BIOGRAFI
IBN ‘ARABĪ
Oleh:
Muh Bahrul Ulum
Selengkapnya Download> DISINI
A. Riwayat Hidup
Nama
lengkapnya adalah Muḥammad Ibn ‘Alī Ibn Muḥammad Ibn ‘Arabī al-Ṭā’ī
al-Hātimī. Nama ini dibubuhkan oleh Ibn ‘Arabī dalam Fihrist (katalog
karya-karyanya). Orang-orang sezamannya, khususnya Ṣadr al-Dīn al-Qūnawī
memanggilnya Abū ‘Abd Allāh. Banyak penulis pada umumnya menyebut dia sebagai
Ibn ‘Arabī. Nama singkat ini telah lama dipakai oleh para penulis Barat,
sebagian mungkin meniru gaya pengarang Turki dan Iran, namun singkatan ini juga
berfungsi untuk membedakan dirinya dengan salah seorang tokoh Andalusia lain
yang terkenal, yakni Abū Bakr Muḥammad Ibn ‘Arabī (1076-1148), kepala hakim
Sevilla. Kelak Ibn ‘Arabī belajar kepada salah seorang sepupu dari tokoh ini.[i]
Dari
nama lengkap tersebut kemudian oleh orang-orang setelahnya terutama yang
mengaguminya ia diberi gelar, antara lain : Muḥyi al-Dīn (Penghidup
Agama) dan Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus). Lalu banyak penulis yang
menggabungkan dua gelar itu menjadi : Syaikh al-Akbar Muhyi al-Dīn Ibn
‘Arabī. Dalam banyak penulisan, tokoh ini seringkali hanya disingkat dengan Ibn
al-‘Arabī (dengan Al), atau Ibn ‘Arabī saja (tanpa al).[ii]
Ibn
‘Arabī dilahirkan pada 17 Ramadhan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165 M, di
Murcia, Spanyol bagian tenggara. pada waktu kelahirannya Murcia diperintah oleh
Muḥammad Ibn Sa’īd Ibn Mardanīsy.[iii] Sebagai anak pertama dan satu-satunya lelaki, kelahirannya
jelas merupakan kebahagiaan besar bagi orang tuanya. Tujuh tahun pertama kehidupannya
tampaknya dihabiskan ditengah konflik dan ketegangan lokal. Ayahnya bertugas
sebagai tentara Ibn Mardanīsy, penguasa lokal yang mendirikan kerajaan kecil
untuk diri sendiri dengann bantuan tentara bayaran Kristen. Dalam tradisi
Rodrigo Diaz (El Cid), leluhurnya yang terkenal pada abad ke XI, Ibn
Mardanīsy berdiam di Murcia dan Valencia dan oleh orang-orang Kristen dijuluki
“Raja Serigala”. Dia beresekutu dengan raja-raja dari Castile dan Aragon dan
selama 25 tahun membela kerajaannya melawan kekuatan baru dari al-Muwaḥḥidīn,
meskipun kekuasaannya semakin surut ketika Ibn ‘Arabī lahir.
Dinasti
al-Muwaḥḥidīn berasal dari suku-suku Berber dari pegunungan Atlas Maroko,
pengikut dari pemimpin keagamaan Ibn Tumart, dan muncul pertama kalinya di
tahun 1145. Menjelang tahun 1163 mereka menyerbu Afrika Utara sampai Tripoli.
Sepanjang 20 tahun sebelum kelahiran Ibn ‘Arabī, al-Muwaḥḥidīn telah
membangkitkan dan merekonsolidasi persatuan muslim di Andalusia, membangun
benteng pertahanan untuk melawan gangguan dari orang-orang Kristen di utara.
Mereka menjadikan Sevilla sebagai ibukota lokal dan membangun stabilitas di
seluruh daerah Afrika Utara.[iv]
Pada
tahun 1172 Ibn Mardanīsy wafat, dan berakhirlah perlawanan terhadap kekuasaan
al-Muwaḥḥidīn. Ayah Ibn ’Arabī bersama-sama dengan rombongan pengikut Ibn
Mardanīsy yang terkemuka, tampaknya mengalihkan kesetiaannya pada Sultan
al-Muwaḥḥidīn, Abū Ya’qūb Yūsuf I dan menjadi salah satu penasehat
militernya. Pada tahun itu juga semua keluarganya pindah ke Sevilla, pusat
kosmopolit yang ramai dan makmur, dan menjadi ibukota kerajaan al-Muwaḥḥidīn
di Spanyol. Program-program pembangunan baru yang dibiayai oleh Sultan; seperti
memulihkan kembali sistem air Romawi kuno, membuat Sevilla menjadi kota utama
di negeri ini. Kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras dan kultur di
mana penyanyi serta penyair bergaul dengan para filosof dan teolog, dan para
wali berdampingan dengan para pendosa. Jadi, sejak usia 7 tahun Ibn ’Arabī
tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ide-ide penting pada masa itu, ilmu
pengetahuan, agam dan filsafat.
Ketika
komunikasi massa sebagaimana kita kenal sekarang belum ada, lingkungan semacam
ini menjadi unsur penting dalam perkembangan dirinya. Sevilla abad ke XII pada
masa Ibn ’Arabī masih muda bisa disamakan dengan gabungan kota London, Paris
dan New York di masa sekarang –sebuah campuran yang luar biasa dari berbagai
orang, bangunan dan peristiwa.[v]
Sebagian
besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya anak-anak muda yang
baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk keluarga muslim yang
baik, meskipun tampaknya ia tidak belajar di sekolah resmi, hampir bisa
dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah. Dia diajari al-Qur’ān oleh
salah seorang tetangganya, Abū
‘Abdallāh Muḥammad al-Khayyat,
yang kemudian sangat ia cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama
bertahun-tahun.[vi]
Sejak
menetap di Sevilla ketika berusia delapan tahun, Ibn ‘Arabī memulai pendidikan formalnya. Di kota pusat
ilmu pengetahuan itu, di bawah bimbingan sarjana-sarjana terkenal mempelajari
al-Qur’ān dan tafsirnya, Ḥadīṡ, fiqh, Teologi dan Filsafat Skolastik. Sevilla adalah
suatu pusat sufisme yang penting pula, dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang
tinggal di sana.[vii]
Selama
menetap di Sevilla, Ibn ’Arabī muda sering melakukan perjalanan ke berbagai
tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk
mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang
sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibn Rusyd (w. 595 H) di
Kordova.[viii] Ibn ’Arabī dikirim oleh ayahnya untuk bertemu dengan filosof
besar Ibn Rusyd yang berasal dari keluarga yang sangat terpandang di Kordova.
Ibn Rusyd, dari semua tokoh abad pertengahan Spanyol, mungkin orang yang paling
terkenal di Eropa, sebab ia memperkenalkan kembali karya-karya Aristoteles
–astronomi, meteorologi, pengobatan, biologi, etika dan logika– dan
ulasan-ulasannya berpengaruh luar biasa terhadap Eropa ketika orang-orang Eropa
kemudian menemukan kembali Aristoteles.[ix]
Percakapan
Ibn ’Arabī dengan filosof besar ini membuktikan kecemerlangan yang luar biasa
dalam wawasan spiritual dan intelektual. Perecakapan tersebut menjelaskan
perbedaan dan pertentangan asasi antara jalan akal logis dan jalan imajinasi
gnostik. Fakta bahwa sufi muda ini mengalahkan filosof peripatetik itu dalam
tukar pikiran tersebut dengan tepat menunjukkan titik buhul pemikiran filosofis
dan pengalaman mistik Ibn ’Arabī yang memperlihatkan bagaimana mistisisme dan
filsafat berhubungan satu sama lain dalam pemikiran metafisikanya.
Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan erat dan disokong oleh
pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn ’Arabī adalah seorang mistikus yang
sekaligus seorang guru filsafat peripatetik, sehingga ia bisa memfilsafatkan
pengalaman spiritual batinnya secara tepat ke dalam suatu pandangan dunia
metafisis yang sangat kompleks.[x]
Pada
usia relatif muda, mungkin 16 tahun, Ibn ’Arabī menjalani pengasingan diri (khalwat).
Menurut kisah yang ditulis lebih dari 150 tahun setelah wafatnya, diceritakan
bahwa Ibn ’Arabī pada suatu ketika mengikuti pesta makan bersama teman-temannya
dan sebagaimana kebiasaan di Andalusia, setelah hidangan daging lalu disajikan
anggur. Saat dia hendak mulai minum segelas anggur, tiba-tiba dia mendengar
seruan, “Wahai Muḥammad, bukan untuk ini engkau diciptakan!” karena ketakutan
mendengar suara yang tegas ini, dia lari ke sebuah pemakaman di luar kota
Sevilla. Di sana dia menjumpai reruntuhan yang mirip sebuah gua. Selama empat
hari ia tetap tinggal di sana sendirian melakukan khalwat, berzikir dan
hanya keluar saat shalat.[xi]
Ibn
’Arabī tampaknya di takdirkan untuk mengikuti jejak ayahnya. Ia bertugas dalam
pasukan tentara Sultan al-Muwaḥḥidīn selama beberapa waktu dan dijanjikan
kedudukan sebagai asisten untuk gubernur Sevilla. Dia sendiri menyebut periode
kehidupan ini sebagai periode kejahilan. Periode kejahilan atau kebodohan ini
diakhiri oleh pengalaman pencerahan.[xii]
Setelah
pertemuannya dengan Ibn Rusyd dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun
580 H (1184 M), Ibn ’Arabī mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan
duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang memberinya keputusan bulat
adalah saat ia dan panglima al-Muwaḥḥidīn bersama-sama shalat di Masjid Agung
Kordova.
Alasan aku menolak dan
mengundurkan diri dari ketentaraan dan alasanku untuk menempuh jalan (Tuhan)
dan kecenderunganku terhadap jalan itu adalah sebagai berikut: Aku pergi
bersama tuanku, Panglima (al-Muwaḥḥidīn) Abū
Bakr Yūsuf bin Abd al-Mu’min bin ‘Alī, menuju ke Masjid Agung Kordova
dan aku melihat dia bersimpuh, sujud dengan rendah hati memohon kepada Allah.
Kemudian pikiran melintas (khātir) menerpaku (sehingga) aku berkata pada
diriku sendiri, “jika penguasa negeri ini begitu pasrah dan sederhana di hadapan
Allah, maka dunia ini tidak ada artinya.” Lalu aku meninggallkannya pada hari
itu juga dan tidak pernah melihatnya lagi. Sejak itu aku mengikuti jalan ini.[xiii]
Perlu
dicatat di sini bahwa masa jahiliyah yang dialami Ibn ‘Arabī tak lain hanyalah
sebuah fase ghaflah, fase kealpaan atau “kebingungan”.[xiv] Begitulah, sejak saat itu Ibn ’Arabī mengabdikan diri pada
kehidupan dan penghambaan penuh terhadap Allah sesuai dengan ajaran yang
diberikan oleh Īsā, Mūsā dan Muḥammad SAW. Ia memutuskan untuk mengambil jalan
zuhud dengan meninggalkan seluruh kekayaan duniawinya, di mana ini menjadi
titik perubahan penting dalam perjalanan hidup Ibn ‘Arabī: ia telah memilih
jalan kemiskinan dan tak akan pernah berpaling lagi darinya. Sejak saat itu
hingga akhir hayatnya salah satu sumber penghidupannya adalah pemberian dan
sedekah yang diterimanya dari para sahabat di jalan spiritual dan dari sebagian
kerabatnya semasih tinggal di Timur. Baginya hal itu merupakan wujud pengabdian
murni (al-‘ubūdiyyah al-mahḍah) yang mengharuskan seorang wali
meninggalkan semua hak dan harta yang akan membuatnya tetap ingat akan rububiyyah,
ketuhanan.[xv]
Pada
beberapa bagian karyanya, Ibn ‘Arabī menyebutkan secara tersurat maupun
tersirat upayanya untuk “kemballi kepada Allah”. Di sana, kita dapat secara
langsung mencatat pengulangan beberapa istilah kunci: khalwah
(“penyendirian”), fath (“pencerahan”), mubasysyirah atau sesekali
wāqi’ah (“mimpi”), tawbah (“tobat”) dan rujū’ (“kembali”).
Semua istilah tersebut mewakili begitu banyak kepingan asimetris, yang, jika
dikumpulkan dan disusun secara koheren, memungkinkan kita membentuk kembali
sebuah catatan logis mengenai rentetan fase dalam proses kembalinya Ibn ‘Arabī
kepada Allah.[xvi]
Pada 590 H (1193) ketika pikiran-pikirannya telah
mengkristal, ia berkelana mengelilingi Andalusia. Pertama ia menuju kota Murur
untuk menemui Syaikh Abū Muḥammad
al-Mawrūrī. Selanjutnya ia meneruskan kelananya ke Kordova dan Granada. Setelah
puas menikmati kelananya ke berbagai kota di Andalusia ia ingin menyeberangi laut
dan menuju daratan lain. Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) Aljazair untuk
mengunjungi Syaikh Abū Madyān, seorang
pendiri aliran tasawuf yang barangkali adalah syaikh paling terkemuka pada
zamannya.[xvii] Melalui Abū Madyān-lah
kecenderungan sufi yang khas di Maghrib benar-benar kentara. Berasal dari
daerah Sevilla, Abū Madyān tinggal
sementara di Fez. Di sana dia bertemu dengan Abū Abd Allāh al-Daqqāq –seorang
sufi aneh yang luar biasa, demikian menurut para penulis hagiografi– yang
tampaknya mewariskan khirqah untuknya.[xviii]
Abū Madyān adalah seorang yang sangat berpengaruh
pada diri Ibn ’Arabī. Hal ini terlihat dari kisah-kisah yang ditulisnya sendiri
mengenai tokoh-tokoh spiritual pada zamannya.[xix] Meskipun keinginannya untuk bertemu dengan Abū Madyān secara fisik tidak pernah tercapai
–bahkan ajaran Abū Madyān diperolehnya
hanya dari murid-muridnya yang notabene adalah guru-gurunya, seperti al-Mawrūrī
, al-Kūmī dan al-Sadrānī– akan tetapi Ibn ’Arabī meyakini bahwa Abū Madyān
mengenalnya, bahkan telah menemuinya berkali-kali secara spiritual.[xx] Tokoh inilah yang kerap kali disebut-sebut sebagai salah satu
mata rantai yang menghubungkan Ibn ’Arabī dengan aliran Neoplatonisme.
Dari Bugia Ibn ’Arabī meneruskan kelananya ke Tunisia. Di
sana ia mengkaji karya seorang sufi politisi, Abū al-Qāsim Ibn Qushay, Khal’an Na’layn
(Melepas Kedua Sandal). Tokoh inilah yang terkenal pembelotannya terhadap
dinasti al-Murābiṭūn di Andalusia Barat.[xxi] Selain mengkaji karya tersebut, pada tahun yang sama Ibn ’Arabī
mengunjungi beberapa murid Abū Madyān,
seperti ‘Abd al-Azīz al-Mahdāwī dan Abū
Muḥammad ‘Abdallāh al-Kinānī. Kepada al-Mahdāwī ia mempelajari karya
Ibn Barrajān, yakni Kitāb al-Hikmah.[xxii]
Dituturkan
bahwa selama berada di Tunisia, Ibn ’Arabī bertemu dengan Nabi Khiḍir.
Pertemuan kemudian terjadi lagi ketika pada akhir 1194 Ibn ’Arabī kembali ke
Andalusia. Dengan demikian sebanyak tiga kali telah ditemui oleh Khiḍir dalam
tingkatan yang berada secara fisik. Pertemuan pertama berlangsung di daratan,
di jalan kota pada siang hari, di mana ia menekankan kepasrahan lahiriah kepada
guru duniawi. Pertemuan kedua terjadi di air, sebuah pertemuan pribadi di bawah
cahaya bulan purnama. Dan ketiga, Khiḍir memperlihatkan diri di atas udara.
Tampaklah bahwa ada tahapan dari ajaran Khiḍir dalam “bahasa yang khusus”
untuk menuntun Ibn ’Arabī ke dalam pengetahuan misteri Ilahi dan mendorongnya
untuk merenungkan kualitas dari pendidikan tersebut.[xxiii] Sejak saat itu ia memulai aktifitas menulis, menuangkan ilham
atau inspirasi yang diterimanya ke dalam tulisan agar bisa dibaca para
sahabatnya. Di akhir 1194, setelah kembali ke Andalusia, ia menulis salah satu
karya besarnya, Maqāṣid al-Asrār, untuk sahabat-sahabat dari Mahdawī.
Pada sekitar tahun yang sama ia menyusun Tadbīrāt al-Ilāhiyyah untuk
al-Mawrūrī.
Dalam
periode sepuluh tahun sejak pengunduran dirinya dari pemerintahan
al-Muwaḥḥidīn dan memasuki jalan rohani, Ibn ’Arabī melakukan perjalanan yang
menandai masa instruksi dalam kebijaksanaan kenabian. Ia memulai sebagai Īsāwī,
kemudian menjadi Mūsāwī, dan setelah bertemu dengan Hūd dan semua nabi, ia
akhirnya sampai pada warisan Muḥammad SAW. Terkadang proses ini berada di
bawah bimbingan para guru spiritual, terkadang melalui campur tangan langsung
dari para nabi itu sendiri. Ibn ’Arabī dengan jelas melihat seluruh proses
perkembangan spiritual dan kewalian dari segi kebijaksanaan khusus dari para
nabi dan rasul. Baginya, kebijaksanaan-kebijaksanaan itu tidak lain adalah
ekspresi integral dan menyatukan kebijaksanaan Muḥammad. Warisan kenabian ini
membentuk basis riil dari semua tulisannya. Ia mulai sebagai pengikut Īsā,
menekankan pada penarikan diri, dan kemudian di dalam jalan spiritual Mūsā ,
saat cahaya wahyu diturunkan. Setelah melalui tempat-tempat wahyu diwakili oleh
masing-masing nabi, ia akhirnya sampai pada warisan sempurna dari Muḥammad.[xxiv]
Ketika
ayahnya meninggal dunia, lalu disusul ibunya beberapa bulan kemudian, Ibn
’Arabī menerima kenyataan bahwa ia harus merawat kedua saudarinya, yakni Umm
Sa’d dan Umm ‘Alā’[xxv], sehingga ia harus meninggalkan kehidupan spiritualnya. Desakan
duniawi juga muncul, ketika terjadi ketegangan politik antara al-Muwaḥḥidīn
di Sevilla dan Raja Alfonso VIII dari Castile. Ibn ’Arabī mendapat tawaran
pekerjaan dalam pasukan pengawal Sultan. Karena teringat ucapan Sāliḥ
al-Adawī, Ibn ’Arabī menolak tawaran itu. Kemudian ia meninggalkan Sevilla
membawa kedua saudarinya menuju Fez dan tinggal di sana untuk beberapa tahun.
Setelah kedua adiknya mendapatkan suami, tanggungjawab duniawinya selesai dan
ia kembali mencurahkan diri pada jalan spiritual.[xxvi]
Fez
tampaknya menandai periode kebahagiaan yang luar biasa dalam kehidupannya, di
mana ia bisa mengabdikan dirinya secara penuh kepada kegiatan spiritual dan
bergaul dengan orang-orang yang sepaham dan memiliki aspirasi yang sama. Dia
tidak hanya bertemu dengan para wali yang merupakan pewaris Muḥammad –dia
sendiri juga semakin jauh masuk ke dalam warisan ini. Di Masjid al-Azhar di Fez
ia memasuki tingkatan baru dari visi di dalam bentuk cahaya –visi cahaya ini
adalah sejenis rasa pendahuluan dari perjalanan cahaya yang besar. Di tahun
berikutnya, pada usia 33 tahun, Ibn ’Arabī mengalami suatu perjalanan yang luar
biasa dari semuanya, yaitu pendakian (mi’rāj) yang mencerminkan
perjalanan malam Nabi Muḥammad yang terkenal. Perjalanan ini kemudian tertuang
dalam Kitāb al-Isrā’.[xxvii] Perjalanan ini merupakan perjalanan spiritual ke atas langit
–perjalanan yang membawa peziarah melampaui sekat-sekat geografis menuju
hadirat Ilahi, “yang berjarak dua busur atau lebih dekat” (Q.S. Al-Najm [53]:
9). Bagi para wali, meneladani Nabi berpuncak dalam “perjalanan malam” ini.[xxviii]
Setelah
dianugerahi visi yang paling terang tentang takdirnya, Ibn ’Arabī kembali ke
semenanjung Liberia untuk terakhir kalinya pada tahun 1198. Di bulan Desember
tahun itu ia berada di Kordova daat pemakaman Ibn Rusyd. Kemudian dari Kordova,
bersama sahabat dekatnya al-Habsyi mereka menuju ke Granada dan kembali bertemu
dengan ‘Abdallāh al-Mawrūrī. Pada bulan
Januari 1199 di Granada Ibn ’Arabī mendapat visi yang memperkuat makna dari
penutup para wali.[xxix] Dari Granada mereka menuju Murcia. Setelah dua tahun berada di
negeri kelahirannya ini, mereka pergi ke Marakesy. Pada awal 1201 (597) dari
kota ini mereka menuju Bugia lagi, setelah itu berkelana ke Tripoli, Tunisia,
Mesir dan kemudian menuju Makkah.[xxx]
Di
akhir perjalanan panjangnya dari barat, Ibn ’Arabī akhirnya tiba di Makkah pada
pertengahan 1202. Di kota ini namanya mencuat, para tokoh dan ilmuwan pun
sering menemuinya. Di antara mereka adalah Abū
Syujā’ al-Imām al-Muwakkil yang mempunyai seorang putri cantik dan
cerdas bernama Niẓām. Gadis ini memunculkan inspirasi pada diri Ibn ’Arabī
sehingga lahirlah karyanya Tarjumān al-Asywāq.[xxxi]
Ketika aku tinggal di
Makkah pada tahun 599 H, di sana aku bertemu dengan banyak pria maupun wanita
yang sangat terhormat, beradab, dan saleh. Tak ada satupun di antara mereka
yang membangga-banggakan diri sekalipun mereka memiliki berbagai keutamaan dan
kemuliaan; orang-orang seperti Abū
Syujā’ Ẓahir bin Rustām bin Abū
Rajā’ al-Isfaḥānī dan saudara perempuannya, binti Rustām, seorang
wanita tua alim, seorang teladan cemerlang di kalangan kaum wanita … Syaikh ini
mempunyai seorang anak gadis, seorang dara semampai yang memikat perhatian
orang yang melihatnya, yang kehadirannya menerangi pertemuan-pertemuan dengan
sinar cemerlang, yang memesona dan membuat terkagum-kagum semua orang yang
bersama dengannya dan menawan kesadaran semua orang yang memandanginya. Namanya
adalah Niẓam (keselarasan) dan nama panggilannya adalah ‘Ain al-Syams (Mata
Sang Surya). Dia sangat religius, alim, zuhud, seorang bijak di antara
orang-orang bijak di Tanah Suci itu.[xxxii]
Menurut
Ibn ’Arabī dalam mukadimah karyanya itu, secara lahiriah karya itu merupakan
untaian puisi cintanya kepada gadis rupawan itu, tapi sebenarnya karya itu
merupakan ungkapan cintanya kepada Sang Pencipta.[xxxiii]
Selama dua tahun di
Makkah (1202 – 1204), Ibn ’Arabī sibuk dalam penulisan. Karya-karyanya pada
periode ini adalah: Misykāt al-Anwār, Hilyat al-Abdāl, Rūh al-Quds dan
Tāj al-Rasā’il. Namun karyanya yang paling monumental adalah Futuḥāt
al-Makkiyyah, yang diklaimnya merupakan hasil pendidikan langsung dari
Tuhan. Penulisan kitab yang menjadi masterpiece-nya ini berawal dari peristiwa
saat ia bertawaf di Ka’bah, di mana dia bertemu dengan figur pemuda misterius
yang memberinya pengetahuan tentang makna esoterik dari al-Qur’ān . Di samping
itu, sebuah visi tentang nabi Muḥammad melengkapi perjalanan rohaninya menuju
puncak, yakni sebagai penutup kewalian.[xxxiv] Pada periode Makkah ini juga terjadi pertemuan antara dia
dengan Syaikh Majd al-Dīn Ishāq bin Yūsuf dari Anatolia (daerah Rum). Syaikh
ini adalah seorang tokoh spiritual penting yang menjadi penasehat raja di
Istana Seljuk, yang suatu saat nanti akan menjadi ayah dari Ṣadr al-Dīn
al-Qūnawī, salah seorang tokoh kunci di antara murid-murid Syaikh al-Akbar.[xxxv]
Pada
tahun 1204 (601 H) Ibn ’Arabī meninggalkan Makkah menuju Baghdad dan tinggal
selama 12 hari, lalu melanjutkan perjalanan ke Mosul. Selama tinggal di sini ia
berhasil menyelesaikan tiga karya, yaitu Tanazzulāt al-Mawṣiliyyah, Kitāb
al-Jalāl wa al-Jamāl, dan Kitāb Kunh mā lā budda li al-Murīd
Minhu. Dari Mosul, selama tahun 1205 (602 H) mereka (Ibn ’Arabī dan
Habasyī) berangkat ke utara melalui Dyarbakir dan Malatya sampai Konya. Pada
tahun ini Ibn ’Arabī menyusun Risālat al-Anwār (Risalah Cahaya). Dan
untuk pertama kalinya berhubungan dengan Awhad al-Dīn al-Kirmānī, seorang guru
spiritual dari Iran. Pada tahun 1206 Ibn ’Arabī menuju ke Yerussalem lalu
Hebron (di sini berhasil menulis Kitāb al-Yaqīn) dan menunaikan ibadah
haji di Makkah pada bulan Juli 1206. Menjelang 1207 mereka kembali berada di
Kairo, berkumpul bersama sahabat lama Ibn ’Arabī dari Andalusia, yaitu
al-Khayyāṭ[xxxvi] dan al-Mawrūrī[xxxvii].
Akan
tetapi sayangnya lingkungan di Kairo tidak simpati pada Ibn ’Arabī, karena
ajaran-ajarannya dianggap menyimpang dan dituduh melakukan bid’ah. Mereka
merasa tertekan dengan keadaan ini, pada akhir tahun 1207 Ibn ’Arabī kembali ke
Makkah untuk melanjutkan belajar Ḥadīṡ dan
juga mengunjungi keluarga Abū Syujā’ bin Rustām. Setelah tinggal di Makkah
sekitar satu tahun lalu berjalan lagi ke utara menuju Asia kecil. Tiba di Konya
pada tahun 1210 (607 H) dan disambut baik oleh penguasa Kay Kaus dan
orang-orang di sana.[xxxviii]
Pada
tahun 1212 (609 H) Ibn ’Arabī kembali mengunjungi Baghdad. Di sana dia bertemu
dengan guru sufi terkenal Syihāb al-Dīn ‘Umar al-Suhrawardī, pengarang kitab ‘Awārif
al-Ma’ārif.[xxxix] Pada periode antara 1213 – 1221 Ibn ’Arabī berkelana lagi ke
Aleppo, Makkah, Anatolia, Malatya dan
kembali ke Aleppo lagi. Sewaktu tinggal di Malatya Ibn ’Arabī sempat menulis Iṣṭilāḥāt
al-Shūfiyyah. Pada tahun 1221 di Aleppo, Majd al-Dīn Ishāq wafat dan Ibn
’Arabī mengambil tugas membesarkan dan mendidik putra Majd al-Dīn, Ṣadr al-Dīn
Qūnawī yang saat itu berusia sekitar 7 tahun. Tidak berapa lama kemudian
sahabatnya al-Habasyī juga wafat.[xl]
Pada
tahun 1223 (620 H) Ibn ’Arabī menetap di Damaskus hingga akhir hayatnya,
kecuali sekedar kunjungan singkat ke Aleppo pada tahun 1231. Perjalanan yang
panjang, hasil karya yang luar biasa, kefakiran dan kemiskinan yang menjadi
panggilan hidupnya, semua telah menggerogoti kesehatannya. Kini dia amat
terkenal dan dihormati di mana-mana. Penguasa Damaskus al-Malik al-‘Adl
menawarinya untuk tinggal di istana. Di sini Ibn ’Arabī merampungkan karya
besarnya Futuḥāt al-Makkiyyah dan juga Fuṣūṣ al-Hikam sebagai
ikhtisar ajaran-ajarannya. Selain itu menyelesaikan puisinya Dīwān al-Akbar.[xli] Adapun Ṣadr al-Dīn al-Qūnawī yang telah dibesarkan dan
dididiknya selalu mendampinginya dengan setia, bersama dengan Awhad al-Dīn
Kirmānī, sahabat Ibn ’Arabī sekaligus guru Qūnawī.
Ibn
’Arabī wafat di Damaskus pada 16 November 1240 (28 Rabi’ul Tsani 638 H) dalam
usia 76 tahun. Qaḍi ketua di Damaskus dan dua orang murid Ibn ’Arabī melakukan
upacara pemakamannya.[xlii]
Tentang
isteri-isterinya, menurut R.W.J. Austin, yang dapat diketahui ada tiga orang
yaitu, Maryam, yang dinikahinya di Sevilla dan disebutnya sebanyak dua kali
dalam Futuḥāt al-Makkiyyah II halaman 278 dan III halaman 235. Fāṭimah
binti Yūnus bin Yūsuf ; putri seorang syarif di Makkah, ibunda dari Imād al-Dīn
(Futuḥāt IV halaman 554). Dan seorang wanita yang tidak diketahui
namanya, putri seorang qaḍi ketua Maliki yang dinikahinya di Damaskus (Futuḥāt
IV halaman 559). Sedangkan ibunda dari Zainab (anak perempuan Ibn ‘Arabī )
tidak diketahui namanya serta bagaimana nasibnya.[xliii]
B. Corak Pemikiran dan
Gaya Ibn ‘Arabī
Secara
tipikal Ibn ‘Arabī diaanggap sebagai
seorang sufi. Dan anggapan ini relatif banar jika memahami istilah sufisme
untuk menunjuk pada tambatan pemikiran dan praktek Islam yang menekankan
pengalaman langsung dari obyek-obyek iman.[xliv] Terlepas dari perbedaan mengenai asal-usul kata yang membentuk
artinya –seperti ṣafā (suci) ; ṣaf (penghuni masjid); sophia
(hikmah) ; atau ṣūf (bulu domba) – tasawuf mengandung makna yang dalam
yang merujuk pada kebersihan batin, mendekatkan diri pada Tuhan, menjauhkan
diri dari kesombongan dan ketamakan terhadap daya tarik dunia. Tasawuf secara
umum adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam
upaya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman hakikat realitas dan
kebahagian rohaniah.[xlv]
Dari
sekian pengertian tasawuf (sufisme) di atas adalah benar jika dikatakan bahwa
Ibn ‘Arabī adalah seorang tokoh sufisme.
Karena jika kita menyimak kembali riwayat hidupnya, adalah sosok yang memilih
jalan ruhani yang penuh kesederhanaan pada saat kenikmatan duniawi
mengelilinginya. Harta, jabatan, dan segala kemewahan ditinggalkannya demi
mencari kebahagiaan hakiki.
Dalam
banyak literatur, Ibn ‘Arabī memang
lebih sering dimasukkan dalam ketegori tokoh sufi atau dalam disiplin bidang
tasawuf. Tetapi jika ada yang menyebutnya sebagai seorang filosof – seperti
hanya AE. Affifi yang memandang Ibn ‘Arabī
dari sudut pandang filsafat – maka tidaklah mudah untuk menyangkalnya.
Hal ini dikarenakan corak pemikirannya yang mensitesakan antara tasawuf dan
filsafat.
Dari
segi epistemologi, sufisme atau tasawuf adalah hasil dari proses mujāhadah
(mengekang hawa nafsu), musyāhadah (pandangan batin) dan intuisi.
Sedangkan filsafat adalah hasil dari cara kerja akal (logika) dan argumentasi
yang kuat. Keduanya mempunyai obyek yang sama, yakni alam beserta isinya,
manusia serta perilakunya dan eksistensi Tuhan. Pemaduan kedua unsur ini, yakni
filsafat dan tasawuf menjadi senergi luar biasa yang melahirkan corak berfikir
rasional transendental. Inilah yang mewarnai corak pemikiran Ibn ‘Arabi.
Hasilnya adalah sebuah sintesa antara perspektif nalar dan spiritual.
Dalam
wacana ilmu tasawuf, dibedakan adanya tiga corak atau aliran pemikiran sufisme,
yaitu : Tasawuf akhlaki, tasawuf ‘amali dan tasawuf filosofis atau falsafi.
Kemudian pembagian tiga corak ini disingkat oleh Prof. H.A. Rivay Siregar
menjadi dua aliran yaitu tasawuf sunni (gabungan antara tasawuf akhlaki dan
tasawuf amali) dan tasawuf filosofi.[xlvi] Keduanya mempunyai sejumlah kesamaan yang prinsipil di samping
perbedaan – perbedaan yang mendasar. Persamaannya adalah bahwa keduanya mengaku
bersumber dari al-Qur’ān dan Sunnah dan sama-sama berjalan dalam maqāmāt dan aḥwāl. Perbedaanya adalah
mengenai kedekatan antara sufi dengan Tuhannya. Penganut tasawuf sunni
mengatakan bahwa sedekat apapun antara seorang manusia dengan Tuhannya tidak
mungkin jumbuh karena tidak satu esensi. Sedangkan penganut tasawuf filosofis
mengatakan bahwa manusia berpadu dengan
Tuhan karena manusia tercipta dari esensi-Nya. Selain itu perbedaan
bersumber dari perbedaan instrumen yang digunakan dalam memcahkan persoalan. Di
satu pihak, tasawuf sunni cukup menggunakan dalil-dalil naql dari ajaran
Islam, cenderung ortodoks dan sederhana dalam pemikiran. Di lain pihak tasawuf
filosofis sangat gemar terhadap ide-ide spekulatif dengan menggunakan analisis
filsafat yang mereka kuasai, baik filsafat Timur maupun Barat.[xlvii]
Cikal
bakal kemunculan dua aliran dalam tasawuf ini, terjadi pada abad ketiga dan
keempat Hijriah. Pada saat itu muncul dua aliran dalam tradisi asketisme.
Aliran pertama melandaskan diri pada al-Qur’ān dan sunnah dan memegang tradisi kalām
dan fiqh dengan kuat. Aliran inilah yang menjadi pangkal munculnya
tasawuf sunni. Aliran kedua adalah aliran yang selain berprisip pada al-Qur’ān
dan sunnah juga pada tradisi di luar Islam yang cenderung pada hal-hal yang
metafisis yang disebut union mystica. Aliran ini sering menunjukkan
keganjilan (syaṭaḥāt) sehingga menimbulkan pertentangan dan dianggap
menyimpang dari ajaran Islam. Aliran inilah yang menjadi awal munculnya tasawuf
filosofis.
Kemudian
pada abad kelima Hijriah, aliran sunni mengalami masa kejayaan di tangan Abū
al-Ḥasan al-Asy’ārī (w. 324 H) dengan teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan
mengeritik keras terhadap keekstriman tokoh sufi seprti Abū Yazīd al-Bisṭāmī
dan al-Hallāj, yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil. Pada abad kelima
Hijriah ini tasawuf aliran filosofis tenggelam dan baru muncul kembali dalam
bentuk lain, yaitu pada pribadi para sufi yang juga filosof pada abad keenam
Hijriah dan setelahnya.[xlviii] Mulai saat itulah tasawuf filosofis berkembang lagi dan sampai
pada puncaknya, aliran ini melahirkan sesosok sufi filosofis yang menggemparkan
pada abad-abad berikutnya yakni Syaikh al-Akbar Ibn al-‘Arabi. Bahkan sampai
saat ini terus menjadi bahan kajian yang aktual.
Umumnya
para sufi filosofis begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang
berasal dari luar Islam ke dalam ajaran mereka, serta menggunakan
terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan
ajaran tasawuf mereka. Para sufi yang juga filosof ini mengenal dengan baik
filsafat Yunani seperti pemikiran-pemikiran Socrates, Plato dan aliran Stoa
(didirikan oleh Zeno), serta aliran Neoplatonisme dengan filsafatnya tentang
emanasi. Selain itu mereka juga mempelajari filsafat-filsafat Timur kuno, baik
dari Persia maupun India, serta menelaah karya-karya filofos Islam, seperti
al-Fārābī, Ibn Sīnā dan lain-lain.[xlix] Begitu pula yang dilakukan Ibn ‘Arabī .
Dengan
begitu dapat dikatakan bahwa pemikiran Ibn ‘Arabī dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni
tasawuf dan filsafat, meskipun tidak secara murni. Jika dalam membahasnya kita
menggunakan kacamata tasawuf, maka pemikirannya dapat dikategorikan sebagai
tasawuf filosofis. Jika menggunakan kacamata filsafat, maka pemikirannya
dikategorikan filsafat mistis.
Kita
dapat melihat dari segi tasawuf karena ia menjalani laku kehidupan rohani
seperti sufi pada umumnya dan kehidupannya dipenuhi pengalaman spriritual yang
agung dan secara epistemologis ia mendapatkan pengetahuan dari intuisi, kasyf
(penyingkapan) dan żauq (rasa). Sedangkan dari sudut pandang filsafat, Ibn ‘Arabī dapat disebut seorang filosof, karena selain
dia faham betul dengan teori-teori filsafat dari berbagai unsur sehingga bahasa
yang digunakan adalah bahasa filsafat, tetapi juga pemikirannya menambah pada
obyek-obyek kajian filsafat, yaitu problem metafisika.
Menurut
A.E. Affifi, secara keseluruhan Ibn ‘Arabī
dapat digambarkan sebagai filosof bertipe tidak beraturan dan eklektik.
Ia mengatakan bahwa gaya Ibn ‘Arabī yang
ambiguity (mendua) disebabkan paling tidak oleh tiga hal, yaitu: pertama
Ibn ‘Arabī menggunakan istilah-istilah
yang diambilnya dari berbagai sumber, seperti The Good-nya Plato, The
One-nya plotinus, Substansi Universal-nya Asy’ārī dan Allāh-nya
Islam. Kadang-kadang ia menggunakan satu kata untuk beberapa makna, misalnya
kakikat, diartikan sebagai realitas, kadang esensi, kadang suatu idea atau
suatu ciri. Yang kedua, bahwa Ibn ‘Arabī
selalu berusaha merekonsiliasikan dogma-dogma ortodoks Islam dengan
pemikiran panteistik. Dan yang ketiga, ia menggunakan bahasa yang puitis dan
fantastis sehingga mengaburkan pemikiran yang logis dan ketat.[l]
Siapapun
tidak menyangkal bahwa memahami pemikiran Ibn ‘Arabī bukanlah hal yang mudah. Meskipun
karya-karyanya yang berjumlah ratusan dapat memberikan gambaran yang utuh buah
pemikirannya, tetapi ungkapan-ungkapan yang digunakan bersifat simbolis dan
mengandung makna yang begitu dalam sehingga sulit dimengerti oleh orang-orang
yang mempelajarinya. Tidak mengherankan jika pada suatu waktu di musim dingin
di parlemen Mesir terjadi perdebatan seru di tengah para tokoh pemikir,
mengenai boleh tidaknya salah satu karya Ibn ‘Arabī diterbitkan secara bebas. Sebagian
berpendapat boleh, sebagian melarangnya karena dikhawatirkan menyesatkan
pembacanya.[li] Memang diperlukan sikap kritis dan ekstra hati-hati karena
pembahasannya merambah hal-hal yang sangat fundamental dalam pemikiran, yaitu
spekulasi tentang hakikat segala realitas. Itulah mengapa karya-karyanya
cenderung dicurigai dan dianggap membahayakan keimanan, terutama dikalangan
sunni yang notabene dianut oleh mayoritas umat Islam.
Namun
lain halnya bagi sejumlah sarjana, yang sebagian berasal dari kalangan Syi’ah
dan sebagian dari luar Islam. Mereka memiliki sikap yang lebih apresiatif
terhadap konsep-konsep tasawuf filosofis, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn
‘Arabī . Hal ini antara lain disebabkan karena pandangan para sufi dianggap
lebih liberal dan mengandung pesan universal bagi bentuk agama apapun, sehingga
adanya keragaman di dunia ini tidak menjadi halangan untuk terjalinnya harmoni
kehidupan, karena hanya ada satu realitas yang mendasarinya.
C. Karya-karya Ibn ‘Arabī
Dalam
catatan sejarah pemikiran umat Islam,
Ibn ‘Arabī adalah yang memberi
konstribusi besar terhadap trasisi intelektual secara tertulis. Separuh akhir
dari kehidupannya telah menghasilkan ratusan karya yang mempunyai nilai sastra,
intelektual dan spiritual yang tidak ternilai harganya. Memang ia adalah
pemikir yang paling tinggi tingkat produktifitasnya dibanding pemikir lain.
Namun sampai saat ini belum ada jumlah pasti yang disepakati para peneliti atas
karya-karya Ibn ‘Arabī. Berbagai angka telah disebukan oleh para sarjana. Louis
Massingnon, seorang orientalis Perancis, mengemukakan bahwa Ibn ‘Arabī menulis sekitas 300 karya. Sementara C.
Brockelman mencatat tidak kurang dari 239 karya. Osman Yahya, dalam karya
bibliografinya yang berbahasa Perancis, menyebutkan 846 judul dan menyimpulkan
bahwa hanya sekitar 700 yang asli dan hanya 400 yang masih ada. Ibn ‘Arabī sendiri dalam Ijāzah li al-Malik
al-Muzaffar menyebutkan ada 289 judul.[lii]
Menurut
S.H. Nashr, karya-karya Ibn ‘Arabī
beragam ukuran dan isinya: dari uraian-uraian pendek dan surat-surat
yang hanya terdiri dari beberapa halaman sampai karya ensiklopedik besar; dari
risalah metafisika yang abstrak sampai puisi-puisi sufi yang mengandung aspek
kesadaran ma’rifah yang muncul dalam bahasa cinta. Karya-karya itu mencakup
persoalan metafisika, kosmologi, pesikologi, penafsiran terhadap al-Qur’an dan
semuanya bertujuan menjelaskan makna-makna esoterik.[liii]
Menurut
Stephen Hirtenstein, Ibn ‘Arabī menulis
tidak kurang dari 350 buku. Karya-karya utamanya disebutkan sebanyak 30 buah,
termasuk di dalamnya –masterpiece– Futuḥāt al-Makkiyyah dan Fuṣūṣ
al-Hikam.[liv]
Futuḥāt
al-Makkiyyah adalah karya Ibn
‘Arabī yang menjadi perbedebatan di
parlemen Mesir. Di dalamnya berisi tentang kehidupan spiritual para sufi
beserta ajaran-ajarannya, prinsip-prinsip metafisika, dan ilmu-ilmu keagamaan
seperti tafsīr al-Qur’ān, Ḥadīṡ
dan fiqh. Menurut pengakuan Ibn ‘Arabī , karya ini merupakan hasil
pendiktean dari Tuhan melalui malaikat-Nya. Mulai disusun di Makkah pada tahun
1202 (598 H) setelah Ibn ‘Arabī menerima
visi tentang pemuda dan selesai pada tahun 1231 (629 H) untuk versi pertama, dan
pada tahun 1238 (636 H) untuk versi kedua. Dalam edisi lama kitab ini setebal
2.580 halaman. Dan atas prakarsa Departemen Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
Mesir diterbitkan kembali sebanyak 18.000 halaman/37 volume dalam 4 jilid
dengan pen-taḥqīq Osman Yahia dan disunting oleh Ibrahim Madkour.[lv]
Karya
monumental kedua adalah Fuṣūṣ al-Hikam (Untaian Permata
Kebijaksanaan). Diakui oleh Ibn ‘Arabī, karya ini ditulis berdasarkan perintah
Nabi SAW untuk diajarkan pada umat manusia. Terdiri dari 27 bab, setiap bab
mengajarkan tentang kebijaksanaan yang dimiliki setiap Nabi, dimulai dari Nabi
Adam dan ditutup dengan Nabi Muḥammad. Secara keseluruhan kitab ini
mempresentasikan kebijaksanaan umat yang berbeda-beda menuju kebijaksanaan
universal yang dicakup oleh kenabian Muḥammad. Karya ini dianggap sebagai
intisari dari ajaran Ibn ‘Arabī , yang ditulis pada tahun 1229 (627 H) di
Damaskus, sekitar 10 tahun sebelum ia wafat.[lvi] Selain dua karya utama tersebut, berikut adalah karya-karyanya
yang terhimpun dalam beberapa kategori. Karya yang berisi tentang metafisika
dan kosmologi ada tiga buah, yaitu Insyā’ al-Dawā’ir, Uqlah
al-Mustawfiẓ dan Tadbīrāt al-Ilāhiyyah.
Suatu
kumpulan karya Ibn ‘Arabī yang berisi
tentang pengalaman-pengalaman spiritual dan petunjuk-petunjuk abstrak maupun
praktis bagi penempuh jalan ruhani, tergabung dalam Rasā’il Ibn al-‘Arabī.
Diantaranya adalah kitab-kitab sebagai berikut:[lvii]
1. Kitāb al-Isrā’ (Perjalanan Malam). Ditulis pada tahun 1198 (594 H),
menggambarkan pendakian mistik dan pertemuan dengan realitas spiritual nabi di
tujuh lapis langit.
2. Ḥilyat al-Abdāl (Perhiasan Para Pengganti). Ditulis pada tahun 1203 (599 H) di
Thaif. Mengajarkan empat penopang jalan yaitu : penyendirian, diam, lapar dan
terjaga.
3. Risālat al-Anwār (Risalah Cahaya-cahaya). Ditulis pada tahun 1205 (602 H) di
Konya untuk memenuhi permintaan seorang sahabat. Mendeskripsikan
persoalan-persoalan spiritual mengenai pendakian non-stop melalui
berbagai tingkatan menuju kesempurnaan manusia.
4. Kitāb al-Fanā’ fī al-Musyāhadah. Ditulis di Baghdad pada tahun 1212 (608 H). merupakan
pemikiran mendalam atas surat ke 98. Mendeskripsikan pengalaman visi mistik.
5. Iṣṭilāhāt al-Ṣūfiyyah. Ditulis pada tahun 1218 (615 H) di Maltya. Terdiri dari 199
definisi singkat dari ekspresi penting yang lazim digunakan di antara
hamba-hamba Allah.
6. Karya-karya mengenai biografi para sufi yang
didup di zamannya adalah Rūḥ al-Quds (Ruh-ruh Suci) dan Al-Durrah
al-Fākhirah. Kedua kitab ini diterjemahkan dalam satu buku oleh R.W.J
Austin dan diberi judul Sufis of Andalusia.
7. Tarjumān al-Asywāq adalah karya Ibn ‘Arabī
yang mengundang penafsiran negarif tentangnya, karena dianggap sebagai
ekspresi dari cinta nafsu yang dipersembahkan untuk Niẓam. Tetapi kemudian
sebagai pembelaan bahwa itu merupakan ekspresi cinta terhadap Tuhan, Ibn
‘Arabī menulis Dzakhā’ir al-‘Alaq.
8. Kitāb al-Alīf, Kitāb al-Bā’, Kitāb al-Yā’, adalah seni karya-karya ringkas, menggunakan sistem penomoran
alfabetis. Dimulai di Yerusalem tahun 1204 (602 H), seri kitab ini membahas
prinsip-prinsip Ilahiyah yang berbeda-beda seperti: ketunggalan (Aḥadiyyah),
kasih (Raḥmān) dan cahaya (Nūr).
9. Fihrist al-Mu’allafah adalah katalog karya tulis yang dibuat Ibn ‘Arabī sendiri untuk
karya-karyanya yang memuat 248 karya. Ditulis pada tahun 1229/1230 (627 H) di
Damaskus untuk muridnya Ṣadr al-Dīn al Qūnawī.
Selain
karya-karya di atas, Ibn ‘Arabī memiliki
berbagai karya lain yang akan terlalu panjang untuk dituliskan semua. Beberapa
di antaranya adalah sebagai berikut:
-
Maṣādiq
al-Asrār al-Qudsiyyah
(Kontemplasi Misteri Kudus)
-
Anqa’
Mughrib (Burung Anqa’ di Barat)
-
Misykāt
al-Anwār (Relung Cahaya)
-
Mawāqi’
al-Nujūm (Letak Bintang-bintang)
-
Taj
al-Rasā’il (Mahkota
Risalah-risalah)
-
Kitāb
Jalāl wa al-Jamāl (Kitab Keagungan
dan Keindahan)
-
Kitāb
Tajalliyāt (Kitab Teofani), dan
-
Awrād
al-Usbū’ (Do’a untuk Seminggu).
[]
[i] Stephen Hirtenstein, Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn
‘Arabī , terj. Tri Wibowo (Jakarta:
Muria Kencana, 2001), hlm.43
[ii] Secara konsisten penulis
akan menggunakan sebutan Ibn ‘Arabī
saja, dengan alasan sebutan ini banyak dipakai dan mudah dalam ejaan.
[iii] Kautsar Azhari Noer, Ibn
Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995),
hlm.17
[iv] Stephen Hirtenstein, Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn
‘Arabī , terj. Tri Wibowo (Jakarta:
Muria Kencana, 2001), hlm. 44
[v] Stephen Hirtenstein, Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn
‘Arabī , terj. Tri Wibowo (Jakarta:
Muria Kencana, 2001), hlm. 47
[vi] Stephen Hirtenstein, Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn
‘Arabī , terj. Tri Wibowo (Jakarta:
Muria Kencana, 2001), hlm.51
[vii] Kautsar Azhari Noer, Ibn
Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995),
hlm.18
[viii] ibid.
[ix] Stephen Hirtenstein, Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn
‘Arabī , terj. Tri Wibowo (Jakarta:
Muria Kencana, 2001), hlm. 74
[x] Lihat: Kautsar Azhari Noer,
Ibn Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina,
1995), hlm. 18
[xi] Stephen Hirtenstein, Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn
‘Arabī , terj. Tri Wibowo (Jakarta:
Muria Kencana, 2001), hlm. 67
[xii] ibid., hlm. 52
[xiii] ibid., hlm. 67
[xiv] Claude Addas, Mencari
Belerang Merah, terj. Zaimul Am (Jakarta:
Serambi, 2004), hlm.57
[xv] ibid., hlm.69
[xvi] Claude Addas, Mencari
Belerang Merah, terj. Zaimul Am (Jakarta:
Serambi, 2004), hlm..59
[xvii] A. Rofi’ Usmani, Tokoh-tokoh
Muslim Pengukir Zaman (Bandung: Penerbit Pustaka, 1998), hlm.30
[xviii] Claude Addas, op.cit.,
hlm.95
[xix] Karya Ibn ’Arabī mengenai
kehidupan dan ajaran para sufi sezamannya adalah Ruh al-Quds dan Al-Durrah
al-Fakhirah. Nama Madyān disebut berkali-kali dalam Ruh al-Quds.
[xx] Lihat: R.W.J. Austin, Sufi-sufi
Andalusia, diterjemahkan dari Ruh
al-Quds dan Al-Durrah al-Fakhirah, terj. MS. Nasrullah (Bandung:
Mizan, 1994), hlm.148-149
[xxi] A. Rofi’ Usmani, Tokoh-tokoh
Muslim Pengukir Zaman (Bandung: Penerbit Pustaka, 1998), hlm.30
[xxii] Claude Addas, Mencari
Belerang Merah, terj. Zaimul Am (Jakarta:
Serambi, 2004), hlm.89
[xxiii] Stephen Hirtenstein, Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn
‘Arabī , terj. Tri Wibowo (Jakarta:
Muria Kencana, 2001), hlm.118. Selengkapnya Ibn ’Arabī mengabadikan Khiḍir
dalam Futuhat bab 25, tentang pengetahuan orang-orang terpilih dan
dianugerahi panjang umur.
[xxiv] Stephen Hirtenstein, Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn
‘Arabī , terj. Tri Wibowo (Jakarta:
Muria Kencana, 2001), hlm.120
[xxv] Lihat: Claude Addas, Mencari
Belerang Merah, terj. Zaimul Am (Jakarta:
Serambi, 2004), hlm.131; Perlu ditambahkan di sini bahwa Ibn ’Arabī tidak
memiliki saudara laki-laki dan ia sangat menyayangi kedua saudarinya ini.
[xxvi] Stephen Hirtenstein, op.cit.,
hlm.142-143
[xxvii] Stephen Hirtenstein, Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn
‘Arabī , terj. Tri Wibowo (Jakarta:
Muria Kencana, 2001), hlm.148-149
[xxviii] Claude Addas, Mencari
Belerang Merah, terj. Zaimul Am (Jakarta:
Serambi, 2004), hlm.223-224
[xxix] Stephen Hirtenstein, op.cit,
hlm.161
[xxx] A. Rofi’ Usmani, Tokoh-tokoh
Muslim Pengukir Zaman (Bandung: Penerbit Pustaka, 1998), hlm.30
[xxxi] A. Rofi’ Usmani, Tokoh-tokoh
Muslim Pengukir Zaman (Bandung: Penerbit Pustaka, 1998), hlm. 31
[xxxii] Ibn ’Arabī, Turjuman
al-Asywaq, Beirut
1961. Dikutip dari RW. J. Austin dalam Sufi-sufi Andalusia,
terj. MS. Nasrulloh (Bandung: Mizan, 1994), hlm.38 – 39
[xxxiii] A. Rofi’ Usmani, op.cit.,
hlm.30
[xxxiv] Peristiwa selengkapnya
dapat dilihat pada: Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud;
Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabī , terj. Tri
Wibowo (Jakarta:
Muria Kencana, 2001), hlm. 198 – 202.
[xxxv] ibid., hlm.205
[xxxvi] Lihat: Claude Addas, Mencari
Belerang Merah, terj. Zaimul Am (Jakarta:
Serambi, 2004), hlm.54; al-Khayyāṭ sendiri sekaligus juga adalah guru
al-Qur’ān Ibn ’Arabī sewaktu masih kecil. Mereka berdua adalah tetangga dekat).
[xxxvii] RW. J. Austin dalam Sufi-sufi
Andalusia, terj. MS. Nasrulloh (Bandung: Mizan,
1994), hlm. 234 – 236
[xxxviii] ibid., hlm. 43
[xl] Stephen Hirtenstein, Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn
‘Arabī , terj. Tri Wibowo (Jakarta:
Muria Kencana, 2001), hlm. 249
[xli] RW. J. Austin dalam Sufi-sufi
Andalusia, terj. MS. Nasrulloh (Bandung: Mizan,
1994), hlm. 50 – 51
[xlii] Kautsar Azhari Noer, Ibn
Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995),
hlm. 24
[xliii] RW. J. Austin dalam Sufi-sufi
Andalusia, terj. MS. Nasrulloh (Bandung: Mizan,
1994), hlm.50-51
[xliv] Willian C. Chittick, Dunia
Imajinal Ibn ‘Arabī; Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas
Agama, terj. Ahmad Shahid (Surabaya
: Risalah Gusti, 2001), hlm. 4
[xlv] Abu al Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Usmani (Bandung : Penerbit Pustaka,
1997) hlm. 1
[xlvi] H.A Rivay Siregar, Tasawuf
: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme (Jakarta : Rajawali Press, 1999) hlm.
55
[xlvii] H.A Rivay Siregar, Tasawuf
: Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme (Jakarta : Rajawali Press, 1999) hlm.
56
[xlviii] Abu al Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Usmani (Bandung : Penerbit Pustaka,
1997) hlm. 140
[xlix] ibid., hlm. 188
[l] A.E. Affifi, Filsafat
Ibn ‘Arabī , terj. Sjahrir Mawi dan Nandi. R (Jakarta : GMP, 1995), hlm. 6
[li] A. Rofi’ Usmani, Tokoh-tokoh
Muslim Pengukir Zaman (Bandung: Penerbit Pustaka, 1998), hlm.29
[lii] Kautsar Azhari Noer, Ibn
Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995),
hlm.25
[liii] Seyyed Hossein Nashr, Three
Muslim Sages (Delmar, New York : Carava Books, 1976), hlm. 97
[liv] Stephen Hirtenstein, Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn
‘Arabī , terj. Tri Wibowo (Jakarta:
Muria Kencana, 2001), hlm.353-360
[lv] Kautsar Azhari Noer, Ibn
Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995),
hlm. 25
[lvi] Kautsar Azhari Noer, Ibn
Al-‘Arabi; Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995),
hlm.25
[lvii] Semua kitab yang disebut
dikutip dari Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud; Ajaran
dan Kehidupan Spiritual Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabī , terj. Tri Wibowo (Jakarta: Muria Kencana,
2001), hlm.353-360
No comments:
Post a Comment