Monday, October 25, 2010

PELANGGARAN PIDANA ANAK-ANAK DALAM HUKUM PIDANA POSITIF

PELANGGARAN PIDANA ANAK-ANAK DALAM
HUKUM PIDANA POSITIF
Selengkapnya Click DISINI

A.     Beberapa Kriteria Anak dan Hukuman
1.      Pengertian Anak
Merujuk dari Kamus Umum Bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa.[1] Pengertian tersebut juga terdapat dalam Pasal 45 KUHP  disebutkan bahwa ”Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim boleh: memerintahkan, supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau memerintahkan, supaya si tersalah supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan; atau menghukum anak yang bersalah itu.” Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana adalah seseorang sebelum umur enam belas tahun. Namun dalam Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak disebutkan bahwa” Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (Delapan belas) tahun dan belum pernah kawin dan dikenal dengan sebutan anak nakal. Sebagaimana kutipan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) berbunyi:[2]
1. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Anak nakal adalah:
a.  Anak yang melakukan tindak pidana; atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
 Dengan diundangkannya Undang-undang ini, maka Pasal 45 KUHP tidak berlaku lagi. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 67 Undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang berbunyi ”pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.”
Batasan umur untuk anak sebagai korban pidana diatur dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak  dirumuskan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa anak yang berhak mendapat perlindungan hukum tidak memiliki batasan minimal umur.[3] Dari sejak masih dalam kandungan, ia berhak mendapatkan perlindungan.
Dalam Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang disebut Anak adalah:”seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”
Sedangkan dalam hukum perdata dijelaskan dalam Pasal 370 Bab Kelima Belas Bagian kesatu tentang Kebelumdewasaan Kitab Undang-undang Hukum  Perdata yang berbunyi lengkap pasalnya adalah sebagai berikut: ”Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin”.[4] Jadi anak adalah setiap orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Seandainya seorang anak telah menikah sebelum 21 tahun kemudian ia bercerai atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum ia genap 21 tahun, maka ia tetap dianggap sebagai orang yang telah dewasa bukan anak-anak. pengertian anak menurut ketentuan Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mempunyai dua syarat, yaitu :
a.       Orang atau anak itu ketika dituntut haruslah belum dewasa, yang dimaksud belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin. Jika seorang kawin dan bercerai sebelum berumur 21 tahun, maka ia dianggap sudah dewasa.
b.       Tuntutan itu mengenai perbuatan pidana pada waktu ia belum berumur 16 tahun.
Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak, karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. Mengetahui batasan umur anak-anak, terjadi keberagaman diberbagai negara yang mengatur tentang usia anak yang dapat dihukum. Di negara Swiss batas usia anak yang dapat dihukum bila telah mencapai usia 6 tahun, di Jerman 14 tahun sehingga dikenal dengan istilah ist muchtstraf bar atau can be guilty of any affence yang berarti di atas umur tersebut relatif dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya seperti orang dewasa yang mendapat putusan berupa tindakan maupun pidana yang bersifat khusus.[5]
Bismar Siregar, dalam bukunya menyatakan bahwa dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis diterapkan batasan umur yaitu 16 tahun atau 18 tahun ataupun usia tertentu yang menurut perhitungan pada usia itulah si anak bukan lagi termasuk atau tergolong anak tetapi sudah dewasa.[6]
Membicarakan sampai batas usia berapa seseorang dapat dikatakan tergolong anak, ternyata banyak Undang-undang yang tidak seragam batasannya, karena dilatarbelakangi dari maksud dan tujuan masing-masing Undang-undang itu sendiri. Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang disebut anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 butir 2).[7] Kemudian dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa membatasi usia anak di bawah kekuasaan orang tua dan di bawah perwalian sebelum mencapai umur 18 tahun (Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1)).[8] Dalam Undang-undang Pemilihan Umum yang dikatakan anak adalah belum mencapai umur 17 tahun (Pasal 9 ayat (1)).[9] Sedangkan dalam Undang-undang Peradilan Anak ditentukan batas minimal dan maksimal usia anak nakal yaitu sekurang-kurangnya 8 tahun dan maksimal umur 21 tahun serta belum pernah kawin (Pasal 1 ayat (1) dan (2)).[10]
Tentang pengertian anak, selain menurut batasan umur, anak digolongkan berdasarkan hubungan dengan orang tua yaitu:[11]
1.  Anak kandung adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat ikatan perkawinan yang sah.
2. Anak tiri adalah anak yang bukan terlahir dari kedua orang tua yang sama misalnya si istri tergolong janda dan ia membawa anak dari suami pertama, atau sebaliknya si pria adalah duda yang membawa anak dari istri pertama. Kedudukan anak seperti demikian pada umumnya tidak sama di mata kedua orang tua, baik dalam curahan kasih sayang maupun dalam berbagi harta warisan dikemudian hari.
3. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkanadari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 butir 9 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
4. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang secara wajar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 10 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

     2. Pengertian Hukuman
            Berbicara tentang hukum maka hukum terbagi menjadi yaitu hukum privat dan hukum publik yang mana hukum pidana termasuk di dalam hukum publik. Hal ini berlaku dewasa ini. Dahulu di Eropa yang juga di Indonesia, tidaklah dipisah-pisahkan antara kedua hukum itu, sehingga gugatan baik yang termasuk di dalam hukum publik sekarang ini maupun yang termasuk hukum privat dijatuhkan oleh pihak-pihak yang dirugikan.
            Istilah hukuman ini berasal dari kata straf yang merupakan istilah yang sering digunakan sebagai sinonim dari istilah pidana. Istilah hukuman yang merupakan umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas.[12] Yang dimaksud dengan pidana (hukuman) ialah, perasaan tidak enak (penderitaan sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan fonis pada orang yang melanggar undang-undang hukum pidana.[13] Dalam hal yang demikian digunakan istilah hukuman dalam arti sempit yaitu hukuman dalam perkara pidana dan bukan dalam perkara-perkara lain seperti hukuman yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara perdata dan juga bukan hukuman terhadap pelanggar di luar Undang-undang.
Sebagai gambaran pengertian hukuman, perlulah kiranya diperhatikan definisi-definisi yang dipaparkan oleh para ahli maupun sarjana hukum, yang di antaranya selain menjelaskan tentang hukuman juga menjelaskan perbedaannya dengan pengertian pidana dan yang berhubungan dengannya.
Penghukuman sering kali sinonim dengan pemidanaan yang mana hal ini sesuai dengan yang dipaparkan Sudarto, yaitu :
Penghukuman berasal dari kata hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman di sini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.[14]
Dari pandangan Sudarto tersebut bahwa penghukuman merupakan sinonim dari pemidanaan maka, juga berdasarkan atas uraian dalam kamus bahasa Indonesia, disini digunakan istilah hukuman dalam arti yang khusus yaitu penderitaan yang diberikan kepada seseorang yang melanggar undang-undang, yang dijatuhkan oleh hakim. Hal ini disebabkan tidak adanya atau belum ada kesepakatan terhadap masalah hukuman ini, yang mana sering ditemukan kata-kata hukuman 10 tahun penjara dan kadang didapati kata-kata dipidana 10 tahun penjara, juga tidak bisa dikatakan bahwa  tidak ada sarjana yang tidak membedakan arti dari hukuman dengan pidana.
Sedangkan menurut Andi Hamzah, bahwa hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau penderitaan atau suatu nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang.[15]
Lebih jauh lagi penuturan Tirtaamidjaja, bahwa hukuman adalah suatu penderitaan, yang dikenakan oleh hakim kepada si terhukum karena melanggar suatu norma hukum.[16] Dan bahwa hukuman sebagai sanksi dari suatu norma hukum tertentu adalah tanda dari hukum pidana itu, yang membedakannya dari bagian-bagian hukum yang lain.
Hukuman adalah siksa dan sebagainya yang diletakkan pada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya; keputusan yang dijatuhkan hakim.
Demikianlah pendapat para sarjana dan para ahli hukum positif memberikan pendapatnya mengenai pengertian dari hukum itu, yang meskipun didapati dari berbagai pandangan itu berbeda satu sama lain, namun pada dasarnya sama dalam hal pemberian suatu derita dari hukum pidana.
Adapun yang dimaksud dengan hukum anak adalah sekumpulan peraturan hukum, yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak itu, meliputi: sidang pengadilan anak, Anak sebagai pelaku tindak pidana, Anak sebagai korban tindak pidana, Kesejahteraan Anak, Hak-hak Anak, Pengangkatan Anak, Anak Terlantar, Kedudukan Anak, Perwalian, Anak Nakal, dan lain sebagainya.[17]

B. Perbuatan Anak yang Dianggap sebagai Suatu Pelanggaran
Secara umum, perbuatan-perbuatan anak yang secara yuridis dikategorikan melawan hukum dapat diidentifikasi dari rumusan pengertian tentang kenakalan anak.
Ada beberapa pasal yang menggariskan tentang kenakalan anak ahli hukum dan mantan Hakim Agung Republik Indonesia 1968, Sri Widoyati Lokito, memberikan definisi kenakalan remaja dengan semua perbuatan yang dirumuskan dalam perundang-undangan dan perbuatan lainnya yang pada hakekatnya merugikan masyarakat yang harus dirumuskan secara terperinci dalam undang-undang Peradilan Anak.[18]
Dalam Undang-undang Peradilan Anak Pasal 1 ayat (2) menggunakan istilah anak nakal, sedang pengertian anak adalah anak yang melakukan tindak pidana atas anak yang  menurut peraturan baik perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain menyimpang dari aturan yang ditetapkan dan peraturan tersebut hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pemaparan tersebut melahirkan kesimpulan bahwa unsur dari perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah:
  1. Perbuatan dilakukan oleh anak-anak
  2. Perbuatan itu melanggar aturan atau norma
  3. Perbuatan itu merugikan bagi perkembangan si anak tersebut.
Ketiga unsur di atas harus dipenuhi untuk dapat diklasifikasikan sebagai suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak.
 Bentuk-bentuk kenakalan anak yang didasarkan pada berbagai pengertian tentang kenakalan anak yang dikemukakan oleh para pakar, misalnya oleh Moedikdo, setidaknya terdapat tiga kategori perbuatan yang masuk dalam klasifikasi kenakalan anak atau Juvenile Delinquency, yaitu sebagaimana dikutip B. Simanjuntak:[19]
1.      Semua perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa sementara perbuatan itu menurut ketentuan hukum normatif adalah perbuatan pidana, seperti mencuri, menganiaya dan lain sebagainya.
2.      Semua perbuatan atau perilaku yang menyimpang dari norma tertentu atau kelompok tertentu yang dapat menimbulkan kemarahan dalam masyarakat.
3.      Semua aktifitas yang pada dasarnya membutuhkan perlindungan sosial, semisal gelandangan, mengemis dan lain sebagainya.
Lebih jelas lagi, bentuk-bentuk kenakalan anak dapat disebutkan sebagai berikut:[20]
1.      Kebut-kebutan di jalan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan diri sendiri serta orang lain.
2.      Perilaku ugal-ugalan yang mengacaukan ketenteraman masyarakat sekitar.
3.      Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku, dan kadang-kadang membawa korban jiwa.
4.      Membolos sekolah lalu bergelandang di sepanjang jalan.
5.      Kriminalitas seperti; mengancam, memeras, mencuri, mencopet, membunuh dan lain sebagainya.
6.      Berpesta pora sambil mabuk-mabukan.
7.      Pemerkosaan, agresifitas seksual dan pembunuhan dengan motif seksual.
8.      kecanduan bahan-bahan narkotika.
9.      Tindakan-tindakan imoral, seksual secara terang-terangan dan kasar
10.  Homo seksualitas, erotisme, anal dan oral.
11.  Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan
12.  Komersialisasi seks, pengguguran janin dan pembunuhan bayi
13.  Tindakan radikal dan ekstrim.
14.  Perbuatan asosial lain disebabkan oleh gangguan kejiwaan
15.  Tindakan kejahatan disebabkan karena penyakit tidur atau karena luka pada otak.
16.  Penyimpangan tingkah laku yang disebabkan karena organ-organ yang inferior.
Sementara bila ditinjau dari sudut pandang normatif, yaitu berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum pidana positif, maka bentuk-bentuk kenakalan anak dapat disebutkan sebagai berikut:
1.      Kejahatan-kejahatan kekerasan berupa pembunuhan dan penganiayaan.
2.      Pencurian, berupa pencurian biasa dan pencurian penggelapan.
3.      Penggelapan.
4.      Penipuan.
5.      Perampasan.
6.      Gelandangan.
7.      Anak sipil.
8.      Penyalahgunaan obat terlarang (narkoba)
Keseluruhan bentuk kenakalan anak baik yang diklasifikasikan berdasarkan definisi maupun berdasarkan rujukan normatif (ketentuan hukum pidana) tersebut selanjutnya dapat dibagi dalam 4 jenis, yaitu:
1. kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain seperti   perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan sebagainya.
2. kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti perusakan, pencurian, pencopetan dan sebagainya.
3. kenkalan sosial yang tidak menimbulkan korban pihak orang lain, seperti pelacuran dan penyalahgunaan obat terlarang (narkoba)
4. kenakalan yang melawan status, seperti mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau tidak taat atau membantah perintah dan sebagainya.

C. Ketentuan Pemidanaan
Menurut Sri Widoyati Lokito, banyak yang mempengaruhi pemidanaan yang terdapat dalam Undang-undang, yaitu:[21]
a.       Hal-hal yang memberatkan pemidanaan
Hal-hal yang memberatkan pemidanaan dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu:
1)      kedudukan sebagai pejabat
Menurut Pasal 52 KUHP, apabila seorang pejabat karena melakukan tindak pidana dari jabatannya, maka kesempatan atau sarana yang diberikan padanya karena jabatannya, pidananya ditambah sepertiganya . misalnya seorang agen polisi diperintah untuk menjaga uang Bank Negara Indonesia, jangan sampai dicuri orang tetapi ia sendiri yang melakukan pencurian atas uang itu, di sini dia melanggar kewajiban yang istimewa dalam jabatannya, maka pidananya dapat ditambah sepertiganya.
2)      Pengulangan tindak pidana (Recidive)
Barangsiapa yang melakukan tindak pidana dan dikenakan pidana, kemudian dalam waktu tertentu diketahui melakukan tindak pidana lagi, dapat dikatakan pelakunya mempunyai watak yang buruk. Oleh karena itu, undang-undang memberikan kelonggaran kepada hakim untuk mengenakan pidana yang lebih berat. Menurut hukum pidana modern, recidive itu dibedakan menjadi dua, yaitu : recidive kebetulan atau pelaku kejahatan yang mengulangi kejahatannya karena terpaksa seperti karena tuntutan ekonomi dan ada istilah recidive biasa yaitu pelaku kejahatan yang melakukan kejahatannya karena merupakan suatu kebiasaan recidive biasa inilah yang harus diperberat pemidanaannya.
b.      Hal-hal yang meringankan pemidanaan
1)                  Percobaan (poging)
Dalam Pasal 53 KUHP terdapat unsur-unsur dari delik percobaan, yaitu:
a.       Harus ada niat
b.      Harus ada permulaan pelaksanaan
c.  Pelaksanaan itu tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak   sendiri
      Ancaman pidana itu hanya ditujukan terhadap percobaan kejahatan, sedangkan untuk percobaan pelanggaran tidak bisa dikenakan pidana.
1)      Pembantuan (medepllichtige)
      Menurut Pasal 56 KUHP, barangsiapa yang sengaja membantu melakukan kejahatan dan memberi kesempatan dengan upaya atau keterangan untuk                            melakukan kejahatan dalam hal pembantuan maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga. Dan bila diancam dengan penjara seumur hidup, maka maksimum hukumannya 15 tahun.
2)      Belum cukup umur (Minderjarig)
      Belum cukup umur (minderjarig) merupakan hal yang meringankan pemidanaan karena usia yang masih muda belia itu kemungkinan sangat besar dapat memperbaiki kelakuannya dan diharapkan kelak bisa menjadi warga yang baik dan berguna bagi nusa dan bangsa.
            Dalam hubungannya dengan pertanggungjawaban pidana timbul pertanyaan, apakah setiap anak yang bersalah melakukan suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan? pada mulanya, sistem pertanggungjawaban bagi anak-anak didasarkan kepada kemampuan bertanggung jawab, sistem yang mendasarkan kepada kemampuan bertanggung jawab dan batas usia tertentu bagi seseorang anak, tidak dianut lagi dalam hukum pidana di Indonesia dewasa ini. Namun yang dianut sekarang adalah sistem pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa semua anak asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggung jawab dan dapat dituntut.
            Bagi anak yang mampu bertanggung jawab masih tetap dimungkinkan untuk tidak dipidana, terutama bagi anak yang masih sangat muda. Namun tidak harus diartikan bahwa Undang-undang masih membedakan antara yang mampu dan tidak mampu bertanggung jawab.
Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan. Dengan menyimak Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) diatur pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal.
1. Pidana Pokok
            Ada beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, yaitu:
a.       pidana penjara
b.      pidana kurungan
c.       pidana denda, atau
d.      pidana pengawasan.
2. Pidana Tambahan
            Pidana tambahan terdiri dari:
a.  perampasan barang-barang tertentu
b. pembayaran ganti rugi.
3. Tindakan
               Beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal (Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997) adalah:[22]
a.       mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh,
b.      menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja,
c.       menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Selain tindakan tersebut, hakim dapat memberi teguran dan menetapkan syarat tambahan.
Penjatuhan tindakan oleh hakim dilakukan kepada anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain.
Dalam segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang telah melampaui umur di atas 12 (dua belas) tahun dijatuhkan pidana. Hal itu mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.       
Sedang rumusan pengenaan tindakan terhadap anak menurut Pasal 132 rancangan KUHP adalah:
1. pengembalian kepada orang tua, wali atau pengasuhnya,
2. penyerahan kepada pemerintah atau seseorang,
3. keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau suatu badan swasta,
4. pencabutan surat izin mengemudi,
5. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana,
6. perbaikan akibat tindak pidana,
7. rehabilitasi dan atau
8. perawatan di dalam suatu lembaga.
4. Pidana Penjara
Berbeda dengan orang dewasa, pidana penjara bagi anak nakal lamanya ½ (satu perdua) dari ancaman pidana orang dewasa atau paling lama 10 (sepuluh) tahun. Terhadap anak nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati maupun pidana seumur hidup. Dan sebagai gantinya adalah dijatuhkan salah satu tindakan.[23]
5. Pidana Kurungan
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal maksimal setengah dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi dewasa. Mengenai apakah yang dimaksud maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa, adalah maksimum ancaman pidana kurungan terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP atau Undang-undang lainnya (penjelasan Pasal 27).[24]
6. Pidana Denda
Seperti pidana penjara dan pidana kurungan maka penjatuhan pidana denda juga dijatuhkan setengah dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. Bila denda itu tidak dapat dibayar, maka wajib diganti dengan latihan kerja selama 90 hari dengan jam kerja tidak lebih dari 4 jam sehari dan tidak boleh dilakukan di malam hari. Tentunya hal demikian mengingat pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak serta perlindungan anak.[25]


7. Pidana Bersyarat
      Garis besar ketentuan pidana bersyarat bagi anak nakal sesuai dengan rumusan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah:[26]
1.      Pidana bersyarat dapat dijatuhkan, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun, sedangkan jangka waktu masa pidana bersyarat adalah paling lama 3 (tiga) tahun.
2.      Dalam putusan pidana bersyarat diberlakukan ketentuan berikut.
a.  Syarat umum, yaitu anak nakal tersebut tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat.
b. Syarat khusus, yaitu untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.
3.      Pengawasan dan bimbingan
a.       Selama menjalani masa pidana bersyarat, jaksa melakukan pengawasan dan bimbingan kemasyarakatan melakukan bimbingan agar anak nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan.
b.      Anak nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh balai pemasyarakatan berstatus sebagai klien pemasyarakatan.
c.       Selama anak nakal berstaus sebagai klien pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah.


8. Pidana Pengawasan
Pidana pengawasan adalah pidana khusus yang dikenakan untuk anak yakni pengawasan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.
Anak nakal yang diputus oleh hakim untuk diserahkan kepada negara di tempatkan di lembaga pemasyarakatan anak sebagai anak negara, dengan maksud untuk menyelamatkan masa depan anak atau bila anak menghendaki anak dapat diserahkan kepada orang tua asuh yang memenuhi syarat.[27]






[1] W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka: Armico, 1984), hlm. 25.
[2] Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang Peradilan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 3.
[3] Redaksi Citra Umbara, Undang-undang RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (Bandung: Citra Umbara, 2003), hlm. 4.
[4] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek: Dengan Tambahan UU Pokok Agraria dan UU Perkawinan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), hlm. 76.
[5] Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, Indonesia, 1982), hlm. 147.
[6] Bismar Siregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 105.
[7] Redaksi Sinar Grafika, UU Kesejahteraan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm. 52.
[8] Redaksi Bumi Aksara, Undang-undang Pokok Perkawinan, cet. ke-3, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 39.
[9] S. Sapto Aji, UU RI. No. 1 Tahun 1995 tentang Pemilihan Umum, cet. ke-3, (Semarang: Aneka Ilmu, 1986), hlm. 4.
[10] Redaksi Sinar Grafika, UU Kesejahteraan Anak, hlm. 52.
[11] Bismar Siregar, Telaah tentang Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Wanita, (Yogyakarta: Pusat Studi Kriminologi F. H. UII, 1986), hlm. 3 lihat juga Pasal 42 UU No. 1 tahun 1974 tentang  Perkawinan.
[12] Niniek Suparni, Existensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, cet. ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 11.
[13] R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, t. t.), hlm. 12.
[14] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. ke-2, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hlm. 71-72.
[15] Sedangkan pidana, yang mana Andi Hamzah berusaha membedakan kedua istilah tersebut, adalah merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana,
[16] Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fusco, 1955), hlm. 122.
[17] Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 1.
[18] Sri Widoyati, Kenakalan  Anak., hlm. 17.
[19] B. Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja, (Bandung: Alumni, 1973), hlm. 76.
[20] Kartini Kartono, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali, 1992), hlm. 21-23.
[21] Sri Widoyati Lokito, Kenakalan Anak.,
[22] Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 27.
[23] Ibid., hlm. 29.
[24] Ibid.
[25] Ibid., hlm. 30.
[26] Redaksi Sinar Grafika, Undang-undang No.3 ., hlm.
[27] Bambang Waluyo, Pidana., hlm. 31.

No comments: