Saturday, November 6, 2010

DUALITAS DALAM PEMIKIRAN IBN ‘ARABĪ


DUALITAS DALAM PEMIKIRAN IBN ‘ARABĪ
Oleh: Muh. Bahrul Ulum, S.Fil.I
Download DISINI

A. Dualitas Ibn ‘Arabī : Pandangan mengenai Realitas Allah dan Makhluk
Wujūd Al-Ḥaqq, bagi Ibn ’Arabi, merupakan sumber dari adanya segala sesuatu. Konsep tajallī al-Ḥaqq yang diusungnya mengimplikasikan kemustahilan anggapan bahwa wujud ciptaan (makhluk) terpisah dari Wujud Pencipta. Dengan demikianlah, maka keseluruhan sistem ajaran Ibn ’Arabi dikatakan sebagai waḥdat al-wujūd, yakni kesatuan keberadaan.
Pada dasarnya, memang tidak ada pandangan tentang Tuhan yang simplistik. Tuhan yang Tunggal itu bukanlah suatu wujud seperti diri kita sendiri atau pun eksistensi hal-hal lain di sekitar kita yang dapat kita ketahui dan pahami dengan mudah. Frasa ”Allāh Akbar”, yang kita sebut-sebut dalam shalat itu, menekankan perbedaan Tuhan dengan segala realitas yang lain, juga antara Tuhan dalam diri-Nya sendiri (Al-Żāt) dengan apapun yang bisa kita katakan tentang Dia. Sungguhpun demikian, Tuhan yang tidak bisa dipahami dan dijangkau ini telah berkehendak untuk membuat diri-Nya diketahui. Di dalam sebuah ḥadīṡ qudsī yang sangat terkenal, Allah berfirman: ”Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi; Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan alam agar Aku bisa dikenal.” Hanya dengan begitulah, yakni atas dasar kehendak-Nya untuk dikenali, maka kita dapat mengenali Wujūd-Nya.
Pemaknaan tentang Wujūd sendiri sesungguhnya tidak sesederhana pemaknaannya sebagai ”eksistensi” biasa. Dalam bahasa Arab, kata ”wujūd” memiliki makna yang lebih dinamis dari sekedar ”ada” atau ”eksis”; wujūd pada dasarnya berarti ”menemukan” atau ”diketemukan”. Dengan demikian, maka apa yang disebut sebagai waḥdat  al-wujūd bermakna lebih dari sekedar bahwa pada akhirnya, sejatinya, hanyalah Tuhan yang Ada, namun secara serentak juga berarti Dia ”diketemukan”. Waḥdat al-wujūd bukan hanya kesatuan keberadaan melainkan juga kesatuan eksistensialisasi dan persepsi tindakan itu. Dalam arti yang demikian, maka dipahami bahwa segala sesuatu memperoleh wujudnya dengan ”diketemukan” yaitu ”dipersepsi” oleh Tuhan.[1]
Sejalan dengan ḥadīṡ qudsī di atas, maka ini berarti Dia, dengan cara tertentu, ”mengungkapkan” persepsi-Nya yang menimbulkan kita yang mempersepsi-Nya. Inilah yang disebut sebagai ”waḥdat ”, kesatuan, dan secara serentak, ”kebersamaan” –sebagaimana bunyi ayat ”Tuhan bersama kamu di mana pun kamu berada” (Q.S. 57: 4). Dengan pemaknaan wujūd yang demikian kita dapat memahami bahwa kosmos menjadi ada hanya berdasarkan dua kutub acuan, yakni Wujūd (Dzat) dan pengetahuan (persepsi-Nya).[2] Atas dasar kemajemukan pengetahuan, Tuhan memberikan kepada segala sesuatu wujud yang bergantung atau mungkin sesuai dengan tuntutan realitas khusus dari sesuatu itu.[3] Sepanjang sesuatu mempunyai wujud, ia adalah Dia. Namun, sepanjang ia mewakili dan menggambarkan suatu realitas tertentu serta terbatas yang tidak memungkinkannya memanifestasikan wujud sebagaimana mestinya, maka ia bukanlah Dia.
Ibn ’Arabī dalam pemikirannya tetap mempertahankan adanya suatu transendensi atas kategori-kategori, termasuk juga transendensi atas substansi. Tuhan berada di atas segala kualitas (kualitas-kualitas itu bukanlah Dia dan sekaligus juga tidak lain adalah Dia) dan Ia mengejawantahkan Diri-Nya sendiri hanya dengan perantaraan Asmā’, bukan dengan Hakikat-Nya. Pada taraf Hakikat, Wujūd-Nya tidak dapat dipahami (transendensi atas pengertian yang non-rasional).[4] Maka, pada taraf ini, jelas bahwa ciptaan-ciptaan, dalam ranah eksistensinya yang aktual, tidak identik dengan Tuhan secara hakiki dan mutlak, melainkan mereka (ciptaan-ciptaan itu) hanyalah pantulan dari Asmā’ serta Sifat-sifat-Nya yang ber-tajallī.
Tajallī Al-Ḥaqq itu dapat digambarkan dengan perumpamaan cahaya (al-Nūr) yang melaluinya manusia dapat menangkap kilasan yang transenden.[5] Perumpamaan itu tertuang dalam salah satu ayat sebagai berikut:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah baratnya, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. (Q.S. 24: 35)

            Sebagaimana ditafsirkan oleh para mufassir muslim sejak hari-hari awal Islam, cahaya merupakan simbol yang sangat baik bagi realitas Ilahi, yang mentransendensi ruang dan waktu.[6] Begitu pula Ibn ’Arabī menganggap perumpamaan dalam ayat tersebut sebagai landasan yang tepat dalam merumuskan teorinya tentang tajallī Allah.
Konsep tajal beranjak dari pandangan bahwa Allah Swt. dalam kesendirian-Nya ingin melihat diri-Nya di luar Diri-Nya. Karena alasan itulah dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah Swt. Ketika Dia ingin melihat diri-Nya, Dia melihat kepada alam yang berfungsi sebagai cermin itu.
Proses penampakan diri Tuhan itu diuraikan sedemikian rupa oleh Ibn ’Arabī. Menurutnya, Żat Tuhan yang mujarrad dan transendental itu mengejawantah (ber-tajallī) dalam tiga martabat melalui sifat dan asmā’, yang pada akhirnya muncul dalam berbagai wujud konkret-empiris. Ketiga tahapan (martabat) tajallī itu adalah tahap tajallī aḥadiyyah, tahap tajallī waḥidiyyah dan tahap tajallī syuhudī.
Pada tahap tajallī aḥadiyyah, Wujūd Tuhan merupakan Żat Mutlak, tidak bernama dan tidak bersifat. Karena itu, Ia tidak dapat dipahami atau pun dikhayalkan. Pada martabat ini Al-Ḥaqq berada dalam keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (al-’amā’)[7]; tidak sesudah, tidak sebelum, tidak terikat, tidak terpisah, tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak mempunyai nama, tidak pula dinamai. Pada martabat ini, Al-Ḥaqq tidak dapat dikomunikasikan oleh siapa pun dan tidak dapat diketahui. Inilah taraf hakikat yang tak dapat dikenal dan non-rasional itu. Pada taraf ini al-Ḥaqq tidak menampakkan diri-Nya kepada sesuatu yang lain tetapi hanya kepada diri-Nya sendiri.[8]
Tahap tajallī waḥidiyyah adalah penampakan pertama (ta’ayyun awwalī) atau disebut juga martabat tajallī dzat pada sifat atau faiḍ al-aqdas (emanasi paling suci)[9]. Dalam aras ini, Żat yang Mutlak itu bermanifestasi melalui sifat dan asmā-Nya. Dengan manifestasi atau tajallī ini, Żat tersebut dinamakan Allāh, Pengumpul dan Pengikat Sifat dan Nama yang Maha Sempurna (al-asmā al-husnā). Akan tetapi, sifat dan nama itu sendiri identik dengan Żat. Di sini kita berhadapan dengan Żat Allah yang Esa, tetapi Ia mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensial dari hakikat alam semesta atau entitas permanen (al-a’yān al-ṡābitah). Hal penting yang perlu diperhatikan di sini ialah kata “potensial”. Dengan kata ini, artinya al-Ḥaqq belum menampakkan diri-Nya secara aktual dalam keanekaan; yang banyak secara potensial masih Satu secara aktual.[10]
Martabat tajallī syuhudī disebut juga faiḍ al-muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun ṡānī (entifikasi kedua, atau penampakan diri peringkat kedua). Pada tahap ini Allah ber-tajallī melalu nama dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam kasatmata. Dengan kata lain, melalui firman kun(jadilah), maka entitas permanen (al-a’yān al-ṡābitah) secara aktual menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam semesta. Dengan demikian alam ini tidak lain adalah kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus tajal Al-Ḥaqq.
Dari pembagian martabat tersebut, kita melihat bahwa dualitas diterapkan dengan memilah antara yang dikenal dan yang tak dikenal, antara yang ẓāhir dan yang bāṭin. Hakikat Allah sendiri, dalam Żāt-Nya, adalah misteri dan tetap tak terjangkau, namun realitas-Nya dalam bentuk tajallī merupakan dimensi ẓāhir yang dapat dijangkau.
Lebih dari itu, ‘ke-bukan-Dia-an’ yang terpahami dari keterbatasan alam makhluk ini juga tidak dapat ditampik sebagai kenyataan, sebab Dia yang hakiki tidak mungkin terbatasi, sedangkan di dalam realitas alam ini berlaku batasan-batasan. Kendati demikian, di dalam realitas yang ‘bukan-Dia’ ini ‘ke-Dia-an’ sekaligus juga berlaku dan meliputi segala sesuatu, sehingga jika dihayati secara keseluruhan maupun ditelisik secara partikular, tidak ada satu pun yang bukan-Dia. Segala sesuatu yang bukan-Dia itu serta-merta adalah Dia. Dengan begitu dualitas dalam konteks ini berlaku terkait dengan cara pandang makhluk terhadap makhluk itu sebagai dirinya sendiri, yang menghasilkan pemahaman akan keterbatasan dan pengertian akan ke-bukan-Dia-annya; sementara di sisi lain, cara pandang makhluk terhadap makhluk itu sendiri sebagai wujud ‘yang tak mandiri’ (melainkan bagian dari wujud-Nya yang memanifestasi) melahirkan kesadaran akan ketakterbatasan serta ‘ke-Dia-an’ segala yang menyandang wujūd. Kedua cara pandang itu menurut Ibn ‘Arabī harus sama-sama diterima secara bersamaan dan tidak dapat ditinggalkan salah satunya.
Singkat kata, dualitas berkaitan dengan sifat diskursus manusia tentang Tuhan. Untuk bisa memahami-Nya, kita harus mengerti keterbatasan-keterbatasan konsepsi kita sendiri, karena –menurut perspektif ketakterbandingan (tanzīh)– “Tak ada yang bisa mengenal Allah kecuali Allah sendiri.”[11] Dalam wilayah ini tidak seorang pun dapat menjangkau secara mutlak terhadap hakikat Wujūd-Nya, atau “apa” dan “bagaimana”-Nya. Namun jika kita mengesampingkan Tuhan yang tak bisa diketahui dan mengacu pada Tuhan yang bisa diketahui, maka kita mempunyai dua perspektif yang sama: Kita mengetahui pengetahuan kita tentang Tuhan masih kurang –atau bahkan bisa dianggap nihil, yakni bahwa Dia tidak bisa dibandingkan. Pada saat yang sama, kita juga tahu bahwa kita bisa mengetahui sesuatu tentang-Nya, yakni bahwa Dia adalah “serupa”. Dengan demikian kita menjumpai adanya ketakterbandingan dan keserupaan sekaligus pada dua tataran yang berbeda.[12]
Selanjutnya, dualitas mengenai realitas Allah dan makhluk dalam pandangan Ibn ‘Arabī dapat kita lihat dari bagaimana ia memahami filosofi nama-nama Allah, terkait dengan pengejawantahannya ke dalam wujud alam (makhluk).


1.      Nama-nama Allah
Pandangan yang menekankan penegasian pengetahuan tentang Tuhan dikenal dalam, bahkan sangat akrab dengan, tradisi-tradisi keagamaan Timur, seperti Hinduisme dan Taoisme. Dalam konteks ini, salah satu persoalan teologis-mistis yang selalu menggoda untuk dijawab adalah cara mendekati dan mencintai Tuhan. Bagaimana mungkin kita dapat mendekati dan mencintai Tuhan yang tidak diketahui? Bagaimana mungkin Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam dan manusia dapat hadir dalam alam dan manusia? Bagimana mungkin Tuhan yang transenden terhadap alam dan manusia adalah imanen dalam alam dan manusia?
Penegasian pengetahuan tentang Tuhan itu berlaku pula dalam pemikiran Ibn ‘Arabī. Menurutnya, Żat Tuhan adalah munazzah, bebas dari dan berbeda sama sekali dengan alam, tidak dapat diketahui dan dilukiskan. Żat Tuhan adalah transenden dan mutlak, dan hanya dapat dideskripsikan dengan nama-nama tanzīh, yang menafikan penyerupaan-Nya dengan segala apa pun yang diketahui manusia. William C. Chittick menjelaskan pandangan Ibn ‘Arabī ini bahwa hanya sifat-sifat negatif yang dapat diberikan kepada Tuhan; kita dapat mengatakan apa yang bukan Żat-Nya. Ibn ‘Arabī kadang kala mengatakan bahwa tidak ada suatu nama pun yang dapat dikenakan kepada Żat Tuhan, karena Żat itu tidak dapat diketahui secara mutlak.[13] Żat Tuhan hanya memiliki sifat-sifat atau nama-nama yang tidak dimiliki alam. Sifat-sifat yang dimiliki Żat Tuhan berbeda dan berlawanan dengan sifat-sifat yang dimiliki alam. Jika sifat yang dimiliki alam adalah al-hadaṡ (baharu, temporal), misalnya, maka sifat yang dimiliki Tuhan adalah sifat lawannya, yaitu al-qidam (kekal tanpa awal) dan al-azāl (ketiadaan permulaan). Sifat-sifat seperti itu (al-qidam dan al-azāl) merupakan sifat-sifat-Nya yang menunjukkan penegasian (dalam hal ini terhadap permulaan dan kebaharuan).
Jika dilihat sekilas, dengan adanya penegasian semacam itu maka tertutuplah pintu pengetahuan dan pintu pengenalan bagi siapa pun terhadap Tuhan. Namun tentu saja pernyataan yang demikian itu tidaklah tepat. Penegasian semata-mata dilakukan dalam rangka menetapkan tanzīh terhadap-Nya, sebab secara hakiki (dari aspek Żat) Wujūd Tuhan memang tidak terkait dengan keberadaan alam yang baharu. Dari sisi ini “kebutuhan”-Nya terhadap keberadaan makhluk sama sekali nihil. Namun demikian, kenyataan bahwa semesta yang baharu ini memang benar-benar eksis seperti yang kita alami meniscayakan lahirnya pengertian bahwa, di lain sisi, Wujūd-Nya –tidak mungkin tidak– memiliki hubungan secara pasti dengan keberadaan makhluk. Hubungan inilah yang terjadi melalui media nama-nama.
Ibn ‘Arabī membedakan Wujūd al-Ḥaqq (Allah) dari segi Żat dan Asmā’-Nya. Keesaan Tuhan dari segi Żat-Nya, yang tidak membutuhkan semesta alam dan nama-nama, disebut sebagai “keesaan entitas” (aḥadiyyat al-‘ayn), “keesaan Żat” (aḥadiyyat al-Żat), atau “keesaaan” saja (dengan menggunakan kata “aḥadiyyat”, yang dibedakan dari “waḥidiyyat”). Sedangkan “keekaan” Tuhan dari segi nama-nama-Nya, yang di dalamnya terkandung keanekaan, dinamakan “keesaan keanekaan” (aḥadiyyat al-kaṡrah), “keesaan perbedaan” (aḥadiyyat al-tamyīz), “keesaan perpaduan” (aḥadiyyat al-jam’), “keesaan nama-nama” (aḥadiyyat al-asmā’), atau disebut “keekaan” (al-waḥidiyyat).
Dari sisi aḥadiyyat, Allah adalah Wujūd Mutlak yang –seperti komentar Bālī Afandī– permanen dengan Żat-Nya atau dengan Diri-Nya sendiri.[14] Realitas-Nya tidak muncul keluar, melainkan hanya terjadi sebagai diri-Nya sendiri dan oleh karenanya mustahil didapatkan pengetahuan tentang hal itu. Pengetahuan akan Tuhan hanya mungkin terjadi –dan terniscayakan– dengan mengejawantahnya Realitas Żat yang Aḥad itu melalui sifat dan nama-nama.
Asmā’ (nama-nama) yang disandang Al-Ḥaqq menegaskan terjadinya perbedaan dan keragaman berdasarkan apa yang ditunjuk oleh masing-masing nama itu, dan nama-nama itu memiliki hubungan timbal balik dengan keberadaan makhluk. Misalnya, nama Al-Raḥmān (Maha Pengasih) mengimplikasikan pemahaman bahwa secara logis nama itu menuntut keberadaan sesuatu yang dikasihi. Demikian pula, misalnya, Al-Razzāq (Maha Pemberi Rejeki) menuntut adanya marzūq (yang diberi rejeki).
Keanekaan dan perbedaan nama-nama Tuhan itu akan lebih jelas terlihat ketika kita mengkontraskan nama-nama-Nya yang berlawanan satu sama lain, misalnya, al-Ghafūr (Yang Maha Pengampun) berbeda dengan al-Muntaqim (Yang Maha Pendendam); al-Muḥyī (Maha Menghidupkan) berbeda dengan al-Mumīt (Maha Mematikan); dan sebagainya. Bermacam-macam nama-nama itu jelas menunjukkan bukan hanya keanekaan namun bahkan juga pertentangan. Ini terjadi dalam segi bagaimana nama-nama itu diejawantahkan. Namun dari segi asal munculnya nama-nama tersebut, semua yang berbeda dan bertentangan itu menunjukkan Żat-Nya Yang Esa semata. Nama-nama itu adalah satu di mata Tuhan, tetapi banyak di mata kita.
Nama-nama Al-Ḥaqq tersebut, dipandang dari aspek fungsinya, merupakan suatu modus tajallī di mana dengan demikian Pengetahuan-Nya yang utuh, transenden dan pada taraf tertentu “tak terkatakan” itu menjadi terejawantahkan secara nyata melalui keanekaragaman makhluk yang secara parsial menampung nama-nama dan sifat-Nya. Ini menjelaskan fungsi rubūbiyyah dari nama-nama Ilahi, yang secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu bentuk hubungan dan cara Tuhan dalam melakukan pengaturan terhadap seisi alam. Apabila Żat-Nya tidak mempunyai hubungan dengan nama-nama dan alam, bagaimana mungkin Tuhan bisa memelihara alam? Bukankah tajallī al-Ḥaqq dalam bentuk-bentuk alam mengharuskan adanya hubungan antara Dzat Tuhan, nama-nama dan alam yang merupakan hasil dan lokus tajallī-Nya? Tanpa hubungan dari ketiganya (Żat Tuhan, nama-nama-Nya dan alam), penciptaan atau tajallī tidak akan mungkin dapat terjadi.[15]

2.      Wujud Alam
Ibn ‘Arabī menekankan pentingnya pemahaman akan adanya alam beserta seluruh makhluk ini sebagai lokus tajallī dari Al-Ḥaqq. Sebagai lokus tajallī-Nya, maka segenap realitas yang mengisi alam semesta ini pun menampung pengejawantahan seluruh Nama-nama-Nya. Artinya, seluruh makhluk beserta kejadian-kejadian yang dialaminya mutlak bersumber dari beroperasinya perbuatan-perbuatan (af’āl)-Nya dalam lingkup yang profan (duniawi) ini.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat dua unsur yang harus disadari dalam konteks pemahaman terhadap hubungan antara Al-Ḥaqq dan alam ini, yakni unsur yang tampak dan yang tersembunyi (al-ẓāhir dan al-bāṭin). Ungkapan ini sendiri sangat lazim dan begitu banyak terurai dalam al-Qur’an. Dua nama yang saling bertentangan namun saling melengkapi ini mengawali analisa mengenai filosofi wujud alam berkaitan dengan hubungannya dengan Al-Ḥaqq.
Mungkin hanya sedikit ajaran-ajaran yang mendasar –sebagaimana tasawuf– dalam menggagas bahwa ‘sesungguhnya terdapat sesuatu yang lebih nyata yang ada di balik wilayah yang tampak’[16]. Dalam istilah al-Qur’an, seluruh makhluk adalah “ayat-ayat” (tanda) Allah. Sebagian besar golongan sufi berpendapat bahwa bentuk lahir (ṣūrah) adalah sebuah tabir yang memperdayakan, bahkan meskipun bentuk lahir tersebut menampakkan realitas Ilahi dalam suatu bentuk.[17] Kendati demikian, baik Tuhan sebagai al-Khāliq dan manusia serta seisi alam sebagai al-makhlūq, keduanya tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis.[18] Inilah yang disebut Ibn ‘Arabī sebagai al-jam’ bayn al-addād atau yang dalam terminologi filsafat Barat disebut sebagai coincidentia oppositorum.[19]
Hubungan Yang Tampak (al-żāhir) dan Yang Tidak Tampak (al-bāṭin) sebagai manifestasi coincidentia oppositorum memiliki keunikan yang ditandai dengan dua ciri: afirmatif dan negatif. Ciri afirmatif dalam hubungan keduanya terwujud sejauh penyatuan dari keduanya. Pada aspek ini, baik Yang Tampak maupun Yang Tersembunyi adalah satu, karena keduanya adalah sama-sama entitas al-Ḥaqq yang Esa. Yang Tampak selalu ada bersama Yang Tersembunyi, begitu pula sebaliknya. Yang Tampak selalu mengafirmasi adanya lawannya –yaitu Yang Tersembunyi– atau juga sebaliknya. Ciri afirmatif ini dinyatakan Ibn ‘Arabī, antara lain, dalam kutipan berikut: “Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Tampak dan Yang Tersembunyi, Dia adalah entitas apa yang tampak dalam keadaan penampakan-Nya”.[20]
Berlawanan dengan ciri pertama, ciri negatif ada sejauh Yang Tampak, ketika menegaskan “keakuan” dirinya, menegasikan (menafikan) “keakuan” Yang Tersembunyi ketika yang terakhir ini menegaskan “keakuan” dirinya pula dan pada saat yang sama menegasikan “keakuan” diri yang pertama. Masing-masing sama-sama menegasikan “keakuan” dari tiap lawannya, karena masing-masing memiliki “keakuan” tersendiri yang khas dan berbeda dengan yang lain.
Ciri negatif dalam hubungan antara Yang Tampak dan Yang Tersembunyi ini dinyatakan oleh Ibn ‘Arabī seperti: “Yang Tersembunyi berkata ‘tidak’ ketika Yang Tampak berkata ‘Aku’ dan Yang Tampak berkata ‘tidak’ ketika Yang Tersembunyi berkata ‘Aku’. Inilah hukum yang berlaku bagi setiap kontradiksi.”[21] Jika ciri yang pertama menunjukkan kesamaan antara Yang Tampak dan Yang Tersembunyi, maka ciri kedua menunjukkan perbedaan antara keduanya.
Alam semesta (makhluk) ini, dalam sudut pandang tertentu, dikarenakan ia adalah lokus manifestasi-Nya, maka mutlak merupakan bagian dari-Nya. Artinya, perwujudan alam semesta ini tak lain adalah manifestasi-Nya secara żāhir. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa rupa-rupa bentuk materiil yang kita kenali ini adalah wujud-Nya yang żāhir. “Persentuhan”-Nya dengan segala sesuatu tidak mungkin dibatasi sebab Dia Maha Meliputi segalanya, termasuk dalam dunia benda-benda yang bersifat fisikal. Pada saat yang bersamaan, seisi alam semesta juga memilliki keterkaitan dengan dimensi bāṭin-Nya.
Berkenaan dengan alam pikiran, ide-ide dan perasaan, atau segala sesuatu yang secara inderawi tidak dimungkinkan pencerapannya, maka di situlah dimensi bāṭin-Nya berlaku. Dalam konteks inilah maka keberadaan makhluk dikatakan memiliki dua sisi yang saling mengafirmasi satu sama lain, sekaligus saling menegasikan di saat yang bersamaan, yakni bahwa keberadaan makhluk secara ontologis dapat dipahami sepenuhnya sebagai “Dia” yang mengejawantah –mewujudkan dimensi żāhir-Nya dalam segala sesuatu, sekaligus “bukan Dia” oleh karena adanya perbedaan-perbedaan yang mutlak dan tidak dapat dipungkiri –pendengaran kita adalah pendengaran-Nya, wujud benda-benda adalah wujud-Nya, segala sesuatu yang disebut makhlūq ini  adalah Dia dalam “keterbatasan”, sedangkan al-Ḥaqq dalam Żat-Nya sendiri secara hakiki tak terbatas dan oleh karenanya tak terjangkau.

3.      Paradoks “Huwa Lā Huwa
Persoalan dalam pernyataan Dia (sekaligus) bukan Dia (Huwa Lā Huwa) sesungguhnya berawal dari pertanyaan-pertanyaan klasik seperti, jika satu-satunya wujud adalah al-Ḥaqq, bagaimana kedudukan ontologis al-khalq? Apakah alam identik dengan Tuhan? Atau apakah alam tidak mempunyai wujud sama sekali? Seperti biasa, jawaban yang diajukan oleh Ibn ‘Arabī terhadap pertanyaan ini mengandung ambiguitas, yakni bahwa alam “adalah al-Ḥaqq dan bukan al-Ḥaqq” sekaligus.[22] Ungkapan yang singkat ini –yang mewarnai seluruh ajaran Ibn ‘Arabī– memiliki implikasi yang sangat dalam dan luas bagi keseluruhan bangunan teologinya (atau lebih tepatnya “teosofi).
Semakin dalam kita mempelajari tentang sifat dasar eksistensi, semakin jelas bahwa kita dihadapkan dengan ambiguitas fundamentalnya. Setiap sesuatu yang berada dalam kosmos memperoleh eksistensi dan sifat-sifatnya dari realitas Ilahi. Dengan mengafirmasi realitas benda (makhluk), berarti kita telah mengafirmasi realitas Allah, namun, di saat yang sama, kita menolak bahwa “benda” tersebut adalah Allah. Benda tersebut hanyalah Allah dalam hal eksistensi dalam sifat-sifatnya, tapi bukan dalam hal ‘kebendaan eksistensi spesifiknya’, di mana benda tersebut adalah ‘sama sekali benda’.
Ayat al-Qur’an yang sering dijadikan rujukan oleh Syaikh al-Akbar ini –untuk menunjukkan ambiguitas radikal eksistensi– ialah ayat yang diturunkan setelah perang Badr, di mana kaum Muslim yang dipimpin oleh Rasūlullāh memenangkan peperangan tersebut. Dengan latar peristiwa tersebut Allah berfirman: “Bukanlah dirimu yang telah melempar ketika kamu melempar, melainkan Allahlah yang telah melempar”.[23] Ayat ini mengafirmasi realitas individu Nabi, lalu menegasikannya dengan menyatakan bahwa Allah-lah realitas sesungguhnya yang telah melakukan tindakan ‘melempar’ itu. Dalam sebuah kutipan mengenai entitas Yang Satu –yakni Wujud Murni– dan bekas-bekas dari nama-nama yang memanifestasi sebagai para entitas benda-benda mumkin,  Ibn ‘Arabī menyimpulkan bahwa “tiada yang ada dalam wujud / eksistensi kecuali Allah”.
“Maka tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan sifat-sifat dari entitas-entitas, dan tidak ada suatu apapun dalam ‘adam kecuali entitas-entitas al-mumkināt yang dipersiapkan untuk diberi sifat dengan wujud. Karena itu, dalam wujud adalah ia (entitas-entitas al-mumkināt) dan bukan Dia. Karena yang tampak (al-żāhir) adalah sifat-sifatnya, maka (itu) adalah ia (dalam wujud). Dengan cara yang sama, ‘(itu adalah) Dia (Allah) dan bukan Dia; karena Dia adalah Yang Tampak, maka itu adalah Dia. Tetapi perbedaan antara maujūdāt ditangkap oleh akal dan indera karena adanya perbedaan sifat-sifat dari entitas-entitas, maka itu bukan Dia”.[24]

Kemudian Ibn ‘Arabī menambahkan:

            “Tetapi perumusan yang jelas tentang masalah ini luar biasa sulit. Ibarat (‘ibarah) tidaklah mampu merumuskannya dan konseptualisasi (taṣawwur) tidak mampu mendefinisikannya, karena lepasnya yang cepat dan aturan-aturannya yang kontradiktif. Ini seperti firman-Nya: ‘Bukanlah dirimu yang telah melempar’, sebagai negasi-Nya, ‘ketika kamu telah melempar’, sebagai afirmasinya, ‘tetapi Allahlah yang telah melempar’, sebagai negasi-Nya akan eksistensi ciptaan/jadian (kaun) Nabi dan mengafirmasikan Diri-Nya sebagai identik (‘ain) dengan beliau, di mana Dia telah menunjuk beliau dengan nama ‘Allah’”.[25]
           
                        Pada bagian lain dalam karyanya yang sama (Futuḥāt) Ibn ‘Arabī menegaskan:
“Karena itu alam menjadi tampak (ẓahara) sebagai Yang Hidup, Yang Mendengar, Yang Melihat, Yang Mengetahui, Yang Berkehendak, Yang Berkuasa dan Yang Berbicara. Ia (alam) bekerja sesuai dengan cara-Nya, sebagaimana Dia mengatakan: “Katakan: ‘segala sesuatu sesuai dengan cara-Nya’”.[26] Alam adalah perbuatan-Nya, karena itu ia menjadi tampak (ẓahara) dengan sifat-sifat al-Ḥaqq. Jika anda mengatakan sesuatu tentang alam, “ia (alam) adalah al-Ḥaqq,” anda telah mengatakan kebenaran karena Allah telah berkata: “tetapi Allah yang telah melempar”.[27] Jika anda mengatakan sesuatu tentang-Nya, “ia (alam) adalah ciptaan (khalq), anda telah mengatakan kebenaran, karena Dia berkata: “ketika engkau telah melempar”. Kerena itu Dia terungkap dan terselimuti, mengafirmasi dan menegasi. Jadi (itu adalah) Dia dan bukan Dia. Dia adalah yang tidak dapat diketahui. “Dan nama-nama indah adalah milik Allah”[28], sedangkan penampakan-Nya melalui nama-nama itu dengan menyerap nama-nama itu (al-takhalluq) adalah milik alam”.[29]
           
                        Ibn ‘Arabī sendiri melihat kenyataan dari ungkapan di atas mengakui betapa sulit dan rumitnya memahami hubungan ontologis antara Tuhan dengan alam. Kesulitan dan kerumitan ini ditegaskannya dalam banyak pernyataan seperti yang telah dicontohkan di atas. Bagi kita, menurut Ibn ‘Arabī, dalam ilmu ketuhanan tidak ada persoalan yang aghmad (lebih ambiguis, lebih sulit dipahami, lebih kabur dan lebih misterius) daripada persoalan ini.[30] Karenanya, tidak mengherankan jika banyak ulama’ maupun kalangan awam yang memahami secara negatif paham akidah Ibn ‘Arabī ini dan serta merta menganggapnya telah menyamakan Tuhan dengan alam, yang dalam istilah modern disebut “panteis”, “monis penteistik”, dan lain sebagainya.
                        Namun setelah penjelasan di atas jelaslah kiranya bahwa dalam pandangan Ibn ‘Arabī alam adalah (sekedar) penampakan diri (tajallī) dan manifestasi (maẓhar) dari al-Ḥaqq, dan dengan demikian segala sesuatu di alam semesta ini adalah entifikasi (ta’ayyun) al-Ḥaqq. Karena itu, baik Allah maupun makhluk, kedua-duanya tidak dapat dipahami melainkan dalam keberadaannya dalam kontradiksi-kontradiksi ontologis. Kontradiksi-kontradiksi ontologis dalam realitas bukan hanya bersifat horisontal tetapi juga bersifat vertikal. Kontradiksi-kontradiksi itu terlihat antara Yang Awal (al-Awwal) dan Yang Akhir (al-Akhīr), Yang Tampak (al-Żāhir) dan Yang Tersembunyi (al-Bāṭin), antara ketakterbandingan-Nya (tanzīh) dan keserupaan-Nya (tasybīh), dan lain-lain. Dari seluruh ungkapan kontradiktif inilah Ibn ‘Arabī –seperti telah disinggung di atas– menyimpulkan pandangannya dalam kalimat singkat dengan kandungan makna yang begitu padat: “Dia bukan Dia (Huwa Lā Huwa)”.

B. Tanzīh dan Tasybīh: Menolak Limitasi terhadap Allah
            Di dalam Islam, sufisme memegang posisi yang sangat penting dalam rangka memperluas wawasan dan menjadi alternatif rujukan mengenai makna konsep-konsep agama. Konsep-konsep dalam agama (teologis) itu, seperti telah disinggung di bab sebelumnya, sepanjang sejarahnya terus-menerus mengalami pergesekan dan pertentangan-pertentangan. Berbagai perselisihan yang terjadi itu menggambarkan kepada kita akan betapa rumitnya memberikan jawaban atas persoalan-persoalan aqidah, sejauh jawaban itu dituntut untuk tidak keluar dari batas nalar. Sederhananya, umat Islam dituntut, pada satu sisi, untuk meyakini Tuhan sebagaimana diajarkan dalam tuntunan-tuntunan agama. Di sisi yang lain, perkembangan pemikiran yang niscaya terjadi di dalam kehidupan ini pada gilirannya menimbulkan pertanyaan-pertanyaan menyangkut kebenaran dalam ajaran-ajaraan agama itu, yang pada kenyataannya memang tidak jarang untuk sulit diterima begitu saja tanpa mengikutsertakan pertimbangan rasional yang matang.
Persoalan tentang wujūd merupakan masalah yang sangat mendasar dalam diskursus filsafat maupun teologi Islam, yang urgensitas akan pemahaman terhadapnya dapat memengaruhi pilihan-pilihan tindakan yang dimungkinkan bagi seseorang dalam rangka berhubungan dengan Tuhan. Mengingat pentingnya keimanan dan pemahaman yang baik dalam persoalan ini, maka tidak mengherankan apabila setiap umat Islam dituntut untuk menerapkan prinsip pengesaan Allah (tawḥīd) sebagai prinsip utama dan pertama dari keenam prinsip keimanan (rukun iman) yang diajarkan dalam Islam.
Prinsip tawḥīd itu sendiri sesungguhnya bukan gagasan yang sederhana. Prinsip itu, berikut penerapannya, telah menimbulkan berbagai kontroversi hukum dan teologis yang bermuara pada penjabarannya sejak masa-masa awal Islam. Banyak pertanyaan yang muncul dalam bentuk lontaran-lontaran filosofis yang kadang tidak disadari. Umpamanya, argumen-argumen seputar hakikat keesaan Allah yang membentur peliknya penjelasan ihwal Wujūd yang Sederhana berhubungan dengan alam ciptaan yang sangat kompleks. Jika prinsip realitas benar-benar satu, mengapa ada lebih dari satu kejadian di dalamnya? Mengapa satu sebab bisa menimbulkan akibat-akibat yang beraneka ragam? Persoalan-persoalan semacam ini telah diperdebatkan dengan bobot teoritis yang tinggi oleh para teolog dan filosof sejak masa yang sangat lama.
Persoalan itu menjadi lebih runcing lagi ketika ada tambahan “beban”, bahwa argumen-argumen yang diajukan untuk menyelesaikan masalah itu tidak dapat semata-mata berada hanya di wilayah nalar, melainkan juga harus sejalan dengan apa yang telah dikemukakan dalam kitab suci (wahyu). Maka kecermatan dan upaya yang sungguh-sungguh untuk memadukan antara ‘aql dan naql itu menjadi tantangan tersendiri bagi siapapun yang berusaha mengetengahkan jawaban terhadap persoalan-persoalan tersebut.
Peliknya persoalan pengesaan (tawḥīd) terhadap Allah sebagai satu-satunya yang memiliki Wujūd hakiki terletak pada dampak teologis yang mungkin timbul karena adanya konsekuensi logis yang harus diterima bahwa alam semesta ini merupakan satu kesatuan dalam Wujūd-Nya.
Ibn ‘Arabī menandaskan bahwa tidak ada “penciptaan” dalam arti seperti yang dikatakan para mutakallimin (creatio ex nihilo), melainkan semata-mata merupakan emanasi dan penampakan, karena segala yang ada (al-maujūdāt) adalah penampakan Ilahi dan ekspresi dari sifat-sifat-Nya yang suci.[31] Dalam pengertian yang demikian, maka sekilas tidak ada batas riil untuk membedakan –dalam arti yang hakiki– antara Allah dan makhluk.
Gagasan seperti itu sulit diterima oleh kebanyakan orang Islam, lebih-lebih bila mengingat doktrin tentang berbedanya Allah dari segala sesuatu yang bersifat baharu (mukhālafah li al-ḥawādiṡ) telah jelas-jelas melarang siapa pun yang beriman kepada-Nya untuk mempersamakan-Nya dengan makhluk. Namun di sisi lain, menegaskan perbedaan semacam itu juga berdampak pada konsekuensi logis yang memiliki kesulitan tertentu. Jika Tuhan diyakini sebagai Żat Yang Maha Tak Terbatas, maka menganggap-Nya berbeda secara mutlak dengan makhluk berarti memberikan batasan kepada kemutlakan-Nya. Limitasi semacam itu berakibat pada pandangan akan keterpisahan makhluk dari Penciptanya. Dengan cara pandang seperti ini, menjadi tertutuplah pintu penghayatan akan ayat yang dengan tegas menyatakan bahwa Tuhan “lebih dekat dengan manusia daripada urat leher” (Q.S. Qāf: 16).
Bagi Ibn ‘Arabī, bukan masalah besar untuk menghayati gagasan penyatuan ini lantaran kita sebenarnya sama dengan Tuhan. Artinya, kita semata-mata pantulan Wujūd Tuhan dan Tuhan membiarkan Diri-Nya tercerminkan lewat kita. Dalam Fuṣūṣ ia menjelaskan:

“Andaikata Sang Ḥaqq (Allah) tidak ‘mengalir’ kepada segala sesuatu yang ada ini, dan andaikata Dia tidak menampakkan Diri-Nya dalam bentuk-bentuk segala sesuatu, maka alam ini pun tak akan ada....
Maka dari adanya tubuh Adam itulah kini engkau tahu bahwa sesungguhnya itu (tubuh Adam) adalah rupa-Nya yang nyata (żāhir); dan dari ruh Adam itulah engkau mengetahui pula bahwasanya (ruh Adam) itu semata-mata adalah rupa-Nya yang tersembunyi (bāṭin). Maka ia (Adam) tak lain adalah ‘Tuhan yang makhluk’ (al-Ḥaqq al-Khalq).[32]
           
Dari kutipan di atas, pandangan Ibn ‘Arabī secara tegas menunjukkan bahwa Wujūd itu satu adanya. Dualitas al-Ḥaqq dan al-khalq bukanlah suatu dualitas wujud yang hakiki melainkan suatu dualitas dari apa yang disebut sebagai ”aspek-aspek yang berbeda”. Namun di satu sisi, pembedaan yang dilakukannya terhadap aspek ẓāhir dan bāṭin yang sama-sama mengejawantah dalam realitas itu menimbulkan persoalan: apa yang sesungguhnya terjadi ketika kita melihat dan mengenali keberadaan realitas? Dapatkah, pada saat yang demikian, kita mengatakan bahwa kita “melihat” dan mengenali Tuhan? Dari sinilah, maka aspek-aspek yang berbeda itu diidentifikasi oleh Ibn ’Arabī dalam filsafatnya dengan apa yang disebutnya sebagai transendensi (tanzīh) dan imanensi (tasybīh).
Bagi Ibn ‘Arabī, persoalan terpenting dalam konteks memahami realitas keberagaman dalam alam semesta, terkait dengan pemahaman akan kesatuan wujūd, terletak pada kemampuan transendensi serta pemahaman yang benar akan imanensi Yang Ilahi. Yang mesti dilakukan untuk dapat menghayati landasan Ilahi dalam realitas ialah berpikir secara sintetis: mempersatukan semua yang tampak berbeda dan mengakui kesatuan transendental atas semua yang teramati. Pemahaman akan kesatuan segala sesuatu ini tidaklah mudah. Ia mencakup pembelajaran ulang mengenai bagaimana semestinya memandang alam.[33] Pada titik inilah persoalan tasybīh (penyerupaan; antropomorfisme) dan tanzīh (penegasan ketakserupaan) mencuat ke permukaan.
Sementara para mutakallimin memandang tanzīh sebagai pendapat yang benar untuk menolak tasybīh, Ibn Arabī memegang tasybīh sepanjang dipertahankan secara seimbang dengan tanzīh.[34] Bahkan, dalam hal ini Ibn Arabī mengeritik para penegak tanzīh (munazzih; orang yang menegakkan tanzīh dengan menolak sisi tasybīh) dengan pernyataan yang keras, bahwa pendapat yang demikian itu merupakan bentuk kebodohan dan sū’ al-adab terhadap Allah.[35]
Dalam doktrin tanzīh dan tasybīh ini, Ibn ’Arabi tidak memahami tasybīh dalam arti bahwa, misalnya, Tuhan memiliki pendengaran atau penglihatan, atau tangan dan seterusnya, namun, sebaliknya, Dia imanen dalam seluruh wujud pendengaran dan penglihatan. Ini merupakan wilayah imanensi-Nya. Di sisi lain, Esensi-Nya tidak terbatas kepada satu makhluk atau sekelompok makhluk yang mendengar dan melihat, namun dimanifestasikan dalam seluruh makhluk apa pun. Dalam artian ini, Tuhan adalah transenden karena Dia mengatasi seluruh limitasi dan individualisasi. Sebagai suatu Substansi Universal, Dia adalah Esensi dari semua itu. Dengan demikian, Ibn ’Arabi mereduksi tanzīh dan tasybīh kepada kemutlakan (iṭlāq) dan keterbatasan (taqyīd).
Ibn ’Arabi memandang bahwa transendensi dan imanensi adalah dua aspek fundamental dari Realitas. Jika kita ingin menjelaskan Realitas atau Hakikat tidaklah cukup dengan hanya menjelaskan satu aspek saja. Al-Ḥaqq yang darinya aspek transendensi dijelaskan sama dengan al-khalq yang darinya imanensi ditegaskan, sekalipun (secara logis) Pencipta jelas berbeda dari yang diciptakan.
Meski Ibn ’Arabi  menegaskan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan (dari aspek imanensinya), ia menjaga betul untuk tidak mengatakan sebaliknya. Tuhan adalah Ketunggalan di balik multiplisitas dan Realitas di balik Penampakan (dari aspek transendensinya). Ibn ’Arabi berpendapat bahwa Al-Ḥaqq bukanlah transendensi sebagaimana ditegaskan oleh manusia yang menjabarkan bahwa watak hakiki Tuhan sebagai Yang Absolut. Bahkan transendensi yang paling abstrak (yang dikonsepsi manusia) adalah sebentuk limitasi, karena ia mengimplikasikan, setidaknya, eksistensi seorang penegas atau subjek selain eksistensi Tuhan. Lebih jauh, menegaskan sesuatu atas sesuatu berarti membatasinya. Karena itu, penegasan bahkan atas transendensi mutlak Tuhan adalah satu pembatasan atau limitasi, jika itu dilakukan dengan menolak aspek imanensinya, atau begitu pula berlaku sebaliknya. Dengan demikian, jalan yang paling tepat adalah dengan menerima serta menegakkan keduanya, baik transendensi (tanzīh) maupun imanensi (tasybīh).

C. Mengesakan Allah: Dualitas yang Tak Terhindari
            Dalam pengertian yang sederhana, kita dapat memahami tawḥīd sebagai bentuk pengakuan akan keesaan Tuhan. Namun pengertian yang demikian ini sering menjebak kita pada paradoks-paradoks yang rumit. Pemahaman manusia tentang keesaan-Nya kiranya tidak dapat dijabarkan dengan mudah melalui cara-cara yang simplistik. Jika kita mengakui keesaan-Nya –dan di sisi yang lain juga tidak mungkin memungkiri ketakterbatasan-Nya, maka bukankah pengakuan kita akan keberadaan diri sendiri (ego) merupakan bentuk penyangkalan atau ”penduaan” –meski dengan cara yang demikian halus– terhadap wujud-Nya yang Maha Tunggal dan Tak Terbatas kemutlakan-Nya itu? Namun bagaimana mungkin kita tidak mengakui keberadaan ”yang lain” (makhluk), sedangkan alam semesta dan diri kita sendiri adalah realitas yang tidak dapat ditolak keberadaannya? Maka persoalannya adalah bagaimana keesaan dan ketakterbatasan-Nya itu dapat dipahami di tengah keberagaman dan keserbaterbatasan makhluk, atau mungkin sebaliknya, bagaimana kita melihat keberagaman dan keserbaterbatasan seluruh makhluk di alam raya ini berada dalam keesaan dan ketakterbatasan-Nya?
Ibn ‘Arabī, seperti yang di atas telah dijelaskan, menolak cara pandang yang, meskipun mungkin diajukan dalam rangka menyucikan-Nya, justeru memberikan limitasi terhadap-Nya. Ini biasa terjadi dalam cara pandang mereka yang menganggap tanzīh sebagai jalan paling absah dalam memandang dan memahami Tuhan. Cara pandang yang demikian menegaskan bahwa Dia begitu jauh, tak terjangkau, serta pembicaraan mengenai-Nya adalah sesuatu yang tidak mungkin dan terlarang karena hal itu dianggap melanggar batas, yakni kesucian dan sifat absolut-Nya. Di sisi lain, gagasan tasybīh yang diajukan untuk menegaskan kedekatan dan kemungkinan bagi makhluk untuk mendapatkan pengetahuan dan pengenalan tentang-Nya juga tidak dapat diterima tanpa menegaskan kemahasucian-Nya dari segala bentuk kekurangan dan keterbatasan. Untuk itu, ketika ”Tuhan” disebut-sebut dalam konteks pemikiran Islam, kata itu mesti dipahami dari dua sudut pandang. Pertama, kita memandang Tuhan sebagai Dia dalam Diri-Nya sendiri, di mana kita mengesampingkan kosmos, yakni segala sesuatu selain Tuhan. Kedua, kita memandang Tuhan yang ”hadir” dan memiliki hubungan dengan kosmos.
Dalam sudut pandang yang pertama, pengetahuan kita tentang Tuhan tidak mungkin didapatkan kecuali dengan penyebutan-penyebutan negatif tentang-Nya, seperti Yang Tak Terjangkau, Yang Berbeda dari segala sesuatu, Yang Bukan seperti apapun yang kita pikirkan, dan sebagainya. Sedangkan dari sudut pandang yang kedua kita sangat mungkin mendapatkan pengetahuan dan memahami Tuhan sebab Dia begitu dekat, namun pengetahuan dan pemahaman itu akan sangat terbatas sesuai dengan kapasitas masing-masing individu, dan dengan demikian maka apa yang kita sebut sebagai ”Tuhan” akan menjadi sangat relatif maknanya.
Bagi Ibn ‘Arabī, baik cara pandang yang pertama maupun cara pandang yang kedua di atas, kedua-duanya itu tidak dapat diterima jika dibiarkan berdiri sendiri-sendiri. Menegakkan pandangan kedua berarti juga harus mendukung pandangan yang pertama dan begitu pula sebaliknya. Kedua posisi itu mesti dipertahankan jika pengetahuan sempurna ingin didapatkan dan tawḥīd sempurna ingin ditegakkan.[36] Dalam bab ketiga dari Fuṣūṣ al-Ḥikam Ibn ‘Arabī mengungkapkan sebuah syair yang sangat terkenal yang berbicara mengenai hal ini:
Jika engkau bicara tentang ketakterbandingan,
engkau telah membatasi, dan jika engkau bicara tentang keserupaan,
engkau juga telah membatasi.
Jika engkau bicara tentang keduanya,
engkau tepat mengenai sasaran –
engkau seorang pemimpin dan syaikh
dalam ilmu-ilmu makrifat.[37]
Dengan demikian, dari uraian di atas maka kita dapat melihat bahwa dalam rangka menegakkan gagasannya tentang tawḥīd, Ibn ‘Arabī melakukan penolakan terhadap kontradiksi dengan mengajukan kontradiksi yang lain. Kontradiksi yang ditolak adalah hasil dari pemikiran atau anggapan yang tidak dapat dipertahankan dengan menyatakan, misalnya, bahwa Tuhan itu tidak dapat dijangkau, absolut dalam Diri-Nya sendiri, mutlak berbeda dengan sekalian makhluk, dan seterusnya. Pandangan seperti ini mengimplikasikan anggapan tentang keberjarakan antara Tuhan dan makhluk –atau lebih ekstrim lagi: keterpisahan. Akibatnya adalah hasil pemikiran yang kontradiktif dengan tujuan penyucian terhadap-Nya, sebab pemahaman akan adanya jarak dan keterpisahan tersebut akan melahirkan reduksi-reduksi dan limitasi dalam hal keterhubungan-Nya dengan alam semesta (makhluk), dan hal itu justeru menodai kesucian dan mengingkari kemahatakterbatasan-Nya. Maka dari itu tawḥīd perlu ditegakkan dengan menegaskan dua aspek sekaligus, yakni ketakterbandingan (tanzīh) dan keserupaan (tasybīh), di mana keduanya merupakan aspek-aspek yang saling berkontradiksi satu sama lain. Inilah yang dimaksud dengan menolak kontradiksi dengan cara mengajukan kontradiksi yang lain. Lagi pula, dalam kita menegaskan keesaan Allah –tawḥīd, selalu terjadi dualitas yang bersifat inheren dalam bahasa dan pemikiran rasional. Kita menegaskan keesaan-Nya, namun dengan berbuat demikian, kita (juga) menegaskan adanya dualitas, karena kitalah yang berbicara.[38] Dualitas itu terjadi melalui diri dan ucapan kita, dan dalam pemikiran Ibn ‘Arabī, sebagaimana umumnya yang berlaku dalam tradisi kearifan (ḥikmah), dualitas seperti ini dipertahankan, namun dalam pemahaman yang ketat, yaitu dualitas dalam batasan kesalinghubungan dan polaritas.[39]

D. Cinta: Pelampauan atas Segala Paradoks
Tidaklah terlalu sulit untuk mamahami mengapa sufisme mesti dilihat sebagai suatu disiplin ilmu yang memiliki pandangan positif terhadap keragaman keagamaan pada khususnya, dan atau kehidupan yang plural pada umumnya. Secara agak simplistik, dapat dikatakan bahwa perbedaan antara pendekatan yang dilakukan oleh para muslim-sufi dibandingkan dengan pendekatan oleh muslim-non-sufi terletak pada persepsi-persepsi yang dibangunnya terhadap keyakinan fundamental dalam perkara-perkara teologi yang didasarkan pada al-Qur’an dan sunnah Nabi Muḥammad SAW.
Kebanyakan umat Islam –lebih khusus yakni mereka yang secara simplistik terkategori sebagai non-sufi– menitikberatkan pandangan keagamaannya terhadap wilayah hukum (syari’at), di mana secara teologis hal ini mengarah kepada pemahaman keagamaan yang ketat dengan titik berat pandangan tentang transendensi Tuhan, yakni pemahaman bahwa Tuhan itu ”membebankan” sekian aturan atas hamba-hamba-Nya dalam sebuah institusi bernama Agama Islam. Pemahaman yang demikian ini terbukti memiliki kecenderungan untuk melahirkan sikap sinis –bahkan menolak– terhadap perbedaan, sebab agama beserta segala aturan yang berlaku di dalamnya dianggap sebagai sebuah aksioma yang harus dijalankan dengan kerangka kebenaran yang ”hitam-putih” dalam segala sendi perikehidupan ini, atau jika tidak, maka ancaman akan siksa-Nya akan benar-benar terjadi.
Konsep pahala dan siksa ini begitu kuat mengakar dalam pelaksanaan syari’at dalam kehidupan kebanyakan umat Islam, yang dari sana kemudian lahirlah penghayatan yang terfokus pada keperkasaan Allah, keadilan-Nya, siksa-Nya, atau kalau pun Dia memberikan balasan berbentuk nikmat dan pahala, maka itu pun dipahami tidak terutama karena Kasih dan Cinta-Nya, melainkan sebagai imbalan atas jerih payah usaha dan perilaku ibadah seseorang –lebih mirip sebagai upah yang diberikan oleh majikan kepada budaknya.
Sementara itu, para sufi memiliki cara pandang yang begitu berbeda terhadap peran agama di dalam kehidupan ini. Benar bahwa syari’at memang harus ditegakkan dan siapa saja yang melanggarnya sungguh telah berbuat salah dengan pelanggaran itu, namun pelaksanaan syari’at dalam konteks pandangan yang sufistik ini tidak lain merupakan sikap hidup yang berakar pada kesadaran-kesadaran batin, seperti rasa cinta yang meluap-luap dan penghormatan, yang memiliki penekanan lebih besar terhadap kualitas-kualitas tertentu dalam rangka mempererat ikatan antar pihak yang saling mencintai.
Secara teologis, sikap seperti ini mengarah pada penekanan sikap yang lebih lapang berlandaskan cinta-kasih, yang jika terejawantahkan dalam pelaksanaan ibadah, maka perbuatan  ibadah itu tidak lagi didasarkan pada harapan atas imbalan pahala atau ketakutan akan ancaman siksa, melainkan semata-mata karena memenuhi hasrat dari rindu dan cinta kepada Yang Maha Pecinta dan Dicinta. Dengan demikian berlakulah –dan absah– konsep tentang keterbebasan dari taklīf (pembebanan) yang dibawa oleh syari’at, bukan dalam arti meninggalkannya, melainkan bahwa perilaku-perilaku ibadah yang semula –pada taraf yang paling rendah– dianggap sebagai ”beban” kini berubah menjadi suatu perilaku yang ”dibutuhkan” dan dikerjakan secara sukarela tanpa alasan apapun selain cinta. Di dalamnya tidak berlaku lagi ”keberatan”, sebagaimana pula tidak diperlukan adanya ”keringanan”.[40] Lagi pula, seperti dikatakan oleh Syaikh Muḥammad al-Būṣīrī dalam bait ke delapan dari Qasīdat al-Burdah-nya, bahwa ”demi cinta, kesenangan memang acap kali dipertukarkan dengan derita (pengorbanan)”.[41]
Begitu pula, dengan cara pandang demikian, segala titah Tuhan dan hukum-hukum yang diberlakukan-Nya, atau lebih umum lagi, segala sesuatu yang berasal dari dan atau menuju kepada-Nya serta-merta dihayati sebagai hal yang mendatangkan kebahagiaan, atau bahkan itulah kebahagiaan itu sendiri. Dalam tradisi sufisme, sebuah syair yang begitu terkenal dari Rabi’ah al-’Adawiyyah menggambarkan secara tepat mengenai hal ini:
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut pada neraka, maka bakarlah aku di sana dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari itu; namun jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau memalingkan keindahan-Mu yang abadi dariku.[42]

Ibn ’Arabī sendiri, sebagaimana yang tampak jelas dalam berbagai karyanya, mendasarkan pendangan-pandangannya pada ma’rifat dan cinta yang mendalam kepada Allah. Dengan ma’rifat yang tajam ia tidak melihat keragaman dan perbedaan-perbedaan sebagai sumber kebingungan dan bahaya,[43] sebab semua itu berasal-usul dari Yang Satu, yakni Al-Ḥaqq; dengan cinta yang lapang ia mampu menampung segala yang berbeda sebagai raḥmah, sebab tidak satu pun yang berasal dari-Nya akan sia-sia atau tidak berharga. Inilah kiranya sikap yang tepat lagi bijaksana, yang merupakan pengejawantahan dari penghayatan akan ungkapan yang sangat populer dalam tradisi Islam: ”Di balik segala sesuatu terdapat ḥikmah.
Pandangan yang sangat bijaksana dan menggambarkan pemikirnya adalah seorang yang selalu berpikir positif ini, misalnya, tampak dalam pendapatnya mengenai bencana yang menimpa umat Nabi Nūḥ as. Alih-alih menganggap peristiwa itu sebagai azab yang merupakan bentuk kemurkaan Tuhan atas kesalahan umat Nabi Nūḥ yang tak terampuni, Ibn ’Arabī justeru melihat peristiwa pembangkangan umat Nabi Nūḥ dan tenggelamnya mereka dalam banjir itu sebagai lambang realitas penampakan diri (tajallī) Ilahi, di mana umat Nabi Nūḥ itu merupakan wakil-wakil (orang-orang yang menjadi contoh) dari realitas tajallī-Nya dalam multiplisitas yang beragam dan selalu berubah,[44] yang pada saat itu menampak dalam wujud Jalāliyyah-Nya.
Jika harus dipertanyakan mengenai hal apakah yang mendasari cara pandang seperti itu, jawabannya tidak lain adalah lantaran luasnya pengetahuan (ma’rifat) dan lapangnya kemampuan untuk mencintai segala sesuatu yang dilahirkan dari kedalaman cintanya terhadap Pemilik Segala Sesuatu. Untuk itulah Ibn ’Arabī sangat menekankan untuk tidak membatasi-Nya dalam suatu cara pandang yang sempit, dan untuk itu pulalah pengakuan serta penghayatan terhadap kedua aspek Ilahiyah yang terealisasi dalam kehidupan ini, yaitu aspek tanzīh dan tasybīh, ke-Dia-an dan ke-bukan-Dia-an-Nya, memiliki arti yang sangat penting, sebagaimana pula pentingnya pemahaman dan penghayatan secara total terhadap segala aspek-Nya yang berlawanan –Cinta sekaligus Amarah-Nya, Keperkasaan sekaligus Kelembutan-Nya, Petunjuk sekaligus Tipuan-Nya, dan seterusnya. Dengan memahami hal itu secara tepat, maka tidak akan ada lagi paradoks, atau lebih tepatnya hal itu akan terlampaui oleh pemahaman dan penghayatan akan tunggalnya ”tali buhul” yang mengikat seluruh realitas paradoksal tersebut.



[1] Lihat: Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj: Sapadi Djoko Damono, dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm.339
[2] Lihat: William C. Chittick, Ibn ‘Arabī, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam ( Buku I), (Bandung: Mizan, 2003) hlm.629
[3] Tuntutan realitas khusus dari sesuatu (eksisten) ini terkait dengan konsep al-a’yan al-ṡābitah, di mana, berkenaan dengan mengejawantahnya suatu realitas ke alam eksisten, realitas itu jauh sebelumnya (pada zaman azali) telah menuntut untuk diberikan wujud (dieksistensialisasi) sesuai dengan kesanggupan mutajallā (objek penerima tajallī) sebagaimana yang telah diketahui dari ‘ain al-ṡābitah sesuatu itu. Penjelasan mengenai hal ini dapat diketemukan dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam, pada faset kedua yang membicarakan tentang hikmah dari realitas Nabi Syīṡ.
[4] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj: Sapadi Djoko Damono, dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm.340
[5] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2002), hlm.210
[6] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2002), hlm.210.
[7] Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi; Wahdat  al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.62
[8] ibid.
[9] Lihat: Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet.I, 2003), hlm.35
[10] Kautsar Azhari Noer, loc.cit.
[11] Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 80
[12] ibid.

[13] Lihat: William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge; Ibn al-‘Arabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), hlm.59
[14] Lihat Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi; Wahdat  al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.62
[15] Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi; Wahdat  al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.103
[16] William C. Chittick, Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu (The Sufi Path Of Knowlwdge), terj. Achmad Nidjam, dkk., (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm.249.
[17] ibid.
[18] Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi; Waḥdat  al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.66
[19] ibid. ; Lihat juga William C. Chittick, op.cit., hlm.311-318. Ibn ‘Arabī seringkali merujuk kepada realisasi Maqam Yang Tak Bermaqam sebagai aktualisasi dari sifat Allah yang bertindak sebagai al-jam’ bayn al-‘addād.
[20] Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi; Wahdat  al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.73
[21] ibid., hlm.73-74. Lihat juga William C. Chittick, Dunia Imaijinal Ibn ‘Arabi: Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm. 183.
[22] Ibn ‘Arabī, Futuḥāt..., II:379.3.; dikutip dari Muhammad Abd. Haq Ansari, Merajut Syari’ah dengan Sufisme: Mengkaji Gagasan Mujaddid Syeikh Ahmad Sirhindi, terj. A.Nashir Budiman (Jakarta: Srigunting, 1997) hlm.157; Pernyataan-pernyataan yang senada banyak dilontarkan oleh para pemikir kalam, filsafat Islam bahkan filsafat agama-agama secara umum, entah berkaitan dengan kajian tasawuf atau tidak.
[23] Q.S. al-Anfāl (8):17; Lihat: William C. Chittick, Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu (The Sufi Path Of Knowlwdge), terj. Achmad Nidjam, dkk., (Yogyakarta: Qalam, 2001), hlm.314
[24] Ibn ‘Arabī, Futuḥāt..., II:160, 501.4; kutipan dari William C. Chittick, ibid., hlm.317
[25] Ibn ‘Arabī, Futuḥāt..., II:261.12. Ungkapan yang senada juga terdapat pada II:438.20, II:444.13 dan III:355.33
[26] Q.S. al-Isrā’ (17):84
[27] Q.S. al-Anfāl (8):17
[28] Q.S. al-A’rāf (7):180
[29] Ibn ‘Arabī, Futuḥāt..., II:438; lihat pada Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi; Wahdat  al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.47.
[30] Ibn ‘Arabī, Futuḥāt..., II:216; lihat pada Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-‘Arabi; Wahdat  al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.419.
[31] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm.110
[32] Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet.I, 2003), hlm.41
[33] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj.Musa Kazhim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001), hlm.56
[34] William C. Chittick, Ibn ‘Arabī, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam ( Buku I), (Bandung: Mizan, 2003) hlm.623
[35] Lihat: Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet.I, 2003), hlm.53

[36] Bandingkan dengan Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah (Bandung: Mizan, 1997), hlm.81-82
[37] Dikutip dari Sachiko Murata, ibid., hlm.82
[38] Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah (Bandung: Mizan, 1997), hlm.79
[39] Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah (Bandung: Mizan, 1997), hlm.80
[40] Dalam praktek kehidupan zuhūd para sufi sering kali menghindari tidak hanya hal-hal yang diharamkan oleh syara’, melainkan juga hal-hal yang syubhat atau bahkan yang terasa berlebih, kendati secara syar’i hal itu tidak dilarang. Ibn ‘Arabī sendiri dikenal sebagai seorang sufi yang sangat ketat dalam kezuhudannya. Berkenaan dengan hal ini Claude Addas menuliskan bahwa bahkan terhadap murid-muridnya Ibn ‘Arabī bersikap sangat keras dengan melarang mereka menjalankan setiap bentuk rukhṣah (keringanan hukum), sebab bagi siapa pun yang mengakui diri sebagai bagian dari “elite spiritual”, tak ada keringanan yang dapat diberikan.  Lihat: Claude Addas, Mencari Belerang Merah, terj. Zaimul Am (Jakarta: Serambi, 2004), hlm.238
[41] Bunyi syair aslinya adalah: ”والحبّ يعترض اللذّات باالألم” Lihat: Muḥammad al-Būṣīrī, Qaṣīdat al-Burdah, dalam Majmu’ah Mawālid wa Ad’iyyah (Semarang: Penerbit Karya Toha Putera, 1406 H), hlm.202
[42] Dikutip dari Ach. Dhofir Zuhry, Tersesat di Jalan yang Benar (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), hlm.182
[43] William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabī (Surabaya: Risalah Gusti,2001), hlm.7
[44] Kisah tentang umat Nabi Nuh ini, beserta penjelasan akan kandungan hikmah di dalamnya, dipaparkan oleh Ibn ‘Arabī dalam Fuṣūṣ. Lihat:  Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet.I, 2003), hlm.53-60

1 comment:

Anonymous said...

bahrul ulum alumni MAK Nurul Jadid tahun 2001 ya?!