatakan orang tersebut sehat tapi ternyata memiliki cacat maka kenyataan tersebut dapat dijadikan alasan untuk menuntut faskh.[33]

D.    Pengaruh Kafa’ah terhadap Tercapainya Tujuan Pernikahan.
Di atas telah disebutkan beberapa faktor yang ditetapkan oleh Fuqaha.  Faktor-faktor tersebut merupakan syarat  yang ideal, sebab faktor-faktor tersebut adalah sebagai jaminan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Namun keadaan manusia itu tidak selalu sesempurna yang diidealkan dan selalu saja ada kekurangannya, sehingga jarang sekali didapati seorang calon suami atau calon istri yang memiliki faktor-faktor tersebut secara menyeluruh. Apabila faktor-faktor tersebut tidak dimiliki dan didapati seluruhnya, maka yang harus diutamakan adalah faktor agama. Sebab perkawinan yang dilakukan oleh orang yang berbeda agama mempunyai kemungkinan kegagalan yang lebih besar daripada yang seagama.[34] Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat  M. Quraisy Syihab di dalam bukunya, Wawasan al-Qur’an, bahwa perbedaan tingkat pendidikan, budaya dan agama antara suami istri seringkali memicu konflik yng mengarah pada kegagalan.[35]
Keagamaan merupakan  salah satu pertimbangan yang wajib ditaati dalam pernikahan. Bahkan dalam UU No I tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 disebutkan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”. Dalam sisi yang lain, memang faktor agama juga merupakan satu-satunya yang menjadi kesepakatan dan titik temu dari pendapat tentang kriteria kafa’ah oleh semua Mazhab.
Penentuan kafa’ah dari segi agama juga bisa dikaitkan dengan tujuan pernikahan itu sendiri. Tujuan pernikahan menurut islamsecara garis besarnya adalah: (1) untuk mendapatkan ketenangan hidup, (2) untuk menjaga kehormatan diri dan pandangan mata, (3) untuk mendapatkan keturunan. Di samping itu, pernikahan menurut islam juga bertujuan memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta membangun masa depan individu, keluarga, dan masyarakat yang lebih baik. Dalam Undang-Undang  Perkawinan ( UU NO 1 /1974), tujuan perkawinan dalam Pasal 1 sebagai rangkaian dari pengertian perkawinan, yakni :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[36] 
Dengan demikian, jika dilihat dari tujuan pernikahan tersebut, kafa’ah dalam pernikahan dapat mendukung tercapainya tujuan pernikahan. Latar belakang diterapkannya konsep kafa’ah dalam pernikahan bertujuan untuk menghindari terjadinya krisis yang dapat melanda kehidupan rumah tangga. Tujuan pernikahan dapat tercapai apabila kerjasama antara suami dan istri berjalan dengan baik sehingga tercipta suasana damai, aman dan sejahtera. Tercapainya tujuan pernikahan memang tidak mutlak ditentukan oleh faktor kesepadanan semata, tetapi hal tersebut bisa menjadi penunjang yang utama. Dan faktor agama serta akhlaklah yang lebih penting dan harus di utamakan.[37]     



[1] Lois Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Mesir: Dar Al-Masyriq, 1986), hlm. 690.
[2]  Al-Ikhlas  (112): 4.   
[3] An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i (tnp.), hlm. 4749.
[4] Jamal Ad-Din Muhammad ibn Muharor al-Ansori al-Mansur, Lisan al-Arab  (Mesir: Dar al-Misriyah, tt.), hlm. 134.
[5] Muhammad Abu Zahroh, ‘Aqd Az-Zawaj wa Asaruh (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arobi, 1957), hlm. 185. 
[6] Nasarudin Latif, Ilmu Perkawinan: Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 19.
[7] As-Sayyid Alawi, Tarsih al-Mustafidin  (Surabaya: Syirkah P. Indah, tt.), hlm. 316.
[8] Al-Jazairi, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1969), IV: 38.
[9] Ibid., hlm. 58.
[10] Ibid..
[11] Asy-Syairazi, al-Muhazzab  (Semarang: tnp., t.t.), hlm. 38.
[12] Ibn Hazm, al-Muhalla’  (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), VII: 124.
[13] Al-Hujurat  (49)  :15
[14] Muhammad Abu Zahrah, ’Aqd az-Zawaj, hlm. 85.
[15] Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba’ah Mustafa al-Babi al-Halabi,1970) hlm. 28.
[16] Al-Jaziri, hlm. 58.
[17] Ibid.
[18] Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1369 H/1950), hlm. 158. 
[19] Muhammad Yusuf Musa,  Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi al-Islam  (Mesir: Dar al-Kutub al-Arabi, 1376H/1956), hlm. 144. Lihat juga. As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah  (Bairut: Dar al-Kitab al-Arabiah, tt),  II: 126.
[20] As-Sajdah  (32 ): 18.    
[21] Imam Bukhari,  Sahih al-Bukhari, (Beirut: Dar-al-Fikr, 1994), VI: 150.
[22] Al-Jazairi, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, hlm. 39.
[23] Al-Gamrawi, As-Sirad al-Wahhaj (Libanon: Dar al-Ma’rifah, t.t.), hlm. 359.
[24] Ibid., hlm. 369.
[25] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II: 130.
[26] Ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967), VI: 258.
[27] Ibid.
[28] Muhammad Abu Zahrah, Aqd Azzawaj wa Asaruh, hlm. 188.
[29] Asy-Syaukani, Nail al-Autar, Kitab Al-Kafa’ah, IV: 138. Hadis Riwayat Samurah dengan sanad sakhih.  
[30] As-Suyuti, Sunan An-Nasa’i, Kitab al-Kafa’ah, Hadis No. 3225. (Beirut: Dar al-Ma’rifah,1991), III: 372. Hadis ini diriwayatkan oleh ibn Hiban dan al-Hakim
[31] Al-Jazairi, al-Fiqh ‘Ala...., IV: 58.
[32] As-Sayyid Sabiq,  Fiqh as-Sunah, II: 132.
[33] Al-Jazairi, al-Fiqh ‘Ala..., IV:  60.
[34]Nasaruddin Latif, Ilmu Perkawinan: Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, Cet. II, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 101.
[35] M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 197.
[36] A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk) Menurut Hukum Islam, UU No 1/1974 (UU Perkawinan), UU No 7/1989 (UU Peradilan Agama, dan KHI, Cet. II (Bandung: Al-Bayan, 1995), hlm. 15-17.
[37] M. Fauzil Adhim dan M. Nazif Masykur, Di Ambang Pernikahan (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 78-82.

No comments: