SUMBER HUKUM DAN KEWENANGANNYA
OLEH : Dr. SITI FATIMAH, M.Hum [2]
Selengkapnya Click DISINI
A. Pengantar
Sebagaimana
diketahui umum bahwa dalam rangka demokratisasi dan pembatasan kekuasaan,
dikenal dengan adanya prinsip pemisahan kekuasaan, baik secara horisontal
maupun vertikal. Pemisahan kekuasaan secara horisontal dibagi dalam beberapa
cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga tertentu.
Sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu, bahwa kekuasaan harus dipisahkan ke
dalam fungsi-fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Fungsi legislatif biasanya dikaitkan dengan peran
pemerintah dan fungsi judikatif dilaitkan dengan lembaga peradilan serta fungsi
legislatif dikaitkan peran lembaga
parlemen atau “legislature” [3].
Pembagian
kekuasaan secara vertikal dalam 5
lembaga tinggi negera memperoleh kewenangannyadari kekuasaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan rakyat, yaitu Mahkamah Agung (
MA), Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) fungsi
verifikatif/akuntatif), dan Dewan
Pertimbangan Rakyat (DPA yang memiliki
fungsi konsultatif/ advistory.
Dalam
rangka pembagian fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif, sebelum diadakan
perubahan UUD 1945. Fungsi yudikatif
ditentukan secara tegas dalam
UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman adalah bebas merdeka, tidak boleh ada
campur tangan pihak manapun, dalam rangka mewujudkan peradilan yang mandiri.
Oleh karena itu, disetujuilah RUU oleh
DPR-RI menjadi UU No.35 tahun 1999
tentang perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan Kekuasaan Kehakiman kemudian diatur
dengan UU No. 4 Tahun 2004.[4] Sedang kekuasaan eksekutif ( Presiden) yang juga memiliki kekuasaan membentuk Undang-Undang. Oleh karena itu, perkembangannya ada keinginan
untuk membatasi kekuasaan presiden dengan menerapkan prinsip pemisahan
kekuasaan yang tegas kekuasaan eksekutif
dan legislatif.
Inilah yang melatarbelakangi diadakan perubahan UUD 1945,
mempertegas adanya kekuasaan DPR di bidang legislatif dengan mengubah rumusan
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Pasal 20 A ayat (1) ” Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki fungsi legislasi, fungsi
Anggran, fungsi Pengawasan.[5]
B.
Pergeseran kekuasaan legislatif.
(Keseimbangan Peran Lembaga
Legislatif vs Eksekutif).
Pasal 5 ayat (1) :
” Presidsen
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR.
Pasal 20 ayat
(1):
” Anggota DPR
berhak mengajukan RUU .
-Kedudukan
demikian meunjukkan ketidakseimbvangan kedudukan DPR dan Presiden dalam bidang
legislatif. Hal ini terlihat misalnya dalam pembetukan Peraturan Penmerintah
(PP) sebagai penggantui UU ( Perpu) sebagimana
Pasal 22 ayat
(1):
Presiden diberi hak dan wewenanag oleh UUD
untuk menetapkan Perpu dan memberlakukan 1 tahun tanpa memerlukan persetujuan
DPR.
( hak veto ).
Sedangkan dalam hal RUU hak inisiatif
DPR, yang telah disahkan DPR, tetapi
tidak disetujui presiden, maka RUU tidak dapat diberlakukan ( Pasal 21 ayat ( 2), dan beberapa peraturan
yang dibuat berdasarkan kewenangan ( policy
rules), (beleidregels) dalam hal
presiden mengeluarkan Keputusan Presiden yang bersifat mandiri ( yang
kadang-kadang seharusnya diatur dalam UU).
C. Implikasi
dari pergeseran -Angin segar bagi DPR
Perubahan kedua UUD 1945 bahwa ada perubahan mendasar dalam pada Pasal 5 UUD 1945 yang menegaskan bahwa dalam 30 hari, Presiden
tidak mengundangkan RUU yang sudah
disetujui bersama, maka RUU tersebut
berlaku sebagai UU, dengan demikian Presiden tidak lagi memliiki hak veto untuk
mengundangan RUU yang sudah mendapat persetujuan DPR mellalui proses pembahasan
bersama Pemerintah. (Di AS: presiden punya hak veto untuk tidak mengundangkan
RUU yang telah disetujui Senat dan DPR di Parlemen). Tetapi, RUU yang di veto oleh Presiden dapat diajukan
di perlemen pada persidangan berikutnya.
Secara hukum, pergesaran fungsi legislatif DPR
membawa implikasi yang luas baik terhadap cabang kekuasaan pemerintah, terhadap
fungsi DPR, maupun terhadap fungsi kehakiman. Dengan adanya pergeseran
teresebut maka pemisahan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif makan
tegas. Dengan adanya pergesaran kekuasaan tersebut, maka para pejabat
pemerintah hanya berfungsi sebagai pelaksana peraturan perundang-undangan
produk DPR. Beberapa hal yang penting
dalam konsekuensi dari pergeseran ini
adalah:
- Freis Ermessen :
Kebebasan pemerintah untuk
melakukan/ membuat kebijakan sendidi dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan.
- Freis Ermessen – harus dibatasi (materi yang diatur).
- Prosedur penetapannya oleh presiden kemudian dimintakan persetujuan DPR.
- Masa Berlaku Peraturan Pemerintah paling lama 1 tahun
- Peperpu seharusnya dibuat atas dasar perintah UU atau dalam kerangka melaksanakan UU.
- Pejabat yang mengeluarkan produk peraturan harus dibatasi yakni pejabat yang menduduki jabatan-jabatan politik misal Presiden, Menteri atau pejabat seringkat Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota dan Kepala desa.
- Nomenklaturnya harus konsisten : ” Peraturan”.------à misal Peraturan Presiden.
[1]Makalah disampaikan dalam “Trainning Legal
Drafting “ Lembaga Hukum Mahasiswa Hukum Islam ( LHMI) Fakultas
Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu, 23 Februari 2008.
[2]Siti
Fatimah ,SH., M.Hum. adalah Dosen Fakultas Syariah Jurusan Jinayah Syiyasah ( JS) UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
[3]Jimly,
Asshiddiqie, Format Kelembagaan
Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press,
2004, hlm. 179.
[4] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastusi
Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm. 14-15.
[5] Jimly, Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta: KON Press, 2006.
No comments:
Post a Comment