Download DISINI
A.
Pengertian Kafa’ah
Secara
bahasa kafa’ah berasal dari kata كافاءyang
berarti المساوة
(sama)
atau المماثلة
(seimbang).[1]
Dalam firman Allah SWT disebutkan juga kata-kata yang berakar kafa’ah و لم يكن له كفوا احد
.[2]
Juga dalam
hadis المؤمنون تكافؤا دماؤهم [3] dari uaraian di atas dapat
dijelaskan bahwa kafa’ah dari
arti bahasanya berarti sama atau seimbang. Sedangkan secara terminologi kafa’ah
selalu dikaitkan dengan masalah perkawinan. Ibnu Manzur mendefinisikan kafa’ah
sebagai suatu keadaan keseimbangan ksesuaian atau keserasian. Ketika dihubungan
dengan nikah, kafa’ah diartikan sebagai kondisi keseimbangan antara
calon suami dan istri baik dari segi kedudukan, agama, keturunan, dan
sebagainya.[4]
Sedangkan
menurut Abu Zahrah kafa’ah adalah suatu kondisi di mana dalam suatu
perkawinan haruslah didapatkan adanya keseimbangan antara suami dan istri
mengenai beberapa aspek tertentu yang dapat mengosongkan dari krisis yang dapat
merusak kehidupan perkawinan.[5]
Dan
demikian dari definisi di atas dapat dipahami bahwa istilah kafa’ah
sangat terkait erat dengan masalah perkawinan, yakni adanya kesesuaian antara
calon suami dan istri dalam beberapa aspek tertentu yang dapat menghindarkan
terjadinya krisis dalam rumah tangga sehingga dapat menunjang tercapainya
keluarga yang bahagia dan sejahtera.
B. Eksistensi dan Urgensi Kafa’ah
dalam Perkawinan
Adanya kafa’ah
dalam perkawinan dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya
krisis rumah tangga. Keberadaannya dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai
dan tujuan perkawinan. Dengan adanya kafa’ah dalam perkawinan diharapkan
masing-masing calon mampu mendapatkan keserasian dan keharmonisan. Berdasarkan
konsep kafa’ah, seorang calon mempelai berhak menentukan pasangan
hidupnya dengan mempertimbangkan segi agama, keturunan, harta, pekerjaan maupun
hal yang lainnya. Adanya berbagai pertimbangan terhadap masalah-masalah
tersebut dimaksudkan agar supaya dalam kehidupan berumah tangga tidak didapati
adanya ketimpangan dan ketidak cocokan. Selain itu, secara psikologis seseorang
yang mendapat pasangan yang sesuai dengan keinginannya akan sangat membantu
dalam proses sosialisasi menuju tercapainya kebahagiaan keluarga. Proses
mencari jodoh memang tidak bisa dilakukan secara asal-asalan dan soal pilihan
jodoh sendiri merupakan setengah dari suksesnya perkawinan.[6]
Walaupun keberadaan kafa’ah sangat diperlukan dalam kehidupan
perkawinan, namun dikalangan ulama berbeda pendapat baik mengenai keberadaannya
maupun kreteria-kreteria yang dijadikan ukurannya.
Pendapat
berbagai Mazhab tersebut antara lain :
1.
Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi memandang penting aplikasi kafa’ah
dalam perkawinan. Keberadaan kafa’ah menurut mereka merupakan upaya
untuk mengantisipasi terjadinya aib dalam keluarga calon mempelai. Jika ada
seorang wanita menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kufu’ tanpa
seizin walinya, maka wali tersebut berhak memfaskh perkawinan tersebut, jika ia
memandang adanya aib yang dapat timbul akibat perkawinan tersebut.[7]
Segi-segi kafa’ah menurut mazhab ini tidak hanya
terbatas pada faktor agama tetapi juga dari segi yang lain. Sedangkan hak
menentukan kafa’ah menurut mereka ditentukan oleh pihak wanita.[8]
Dengan demikian yang menjadi obyek penentuan kafa’ah adalah pihak
laki-laki.
2.
Mazhab Maliki
Di kalangan mazhab Maliki ini faktor kafa’ah juga
dipandang sangat penting untuk diperhatikan. Kalaupun ada perbedaan dengan
ulama lain, hal itu hanya terletak pada kualifikasi segi-segi kafa’ah,
yakni tentang sejauh mana segi-segi tersebut mempunyai kedudukan hukum dalam perkawinan.
Yang menjadi prioritas utama dalam kualifikasi mazhab ini adalah segi agama dan
bebas dari cacat disamping juga mengakui segi-segi yang lainnya. Penerapan segi
agama bersifat absolut. Sebab segi agama sepenuhnya menjadi hak Allah. Suatu
perkawinan yang tidak memperhatikan masalah agama maka perkawinan tersebut
tidak sah. Sedang mengenai segi bebas dari cacat, hal tersebut menjadi hak
wanita. Jika wanita yang akan dikawinkan tersebut menerima, maka dapat
dilaksanakan, sedangkan apabila menolak tetapi perkawinan tersebut tetap
dilangsungkan maka pihak wanita tersebut berhak menuntut faskh.[9]
3.
Mazhab Syafi’i
Kafa’ah menurut Mazhab Syafi’i merupakan masalah penting yang
harus diperhatikan sebelum perkawinan. Keberadaan kafa’ah diyakini
sebagai faktor yang dapat menghilangkan dan menghindarkan munculnya aib dalam
keluarga. Kafa’ah adalah suatu upaya untuk mencari persamaan antara
suami dan istri baik dalam kesmpurnaan maupun keadaan selainbebas dari cacat.[10]
Maksud dari adanya kesamaan bukan berarti kedua calon
mempelai harus sepadan dalam segala hal, sama kayanya, nasab, pekerjaan atau
sama cacatnya. Akan tetapi maksudnya adalah jika salah satu dari mereka
mengetahui cacat seseorang yang akan menjadi pasangannya sedangkan ia tidak
menerimanya, maka ia berhak menuntut pembatalan perkawinan. Selanjutnya Mazhab
Syafi’i juga berpendapat jika terjadi suatu kasus dimana seorang wanita
menuntut untuk dikawinkan dengan lelaki yang tidak kufu’ dengannya,
sedangkan wali melihat adanya cacat pada lelaki tersebut, maka wali tidak
diperbolehkan menikahkannya. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Fatimah binti
Qais yang datang kepada Nabi dan menceritakan bahwa ia telah dilamar oleh Abu
Jahm dan Mu’awiyah. Lalu Nabi menanggapi, “jika engkau menikah dengan Abu Jahm,
aku khawatir engkau akan mendurhakainya. Namun jika engkau kawin dengan
Mu’awiyah dia seorang pemuda Qurais yang tidak mempunyai apa-apa”. Akan tetapi
aku tunjukkan kepadamu seorang yang lebih baik dari mereka yaitu Usamah.[11]
4.
Mazhab Zahiri
Mazhab ini dengan tokoh sentralnya Ibnu Hazm, berpendapat
mengenai kafa’ah yaitu bahwa semua orang Islam adalah bersaudara,
tidaklah haram seorang budak yang berkulit hitam menikah dengan wanita
keturunan Bani Hasyim, seorang muslim yang sangat fasik pun sekufu’
dengan wanita muslimah yang mulia selama ia tidak berbuat zina.[12] Pendapat ini didasarkan pada ayat :انما المؤمنون اخوة. [13]. Berdasarkan ayat ini, maka semua muslim adalah bersaudara.
Kata bersaudara menunjukkan arti bahwa setiap muslim mempunyai derajat yang
sama termasuk dalam hal memilih dan menentukan pasangannya.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa
mayoritas ulama mengakui keberadaan kafa’ah dalam perkawinan. Sementara
mengenai Ibn Hazm, walaupun secara formal ia tidak mengakui kafa’ah tapi
secara subtansial ia mengakuinya, yakni
dari segi agama dan kualitas keberagamaan.
Keberadaan kafa’ah ini selain diakui oleh ulama di
atas, juga diakui oleh fuqaha lain seperti Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan:
“dalam suatu perkawinan hendaknya harus ada unsur keseimbangan antara suami dan
istri dalam beberapa unsur tertentu yang dapat menghindarkan dari krisis yang
dapat merusak kehidupan rumah tangga.[14]
C. Kriteria- Kriteria Kafa’ah.
Para
ulama menetapkan kriteria-kriteria untuk menetapkan kufu’ tidaknya
seseorang. Dalam menetapkan kriteria ini para ulama banyak berbeda pendapat. Menurut mazhab Maliki,
faktor-faktor yang dapat menjadi kriteria kafa’ah hanya dari segi agama.
Namun dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa mazhab ini juga mengakui
kriteria-kriteria kafa’ah dalam 3 segi, yaitu : agama, kemerdekaaan dan
bebas dari cacat.[15]
Bahkan dalam kitab al- Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, dikatakan bahwa Ulama
Malikiyah juga mempertimbangkan segi keturunan, kekayaan dan pekerjaan sebagai
kriteria kafa’ah.[16]
Abu
Hanifah sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ahmad, berpendapat bahwa kriteria kafa’ah
hanya terbatas pada faktor agama dan nasab saja. Akan tetapi menurut riwayat
lain, mazhab ini juga mengakui kriteria kafa’ah dari segi nasab,
kemerdekaan, pekerjaan dan kekayaan. Sama halnya dengan Mazhab Syafi’i, mereka
mengakui beberapa segi yang perlu diperhatikan dalam kafa’ah yaitu
agama, nasab, kemerdekaan dan pekerjaan. Namun di kalangan para sahabat Syafi’i
juga ditemukan pendapat yang menyatakan bahwa mereka juga mengakui kriteria kafa’ah
dari segi bebas cacat.[17]
Sedangkan dari kalangan Hanabilah ditemukan dua sumber yang berbeda. Sumber
pertama mengatakan bahwa Ahmad mempunyai ide yang sama dengan Syafi’i, dengan
catatan Ahmad mengeluarkan urusan bebas dari aib secara jasmani. Sumber kedua
menyebutkan Ahmad hanya mencantumkan unsur taqwa sebagai kriteria kafa’ah, sama
dengan Malik.[18]
Dari
penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa masalah kafa’ah dalam
perkawinan menimbulkan perbedaaan pendapat di kalangan Ulama baik mengenai
eksistensi maupun kriterianya. Masing-masing ulama mempunyai batasan yang berbeda
mengenai masalah ini. Jika diamati, perbedaan ini terjadi karena adanya
perbedaan pandangan dalam menilai sejauh mana segi-segi kafa’ah itu
mempunyai kontribusi dalam melestarikan kehidupan rumah tangga. Dengan
demikian, jika suatu segi dipandang mampu menjalankan peran dan fungsinya dalam
melestarikan kehidupan rumah tangga, maka bukan tidak mungkin segi tersebut
dimasukkan dalam kriteria kafa’ah.
Segi-segi
kriteria kafa’ah yang dapat kita temui dari penjelasan kriteria kafa’ah
di atas dapat dijabarkan sebagai berikut :
1.
Segi Agama.
Semua ulama mengakui agama sebagai salah satu unsur kafa’ah
yang paling esensial. Penempatan agama sebagai unsur kafa’ah tidak
ada perselisihan dikalangan ulama. Agama juga dapat diartikan dengan kebaikan,
istiqomah dan mengamalkan apa yang diwajibkan agama. Adaikan ada seorang wanita
solehah dari keluarga yang kuat agamanya menikah dengan pria yang fasik, maka
wali wanita tersebut mempunyai hak untuk menolak atau melarang bahkan menuntut faskh,
karena keberagaman merupakan suatu unsur yang harus dibanggakan melebihi unsur
kedudukan, harta benda, nasab dan semua segi kehidaupan lainnya.[19]
Dasar penetapan segi agama ini adalah:
افمن
كان مؤمناكمن كان فاسقا [20]
تنكح المرأ ة لأ بع : لما لها و لحسبها و لجما لها و لد
ينها فا ظفر بذا ت الد ين تر بت يداك [21]
2.
Segi Nasab.
Maksud nasab disini adalah asal usul atau keturunan
seseorang yaitu keberadaan seseorang berkenaan dengan latar belakang
keluarganya baik menyangkut kesukuan, kebudayaan maupun setatus sosialnya.
Dalam unsur nasab ini terdapat dua golongan yaitu pertama golongan Ajam, kedua
golongan Arab. Adapun golongan arab terbagi menjadi dua suku yaitu suku Quraisy
dan selain Quraisy.[22]
Dengan ditetapkannya nasab sebagai kriteria kafa’ah,
maka orang Ajam dianggap tidak sekufu’ dengan orang Arab baik dari suku
Quraisy maupun suku selain Quraisy. Orang Arab yang tidak berasal dari suku
Quraisy dipandang tidak kufu’ dengan orang Arab yang berasal dari suku
Quraisy. Selain itu, untuk orang Arab yang berasal dari keturunan Bani Hasyim
dan Bani Muthalib hanya dapat sekufu’ dengan seseorang yang berasal dari
keturunan yang sama, tidak yang lainnya.[23]
3.
Segi Kemerdekaan.
Kriteria tentang kemerdakaan ini sangat erat kaitannya
dengan masalah perbudakan. Perbudakan diartikan dengan kurangnya kebebasan.
Budak adalah orang yang berada dibawah kepemilikan orang lain. Ia tidak
mempunyai hak atas dirinya sendiri. Adapun maksud kemerdekaan sebagai kriteria kafa’ah
adalah bahwa seorang budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan
yang merdeka. Demikian juga seorang budak laki-laki tidak kufu’ dengan
perempuan yang merdeka sejak lahir.[24]
Kemerdekaan juga dihubungkan dengan keadaan orang tuanya,
sehingga seorang anak yang hanya bapaknya yang merdeka, tidak kufu’ dengan
orang yang kedua orang tuanya merdeka. Begitu pula seorang lelaki yang neneknya
pernah menjadi budak, tidak sederajat dengan perempuan yang neneknya tidak
pernah menjadi budak, sebab perempuan merdeka jika dikawinkan denga laki-laki
budak dipandang tercela. Sama halnya jika dikawinkan denga laki-laki yang salah
seorang neneknya pernah menjadi budak.[25]
4.
Segi Pekerjaan.
Yang dimaksud dengan pekerjaan adalah berkenaan dengan
segala sarana maupun prasarana yang dapat dijadikan sumber penghidupan baik
perusahaan maupun yang lainnya.[26]Jadi
apabila ada seorang wanita yang berasal dari kalangan orang yang mempunyai
pekerjaan tetap dan terhormat, maka dianggap tidak sekufu’ dengan orang
yang rendah penghasilannya. Sementara itu Ar-Ramli berpendapat bahwa dalam
pemberlakuan segi ini harus diperhatikan adat dan tradisi yang berlaku pada
suatu tempat. Sedangkan adat yang menjadi standar penentuan segi ini, adalah
adat yang berlaku di mana wanita yang akan dinikahi berdomisili.[27]
Konsekuensinya, jika pekerjaan yang disuatu tempat dipandang terhormat tapi di
tempat si wanita dianggap rendah, maka pekerjaan tersebut dapat menghalangi
terjadinya kufu’.
5.
Segi Kekayaan.
Yang dimaksud kekayaan di sini adalah kemampuan seseorang
untuk membayar mahar dan memenuhi nafkah. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
kehidupan manusia terdapat stratifikasi sosial, diantara mereka ada yang kaya
dan ada yang miskin. Walaupun kualitas seseorang terletak pada dirinya sendiri
dan amalnya, namun kebanyakan manusia merasa bangga dengan nasab dan
bertumpuknya harta. Oleh karena itu sebagian fuqaha’ memandang perlu memasukkan
unsur kekayaan sebagai faktor kafa’ah dalam perkawinan. Tapi menurut Abu
Yusuf, selama seorang suami mampu memberikan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak
dan nafkah dari satu hari ke hari berikutnya tanpa harus membayar mahar, maka
ia dianggap termasuk kedalam kelompok yang mempunyai kafa’ah. Abu Yusuf
beralasan bahwa kemampuan membayar nafkah itulah yang lebih penting untuk
menjalani kehidupan rumah tangga kelak. Sementara mahar dapat dibayar oleh
siapa saja di antara keluarganya yang mempunyai kemampuan misalnya bapak
ataupun kakek.[28]
Secara umum dasar penetapan segi kekayaan ini adalah
beberapa hadis berikut ini:
ان أحساب الناس بينهم فى هذه الد نيا هذا المال [30]
6.
Segi Bebas dari Cacat.
Cacat yang dimaksudkan adalah keadaan yang dapat
memungkinkan seseorang untuk dapat menuntut faskh. Karena orang cacat
dianggap tidak sekufu’ dengan orang yang tidak cacat. Adapun cacat yang
dimaksud adalah meliputi semua bentuk cacat baik fisik maupun psikis yang
meliputi penyakit gila, kusta atau lepra.[31]
Sebagai kriteria kafa’ah, segi ini hanya diakui oleh
ulama Malikiyah tapi dikalangan sahabat Imam Syafi’i ada juga yang mengakuinya.
Sementara dalam Mazhab Hanafi maupun Hanbali, keberadaan cacat tersebut tidak
menghalani kufu’nya seseorang.[32]
Walaupun cacat tersebut dapat menghalangi kesekufu’an seseorang, namun
tidak berarti dapat membatalkan perkawinan. Karena keabsahan bebas dari cacat
sebagai kriteria kafa’ah hanya diakui manakala pihak wanita tidak
menerima. Akan tetapi jika terjadi kasus penipuan atau pengingkaran misalnya
sebelum perkawinan dikatakan orang tersebut sehat tapi ternyata memiliki cacat
maka kenyataan tersebut dapat dijadikan alasan untuk menuntut faskh.[33]
D. Pengaruh Kafa’ah
terhadap Tercapainya Tujuan Pernikahan.
Di atas
telah disebutkan beberapa faktor yang ditetapkan oleh Fuqaha. Faktor-faktor tersebut merupakan syarat yang ideal, sebab faktor-faktor tersebut
adalah sebagai jaminan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup berumah tangga.
Namun keadaan manusia itu tidak selalu sesempurna yang diidealkan dan selalu
saja ada kekurangannya, sehingga jarang sekali didapati seorang calon suami
atau calon istri yang memiliki faktor-faktor tersebut secara menyeluruh.
Apabila faktor-faktor tersebut tidak dimiliki dan didapati seluruhnya, maka
yang harus diutamakan adalah faktor agama. Sebab perkawinan yang dilakukan oleh
orang yang berbeda agama mempunyai kemungkinan kegagalan yang lebih besar
daripada yang seagama.[34]
Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat M.
Quraisy Syihab di dalam bukunya, Wawasan al-Qur’an, bahwa perbedaan tingkat
pendidikan, budaya dan agama antara suami istri seringkali memicu konflik yng
mengarah pada kegagalan.[35]
Keagamaan
merupakan salah satu pertimbangan yang
wajib ditaati dalam pernikahan. Bahkan dalam UU No I tahun 1974 Pasal 2 ayat 1
disebutkan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya”. Dalam sisi yang lain, memang faktor
agama juga merupakan satu-satunya yang menjadi kesepakatan dan titik temu dari
pendapat tentang kriteria kafa’ah oleh semua Mazhab.
Penentuan
kafa’ah dari segi agama juga bisa dikaitkan dengan tujuan pernikahan itu
sendiri. Tujuan pernikahan menurut islamsecara garis besarnya adalah: (1) untuk
mendapatkan ketenangan hidup, (2) untuk menjaga kehormatan diri dan pandangan
mata, (3) untuk mendapatkan keturunan. Di samping itu, pernikahan menurut islam
juga bertujuan memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta membangun
masa depan individu, keluarga, dan masyarakat yang lebih baik. Dalam
Undang-Undang Perkawinan ( UU NO 1
/1974), tujuan perkawinan dalam Pasal 1 sebagai rangkaian dari pengertian perkawinan,
yakni :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[36]
Dengan
demikian, jika dilihat dari tujuan pernikahan tersebut, kafa’ah dalam
pernikahan dapat mendukung tercapainya tujuan pernikahan. Latar belakang
diterapkannya konsep kafa’ah dalam pernikahan bertujuan untuk
menghindari terjadinya krisis yang dapat melanda kehidupan rumah tangga. Tujuan
pernikahan dapat tercapai apabila kerjasama antara suami dan istri berjalan
dengan baik sehingga tercipta suasana damai, aman dan sejahtera. Tercapainya
tujuan pernikahan memang tidak mutlak ditentukan oleh faktor kesepadanan
semata, tetapi hal tersebut bisa menjadi penunjang yang utama. Dan faktor agama
serta akhlaklah yang lebih penting dan harus di utamakan.[37]
[1] Lois Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa
al-A’lam (Mesir: Dar Al-Masyriq, 1986), hlm. 690.
[2]
Al-Ikhlas (112): 4.
[3] An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i (tnp.),
hlm. 4749.
[4] Jamal Ad-Din Muhammad ibn Muharor
al-Ansori al-Mansur, Lisan al-Arab (Mesir: Dar al-Misriyah, tt.), hlm. 134.
[5] Muhammad Abu Zahroh, ‘Aqd Az-Zawaj wa
Asaruh (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arobi, 1957), hlm. 185.
[6] Nasarudin Latif, Ilmu Perkawinan:
Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga (Bandung: Pustaka Hidayah,
2001), hlm. 19.
[7] As-Sayyid Alawi, Tarsih al-Mustafidin (Surabaya: Syirkah P. Indah, tt.), hlm. 316.
[8] Al-Jazairi, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib
al-Arba’ah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1969), IV: 38.
[9] Ibid., hlm. 58.
[10] Ibid..
[11] Asy-Syairazi, al-Muhazzab (Semarang: tnp., t.t.), hlm. 38.
[12] Ibn Hazm, al-Muhalla’ (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), VII: 124.
[13] Al-Hujurat (49)
:15
[14] Muhammad Abu Zahrah, ’Aqd az-Zawaj,
hlm. 85.
[15] Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad,
(Mesir: Syirkah Maktabah wa Matba’ah Mustafa al-Babi al-Halabi,1970) hlm. 28.
[16] Al-Jaziri, hlm. 58.
[17] Ibid.
[18] Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1369 H/1950), hlm. 158.
[19] Muhammad Yusuf Musa, Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi al-Islam (Mesir: Dar al-Kutub al-Arabi, 1376H/1956),
hlm. 144. Lihat juga. As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah (Bairut: Dar al-Kitab al-Arabiah, tt), II: 126.
[21] Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut:
Dar-al-Fikr, 1994), VI: 150.
[22] Al-Jazairi, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib
al-Arba’ah, hlm. 39.
[23] Al-Gamrawi, As-Sirad al-Wahhaj
(Libanon: Dar al-Ma’rifah, t.t.), hlm. 359.
[24] Ibid., hlm. 369.
[25] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah,
II: 130.
[26] Ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj,
(Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967), VI: 258.
[27] Ibid.
[28] Muhammad Abu Zahrah, Aqd Azzawaj wa
Asaruh, hlm. 188.
[29] Asy-Syaukani, Nail al-Autar, Kitab
Al-Kafa’ah, IV: 138. Hadis Riwayat Samurah dengan sanad sakhih.
[30] As-Suyuti, Sunan An-Nasa’i, Kitab
al-Kafa’ah, Hadis No. 3225. (Beirut: Dar al-Ma’rifah,1991), III: 372. Hadis
ini diriwayatkan oleh ibn Hiban dan al-Hakim
[31] Al-Jazairi, al-Fiqh ‘Ala...., IV:
58.
[32] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunah, II: 132.
[33] Al-Jazairi, al-Fiqh ‘Ala...,
IV: 60.
[34]Nasaruddin Latif, Ilmu Perkawinan:
Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, Cet. II, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2001), hlm. 101.
[35] M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur’an
(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 197.
[36] A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum
perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk) Menurut Hukum Islam, UU No
1/1974 (UU Perkawinan), UU No 7/1989 (UU Peradilan Agama, dan KHI, Cet.
II (Bandung: Al-Bayan, 1995), hlm. 15-17.
[37] M. Fauzil Adhim dan M. Nazif Masykur, Di
Ambang Pernikahan (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 78-82.
No comments:
Post a Comment