Sunday, March 27, 2011

GADAI MENURUT HUKUM ISLAM


GADAI MENURUT HUKUM ISLAM

Selengkapnya Download> DISINI
A.     Pengertian dan Dasar Hukum Gadai
1.      Pengertian
Kata gadai dalam bahasa Arab disebut dengan ar-Rahn. Kata tersebut menurut arti aslinya adalah as-S|a>bit ( tetap atau lestari ). Kata ar-Rahn adalah bentuk masdar dari : [1]رهـن -  يـر هـن -  رهـنـا    yang artinya menggadaikan atau menungguhkan. Di kalangan ulama sepakat dalam merumuskan pengertian   رهـن dari segi bahasa mempunyai dua makna yaitu الـثـبـوت و الـد وا م   yang berarti tetap dan kekal. Sedangkan arti lainnya الحـبـس  (menahan)[2]. Seperti dinyatakan dalam Al-Quran
ولم تـجتد وا كا تـبـافـرهـن مـقـبـوضـة[3]                                                                  
Sedangkan pengertian gadai menurut istilah, mereka berbeda pendapat, as-Sayyid Sa>biq mengemukakan bahwa gadai menurut istilah adalah :


جـعـل عـيـن لـهـا قـيمـة مـا لـيـة في نـظـر الـثـرع و ثـيـقـة بـد ين بحـيـث يـمكـن أحـد ذ لك  الـد يـن أو أحـد بـعـضـه مـن تلك الـعين[4]                                                                           
Maksudnya adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil seluruh atau sebagian hutang tersebut karena adanya barang. Pengertian yang lain terdapat dalam kitab al-Mugni yang disusun oleh Imam Ibnu Qudamah sebagai berikut :
االمـال الـذي يـجـعـل و تـيـقـة بالـد ين لـيـسـتـونـي مـن ثـمـنـه إن تـعـذ ر إسـتيفـاوْه مـمـن هـو عـلـيـه[5]                                                                                                      
Bahwa yang dimaksud dengan gadai yaitu suatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, maka benda itu dapat dijadikan alat pembayar hutang.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, gadai menurut istilah ialah :
Menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang; dengan adanya benda yanmg menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[6]

Dari defenisi-defenisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan gadai ( ر هـنـا ) adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, dalam arti seluruh hutang atau sebagiannya dapat diambil sebab sudah ada barang jaminan tersebut, dan dapat dijadikan pembayaran hutang jika hutang itu tidak dapat dibayar.
Gadai menurut syari’at Islam berarti penahanan atau pengekangan. Sehingga dengan akad gadai menjadikan kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama. Yang punya hutang bertanggung jawab untuk melunasi hutangnya, sedangkan orang yang berpiutang bertanggung jawab untuk menjamin keutuhan barang jaminan. Apabila hutang itu telah dibayar, maka penahanan atau pengekangan oleh sebab akad itu menjadi lepas. Sehingga keduanya bebas dari tanggung jawab masing-masing.
Jika seseorang ingin berhutang kepada orang lain, maka ia menjadikan barang miliknya baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak atau berupa ternak yang berada dalam kekuasaannya sebagai jaminan sampai ia melunasi hutangnya. Pada dasarnya barang jaminan tetap dipegang oleh penerima gadai, tetapi apabila terjadi kesepakatan diantara kedua pihak (pemberi dan penerima gadai) maka barang gadai dapat diserahkan kepada orang lain yang adil dan mampu menjaga amanah[7]. Pemilik barang (yang berutang) disebut Rahn (yang menggadaikan) sedangkan penerima barang (pemberi gadai) disebut murtahin dan barang yang digadaikan adalah ruhn atau marhun.

2.      Dasar hukum Gadai
Gadai merupakan perbuatan yang halal dan dibolehkan bahkan termasuk perbuatan yang mulia karena mengandung manfaat yang sangat besar dalam pergaulan hidup manusia di dunia ini. Sebagaimana halnya dengan jual beli yang merupakan faktor yang sangat penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia, sebagaiman firman Allah :
و إن كـنـتم عـلي سـفـرولـم تـجـدواكا تـبـا فـر هـن مـقـبـو ضـة فـإ ن أمـن بـعـضـكـم بـعـضـا فـلـيـوْدالـذي اوْ تمن أمنته وليتق الله ربه ولاتكـتموا الـشـهادة ومـن يـكـتمـها فإنه أثم قلبـه و الله بـما تـعـلـمـون عـلـيم[8]                                                                 
Dengan ayat di atas, ulama sepakat bahwa gadai dibolehkan dalam keadaan bepergian..
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa Allah memerintahkan kepada pihak-pihak yang mengadakan perjanjian saat dalam perjalanan tetapi tidak mampu menyediakan seseorang yang bertugas mencatat perjanjian tersebut, untuk memperkuat adanya perjanjian, pihak yang berhutang harus menyerahkan barang gadai kepada pihak yang menghutangi. Ini dilakukan agar mampu menjaga ketenangan hatinya, sehingga tidak mengkhawatirkan atas uang yang diserahkan kepada rahin.
Dasar hukum lainnya adalah hadis Nabi SAW. Yang berbunyi sebagai berikut :
إشـتـري مـن يـهـو دي طـعـامـا إلي أجـل ورهـنـه د ر عـه[9]                                 
Hadis ini merupakan dasar bagi ulama yang membolehkan gadai dalam keadaan mukim (tidak musafir) karena peristiwa itu terjadi pada saat nabi berada di tempat.
Sunnah yang berfungsi sebagai penjelasan dari al-Qur’an memberikan ketentuan-ketentuan umum hukum muamalah, bahwa gadai adalah cara mendapatkan rezki yang halal, maka hadis nabi banyak yang menerangkan perincian tentang gadai tersebut, seperti: mengenai biaya dan pemanfaatan barang gadai baik yang bergerak maupun barang tetap.
Dalam melakukan akad gadai hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum muamalah, prinsip yang dimaksud adalah :
a.       Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
b.      Muamalah dilaksanakan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
c.       Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
d.      Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghidari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan[10].
Salah satu prinsip diatas sesuai dengan kaidah ushul fiqh yaitu :
الأصـل في الاشــيـاء الإبــاحــة[11]                                                 
Dari uraian di atas dapat ditarik pengertian bahwa sumber hukum muamalah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, selain itu manusia diperbolehkan juga untuk mengatur bentuk-bentuk muamalah yang berkembang dalam masyarakat asal tidak bertentangan dengan nash.
Sumber hukum gadai, selain al-Qur’an dan as-Sunnah, yang diperbolehkan untuk dijadikan pegangan adalah adat istiadat yang merupakan kebutuhan masyarakat yang bersifat positif.

B.     Mekanisme Pelaksanaan Gadai Menurut Hukum Islam
Dalam melaksanakan gadai ada beberpa mekanisme yang harus diperhatikan atau dipenuhi, apabila mekanisme tersebut sudah dipenuhi maka pebuatan tersebut dapat dikatakan sah, begitu juga halnya dengan gadai. Mekanisme-mekanisme tersebut disebut dengan rkun. Oleh karena itu gadai dapat dikatakan sah apabila terpenuhi rukun-rukunnya. Selanjutnya rukun itu diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pula. Jadi jika rukun-rukun tersebut tidak terpenuhi syarta-syaratnya, maka perjanjian yang dilakukan dalam hal ini gadai dinyatakan batal.
Dalam kitab al-Fiqh ‘Ala> al-Maza>hib al-Arabi’ah dinyatakan bahwa rukun gadai itu ada tiga yaitu :
1.      Aqid (orang yang melakukan akad) yang meliputi :
a.       Ra>hin, yaitu orang yang menggadaikan barang (penggadai)
b.      Murtahin, yaituorang yang berpiutang, yang memerihara barang gadai sebagai imbalan uangyang dipinjamkan (penerima gadai).
2.      Ma’qu>d ‘alaih (yang diakadkan) yang meliputi dua hal yaitu :
a.       Marhu>n (barang yang digadaikan).
b.      Marhu>n bih (hutang yang karenanya diadakn gadai).
3.      Si>gah (akad gadai).[12]
Sedangkan menurut DR. Wahab az-Zuhaili mengatakan bahwa rukun gadai itu adalah :
1.      Sigat akad ( I>ja>b qa>bu>l)
2.      Aqid (Penggadai dan penerima gadai).
3.      Marhu>n (barang gadaian).
4.      Marhu>n bih (hutang)[13].
Dalam rukun gadai Abu Hanifah hanyan mensyaratkan ijab qabul saja yang merupakan rukun akad. Beliau berpendapat bahwa ijab qabul merupak hakekat dari akad.[14]

Ad. I, Sigat Akad.
Yang dimaksud dengan sigat akad yaitu  dengan cara bagaimana ijab qabul yang merupakan rukun akad itu dinyatakan.
Ahmad Azhar Basyir mengatakan :
Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara’, yang merupakan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.[15]

Gadai belum dinyatakan sah apabila belum ada ijab dan qabul, sebab dengan adanya ijab dan qabul menunjukkan kepada kerelaan atau suka sama suka dari pihak yang mengadakan transaksi gadai. Suka sama suka tidak dapat diketahui kecuali dengan perkataan yang menunjukkan kerelaan hati dari kedua belah pihak yang bersangkutan, baik itu perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan yang dapat diketahui maksudnya dengan adanya kerelaan, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Hasbi ash-Shiddieqiy :
Akad adalah perikatan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak. Gambaran yang menerangkan maksud diantara kedua belah pihak itu dinamakan ijab dan qabul. Ijab adalah permulaan penjelasan yang terbit dari salah seorang yang berakad, untuk siapa saja yang memulainya. Qabul adalah yang terbit dari tepi yan lain sesudah adanya ijab buat menerangkan persetujuannya.[16]

Sigat dapat dilakukan dengan lisan , tulisan atau syarat yang memberikan pengertian dengan jelas tentang adanya ijab qabul dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul.[17]
 a. Sigat secara lisan.
Merupakan cara alami seseorang untuk mengutarakan keinginannya, oleh karena itu akad dipandang sah apabila ijab qabul dinyatakan secara lisan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun mengenai bahasa tidak terikat oleh aturan khusus asal dapat dimengerti dan dipahami oleh pihak-pihak yang melakukan akad, agar tidak menimbulkan perselisihan ataupun sengketan dikemudian hari.           
b. Sigat akad dengan tulisan.
    Metode lain yang dilakukan oleh orang untuk menyatakan keinginannya adalah dengan tulisan. Jika kedua belah pihak tidak berada ditempat, maka transaksi dapat dilakukan melalui surat. Ijab akan terjadi setelah pihak kedua menerima dan membaca surat tersebut. Apabila dalam ijab tersebut tidak disertai dengan pemberian tenggang waktu, maka qabul harus segera dilakukan dalam bentuk tulisan atau surat. Apabila disertai  tenggang waktu, qabul supaya dilakukan sesuai dengan lamanya  tenggang waktu tersebut.[18]
c. Sigat akad dengan isyarat.
    Ini berlaku bagi mereka yang tidak dapat bicara atau bisu dan tidak dapat menulis. Jika orang tersebut dapat menulis, maka hendaknya dilakukan dengan menulis saja, karena keinginan yang dinyatakan dengan tulisan menyakinkan daripada dinyatakan dengan isyarat.
d. Akad dengan perbuatan.
    Jumhur ulama mengatakan bahwa syarat sahnya gadai adalah hendaknya dalam akad gadai tidak ditetapkan suatu syarat yang bertentangan dengan tujuan akad gadai itu.

Ad. 2. Aqid (Subyek gadai).
Yaitu orang yang melakukan akad, dalam hal ini penggadai dan penerima gadai. Untuk sahnya gadai kedua belah pihak harus mempunyai keahlian (kecakapan) melakukan akad yakni baliq, berakal dan tidak mah}ju>r ‘alaih (orang yang tidak cakap bertindak hukum). Maka akad gadai tidak sah jika pihak-pihak yang bersangkutan orang gila atau anak kecil yang belum tamyiz, berdasarkan hadis Nabi saw. yang berbunyi :
ر فع القلم عن ثلاثة : عـن الـنـا ءـم حـتي يـسـتـيـقـظ و عـن الـصـغـيـر حـتي يـكـبـروعـن الـمـجـنـو ن حـتي يـعـقـل أو يـفـيـق.[19]         
Imam asy-Syafi’I melarang gadai yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang bodoh secara mutlak, walaupun mendapat izin dari walinya, atas pertimbangan bahwa wali boleh membelanjakan harta mah}ju>r ‘alaih dengan digadaikan karena dua hal yaitu :
a.      Dalam keadaan darurat yang sangat menghendaki dilakukan gadai. Dengan syarat wali tidak mendapatkan biaya itu selain mengadaikan harta mah}ju>r ‘alaih.
b.      Gadai itu mengandung kemaslahatan bagi mah}ju>r ‘alaih.[20]
Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berbeda pendapat yakni tidak mensyaratkan bagi akid baliq. Oleh sebab itu menurut beliau gadainya anak kecil yang sudah tamyiz dan orang dewasa bodoh yaitu dua orang yang sudah tahu arti muamalah, dengan syarat adanya persetujuan walinya.[21]

Ad. 3. Marhu>n (obyek gadai)
Untuk lebih jelasnya barang gadai disyaratkan :
a.   Merupakan benda bernilai menurut ketentuan hukum Islam yaitu benda yang dapat diambil manfaatnya secara biasa, bukan paksaan dan secara riil telah menjadi hak milik seseorang, misalnya : pakarangan, rumah dan lain sebagainya.[22]
            Sebagaimana jual beli syarat marhun harus suci dan bukan barang najis serta halal dipergunakan. Oleh sebab itu tidak sah menggadaikan barang najis seperti kulit bangkai meski sudak disamak, juga menggadaikan babi dan anjing karena hewan tersebut tidak sah diperjualbelikan.
b.   Barang tersebut dapat dimanfaatkan.
Imam as-Syafi’I mengatakan sebagai berikut :
Barang gadai dapat diambil manfaatnya menurut syara’ meskipun pada saat yang akan datang, seperti hewan yang masih kecil, dia boleh digadaikan sebab nantinya dapat diambil manfaatnya.[23]
Setiap barang yang boleh diperjualbelikan, boleh juga dijadikan barang jaminan (digadaikan), kecuali manfaatnya. Oleh karena itu tidak menggadaikan manfaat hak jalan.
c.       Marhun berupa barang.
Karena tidak boleh menggadaikan dengan pemanfaatan, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga tidak sah menggadaikan hutang piutang, karena tidak jelas bendanya.
d.      Marhun adalah milik orang yang melakukan akad, baik barang maupun manfaatnya.[24]
Salah satu persyaratan barang dagangan yang ditentukan oleh fuqaha ialah barang itu harus diserah terimakan, jadi barang yang tidak ada, tidak dapat diserah terimakan, agar terhindar dari unsur-unsur penipuan.
Jadi barangnya harus ada dalam kekuasaannya, dengan demikian burung di udara, ikan di laut, binatang yang di hutan dan sebagainya tidak memenuhi syarat untuk dijadikan obyek akad.
Gadai merupakan bagian dari Mu’amalah, oleh karena itu gadai juga mengutif prinsip-prinsip muamalah antara lain :
1.      Dilaksanakan dengan memelihara keadilan, menghindar dari unsur-unsur penganiayaan.
2.      Dilakukan atas dasar suka sama suka.[25]

Ad. 4. Marhu>n bih. (hutang).
Yang dimaksud marhu>n bih yaitu hutang yang karenanya diadakan gadai. Adapun syarat-syaratnya adalah :
a. Penyebab penggadaian adalah hutang.
b. Hutang sudah tetap.
c. Hutang itu tetap seketika atau yang akan datang.
Oleh karenanya, sah gadai sebab harga masih masa khiyar, juga sah akad gadai pada al-ja’lu (pengupahan) yaitu pemberian upah dari seseorang kepada orang lain atas jasanya.
d. Bahwa hutang itu telah diketahui benda, jumlah dan sifatnya.[26]

C.     Pemanfaatan Barang Gadai.
Sebagaimana telah ditegaskan di muka bahwa gadai bukan termasuk pada akad pemindahan hak milik, tegasnya bukan pemilikan suatu benda dan bukan pula kadar atas manfaat suatu benda (sewa menyewa), melainkan hanya sekedar jaminan untuk suatu hutang piutang, itu sebabnya ulama sepakat bahwa hak milik dan manfaat suatu benda yang dijadikan jaminan (Marhun) berada dipihak rahi>n (Yang menggadaikan). Murtahin (yang menerima barang gadai) tidak boleh mengambil manfaat barang gadai kecuali diizinkan oleh rahin dan barang gadai itu bukan binatang. Ulama Syafi’I, Imam Malik dan ualam-ulama yang lain berargumen menggunakan hadis Nabi saw. Tentang manfaat barang gadai adalah milik ra>hin bukan milik murtahin. Hadisnya yaitu :
لا يـغـلـق الـر هـن مـن صـاحـبـه الـذي رهـنـه لـه غـنـمـه و عـلـيـه
غـر مـه[27]
Barang gadaian dipandang sebagai amanat bagi murtahin sama dengan amanat yang lain, dia tidak harus membayar kalau barang itu rusak, kecuali karena tindakannya.[28]
Lebih lanjut Ibnu Quda>mah dalam kiatbnya al-Mugny menjelaskan bahwa pengambilan manfaat dari barang gadai itu mencakup pada dua keadaan yaitu :
1.      Yang tidak membutuhkan kepada biaya seperti rumah, barang-barang dan sebagainya.
2.      Yang membutuhkan pembiayaan.[29]
Mengenai hukum penerima gadai dengan mengambil manfaat dari barang yang membutuhkan biaya dengan seizin yang menggadaikan adalah sebanding dengan biaya yang diperlukan. Dari dua bagian di atas dapat ditemui adanya barang bergerak dan barang tetap. Barang bergerak adalah barang yang dalam penyerahannya tidak membutuhkan akte otentik seperti buku dan lain sebagainya. Sedangkan barang tetap adalah barang yang dalam penyerahannya memerlukan suatu akte yang otentik seperti rumah, tanah dan lain-lain.
Dalam pemanfaatan barang gadai yang berupa barang yang bergerak dan membutuhkan pembiayaan, ulama sepakat membolehkan murtahin mengambil manfaat dari barang tersebut seimbang dengan biaya pemeliharaannya., terutama bagi hewan yang bisa diperah dan ditunggangi, mereka beralasan sesuai dengan hadis nabi saw. Yang berbunyi :
 الـرهـن يـركـب  بـنـفـقـته إذاكان مـرهونـا ولبن الـدريـشرب بـنـفـقـته
إذا كان مـرهـونـا وعلي الـذي يـركـب و يـشـرب الـنفـقـة [30]
Adapun jika barang itu tidak dapat diperah dan ditunggangi (tidak memerlukan biaya), maka dalam hal ini boleh bagi penerima gadai mengambil manfaatnya dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela, tanpa adanya imbalan dan selama sebab gadaian itu sendiri bukan dari sebab menghutangkan. Bila alasan gadai itu dari segi menghutangkan, maka penerima gadai tidak halal mengambil manfaat atas barang yang digadaikan meskipun dengan seizin yang menggadaikan.[31]
Jika memperhatikan penjelasan di atas dapat diambil pengertian bahwa pada hakekatnya penerima gadai atas barang jaminan yang tidak membutuhkan biaya tidak dapat mengambil manfaat dari barang jaminan tersebut.


[1] Jamal ad-Din Muhammad bin Mukram al-Ansyari, Lisan al-‘Arab, ( Mesir: Dar al-Fikr, t.t ), XVII: 48.
[2] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah  ( Beirut: Dar al-Fikr, t.t ), III: 187.
[3] Al-Baqarah (2) : 283.
[4] As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah… III : 187.
[5] Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Quda>mah, al-Mugni Li Ibni Quda>mah, (Riyad: Mahtabaturriyah al-Hadi>sah, t.t), IV :361.
[6] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba Utang Piutang Gadai, (Bandung: al-Ma’arif, 1983), hlm: 50.
[7] Ali Fikri, Al-Mu’amalah al-Ma>ddiyyah Wa al-Adabiyah (Mesir: Da>r al-Fikr, t.t), hlm: 215-216
[8] Al-Baqarah (2): 283
[9] Imam al-Bukha>ri,S}ahih al-Bukha>ri bab Fi Rahni Fi al-Hadits (Beirut: Da>r al-fikr, 1891), III: 1115, Hadis riwayat al-Bukhari dari Musaddad dari Ab al-Wahid dari al-A’mas dari Ibrahim.
[10] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: UII Press, 2000),
hlm : 15-16.
[11] H. Asjmuni Abd. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1976), hlm: 42.
[12] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh ‘Ala> al- Maza>hib al-Arba’ah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), II : 320.
[13] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>my Wa Adillatuhu, (Beirut: Da>r al-Fkr, t.t), V: 183.
[14] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry,Kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maza>hi>b …., II : 320
[15] Ahmad Azhar Basyir, Asa-asas …., hlm :  65.
[16] Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, t.t), hlm: 21-22.
[17] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas….., hlm: 68.
[18] Ibid., hlm: 68-70.
[19] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Bab Talaq al-Ma’tuhu Wa as}-S}agiru wa an-Na>imu (Beirut: Da>r al-Fikr: t.t), I: 629, Hadis no. 651. Hadis riwayat Ibnu Ma>jah dari Ali bin Abi Tha>lib.
[20] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh…., hlm: 328.
[21] Ibid., hlm: 327.
[22] Ahmad Azhar Basyir,  Hukum Islam Tentang …, hlm: 53.
[23] Abd. Ar-Rahma>n al- Jazi>ry, Kitab al-Fiqh….., hlm : 329
[24] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang ….,  hlm: 53-54.
[25] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas …, hlm: 15-16.
[26] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh…, hlm : 330.
[27] Asy-Syaukani, Nail al-Aut}a>r (Beirut: Da>r al-Fkr, t.t), IV: 264. Hadis riwayat asy-Syafi’I danad-Daruquthni dari Ibn Abi Fudaik dari Ibn Abi Zaib dari Ibn Syiha>b dari Ibn al-Musayyab dari Abi Hurairah.
[28] Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm: 376.
[29] Ibn Quda>mah, al-Mugni> Li> Ibn Quda>mah, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah al-‘Arabiyyah, t.t), IV: 426.
[30] Ima>m al-Bukha>ry>, S}ahi>h al-Bukha>ry>….., hlm: 116, Hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah.  
[31] Rahmat Syafi’I, Konsep Gadai (rahn) dalam Fiqh Islam : Antara Nilai Sosial dan Nilai Komersial, dalam H. Chuzaimah T. Yanggo, HA. Hafiz Anshary AZ (edt) Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Ketiga (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), hlm: 69.

No comments: