UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
(M. Syura'i, S.H.I)
(M. Syura'i, S.H.I)
Selengkapnya Click DISINI
A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah
yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya
yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional
yang telah mendapat pengakuan hukum,[1] kemudian
mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi
embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada
rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum
yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di
kalangan umat Islam.[2] Kemudian hal tersebut juga pernah
dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[3]
Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950
dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk
bagi umat Islam.[4] Sementara itu berbagai organisasi terus
menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin
merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR.[5] Organisasi-organisasi tersebut antara
lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga
(1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian
(BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI,
1963).[6]
Umat Islam waktu itu
mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan
bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil.
Kemudian setelah usaha umat Islam untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok
Perkawinan Umat Islam tersebut tidak berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan
umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah.[7] Segala upaya telah dikerahkan untuk
menghasilkan undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso
mencatat bahwa pada rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan
terus memperjuangkan lahirnya undang-undang tersebut.
Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972 menyarankan agar supaya PP ISWI
memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan Musyawarah
Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972
salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan
kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan
Pokok-Pokok Perkawinan.[8]
Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU
Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah
mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.[9]
Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU
baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah
menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15
(lima belas)
bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal.[10] RUU ini
mempunyai tiga tujuan. Pertama,
memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum
adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk
melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan
kaum wanita. Ketiga,
menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.[11]
Keterangan Pemerintah
tentang Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri Kehakiman
pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan Pemerintah
diberikan oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September 1973, yakni
dari Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan. Di samping
itu, banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR. Usul
tersebut disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal dalam
RUU tentang perkawinan yang diajukan ke DPR RI itu tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia
yang agamis dan bertentangan dengan norma agama yang dianut.[12]
Menurut Hasan Kamal,
setidaknya tedapat 11 pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam (fiqih munakaha>t), yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal
3 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 huruf c, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat
(2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 37, Pasal 46 ayat (c) dan (d),
Pasal 62 ayat (2) dan (6).[13]
Kemudian pada tanggal 17-18 September diadakan forum pandangan umum oleh
wakil-wakil fraksi atas RUU tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah
diberikan Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973.[14] Pada
intinya pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan
terkait dengan RUU Perkawinan tersebut.[15]
Secara bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR
diadakan lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI
dan Fraksi PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain:[16]
1. Hukum
agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
2. Sebagai
konsekuensi dari poin pertama itu, maka hal-hal yang telah ada dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1964 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tetap
dijamin kelangsungannya dan tidak akan diadakan perubahan.
3. Hal-hal
yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan
undang-undang perkawinan yang sedang dibahas di DPR segera akan dihilangkan.
Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang
disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh
tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya.[17] Sedang
rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.[18]
B.
Prinsip dan Asas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974
Segala peraturan perundang-undangan secara normatifitas pada biasanya
disandarkan kepada kaidah atau asas hukum tertentu. Begitu juga dengan
Undang-Undang Perkawinan, secara kesuluruhan memiliki asas hukum tersendiri
yang tidak dimiliki oleh undang-undang pada umumnya. Asas hukum dalam suatu
norma hukum mengandaikan adanya suatu tujuan yang akan diciptakan oleh pembuat
hukum atau undang-undang tersebut.
Dalam hukum positif
adakalanya bahwa asas-asas hukum suatu norma hukum disebutkan secara eksplisit,
namun adakalanya tidak disebutkan. Menurut hemat penyusun ketentuan Pasal 30-34
tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam UU Nomor 1 Tahun 1974, termasuk
norma hukum yang secara eksplisit menyebutkan asas hukumnya.
Mengenai prinsip dan asas
hukum, tidak semua ahli hukum menggunakan dua kata tersebut untuk satu maksud
atau tujuan. Misalnya tidak menggunakan kata prinsip untuk maksud menjelaskan
azas. Namun pada biasanya kebanyakan ahli hukum menggunakan dua kata tersebut
secara bergantian untuk menjelaskan azas.[19] Dalam skripsi ini asas
hukum yang sudah ada dimaksudkan untuk menentukan tujuan ketentuan-ketentuan
yang titeliti (Pasal 30-34 Undang-Perkawinan).
Namun secara keseluruhan, di
bawah ini dikemukakan asas hukum Undang-Undang Perkawinan menurut C.S.T.
Cansil:[20]
1.
Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[21] Untuk
itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.[22]
2.
Sahnya Perkawinan
Perkawinan dianggap sah kalau dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya, dan selanjutnya dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[23] Tata
cara pencatatan perkawinan sama dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
kehidupan seseorang lainnya. Seperti kelahiran, kematian dan lain-lain.
3.
Asas Monogami
Undang-undang perkawinan menganut asas monogami. Hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang
bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang
isteri. Meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, akan
tetapi hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh pengadilan.[24]
4.
Prinsip Perkawinan
Menurut C.S.T. Cansil undang-undang perkawinan menganut prinsip, bahwa
calon suami isteri harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa
berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh
karena itu tidak dibenarkan adanya perkawinan antara calon suami isteri yang
masih di bawah umur. Di samping itu menurut Cansil perkawinan berhubungan
dengan kependudukan. Menurutnya perkawinan di bawah umur bagi seorang wanita
akan mengakibatkan laju kelahiran meningkat.[25]
5.
Mempersukar Terjadinya Perceraian
Berjalan linier dengan tujuan perkawinan, maka undang-undang perkawinan
menganut asas untuk mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian dibenarkan
oleh karena alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang serta dilakukan di
depan sidang pengadilan.[26]
6.
Hak dan Kedudukan Isteri
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga
dengan demikian menurut Cansil segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
dan diputuskan bersama oleh suami dan isteri.[27]
Berbeda dengan C.S.T. Cansil, Abdul Manan menjelaskan bahwa asas-asas
perkawinan yang dimuat dalam Undang-undang Perkawinan yaitu ada 6 (enam). Keenam
asas tersebut adalah sebagai berikut:[28]
- Asas Sukarela[29]
- Asas Partisipasi Keluarga[30]
- Perceraian Dipersulit[31]
- Poligami Dibatasi dengan Ketat[32]
- Kematangan Calon Mempelai[33]
- Memperbaiki Derajat Kaum Wanita[34]
Sedangkan menurut Yahya Harahap, prinsip-prinsip perkawinan yang
terkandung dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut:[35]
- Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini.
- Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
- Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal.
- Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga Negara bangsa Indonesia yaitu prekawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
- Undang-undang menganut azas monogamy akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya.
- Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.
[1]Tentang hal tersebut dijelaskan bahwa
sebelum undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 lahir, Muslim Indonesia
menggunakan hukum Islam yang telah diresepsi ke dalam hukum Adat. Hukum islam
yang telah diresepsi ke dalam hukum adat tersebut mendapat pengakuan dari Indische
Staats Regeling (ISR) yang berlaku untuk tiga golongan. Padal Pasal 163
dijelaskan tentang perbedaan tiga golongan penduduk yang ditunjuk dalam
ketentuan Pasal 163 tersebut. yaitu; a. Golongan Eropa (termasuk Jepang); b.
Golongan pribumi (orang Indonesia) dan; c. Golongan Timur Asing. Dalam hal ini
dikecualikan orang yang beragama Kristen. Bagi golongan pribumi yang beragama
Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi ke dalam hukum adat. Pada
umumnya bagi oaring-orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melaksanakan
perkawinan berlaku ijab Kabul antara mempelai pria dengan wali dari mempelai
wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Hal ini telah merupakan
budaya hukum orang Indonesia
yang beragama Islam hingga sekarang. Lihat Hilman Hadikusuma, Hukum
Perkawinan Indonesia
menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agam, cet. I (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm.4-5,
bandingkan dengan C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 224-225
[2]
Keburukan-keburukan yang dimaksudkan yaitu antara lain: perkawinan kanak-kanak
(anak di bawh umur), kawin paksa, poligami, talak sewenang-wenang dan
lain-lain. Sementara menurut Khoiruddin Nasution respon perempuan Indonesia
terhadap praktek perkawinan hukum Islam khususnya mengenai ketentuan hak dan
kewajiban suami isteri disebabkan oleh ketentuan yang mengatur bahwa; a. suami
berhak menahan isteri untuk tetap di rumah; b. bahwa isteri wajib patuh kepada
suami; c. bahwa suami berhak memberikan pelajaran kepada isteri; d. bahwa
isteri wajib memenuhi kebutuhan seks suami. Bandingkan antara Arso Sosroatmodjo
dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan
Bintang, 1978), hlm. 9 dan Khoiruddin
Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I)
Dilengkapi Dengan Perbandingan UU Negara Muslim (Yogyakarta:
Academia+Tazzafa, 2004), hlm. 285
[3] Arso Sosroatmojo
dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 9
[4]
Kepanitiaan itu diketuai oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan, setelah mengalami
beberapa perubahan personalia, maka pada tanggal 1 April 1961 dibentuklah
panitia baru yang diketuai oleh Mr. H. Moh. Noer Poerwosoetjipto. Lihat Ibid.
[5]
Pada waktu itu ada dua RUU yang masuk ke DPR yaitu; a. RUU tentang Pokok-pokok
Perkawinan Umat Islam dan; b. RUU tentang Ketentuan Pokok Perkawinan. Ibid.,
hlm. 10
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8]
Tuntutan yang kedua dari Organisasi Islam Wanita Indonesia
adalah menyarankan kepada segeap anggota DPR RI hasil Pemilu agar menempuh segala cara yang
dimungkinkan oleh peraturan tata tertib DPR
RI untuk melahirkan kedua RUU
perkawinan yang diajukan pemerintah. Lihat Ibid., hlm. 24
[9]
Ibid. Lihat juga dalam Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam
di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta:
Kencana, 2006), hlm. 4
[10]
Bab-bab tersebut meliputi: Bab I tentang Dasar Perkawinan; Bab II tentang Syarat-syarat
Perkawinan; Bab III tentang Pertunangan; Bab IV tentang Tatacara Perkawinan;
Bab V tentang Batalnya Perkawinan; bab VI tentang Perjanjian Perkawinan; Bab
VII tentang Hak dan Kewajiban suami isteri; Bab VIII tentang Harta benda dalam
Perkawinan; Bab IX tentang Putusnya Perkawinan dan Akibatnya; Bab X tentang
Kedudukan Anak; Bab XI tentang Hak dan Kewajiban antara Anak dan Orangtua; Bab
XII tentang Perwalian; Bab XIII tentang Ketentuan-ketentuan Lain; Bab XIV
tentang Ketentuan Peralihan; dan Bab XV tentang Keterangan Penutup. Lihat Ibid.,
hlm. 2 dan 27
[11]
Tentang tujuan memenuhi harapan kaum wanita misalnya dapat tergambar dari
Pidato Kenegaraan Presiden Suharto pada tanggal 16 Agustus 1973, di mana
disinggung tentang munculnya desakan kaum wanita dan organisasi-organisasinya
agar negara memiliki undang-undang yang mengatur tentang perkawinan. Dan
tentang kemauan Indonesia
untuk membuat undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman hal itu telah
dipenuhi oleh undang-undang perkawinan yang diundangkan pada 2 januari 1971.
Kemodernan undang-undang tersebut diakui oleh Hilman, yakni sistem kekeluargaan
yang bersifat keorangtuaan (parental) dan menyisihkan sisitem kekeluargaan
patrilineal dan matrilineal. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia…, hlm.
111
[12] Abdul
Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 4-5.
[13]
Dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Studi KritisPerkembangan Hukum Islam dari Fiqih, Undang-Unang Nomor
1 tahun 1974 sampai KHI), cet. I (Jakarta:
Kencana, 2004), hlm. 24
[14]
Adapun fraksi-fraksi yang terlibat yaitu Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI
dan Fraksi Persatuan Pembangunan. Lihat Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum
Perkawinan Indonesia, hlm. 27
[15] Pemerintah meminta DPR untuk
memusyawarahkan hal-hal yang belum kita temukan kesepakatan melalui musyawarah
untuk mufakat. Apalagi hal-hal tersebut dianggap sangat erat hubungannya dengan
keimanan dan ibadah, dimusyawarahkan untuk dapat dijadikan rumusan yang disepakati.
Melihat keinginan dan kesediaan para anggota Dewan untuk memusyawarahkan
rancanagan undang-undang tentang perkawinan ini dengan baik, kita samua yakin,
Dewan bersama-sama Pemerintah akan mampu mengatasi segala perbedaan yang ada,
dan akan menghasilkan Undang-undang Perkawinan Nasional yang dicita-citakan
semua pihak.
[16]
Bandingkan: Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm.
5, dengan Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia…, hlm. 24-25
[17]
Yaitu undang-undang Perkawinan yang berlaku sampai saat sekarang ini yang
diundangkan pada tanggal 2 januari 1974, dan penjelasannya dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara No. 3019. lebih lanjut lihat C.S.T. Cansil, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
hlm. 222
[18]
Ibid. Meskipun Atho mencatat bahwa hasil akhir UU No. 1 Tahun 1974
adalah 66 pasal, dalam kenyataan UU No.1 Tahun 1974 terdiri dari 67 pasal.
[19]
Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia (studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No1/1974 Sampai
KHI), cet. I (Jakarta:
Kencana, 2004), hlm. 42-57
[20] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Indonesia,
cet. VIII (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 225-227. Bandingkan dengan
Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, hlm. 35
[21]
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1
[22] C.S.T.
Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 225
[23]
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Pasal 1 dan 2, bandingkan dengan C.S.T. Cansil dalam Ibid.
[24] C.S.T.
Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia ,hlm. 226
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28]
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hlm. 6
[29] Sehubungan dengan tujuan perkawinan sebagaimana
disebutkan dalam pasal 1, agar terlaksana dengan baik, maka perkawinan yang
dilaksanakan itu haruslah atas persetujuan kedua calon mempelai. Orang tua
dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria ataau wanita
pilihannya, melainkan diharapkan membimbing dan menuntut (peny. menuntun)
anak-anaknya agan memilih pasangan yang cocok sesuai dengan anjuran agama yang
mereka peluk. Ibid., hlm. 6-7
[30]
Maksud dari partisipasi keluarga dalam perkawinan yaitu pihak keluarga
masing-masing pihak diharapkan memberikan restu perkawinan yang dilaksanakan
itu. Partisipasi keluarga diharapkan dalam hal peminagan dan pernikahan.
Tujuannya yaitu untuk terjalinnya hubungan silaturahmi antarkeluarga pihak
mempelai pria dengan keluarga pihak mempelai wanita. Keterlibatan kedua belah
pihak dalam perkawinan calon mempelai juga diharapkan dapat membimbing pasangan
yang beru menikah itu supaya sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Ibid., hlm.
7-8
[31]
Untuk menekan angka perceraian yang tinggi yang terjadi, maka undang-undang ini
diundangkan. Perceraian tidak hanya merugikan kedua pasangan, akan tetepi anak
yang dihasilkan dari pernikahan tersebut akan ikut menjadi korbannya. Kemudian
penggunaan hak cerai dengan sewenang-wenang dengan dalih bahwa perceraian itu hak
suami harus segera dihilangkan. Ibid., hlm. 8
[32]
Beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan dipenuhi beberapa
alasan dan persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Menurut
undang-undang nomor 1 tahun 1974, pekawinan dibenarkan kalau dipenuhi
alasan-alasan, a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c.
isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Ibid., hlm. 9-10
[33]
Manan menjelaskan bahwa Undang-undang Perkawinan sangat berhubungan erat dengan
masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan umur pernikahan baik bagi wanita
maupun bagi pria diharapkan lajunya kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin,
dengan demikian program Keluarga Berencana Nasional dapat berjalan seiring dan
sejalan dengan undang-undang ini. Ibid., hlm 11
[34]
Sebelum adanya undang-undang ini banyak suami yang memperlakukan isterinya
dengan tindakan sewenang-wenang, menceraikan isterinya begitu saja tanpa ada
alasan yang jelas. Tindakan suami yang demikian menyebabkan banyak wanita yang
menderita yang tidak putus-putus. Ibid.,hlm11-12
[35] Yahya
Harahap, Hukum Perkawinan Nasional (Medan: Zahir Trading, 1975), hlm. 10
No comments:
Post a Comment