DUALITAS DALAM PEMIKIRAN IBN
‘ARABĪ
Oleh: Muh. Bahrul Ulum, S.Fil.I
Download DISINI
A. Dualitas Ibn ‘Arabī : Pandangan
mengenai Realitas Allah dan Makhluk
Wujūd Al-Ḥaqq,
bagi Ibn ’Arabi, merupakan sumber dari adanya segala
sesuatu. Konsep tajallī al-Ḥaqq yang diusungnya mengimplikasikan
kemustahilan anggapan bahwa wujud ciptaan (makhluk) terpisah dari Wujud
Pencipta. Dengan demikianlah, maka keseluruhan sistem ajaran Ibn ’Arabi dikatakan
sebagai waḥdat al-wujūd, yakni kesatuan keberadaan.
Pada
dasarnya, memang tidak ada pandangan tentang Tuhan yang simplistik. Tuhan yang
Tunggal itu bukanlah suatu wujud seperti diri kita sendiri atau pun eksistensi
hal-hal lain di sekitar kita yang dapat kita ketahui dan pahami dengan mudah.
Frasa ”Allāh Akbar”, yang kita sebut-sebut dalam shalat itu, menekankan
perbedaan Tuhan dengan segala realitas yang lain, juga antara Tuhan dalam
diri-Nya sendiri (Al-Żāt) dengan
apapun yang bisa kita katakan tentang Dia. Sungguhpun demikian, Tuhan yang
tidak bisa dipahami dan dijangkau ini telah berkehendak untuk membuat diri-Nya
diketahui. Di dalam sebuah ḥadīṡ qudsī yang sangat terkenal, Allah berfirman: ”Aku adalah perbendaharaan yang
tersembunyi; Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan alam agar Aku bisa dikenal.”
Hanya dengan begitulah, yakni atas dasar kehendak-Nya untuk dikenali, maka kita
dapat mengenali Wujūd-Nya.
Pemaknaan
tentang Wujūd sendiri sesungguhnya tidak sesederhana pemaknaannya
sebagai ”eksistensi” biasa. Dalam bahasa Arab, kata ”wujūd” memiliki
makna yang lebih dinamis dari sekedar ”ada” atau ”eksis”; wujūd pada
dasarnya berarti ”menemukan” atau ”diketemukan”. Dengan demikian, maka apa yang
disebut sebagai waḥdat al-wujūd
bermakna lebih dari sekedar bahwa pada akhirnya, sejatinya, hanyalah Tuhan yang
Ada, namun secara serentak juga berarti Dia ”diketemukan”. Waḥdat al-wujūd
bukan hanya kesatuan keberadaan melainkan juga kesatuan eksistensialisasi dan
persepsi tindakan itu. Dalam arti yang demikian, maka dipahami bahwa segala
sesuatu memperoleh wujudnya dengan ”diketemukan” yaitu ”dipersepsi” oleh Tuhan.[1]
Sejalan
dengan ḥadīṡ qudsī di atas, maka ini berarti Dia, dengan cara
tertentu, ”mengungkapkan” persepsi-Nya yang menimbulkan kita yang
mempersepsi-Nya. Inilah yang disebut sebagai ”waḥdat ”, kesatuan, dan
secara serentak, ”kebersamaan” –sebagaimana bunyi ayat ”Tuhan bersama kamu di
mana pun kamu berada” (Q.S. 57: 4). Dengan pemaknaan wujūd yang demikian
kita dapat memahami bahwa kosmos menjadi ada hanya berdasarkan dua kutub acuan,
yakni Wujūd (Dzat) dan pengetahuan (persepsi-Nya).[2]
Atas dasar kemajemukan pengetahuan, Tuhan memberikan kepada segala sesuatu
wujud yang bergantung atau mungkin sesuai dengan tuntutan realitas khusus dari
sesuatu itu.[3] Sepanjang sesuatu
mempunyai wujud, ia adalah Dia. Namun, sepanjang ia mewakili dan menggambarkan
suatu realitas tertentu serta terbatas yang tidak memungkinkannya
memanifestasikan wujud sebagaimana mestinya, maka ia bukanlah Dia.
Ibn
’Arabī dalam pemikirannya tetap mempertahankan adanya suatu transendensi atas
kategori-kategori, termasuk juga transendensi atas substansi. Tuhan berada di
atas segala kualitas (kualitas-kualitas itu bukanlah Dia dan sekaligus juga
tidak lain adalah Dia) dan Ia mengejawantahkan Diri-Nya sendiri hanya dengan
perantaraan Asmā’, bukan dengan Hakikat-Nya. Pada taraf Hakikat, Wujūd-Nya
tidak dapat dipahami (transendensi atas pengertian yang non-rasional).[4]
Maka, pada taraf ini, jelas bahwa ciptaan-ciptaan, dalam ranah eksistensinya
yang aktual, tidak identik dengan Tuhan secara hakiki dan mutlak, melainkan
mereka (ciptaan-ciptaan itu) hanyalah pantulan dari Asmā’ serta
Sifat-sifat-Nya yang ber-tajallī.
Tajallī Al-Ḥaqq itu dapat
digambarkan dengan perumpamaan cahaya (al-Nūr) yang melaluinya manusia
dapat menangkap kilasan yang transenden.[5]
Perumpamaan itu tertuang dalam salah satu ayat sebagai berikut:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan
bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus,
yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu
seakan-akan bintang (yang bercahaya seperti mutiara, yang dinyalakan dengan
minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak
di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya, yang minyaknya
(saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas
cahaya. (Q.S. 24: 35)
Sebagaimana ditafsirkan oleh para mufassir muslim
sejak hari-hari awal Islam, cahaya merupakan simbol yang sangat baik bagi
realitas Ilahi, yang mentransendensi ruang dan waktu.[6]
Begitu pula Ibn ’Arabī menganggap perumpamaan dalam ayat tersebut sebagai
landasan yang tepat dalam merumuskan teorinya tentang tajallī Allah.
Konsep
tajallī beranjak dari pandangan bahwa Allah Swt. dalam “kesendirian”-Nya ingin melihat diri-Nya di luar Diri-Nya. Karena alasan itulah dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi
Allah Swt. Ketika Dia ingin melihat diri-Nya, Dia melihat kepada alam yang berfungsi sebagai cermin itu.
Proses
penampakan diri Tuhan itu diuraikan sedemikian rupa oleh Ibn ’Arabī. Menurutnya, Żat Tuhan yang mujarrad dan transendental itu mengejawantah (ber-tajallī)
dalam tiga martabat melalui sifat dan asmā’, yang pada akhirnya muncul
dalam berbagai wujud konkret-empiris. Ketiga tahapan (martabat) tajallī
itu adalah tahap tajallī aḥadiyyah, tahap tajallī waḥidiyyah dan
tahap tajallī syuhudī.
Pada tahap
tajallī aḥadiyyah, Wujūd Tuhan merupakan Żat Mutlak, tidak bernama dan tidak bersifat. Karena itu, Ia tidak dapat
dipahami atau pun dikhayalkan. Pada martabat ini Al-Ḥaqq berada dalam
keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (al-’amā’)[7];
tidak sesudah, tidak sebelum, tidak terikat, tidak terpisah, tidak ada atas,
tidak ada bawah, tidak mempunyai nama, tidak pula dinamai. Pada martabat ini, Al-Ḥaqq
tidak dapat dikomunikasikan oleh siapa pun dan tidak dapat diketahui. Inilah
taraf hakikat yang tak dapat dikenal dan non-rasional itu. Pada taraf ini al-Ḥaqq tidak menampakkan diri-Nya kepada
sesuatu yang lain tetapi hanya kepada diri-Nya sendiri.[8]
Tahap
tajallī waḥidiyyah adalah penampakan pertama (ta’ayyun awwalī) atau
disebut juga martabat tajallī dzat pada sifat atau faiḍ al-aqdas (emanasi
paling suci)[9]. Dalam aras ini, Żat yang Mutlak itu bermanifestasi melalui sifat dan asmā’-Nya. Dengan manifestasi atau tajallī ini, Żat tersebut
dinamakan Allāh, Pengumpul dan Pengikat Sifat dan Nama yang Maha Sempurna (al-asmā al-husnā). Akan tetapi, sifat
dan nama itu sendiri identik dengan Żat. Di sini
kita berhadapan dengan Żat Allah yang Esa, tetapi Ia mengandung di
dalam diri-Nya berbagai “bentuk potensial” dari hakikat alam semesta atau entitas permanen (al-a’yān
al-ṡābitah). Hal penting yang perlu diperhatikan di sini ialah kata
“potensial”. Dengan kata ini, artinya al-Ḥaqq belum menampakkan
diri-Nya secara aktual dalam keanekaan; yang banyak secara potensial masih Satu
secara aktual.[10]
Martabat tajallī syuhudī disebut
juga faiḍ al-muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun ṡānī (entifikasi kedua, atau penampakan diri peringkat kedua). Pada tahap ini Allah ber-tajallī melalu nama dan
sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam kasatmata. Dengan kata lain,
melalui firman “kun” (jadilah), maka entitas permanen (al-a’yān al-ṡābitah) secara aktual menjelma dalam berbagai citra atau bentuk
alam semesta. Dengan demikian alam ini tidak lain adalah kumpulan fenomena
empiris yang merupakan lokus tajallī Al-Ḥaqq.
Dari pembagian martabat
tersebut, kita melihat bahwa dualitas diterapkan dengan memilah antara yang
dikenal dan yang tak dikenal, antara yang ẓāhir dan yang bāṭin.
Hakikat Allah sendiri, dalam Żāt-Nya,
adalah misteri dan tetap tak terjangkau, namun realitas-Nya dalam bentuk tajallī
merupakan dimensi ẓāhir yang dapat dijangkau.
Lebih dari itu, ‘ke-bukan-Dia-an’
yang terpahami dari keterbatasan alam makhluk ini juga tidak dapat ditampik
sebagai kenyataan, sebab Dia yang hakiki tidak mungkin terbatasi, sedangkan di
dalam realitas alam ini berlaku batasan-batasan. Kendati demikian, di dalam
realitas yang ‘bukan-Dia’ ini ‘ke-Dia-an’ sekaligus juga berlaku dan meliputi
segala sesuatu, sehingga jika dihayati secara keseluruhan maupun ditelisik
secara partikular, tidak ada satu pun yang bukan-Dia. Segala sesuatu yang
bukan-Dia itu serta-merta adalah Dia. Dengan begitu dualitas dalam konteks ini
berlaku terkait dengan cara pandang makhluk terhadap makhluk itu sebagai
dirinya sendiri, yang menghasilkan pemahaman akan keterbatasan dan pengertian
akan ke-bukan-Dia-annya; sementara di sisi lain, cara pandang makhluk terhadap
makhluk itu sendiri sebagai wujud ‘yang tak mandiri’ (melainkan bagian dari
wujud-Nya yang memanifestasi) melahirkan kesadaran akan ketakterbatasan serta
‘ke-Dia-an’ segala yang menyandang wujūd. Kedua cara pandang itu menurut
Ibn ‘Arabī harus sama-sama diterima secara bersamaan dan tidak dapat
ditinggalkan salah satunya.
Singkat kata, dualitas berkaitan
dengan sifat diskursus manusia tentang Tuhan. Untuk bisa memahami-Nya, kita
harus mengerti keterbatasan-keterbatasan konsepsi kita sendiri, karena –menurut
perspektif ketakterbandingan (tanzīh)– “Tak ada yang bisa mengenal Allah
kecuali Allah sendiri.”[11]
Dalam wilayah ini tidak seorang pun dapat menjangkau secara mutlak terhadap
hakikat Wujūd-Nya, atau “apa” dan “bagaimana”-Nya. Namun jika kita
mengesampingkan Tuhan yang tak bisa diketahui dan mengacu pada Tuhan yang bisa
diketahui, maka kita mempunyai dua perspektif yang sama: Kita mengetahui
pengetahuan kita tentang Tuhan masih kurang –atau bahkan bisa dianggap nihil,
yakni bahwa Dia tidak bisa dibandingkan. Pada saat yang sama, kita juga tahu
bahwa kita bisa mengetahui sesuatu tentang-Nya, yakni bahwa Dia adalah
“serupa”. Dengan demikian kita menjumpai adanya ketakterbandingan dan keserupaan
sekaligus pada dua tataran yang berbeda.[12]
Selanjutnya, dualitas mengenai
realitas Allah dan makhluk dalam pandangan Ibn ‘Arabī dapat kita lihat dari
bagaimana ia memahami filosofi nama-nama Allah, terkait dengan
pengejawantahannya ke dalam wujud alam (makhluk).
1.
Nama-nama Allah
Pandangan
yang menekankan penegasian pengetahuan tentang Tuhan dikenal dalam, bahkan
sangat akrab dengan, tradisi-tradisi keagamaan Timur, seperti Hinduisme dan
Taoisme. Dalam konteks ini, salah satu persoalan teologis-mistis yang selalu
menggoda untuk dijawab adalah cara mendekati dan mencintai Tuhan. Bagaimana
mungkin kita dapat mendekati dan mencintai Tuhan yang tidak diketahui?
Bagaimana mungkin Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam dan manusia dapat
hadir dalam alam dan manusia? Bagimana mungkin Tuhan yang transenden terhadap
alam dan manusia adalah imanen dalam alam dan manusia?
Penegasian
pengetahuan tentang Tuhan itu berlaku pula dalam pemikiran Ibn ‘Arabī.
Menurutnya, Żat Tuhan adalah munazzah, bebas dari dan berbeda sama
sekali dengan alam, tidak dapat diketahui dan dilukiskan. Żat Tuhan
adalah transenden dan mutlak, dan hanya dapat dideskripsikan dengan nama-nama tanzīh,
yang menafikan penyerupaan-Nya dengan segala apa pun yang diketahui manusia.
William C. Chittick menjelaskan pandangan Ibn ‘Arabī ini bahwa hanya
sifat-sifat negatif yang dapat diberikan kepada Tuhan; kita dapat mengatakan
apa yang bukan Żat-Nya. Ibn ‘Arabī kadang kala
mengatakan bahwa tidak ada suatu nama pun yang dapat dikenakan kepada Żat Tuhan, karena
Żat itu tidak
dapat diketahui secara mutlak.[13]
Żat Tuhan
hanya memiliki sifat-sifat atau nama-nama yang tidak dimiliki alam. Sifat-sifat
yang dimiliki Żat Tuhan berbeda dan berlawanan dengan sifat-sifat yang dimiliki
alam. Jika sifat yang dimiliki alam adalah al-hadaṡ (baharu,
temporal), misalnya, maka sifat yang dimiliki Tuhan adalah sifat lawannya,
yaitu al-qidam (kekal tanpa awal) dan al-azāl (ketiadaan
permulaan). Sifat-sifat seperti itu (al-qidam dan al-azāl)
merupakan sifat-sifat-Nya yang menunjukkan penegasian (dalam hal ini terhadap
permulaan dan kebaharuan).
Jika
dilihat sekilas, dengan adanya penegasian semacam itu maka tertutuplah pintu
pengetahuan dan pintu pengenalan bagi siapa pun terhadap Tuhan. Namun tentu
saja pernyataan yang demikian itu tidaklah tepat. Penegasian semata-mata
dilakukan dalam rangka menetapkan tanzīh terhadap-Nya, sebab secara
hakiki (dari aspek Żat) Wujūd Tuhan memang tidak
terkait dengan keberadaan alam yang baharu. Dari sisi ini “kebutuhan”-Nya
terhadap keberadaan makhluk sama sekali nihil. Namun demikian, kenyataan bahwa
semesta yang baharu ini memang benar-benar eksis seperti yang kita alami
meniscayakan lahirnya pengertian bahwa, di lain sisi, Wujūd-Nya –tidak
mungkin tidak– memiliki hubungan secara pasti dengan keberadaan makhluk.
Hubungan inilah yang terjadi melalui media nama-nama.
Ibn ‘Arabī
membedakan Wujūd al-Ḥaqq (Allah) dari segi Żat dan Asmā’-Nya.
Keesaan Tuhan dari segi Żat-Nya, yang
tidak membutuhkan semesta alam dan nama-nama, disebut sebagai “keesaan entitas”
(aḥadiyyat al-‘ayn), “keesaan Żat” (aḥadiyyat
al-Żat), atau “keesaaan” saja (dengan menggunakan kata “aḥadiyyat”,
yang dibedakan dari “waḥidiyyat”). Sedangkan “keekaan” Tuhan dari segi
nama-nama-Nya, yang di dalamnya terkandung keanekaan, dinamakan “keesaan
keanekaan” (aḥadiyyat al-kaṡrah), “keesaan
perbedaan” (aḥadiyyat al-tamyīz), “keesaan perpaduan” (aḥadiyyat
al-jam’), “keesaan nama-nama” (aḥadiyyat al-asmā’), atau disebut
“keekaan” (al-waḥidiyyat).
Dari sisi aḥadiyyat,
Allah adalah Wujūd Mutlak yang –seperti komentar Bālī Afandī– permanen
dengan Żat-Nya atau dengan Diri-Nya sendiri.[14]
Realitas-Nya tidak muncul keluar, melainkan hanya terjadi sebagai diri-Nya
sendiri dan oleh karenanya mustahil didapatkan pengetahuan tentang hal itu.
Pengetahuan akan Tuhan hanya mungkin terjadi –dan terniscayakan– dengan mengejawantahnya
Realitas Żat yang Aḥad itu melalui sifat dan nama-nama.
Asmā’ (nama-nama)
yang disandang Al-Ḥaqq menegaskan terjadinya perbedaan dan keragaman
berdasarkan apa yang ditunjuk oleh masing-masing nama itu, dan nama-nama itu
memiliki hubungan timbal balik dengan keberadaan makhluk. Misalnya, nama Al-Raḥmān
(Maha Pengasih) mengimplikasikan pemahaman bahwa secara logis nama itu menuntut
keberadaan sesuatu yang dikasihi. Demikian pula, misalnya, Al-Razzāq
(Maha Pemberi Rejeki) menuntut adanya marzūq (yang diberi rejeki).
Keanekaan
dan perbedaan nama-nama Tuhan itu akan lebih jelas terlihat ketika kita
mengkontraskan nama-nama-Nya yang berlawanan satu sama lain, misalnya, al-Ghafūr
(Yang Maha Pengampun) berbeda dengan al-Muntaqim (Yang Maha Pendendam); al-Muḥyī
(Maha Menghidupkan) berbeda dengan al-Mumīt (Maha Mematikan); dan
sebagainya. Bermacam-macam nama-nama itu jelas menunjukkan bukan hanya
keanekaan namun bahkan juga pertentangan. Ini terjadi dalam segi bagaimana
nama-nama itu diejawantahkan. Namun dari segi asal munculnya nama-nama
tersebut, semua yang berbeda dan bertentangan itu menunjukkan Żat-Nya Yang
Esa semata. Nama-nama itu adalah satu di mata Tuhan, tetapi banyak di mata
kita.
Nama-nama Al-Ḥaqq
tersebut, dipandang dari aspek fungsinya, merupakan suatu modus tajallī
di mana dengan demikian Pengetahuan-Nya yang utuh, transenden dan pada taraf
tertentu “tak terkatakan” itu menjadi terejawantahkan secara nyata melalui
keanekaragaman makhluk yang secara parsial menampung nama-nama dan sifat-Nya.
Ini menjelaskan fungsi rubūbiyyah dari nama-nama Ilahi, yang secara
sederhana dapat dipahami sebagai suatu bentuk hubungan dan cara Tuhan dalam
melakukan pengaturan terhadap seisi alam. Apabila Żat-Nya tidak
mempunyai hubungan dengan nama-nama dan alam, bagaimana mungkin Tuhan bisa
memelihara alam? Bukankah tajallī al-Ḥaqq dalam bentuk-bentuk alam
mengharuskan adanya hubungan antara Dzat Tuhan, nama-nama dan alam yang
merupakan hasil dan lokus tajallī-Nya? Tanpa hubungan dari ketiganya (Żat Tuhan,
nama-nama-Nya dan alam), penciptaan atau tajallī tidak akan mungkin
dapat terjadi.[15]
2.
Wujud Alam
Ibn ‘Arabī menekankan pentingnya pemahaman akan adanya alam beserta
seluruh makhluk ini sebagai lokus tajallī dari Al-Ḥaqq. Sebagai
lokus tajallī-Nya, maka segenap realitas yang mengisi alam semesta ini pun
menampung pengejawantahan seluruh Nama-nama-Nya. Artinya, seluruh makhluk
beserta kejadian-kejadian yang dialaminya mutlak bersumber dari beroperasinya
perbuatan-perbuatan (af’āl)-Nya dalam lingkup yang profan (duniawi) ini.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat dua unsur yang harus
disadari dalam konteks pemahaman terhadap hubungan antara Al-Ḥaqq dan
alam ini, yakni unsur yang tampak dan yang tersembunyi (al-ẓāhir dan al-bāṭin).
Ungkapan ini sendiri sangat lazim dan begitu banyak terurai dalam al-Qur’an.
Dua nama yang saling bertentangan namun saling melengkapi ini mengawali analisa
mengenai filosofi wujud alam berkaitan dengan hubungannya dengan Al-Ḥaqq.
Mungkin hanya sedikit ajaran-ajaran yang mendasar –sebagaimana tasawuf–
dalam menggagas bahwa ‘sesungguhnya terdapat sesuatu yang lebih nyata yang ada
di balik wilayah yang tampak’[16].
Dalam istilah al-Qur’an, seluruh makhluk adalah “ayat-ayat” (tanda) Allah.
Sebagian besar golongan sufi berpendapat bahwa bentuk lahir (ṣūrah)
adalah sebuah tabir yang memperdayakan, bahkan meskipun bentuk lahir tersebut
menampakkan realitas Ilahi dalam suatu bentuk.[17]
Kendati demikian, baik Tuhan sebagai al-Khāliq dan manusia serta seisi
alam sebagai al-makhlūq, keduanya tidak bisa dipahami kecuali sebagai
kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis.[18]
Inilah yang disebut Ibn ‘Arabī sebagai al-jam’ bayn al-addād atau yang
dalam terminologi filsafat Barat disebut sebagai coincidentia oppositorum.[19]
Hubungan Yang Tampak (al-żāhir) dan Yang
Tidak Tampak (al-bāṭin) sebagai manifestasi coincidentia oppositorum
memiliki keunikan yang ditandai dengan dua ciri: afirmatif dan negatif.
Ciri afirmatif dalam hubungan keduanya terwujud sejauh penyatuan dari keduanya.
Pada aspek ini, baik Yang Tampak maupun Yang Tersembunyi adalah satu, karena
keduanya adalah sama-sama entitas al-Ḥaqq yang Esa. Yang Tampak selalu
ada bersama Yang Tersembunyi, begitu pula sebaliknya. Yang Tampak selalu
mengafirmasi adanya lawannya –yaitu Yang Tersembunyi– atau juga sebaliknya.
Ciri afirmatif ini dinyatakan Ibn ‘Arabī, antara lain, dalam kutipan
berikut: “Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Tampak dan Yang
Tersembunyi, Dia adalah entitas apa yang tampak dalam keadaan penampakan-Nya”.[20]
Berlawanan dengan ciri pertama, ciri negatif ada sejauh Yang
Tampak, ketika menegaskan “keakuan” dirinya, menegasikan (menafikan) “keakuan”
Yang Tersembunyi ketika yang terakhir ini menegaskan “keakuan” dirinya pula dan
pada saat yang sama menegasikan “keakuan” diri yang pertama. Masing-masing
sama-sama menegasikan “keakuan” dari tiap lawannya, karena masing-masing
memiliki “keakuan” tersendiri yang khas dan berbeda dengan yang lain.
Ciri negatif dalam hubungan antara Yang Tampak dan Yang
Tersembunyi ini dinyatakan oleh Ibn ‘Arabī seperti: “Yang
Tersembunyi berkata ‘tidak’ ketika Yang Tampak berkata ‘Aku’ dan Yang Tampak
berkata ‘tidak’ ketika Yang Tersembunyi berkata ‘Aku’. Inilah hukum yang
berlaku bagi setiap kontradiksi.”[21]
Jika ciri yang pertama menunjukkan kesamaan antara Yang Tampak dan Yang
Tersembunyi, maka ciri kedua menunjukkan perbedaan antara keduanya.
Alam semesta (makhluk) ini, dalam sudut pandang tertentu,
dikarenakan ia adalah lokus manifestasi-Nya, maka mutlak merupakan bagian
dari-Nya. Artinya, perwujudan alam semesta ini tak lain adalah manifestasi-Nya
secara żāhir. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa rupa-rupa bentuk materiil
yang kita kenali ini adalah wujud-Nya yang żāhir.
“Persentuhan”-Nya dengan segala sesuatu tidak mungkin dibatasi sebab Dia Maha
Meliputi segalanya, termasuk dalam dunia benda-benda yang bersifat fisikal.
Pada saat yang bersamaan, seisi alam semesta juga memilliki keterkaitan dengan
dimensi bāṭin-Nya.
Berkenaan dengan alam pikiran, ide-ide dan perasaan, atau segala
sesuatu yang secara inderawi tidak dimungkinkan pencerapannya, maka di situlah
dimensi bāṭin-Nya berlaku. Dalam konteks inilah maka keberadaan makhluk
dikatakan memiliki dua sisi yang saling mengafirmasi satu sama lain, sekaligus
saling menegasikan di saat yang bersamaan, yakni bahwa keberadaan makhluk
secara ontologis dapat dipahami sepenuhnya sebagai “Dia” yang mengejawantah
–mewujudkan dimensi żāhir-Nya dalam segala sesuatu, sekaligus
“bukan Dia” oleh karena adanya perbedaan-perbedaan yang mutlak dan tidak dapat
dipungkiri –pendengaran kita adalah pendengaran-Nya, wujud benda-benda adalah
wujud-Nya, segala sesuatu yang disebut makhlūq ini adalah Dia dalam “keterbatasan”, sedangkan al-Ḥaqq
dalam Żat-Nya sendiri secara hakiki tak terbatas dan oleh karenanya tak
terjangkau.
3.
Paradoks “Huwa Lā Huwa”
Persoalan dalam pernyataan Dia (sekaligus) bukan Dia (Huwa Lā
Huwa) sesungguhnya berawal dari pertanyaan-pertanyaan klasik seperti, jika
satu-satunya wujud adalah al-Ḥaqq, bagaimana kedudukan ontologis al-khalq?
Apakah alam identik dengan Tuhan? Atau apakah alam tidak mempunyai wujud sama
sekali? Seperti biasa, jawaban yang diajukan oleh Ibn ‘Arabī terhadap
pertanyaan ini mengandung ambiguitas, yakni bahwa alam “adalah al-Ḥaqq
dan bukan al-Ḥaqq” sekaligus.[22]
Ungkapan yang singkat ini –yang mewarnai seluruh ajaran Ibn ‘Arabī– memiliki
implikasi yang sangat dalam dan luas bagi keseluruhan bangunan teologinya (atau
lebih tepatnya “teosofi).
Semakin dalam kita mempelajari tentang sifat dasar eksistensi,
semakin jelas bahwa kita dihadapkan dengan ambiguitas fundamentalnya. Setiap
sesuatu yang berada dalam kosmos memperoleh eksistensi dan sifat-sifatnya dari
realitas Ilahi. Dengan mengafirmasi realitas benda (makhluk), berarti kita
telah mengafirmasi realitas Allah, namun, di saat yang sama, kita menolak bahwa
“benda” tersebut adalah Allah. Benda tersebut hanyalah Allah dalam hal
eksistensi dalam sifat-sifatnya, tapi bukan dalam hal ‘kebendaan eksistensi
spesifiknya’, di mana benda tersebut adalah ‘sama sekali benda’.
Ayat al-Qur’an yang sering dijadikan rujukan oleh Syaikh
al-Akbar ini –untuk menunjukkan ambiguitas radikal eksistensi– ialah ayat yang
diturunkan setelah perang Badr, di mana kaum Muslim yang dipimpin oleh
Rasūlullāh memenangkan peperangan tersebut. Dengan latar peristiwa tersebut
Allah berfirman: “Bukanlah dirimu yang telah melempar ketika kamu melempar,
melainkan Allahlah yang telah melempar”.[23]
Ayat ini mengafirmasi realitas individu Nabi, lalu menegasikannya dengan
menyatakan bahwa Allah-lah realitas sesungguhnya yang telah melakukan tindakan
‘melempar’ itu. Dalam sebuah kutipan mengenai entitas Yang Satu –yakni Wujud
Murni– dan bekas-bekas dari nama-nama yang memanifestasi sebagai para entitas
benda-benda mumkin, Ibn ‘Arabī
menyimpulkan bahwa “tiada yang ada dalam wujud / eksistensi kecuali Allah”.
“Maka
tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan sifat-sifat dari entitas-entitas, dan
tidak ada suatu apapun dalam ‘adam kecuali entitas-entitas al-mumkināt
yang dipersiapkan untuk diberi sifat dengan wujud. Karena itu, dalam wujud
adalah ia (entitas-entitas al-mumkināt) dan bukan Dia. Karena yang
tampak (al-żāhir) adalah sifat-sifatnya, maka (itu) adalah ia (dalam wujud).
Dengan cara yang sama, ‘(itu adalah) Dia (Allah) dan bukan Dia; karena Dia
adalah Yang Tampak, maka itu adalah Dia. Tetapi perbedaan antara maujūdāt
ditangkap oleh akal dan indera karena adanya perbedaan sifat-sifat dari
entitas-entitas, maka itu bukan Dia”.[24]
Kemudian Ibn ‘Arabī menambahkan:
“Tetapi perumusan yang jelas tentang
masalah ini luar biasa sulit. Ibarat (‘ibarah) tidaklah mampu
merumuskannya dan konseptualisasi (taṣawwur) tidak mampu
mendefinisikannya, karena lepasnya yang cepat dan aturan-aturannya yang
kontradiktif. Ini seperti firman-Nya: ‘Bukanlah dirimu yang telah melempar’,
sebagai negasi-Nya, ‘ketika kamu telah melempar’, sebagai afirmasinya, ‘tetapi
Allahlah yang telah melempar’, sebagai negasi-Nya akan eksistensi
ciptaan/jadian (kaun) Nabi dan mengafirmasikan Diri-Nya sebagai identik
(‘ain) dengan beliau, di mana Dia telah menunjuk beliau dengan nama
‘Allah’”.[25]
Pada bagian lain dalam
karyanya yang sama (Futuḥāt) Ibn ‘Arabī menegaskan:
“Karena
itu alam menjadi tampak (ẓahara) sebagai Yang Hidup, Yang Mendengar,
Yang Melihat, Yang Mengetahui, Yang Berkehendak, Yang Berkuasa dan Yang
Berbicara. Ia (alam) bekerja sesuai dengan cara-Nya, sebagaimana Dia mengatakan:
“Katakan: ‘segala sesuatu sesuai dengan cara-Nya’”.[26]
Alam adalah perbuatan-Nya, karena itu ia menjadi tampak (ẓahara) dengan
sifat-sifat al-Ḥaqq. Jika anda mengatakan sesuatu tentang alam, “ia
(alam) adalah al-Ḥaqq,” anda telah mengatakan kebenaran karena Allah telah
berkata: “tetapi Allah yang telah melempar”.[27]
Jika anda mengatakan sesuatu tentang-Nya, “ia (alam) adalah ciptaan (khalq),
anda telah mengatakan kebenaran, karena Dia berkata: “ketika engkau telah
melempar”. Kerena itu Dia terungkap dan terselimuti, mengafirmasi dan menegasi.
Jadi (itu adalah) Dia dan bukan Dia. Dia adalah yang tidak dapat diketahui.
“Dan nama-nama indah adalah milik Allah”[28],
sedangkan penampakan-Nya melalui nama-nama itu dengan menyerap nama-nama itu (al-takhalluq)
adalah milik alam”.[29]
Ibn ‘Arabī sendiri
melihat kenyataan dari ungkapan di atas mengakui betapa sulit dan rumitnya
memahami hubungan ontologis antara Tuhan dengan alam. Kesulitan dan kerumitan
ini ditegaskannya dalam banyak pernyataan seperti yang telah dicontohkan di
atas. Bagi kita, menurut Ibn ‘Arabī, dalam ilmu ketuhanan tidak ada persoalan
yang aghmad (lebih ambiguis, lebih sulit dipahami, lebih kabur dan lebih
misterius) daripada persoalan ini.[30]
Karenanya, tidak mengherankan jika banyak ulama’ maupun kalangan awam yang
memahami secara negatif paham akidah Ibn ‘Arabī ini dan serta merta
menganggapnya telah menyamakan Tuhan dengan alam, yang dalam istilah modern
disebut “panteis”, “monis penteistik”, dan lain sebagainya.
Namun setelah penjelasan
di atas jelaslah kiranya bahwa dalam pandangan Ibn ‘Arabī alam adalah (sekedar)
penampakan diri (tajallī) dan manifestasi (maẓhar) dari al-Ḥaqq,
dan dengan demikian segala sesuatu di alam semesta ini adalah entifikasi (ta’ayyun)
al-Ḥaqq. Karena itu, baik Allah maupun makhluk, kedua-duanya tidak
dapat dipahami melainkan dalam keberadaannya dalam kontradiksi-kontradiksi
ontologis. Kontradiksi-kontradiksi ontologis dalam realitas bukan hanya
bersifat horisontal tetapi juga bersifat vertikal. Kontradiksi-kontradiksi itu
terlihat antara Yang Awal (al-Awwal) dan Yang Akhir (al-Akhīr),
Yang Tampak (al-Żāhir) dan Yang Tersembunyi (al-Bāṭin),
antara ketakterbandingan-Nya (tanzīh) dan keserupaan-Nya (tasybīh),
dan lain-lain. Dari seluruh ungkapan kontradiktif inilah Ibn ‘Arabī –seperti
telah disinggung di atas– menyimpulkan pandangannya dalam kalimat singkat
dengan kandungan makna yang begitu padat: “Dia bukan Dia (Huwa Lā Huwa)”.
B. Tanzīh dan Tasybīh: Menolak
Limitasi terhadap Allah
Di
dalam Islam, sufisme memegang posisi yang sangat penting dalam rangka
memperluas wawasan dan menjadi alternatif rujukan mengenai makna konsep-konsep
agama. Konsep-konsep dalam agama (teologis) itu, seperti telah disinggung di
bab sebelumnya, sepanjang sejarahnya terus-menerus mengalami pergesekan dan
pertentangan-pertentangan. Berbagai perselisihan yang terjadi itu menggambarkan
kepada kita akan betapa rumitnya memberikan jawaban atas persoalan-persoalan
aqidah, sejauh jawaban itu dituntut untuk tidak keluar dari batas nalar.
Sederhananya, umat Islam dituntut, pada satu sisi, untuk meyakini Tuhan sebagaimana
diajarkan dalam tuntunan-tuntunan agama. Di sisi yang lain, perkembangan
pemikiran yang niscaya terjadi di dalam kehidupan ini pada gilirannya
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan menyangkut kebenaran dalam ajaran-ajaraan
agama itu, yang pada kenyataannya memang tidak jarang untuk sulit diterima
begitu saja tanpa mengikutsertakan pertimbangan rasional yang matang.
Persoalan tentang wujūd
merupakan masalah yang sangat mendasar dalam diskursus filsafat maupun teologi
Islam, yang urgensitas akan pemahaman terhadapnya dapat memengaruhi
pilihan-pilihan tindakan yang dimungkinkan bagi seseorang dalam rangka
berhubungan dengan Tuhan. Mengingat pentingnya keimanan dan pemahaman yang baik
dalam persoalan ini, maka tidak mengherankan apabila setiap umat Islam dituntut
untuk menerapkan prinsip pengesaan Allah (tawḥīd) sebagai prinsip utama
dan pertama dari keenam prinsip keimanan (rukun iman) yang diajarkan dalam
Islam.
Prinsip tawḥīd itu sendiri
sesungguhnya bukan gagasan yang sederhana. Prinsip itu, berikut penerapannya,
telah menimbulkan berbagai kontroversi hukum dan teologis yang bermuara pada
penjabarannya sejak masa-masa awal Islam. Banyak pertanyaan yang muncul dalam
bentuk lontaran-lontaran filosofis yang kadang tidak disadari. Umpamanya,
argumen-argumen seputar hakikat keesaan Allah yang membentur peliknya
penjelasan ihwal Wujūd yang Sederhana berhubungan dengan alam ciptaan
yang sangat kompleks. Jika prinsip realitas benar-benar satu, mengapa ada lebih
dari satu kejadian di dalamnya? Mengapa satu sebab bisa menimbulkan
akibat-akibat yang beraneka ragam? Persoalan-persoalan semacam ini telah
diperdebatkan dengan bobot teoritis yang tinggi oleh para teolog dan filosof
sejak masa yang sangat lama.
Persoalan itu menjadi lebih
runcing lagi ketika ada tambahan “beban”, bahwa argumen-argumen yang diajukan
untuk menyelesaikan masalah itu tidak dapat semata-mata berada hanya di wilayah
nalar, melainkan juga harus sejalan dengan apa yang telah dikemukakan dalam
kitab suci (wahyu). Maka kecermatan dan upaya yang sungguh-sungguh untuk
memadukan antara ‘aql dan naql itu menjadi tantangan tersendiri
bagi siapapun yang berusaha mengetengahkan jawaban terhadap persoalan-persoalan
tersebut.
Peliknya persoalan pengesaan (tawḥīd)
terhadap Allah sebagai satu-satunya yang memiliki Wujūd hakiki terletak
pada dampak teologis yang mungkin timbul karena adanya konsekuensi logis yang
harus diterima bahwa alam semesta ini merupakan satu kesatuan dalam Wujūd-Nya.
Ibn ‘Arabī menandaskan bahwa tidak
ada “penciptaan” dalam arti seperti yang dikatakan para mutakallimin (creatio
ex nihilo), melainkan semata-mata merupakan emanasi dan penampakan, karena
segala yang ada (al-maujūdāt) adalah penampakan Ilahi dan ekspresi dari
sifat-sifat-Nya yang suci.[31]
Dalam pengertian yang demikian, maka sekilas tidak ada batas riil untuk
membedakan –dalam arti yang hakiki– antara Allah dan makhluk.
Gagasan seperti itu sulit diterima
oleh kebanyakan orang Islam, lebih-lebih bila mengingat doktrin tentang
berbedanya Allah dari segala sesuatu yang bersifat baharu (mukhālafah li
al-ḥawādiṡ) telah jelas-jelas melarang siapa pun yang beriman kepada-Nya
untuk mempersamakan-Nya dengan makhluk. Namun di sisi lain, menegaskan
perbedaan semacam itu juga berdampak pada konsekuensi logis yang memiliki
kesulitan tertentu. Jika Tuhan diyakini sebagai Żat Yang Maha
Tak Terbatas, maka menganggap-Nya berbeda secara mutlak dengan makhluk berarti
memberikan batasan kepada kemutlakan-Nya. Limitasi semacam itu berakibat pada
pandangan akan keterpisahan makhluk dari Penciptanya. Dengan cara pandang
seperti ini, menjadi tertutuplah pintu penghayatan akan ayat yang dengan tegas
menyatakan bahwa Tuhan “lebih dekat dengan manusia daripada urat leher” (Q.S.
Qāf: 16).
Bagi Ibn ‘Arabī, bukan masalah
besar untuk menghayati gagasan penyatuan ini lantaran kita sebenarnya sama
dengan Tuhan. Artinya, kita semata-mata pantulan Wujūd Tuhan dan Tuhan
membiarkan Diri-Nya tercerminkan lewat kita. Dalam Fuṣūṣ ia
menjelaskan:
“Andaikata Sang Ḥaqq (Allah) tidak ‘mengalir’ kepada
segala sesuatu yang ada ini, dan andaikata Dia tidak menampakkan Diri-Nya dalam
bentuk-bentuk segala sesuatu, maka alam ini pun tak akan ada....
Maka dari adanya tubuh Adam itulah kini engkau tahu bahwa
sesungguhnya itu (tubuh Adam) adalah rupa-Nya yang nyata (żāhir); dan dari ruh Adam itulah engkau
mengetahui pula bahwasanya (ruh Adam) itu semata-mata adalah rupa-Nya yang
tersembunyi (bāṭin). Maka ia (Adam)
tak lain adalah ‘Tuhan yang makhluk’ (al-Ḥaqq
al-Khalq).[32]
Dari kutipan di atas, pandangan
Ibn ‘Arabī secara tegas menunjukkan
bahwa Wujūd itu satu adanya. Dualitas al-Ḥaqq
dan al-khalq bukanlah suatu dualitas wujud yang hakiki melainkan
suatu dualitas dari apa yang disebut sebagai ”aspek-aspek yang berbeda”. Namun
di satu sisi, pembedaan yang dilakukannya terhadap aspek ẓāhir dan bāṭin yang
sama-sama mengejawantah dalam realitas itu menimbulkan persoalan: apa yang
sesungguhnya terjadi ketika kita melihat dan mengenali keberadaan realitas? Dapatkah,
pada saat yang demikian, kita mengatakan bahwa kita “melihat” dan mengenali
Tuhan? Dari sinilah, maka aspek-aspek
yang berbeda itu diidentifikasi oleh Ibn ’Arabī dalam filsafatnya dengan apa yang disebutnya sebagai
transendensi (tanzīh) dan imanensi (tasybīh).
Bagi Ibn ‘Arabī, persoalan
terpenting dalam konteks memahami realitas keberagaman dalam alam semesta,
terkait dengan pemahaman akan kesatuan wujūd, terletak pada kemampuan
transendensi serta pemahaman yang benar akan imanensi Yang Ilahi. Yang mesti dilakukan
untuk dapat menghayati landasan Ilahi dalam realitas ialah berpikir secara
sintetis: mempersatukan semua yang tampak berbeda dan mengakui kesatuan
transendental atas semua yang teramati. Pemahaman akan kesatuan segala sesuatu
ini tidaklah mudah. Ia mencakup pembelajaran ulang mengenai bagaimana
semestinya memandang alam.[33]
Pada titik inilah persoalan tasybīh (penyerupaan; antropomorfisme) dan tanzīh
(penegasan ketakserupaan) mencuat ke permukaan.
Sementara para mutakallimin
memandang tanzīh sebagai pendapat yang benar untuk menolak tasybīh,
Ibn Arabī memegang tasybīh sepanjang dipertahankan secara seimbang
dengan tanzīh.[34]
Bahkan, dalam hal ini Ibn Arabī mengeritik para penegak tanzīh (munazzih;
orang yang menegakkan tanzīh dengan menolak sisi tasybīh) dengan
pernyataan yang keras, bahwa pendapat yang demikian itu merupakan bentuk
kebodohan dan sū’ al-adab terhadap Allah.[35]
Dalam
doktrin tanzīh dan tasybīh ini, Ibn ’Arabi tidak memahami tasybīh dalam arti bahwa, misalnya, Tuhan memiliki pendengaran atau penglihatan,
atau tangan dan seterusnya, namun, sebaliknya, Dia imanen dalam seluruh wujud pendengaran
dan penglihatan. Ini merupakan wilayah imanensi-Nya. Di sisi lain, Esensi-Nya
tidak terbatas kepada satu makhluk atau sekelompok makhluk yang mendengar dan
melihat, namun dimanifestasikan dalam seluruh makhluk apa pun. Dalam artian
ini, Tuhan adalah transenden karena Dia mengatasi seluruh limitasi dan
individualisasi. Sebagai suatu Substansi Universal, Dia adalah Esensi dari
semua itu. Dengan demikian, Ibn ’Arabi mereduksi tanzīh dan tasybīh
kepada kemutlakan (iṭlāq) dan keterbatasan (taqyīd).
Ibn
’Arabi memandang bahwa transendensi dan imanensi adalah dua aspek fundamental dari Realitas. Jika kita
ingin menjelaskan Realitas atau Hakikat tidaklah cukup dengan hanya menjelaskan
satu aspek saja. Al-Ḥaqq yang darinya aspek transendensi dijelaskan
sama dengan al-khalq yang darinya imanensi ditegaskan, sekalipun (secara
logis) Pencipta jelas berbeda dari yang diciptakan.
Meski Ibn ’Arabi menegaskan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan
(dari aspek imanensinya), ia menjaga betul untuk tidak mengatakan sebaliknya. Tuhan adalah Ketunggalan di balik multiplisitas dan
Realitas di balik Penampakan (dari aspek transendensinya). Ibn ’Arabi berpendapat
bahwa Al-Ḥaqq bukanlah transendensi sebagaimana
ditegaskan oleh manusia yang menjabarkan bahwa watak hakiki Tuhan sebagai Yang
Absolut. Bahkan transendensi yang paling abstrak (yang dikonsepsi manusia)
adalah sebentuk limitasi, karena ia mengimplikasikan, setidaknya, eksistensi
seorang penegas atau subjek selain eksistensi Tuhan. Lebih jauh, menegaskan
sesuatu atas sesuatu berarti membatasinya. Karena itu, penegasan bahkan atas
transendensi mutlak Tuhan adalah satu pembatasan atau limitasi, jika itu
dilakukan dengan menolak aspek imanensinya, atau begitu pula berlaku
sebaliknya. Dengan demikian, jalan yang paling tepat adalah dengan menerima
serta menegakkan keduanya, baik transendensi (tanzīh) maupun imanensi (tasybīh).
C. Mengesakan Allah: Dualitas yang Tak Terhindari
Dalam
pengertian yang sederhana, kita dapat memahami tawḥīd sebagai bentuk
pengakuan akan keesaan Tuhan. Namun pengertian yang demikian ini sering
menjebak kita pada paradoks-paradoks yang rumit. Pemahaman manusia tentang
keesaan-Nya kiranya tidak dapat dijabarkan dengan mudah melalui cara-cara yang
simplistik. Jika kita mengakui keesaan-Nya –dan di sisi yang lain juga tidak
mungkin memungkiri ketakterbatasan-Nya, maka bukankah pengakuan kita akan
keberadaan diri sendiri (ego) merupakan bentuk penyangkalan atau
”penduaan” –meski dengan cara yang demikian halus– terhadap wujud-Nya yang Maha
Tunggal dan Tak Terbatas kemutlakan-Nya itu? Namun bagaimana mungkin kita tidak
mengakui keberadaan ”yang lain” (makhluk), sedangkan alam semesta dan diri kita
sendiri adalah realitas yang tidak dapat ditolak keberadaannya? Maka
persoalannya adalah bagaimana keesaan dan ketakterbatasan-Nya itu dapat
dipahami di tengah keberagaman dan keserbaterbatasan makhluk, atau mungkin
sebaliknya, bagaimana kita melihat keberagaman dan keserbaterbatasan seluruh
makhluk di alam raya ini berada dalam keesaan dan ketakterbatasan-Nya?
Ibn ‘Arabī, seperti yang di atas telah
dijelaskan, menolak cara pandang yang, meskipun mungkin diajukan dalam rangka
menyucikan-Nya, justeru memberikan limitasi terhadap-Nya. Ini biasa terjadi
dalam cara pandang mereka yang menganggap tanzīh sebagai jalan paling
absah dalam memandang dan memahami Tuhan. Cara pandang yang demikian menegaskan
bahwa Dia begitu jauh, tak terjangkau, serta pembicaraan mengenai-Nya adalah
sesuatu yang tidak mungkin dan terlarang karena hal itu dianggap melanggar
batas, yakni kesucian dan sifat absolut-Nya. Di sisi lain, gagasan tasybīh
yang diajukan untuk menegaskan kedekatan dan kemungkinan bagi makhluk untuk
mendapatkan pengetahuan dan pengenalan tentang-Nya juga tidak dapat diterima
tanpa menegaskan kemahasucian-Nya dari segala bentuk kekurangan dan
keterbatasan. Untuk itu, ketika ”Tuhan” disebut-sebut dalam konteks pemikiran
Islam, kata itu mesti dipahami dari dua sudut pandang. Pertama, kita memandang
Tuhan sebagai Dia dalam Diri-Nya sendiri, di mana kita mengesampingkan kosmos,
yakni segala sesuatu selain Tuhan. Kedua, kita memandang Tuhan yang ”hadir” dan
memiliki hubungan dengan kosmos.
Dalam sudut pandang yang pertama,
pengetahuan kita tentang Tuhan tidak mungkin didapatkan kecuali dengan
penyebutan-penyebutan negatif tentang-Nya, seperti Yang Tak Terjangkau, Yang
Berbeda dari segala sesuatu, Yang Bukan seperti apapun yang kita pikirkan, dan
sebagainya. Sedangkan dari sudut pandang yang kedua kita sangat mungkin
mendapatkan pengetahuan dan memahami Tuhan sebab Dia begitu dekat, namun
pengetahuan dan pemahaman itu akan sangat terbatas sesuai dengan kapasitas
masing-masing individu, dan dengan demikian maka apa yang kita sebut sebagai
”Tuhan” akan menjadi sangat relatif maknanya.
Bagi Ibn ‘Arabī, baik cara pandang yang
pertama maupun cara pandang yang kedua di atas, kedua-duanya itu tidak dapat
diterima jika dibiarkan berdiri sendiri-sendiri. Menegakkan pandangan kedua
berarti juga harus mendukung pandangan yang pertama dan begitu pula sebaliknya.
Kedua posisi itu mesti dipertahankan jika pengetahuan sempurna ingin didapatkan
dan tawḥīd sempurna ingin ditegakkan.[36]
Dalam bab ketiga dari Fuṣūṣ al-Ḥikam Ibn ‘Arabī mengungkapkan sebuah
syair yang sangat terkenal yang berbicara mengenai hal ini:
Jika engkau bicara tentang
ketakterbandingan,
engkau telah membatasi, dan jika engkau
bicara tentang keserupaan,
engkau juga telah membatasi.
Jika engkau bicara tentang keduanya,
engkau tepat mengenai sasaran –
engkau seorang pemimpin dan syaikh
dalam ilmu-ilmu makrifat.[37]
Dengan demikian, dari uraian di atas maka
kita dapat melihat bahwa dalam rangka menegakkan gagasannya tentang tawḥīd,
Ibn ‘Arabī melakukan penolakan terhadap kontradiksi dengan mengajukan
kontradiksi yang lain. Kontradiksi yang ditolak adalah hasil dari pemikiran
atau anggapan yang tidak dapat dipertahankan dengan menyatakan, misalnya, bahwa
Tuhan itu tidak dapat dijangkau, absolut dalam Diri-Nya sendiri, mutlak berbeda
dengan sekalian makhluk, dan seterusnya. Pandangan seperti ini mengimplikasikan
anggapan tentang keberjarakan antara Tuhan dan makhluk –atau lebih ekstrim
lagi: keterpisahan. Akibatnya adalah hasil pemikiran yang kontradiktif dengan
tujuan penyucian terhadap-Nya, sebab pemahaman akan adanya jarak dan
keterpisahan tersebut akan melahirkan reduksi-reduksi dan limitasi dalam hal
keterhubungan-Nya dengan alam semesta (makhluk), dan hal itu justeru menodai
kesucian dan mengingkari kemahatakterbatasan-Nya. Maka dari itu tawḥīd perlu
ditegakkan dengan menegaskan dua aspek sekaligus, yakni ketakterbandingan (tanzīh)
dan keserupaan (tasybīh), di mana keduanya merupakan aspek-aspek yang
saling berkontradiksi satu sama lain. Inilah yang dimaksud dengan menolak
kontradiksi dengan cara mengajukan kontradiksi yang lain. Lagi pula, dalam kita
menegaskan keesaan Allah –tawḥīd, selalu terjadi dualitas yang bersifat
inheren dalam bahasa dan pemikiran rasional. Kita menegaskan keesaan-Nya, namun
dengan berbuat demikian, kita (juga) menegaskan adanya dualitas, karena kitalah
yang berbicara.[38] Dualitas itu terjadi
melalui diri dan ucapan kita, dan dalam pemikiran Ibn ‘Arabī, sebagaimana
umumnya yang berlaku dalam tradisi kearifan (ḥikmah), dualitas seperti
ini dipertahankan, namun dalam pemahaman yang ketat, yaitu dualitas dalam
batasan kesalinghubungan dan polaritas.[39]
D. Cinta: Pelampauan atas Segala Paradoks
Tidaklah terlalu sulit untuk mamahami
mengapa sufisme mesti dilihat sebagai suatu disiplin ilmu yang memiliki
pandangan positif terhadap keragaman keagamaan pada khususnya, dan atau
kehidupan yang plural pada umumnya. Secara agak simplistik, dapat dikatakan
bahwa perbedaan antara pendekatan yang dilakukan oleh para muslim-sufi
dibandingkan dengan pendekatan oleh muslim-non-sufi terletak pada
persepsi-persepsi yang dibangunnya terhadap keyakinan fundamental dalam
perkara-perkara teologi yang didasarkan pada al-Qur’an dan sunnah Nabi
Muḥammad SAW.
Kebanyakan umat Islam –lebih khusus yakni
mereka yang secara simplistik terkategori sebagai non-sufi– menitikberatkan
pandangan keagamaannya terhadap wilayah hukum (syari’at), di mana secara
teologis hal ini mengarah kepada pemahaman keagamaan yang ketat dengan titik
berat pandangan tentang transendensi Tuhan, yakni pemahaman bahwa Tuhan itu
”membebankan” sekian aturan atas hamba-hamba-Nya dalam sebuah institusi bernama
Agama Islam. Pemahaman yang demikian ini terbukti memiliki kecenderungan untuk
melahirkan sikap sinis –bahkan menolak– terhadap perbedaan, sebab agama beserta
segala aturan yang berlaku di dalamnya dianggap sebagai sebuah aksioma yang
harus dijalankan dengan kerangka kebenaran yang ”hitam-putih” dalam segala
sendi perikehidupan ini, atau jika tidak, maka ancaman akan siksa-Nya akan
benar-benar terjadi.
Konsep pahala dan siksa ini begitu kuat
mengakar dalam pelaksanaan syari’at dalam kehidupan kebanyakan umat Islam, yang
dari sana kemudian lahirlah penghayatan yang terfokus pada keperkasaan Allah,
keadilan-Nya, siksa-Nya, atau kalau pun Dia memberikan balasan berbentuk nikmat
dan pahala, maka itu pun dipahami tidak terutama karena Kasih dan Cinta-Nya,
melainkan sebagai imbalan atas jerih payah usaha dan perilaku ibadah seseorang
–lebih mirip sebagai upah yang diberikan oleh majikan kepada budaknya.
Sementara itu, para sufi memiliki cara
pandang yang begitu berbeda terhadap peran agama di dalam kehidupan ini. Benar
bahwa syari’at memang harus ditegakkan dan siapa saja yang melanggarnya sungguh
telah berbuat salah dengan pelanggaran itu, namun pelaksanaan syari’at dalam
konteks pandangan yang sufistik ini tidak lain merupakan sikap hidup yang
berakar pada kesadaran-kesadaran batin, seperti rasa cinta yang meluap-luap dan
penghormatan, yang memiliki penekanan lebih besar terhadap kualitas-kualitas
tertentu dalam rangka mempererat ikatan antar pihak yang saling mencintai.
Secara teologis, sikap seperti ini mengarah
pada penekanan sikap yang lebih lapang berlandaskan cinta-kasih, yang jika
terejawantahkan dalam pelaksanaan ibadah, maka perbuatan ibadah itu tidak lagi didasarkan pada harapan
atas imbalan pahala atau ketakutan akan ancaman siksa, melainkan semata-mata
karena memenuhi hasrat dari rindu dan cinta kepada Yang Maha Pecinta dan
Dicinta. Dengan demikian berlakulah –dan absah– konsep tentang keterbebasan
dari taklīf (pembebanan) yang dibawa oleh syari’at, bukan dalam arti
meninggalkannya, melainkan bahwa perilaku-perilaku ibadah yang semula –pada
taraf yang paling rendah– dianggap sebagai ”beban” kini berubah menjadi suatu
perilaku yang ”dibutuhkan” dan dikerjakan secara sukarela tanpa alasan apapun
selain cinta. Di dalamnya tidak berlaku lagi ”keberatan”, sebagaimana pula
tidak diperlukan adanya ”keringanan”.[40]
Lagi pula, seperti dikatakan oleh Syaikh Muḥammad al-Būṣīrī dalam bait ke
delapan dari Qasīdat al-Burdah-nya, bahwa ”demi cinta, kesenangan
memang acap kali dipertukarkan dengan derita (pengorbanan)”.[41]
Begitu pula, dengan cara pandang demikian,
segala titah Tuhan dan hukum-hukum yang diberlakukan-Nya, atau lebih umum lagi,
segala sesuatu yang berasal dari dan atau menuju kepada-Nya serta-merta
dihayati sebagai hal yang mendatangkan kebahagiaan, atau bahkan itulah
kebahagiaan itu sendiri. Dalam tradisi sufisme, sebuah syair yang begitu
terkenal dari Rabi’ah al-’Adawiyyah menggambarkan secara tepat mengenai hal
ini:
Ya Allah, jika aku
menyembah-Mu karena takut pada neraka, maka bakarlah aku di sana dan jika aku
menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari itu; namun
jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau memalingkan
keindahan-Mu yang abadi dariku.[42]
Ibn ’Arabī sendiri, sebagaimana yang tampak
jelas dalam berbagai karyanya, mendasarkan pendangan-pandangannya pada ma’rifat
dan cinta yang mendalam kepada Allah. Dengan ma’rifat yang tajam ia tidak
melihat keragaman dan perbedaan-perbedaan sebagai sumber kebingungan dan
bahaya,[43]
sebab semua itu berasal-usul dari Yang Satu, yakni Al-Ḥaqq; dengan
cinta yang lapang ia mampu menampung segala yang berbeda sebagai raḥmah,
sebab tidak satu pun yang berasal dari-Nya akan sia-sia atau tidak berharga.
Inilah kiranya sikap yang tepat lagi bijaksana, yang merupakan pengejawantahan
dari penghayatan akan ungkapan yang sangat populer dalam tradisi Islam: ”Di
balik segala sesuatu terdapat ḥikmah.”
Pandangan yang sangat bijaksana dan
menggambarkan pemikirnya adalah seorang yang selalu berpikir positif ini,
misalnya, tampak dalam pendapatnya mengenai bencana yang menimpa umat Nabi Nūḥ
as. Alih-alih menganggap peristiwa itu sebagai azab yang merupakan bentuk
kemurkaan Tuhan atas kesalahan umat Nabi Nūḥ yang tak terampuni, Ibn ’Arabī
justeru melihat peristiwa pembangkangan umat Nabi Nūḥ dan tenggelamnya mereka
dalam banjir itu sebagai lambang realitas penampakan diri (tajallī)
Ilahi, di mana umat Nabi Nūḥ itu merupakan wakil-wakil (orang-orang yang
menjadi contoh) dari realitas tajallī-Nya dalam multiplisitas yang
beragam dan selalu berubah,[44]
yang pada saat itu menampak dalam wujud Jalāliyyah-Nya.
Jika harus dipertanyakan mengenai hal
apakah yang mendasari cara pandang seperti itu, jawabannya tidak lain adalah
lantaran luasnya pengetahuan (ma’rifat) dan lapangnya kemampuan untuk mencintai
segala sesuatu yang dilahirkan dari kedalaman cintanya terhadap Pemilik Segala
Sesuatu. Untuk itulah Ibn ’Arabī sangat menekankan untuk tidak membatasi-Nya
dalam suatu cara pandang yang sempit, dan untuk itu pulalah pengakuan serta
penghayatan terhadap kedua aspek Ilahiyah yang terealisasi dalam kehidupan ini,
yaitu aspek tanzīh dan tasybīh, ke-Dia-an dan
ke-bukan-Dia-an-Nya, memiliki arti yang sangat penting, sebagaimana pula
pentingnya pemahaman dan penghayatan secara total terhadap segala aspek-Nya
yang berlawanan –Cinta sekaligus Amarah-Nya, Keperkasaan sekaligus
Kelembutan-Nya, Petunjuk sekaligus Tipuan-Nya, dan seterusnya. Dengan memahami
hal itu secara tepat, maka tidak akan ada lagi paradoks, atau lebih tepatnya
hal itu akan terlampaui oleh pemahaman dan penghayatan akan tunggalnya ”tali
buhul” yang mengikat seluruh realitas paradoksal tersebut.
[1] Lihat: Annemarie Schimmel,
Dimensi Mistik dalam Islam, terj:
Sapadi Djoko Damono, dkk., (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000), hlm.339
[2] Lihat: William C.
Chittick, Ibn ‘Arabī, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.),
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam ( Buku I), (Bandung: Mizan, 2003) hlm.629
[3] Tuntutan realitas khusus
dari sesuatu (eksisten) ini terkait dengan konsep al-a’yan al-ṡābitah, di mana, berkenaan dengan mengejawantahnya
suatu realitas ke alam eksisten, realitas itu jauh sebelumnya (pada zaman
azali) telah menuntut untuk diberikan wujud (dieksistensialisasi) sesuai dengan
kesanggupan mutajallā (objek penerima tajallī) sebagaimana yang
telah diketahui dari ‘ain al-ṡābitah sesuatu itu. Penjelasan mengenai hal ini dapat diketemukan
dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam, pada faset
kedua yang membicarakan tentang hikmah dari realitas Nabi Syīṡ.
[4] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj: Sapadi
Djoko Damono, dkk., (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000), hlm.340
[5] Karen Amstrong, Sejarah
Tuhan, terj. Zaimul Am (Bandung:
Mizan, 2002), hlm.210
[6] Karen Amstrong, Sejarah
Tuhan, terj. Zaimul Am (Bandung:
Mizan, 2002), hlm.210.
[7] Kautsar Azhari Noer, Ibn
Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam
Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.62
[8] ibid.
[9] Lihat: Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet.I, 2003), hlm.35
[10] Kautsar Azhari Noer, loc.cit.
[11] Sachiko Murata, The Tao
of Islam, terj. Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah (Bandung: Mizan, 1997),
hlm. 80
[12] ibid.
[13] Lihat: William C.
Chittick, The Sufi Path of Knowledge; Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of
Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), hlm.59
[14] Lihat Kautsar Azhari Noer,
Ibn Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam
Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.62
[15] Kautsar Azhari Noer, Ibn
Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam
Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.103
[16] William C. Chittick, Tuhan
Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu (The Sufi Path Of Knowlwdge), terj.
Achmad Nidjam, dkk., (Yogyakarta: Qalam,
2001), hlm.249.
[17] ibid.
[18] Kautsar Azhari Noer, Ibn
Al-‘Arabi; Waḥdat al-Wujud dalam
Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.66
[19] ibid. ; Lihat juga
William C. Chittick, op.cit., hlm.311-318. Ibn ‘Arabī seringkali merujuk
kepada realisasi Maqam Yang Tak Bermaqam sebagai aktualisasi dari sifat Allah
yang bertindak sebagai al-jam’ bayn al-‘addād.
[20] Kautsar Azhari Noer, Ibn
Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam
Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.73
[21] ibid., hlm.73-74.
Lihat juga William C. Chittick, Dunia Imaijinal Ibn ‘Arabi: Kreativitas
Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm.
183.
[22] Ibn ‘Arabī, Futuḥāt...,
II:379.3.; dikutip dari Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Syari’ah dengan
Sufisme: Mengkaji Gagasan Mujaddid Syeikh Ahmad Sirhindi, terj. A.Nashir
Budiman (Jakarta: Srigunting, 1997) hlm.157; Pernyataan-pernyataan yang senada
banyak dilontarkan oleh para pemikir kalam, filsafat Islam bahkan filsafat
agama-agama secara umum, entah berkaitan dengan kajian tasawuf atau tidak.
[23] Q.S. al-Anfāl (8):17; Lihat:
William C. Chittick, Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu (The Sufi
Path Of Knowlwdge), terj. Achmad Nidjam, dkk., (Yogyakarta:
Qalam, 2001), hlm.314
[24] Ibn ‘Arabī, Futuḥāt...,
II:160, 501.4; kutipan dari William C. Chittick, ibid., hlm.317
[25] Ibn ‘Arabī, Futuḥāt...,
II:261.12. Ungkapan yang senada juga terdapat pada II:438.20, II:444.13 dan
III:355.33
[26] Q.S. al-Isrā’ (17):84
[27] Q.S. al-Anfāl (8):17
[28] Q.S. al-A’rāf (7):180
[29] Ibn ‘Arabī, Futuḥāt...,
II:438; lihat pada Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta:
Paramadina, 1995), hlm.47.
[30] Ibn ‘Arabī, Futuḥāt...,
II:216; lihat pada Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta:
Paramadina, 1995), hlm.419.
[31] Ibrahim Madkour, Aliran
dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm.110
[32] Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet.I, 2003), hlm.41
[33] Oliver Leaman, Pengantar
Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj.Musa Kazhim dan Arif
Mulyadi (Bandung:
Mizan, 2001), hlm.56
[34] William C. Chittick, Ibn
‘Arabī, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.), Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam ( Buku I), (Bandung:
Mizan, 2003) hlm.623
[35] Lihat: Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet.I, 2003), hlm.53
[36] Bandingkan dengan Sachiko
Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah
(Bandung: Mizan, 1997), hlm.81-82
[37] Dikutip dari Sachiko
Murata, ibid., hlm.82
[38] Sachiko Murata, The Tao
of Islam, terj. Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah (Bandung: Mizan, 1997),
hlm.79
[39] Sachiko Murata, The Tao
of Islam, terj. Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah (Bandung: Mizan, 1997),
hlm.80
[40] Dalam praktek kehidupan zuhūd
para sufi sering kali menghindari tidak hanya hal-hal yang diharamkan oleh
syara’, melainkan juga hal-hal yang syubhat atau bahkan yang terasa berlebih,
kendati secara syar’i hal itu tidak dilarang. Ibn ‘Arabī sendiri dikenal
sebagai seorang sufi yang sangat ketat dalam kezuhudannya. Berkenaan dengan hal
ini Claude Addas menuliskan bahwa bahkan terhadap murid-muridnya Ibn ‘Arabī
bersikap sangat keras dengan melarang mereka menjalankan setiap bentuk rukhṣah
(keringanan hukum), sebab bagi siapa pun yang mengakui diri sebagai bagian dari
“elite spiritual”, tak ada keringanan yang dapat diberikan. Lihat: Claude Addas, Mencari Belerang
Merah, terj. Zaimul Am (Jakarta:
Serambi, 2004), hlm.238
[41] Bunyi syair aslinya
adalah: ”والحبّ يعترض اللذّات باالألم” Lihat: Muḥammad
al-Būṣīrī, Qaṣīdat al-Burdah, dalam Majmu’ah Mawālid wa Ad’iyyah
(Semarang:
Penerbit Karya Toha Putera, 1406 H), hlm.202
[42] Dikutip dari Ach. Dhofir
Zuhry, Tersesat di Jalan yang Benar (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), hlm.182
[43] William C. Chittick, Dunia
Imajinal Ibnu ‘Arabī (Surabaya:
Risalah Gusti,2001), hlm.7
[44] Kisah tentang umat Nabi
Nuh ini, beserta penjelasan akan kandungan hikmah di dalamnya, dipaparkan oleh Ibn
‘Arabī dalam Fuṣūṣ. Lihat: Ibn
‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet.I, 2003), hlm.53-60
1 comment:
bahrul ulum alumni MAK Nurul Jadid tahun 2001 ya?!
Post a Comment