Monday, December 13, 2010

PENGARUH KONFIGURASI POLITIK TERHADAP PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM

PENGARUH KONFIGURASI POLITIK
TERHADAP PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM*)
Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, SH., MSi.**)

Selengkapnya Click DISINI

I

            Dengan munculnya Orde Reformasi di tanah air kita pada akhir Mei tahun 1998, tuntutan yang bergema adalah tuntutan untuk menegakkan Rule of Law penegakan Supremasi Hukum dan tuntutan kehidupan ketatanegaraan yang konstitusional. Tuntutan itu adalah wajar mengingat pengalaman sejarah yang pahit dan traumatis di kala hukum atau konstitusi tidak berdaya berhadapan dengan kekuasaan yang nyaris menimbulkan bencana nasional, menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa.
II
            Gema tuntutan penegakan supermasi hukum hingga dewasa ini tidak hanya sekedar dilatarbelakangi oleh sejarah ketatanegaraan Indonesia yang tranmatis di kala hukum tidak berdaua berhadapan dengan kekuasaan, tetapi terlebih karena secara kosntitusional prinsip negara hukum, bukan negara kekuasaan, merupakan prinsip-prinsip konstitusi yang harus ditegakkan. Berangkat dari asumsi tersebut kiranya tidaklah berlebihan apabila ada usaha-usaha untuk mengevaluasi sejauh mana komitmen berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan prinsi-prinsip hukum atau konstitusi dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan pada era reformasi dewasa ini. Dan apa yang dilakukan oleh HMI dalam forum ini merupakan sikap HMI yang positif kearah itu.

III

            Secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat)[1])
            Dari prinsip Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum dapat dikemukakan dua pemikiran yaitu :
Pertama, bahwa kekuasaan tertinggi di dalam negara Indonesia ialah hukum yang dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Jadi suatu kedaulatan hukum sebagai penjelmaan lebih lanjut dari paham Kedaulatan Rakyat. Juga disini digunakan istilah berdasarkan atas hukum, sehingga negara yang berdasarkan atas hukum dapat diartikan adalah negara hukum yang semurni-murninya.[2])
            Diapakinya istilah Rechtstaat/Negara Hukum di dalam kurung untuk dibelakang istilah “berdasarkan atas hukum”, sebagai penjelasan haruslah kita artikan bahwa pengertian Negara hukum dapat kita pakai sejauh unsur-unsur dari pengertian tersebut dapat mendukung ide bernegara kita.
            Pemikiran kedua yang dapt dijelaskan dari apa yang  tersirat dalam aturan pokok sistem pemerintahan negara yang pertama ialah bahwa sistem pemerintahan negara atau cara-cara pengendalian negara memerlukan kekuasaan (power/match). Namun dari anak kalimat yang berbunyi tidak berdasarkan atas asas kekuasaan belaka dapat kita simpulkan bawha tidak ada sesuatu kekuasanpun di Indonesia yang tidak berdasarkan hukum.[3])
            Sejarah konstitusi kita memang pada akhirnya menunjukkan adanya nuansa dalam memahami pengertian Negara Hukum, baik dalam pencanangannya di dalam Undang-Undang Dasar maupun dalam praktek ketatanegaraan. Namun betapapun perbedaan pemahaman itu terjadi, ada kesatuan pikiran bahwa hukum harus membatasi kekuasaan.
            Sebagaimana dikemukakan pada pendahuluan tulisan ini bahwa perjalanan sejarah ketatanegaraan kita menunjukkan bagaimana hubungan hukum dan kekuasaan itu tidak imbang. Kekuasaan mensubordinasi hukum baik dalam bentuk produk legal  formal  maupun dalam bentuk praktek ketatanegaraan yang bertolak belakang dengan amanat konstitusi kita UUD 1945.
Alasan pembenar yang digunakan adalah perkembangan zamanlah yang menghendaki ke arah tersubordinasinya hukum di bawah kekuasaan demi survivenya negara Republik Indonesia. Karena itu penyimpangan dari semangat konstitusi adalah harga yang harus dibayar. Alasan riskan ini tidak boleh terulang lagi untuk menjawab permasalahan-permasalahan ketatanegaraan yang terus akan berkembang karena tuntutan zaman dan kondisi politik dari periode ke periode. Karena itu pula tuntutan akan kepastian hukum dalam praktek penyelenggaraan negara adalah tuntutan konstitusional yang bergema dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip negara hukum.
            Pada akhirnya sampai seberapa jauh Indonesia bisa dikatakan sebagai suatu negara hukum yang demokratis, tolok ukurnya adalah sejauhmana pelaksanaan supremasi hukum dalam praktek penyelengaraan negara.

IV
            Ketika lewat dekat Gunung Thai, Konfusius melihat seorang wanita sedang menangis terisak-isak di sebuah kuburan. Sang guru pun membelokkan kendaraannya, mendekati orang itu. Ia menitahkan Tze Lu mencari tahu apa gerangan yang terjadi. Anda meratap seperti orang yang tertimpa kemalangan bertubi-tubi, kata Tze Lu mencari  tahu apa gerangan yang terjadi. Memang benar jawab wanita itu. Suatu ketika ayah suami saya dibunuh oleh seekor harimau disini. Suami saya juga dibunuh, dan sekarang anak laki-laki saya mati dengan cara yang sama. Alangkah kejamnya harimau itu. Sang guru menjadi heran dan bertanya, lalu mengapa anda tidak meninggalkan tempat ini ? Bukankah sejak dulu anda menetap di daerah lain ? Sang wanitapun menjawab , “Saya tetap memilih tinggal disini. Sungguhpun banyak harimau, tapi di daerah ini pemeirntahannya merenung dan akhirnya mengucapkan sebuah petuah . “Catatlah : dan camkan ini anak-anaku, perintah yang menindas memang mengerikan dari pada harimau.[4])
            (….. tidak bisa di baca kalimat ini…..halaman 5 pada konsep)
reaksi terhadap bahaya itu, sangwanita memilih menyingkir dari area, walaupun akibatnya ia harus berhadapan dengan harimau. Tapi di alam moder, reaksi itu lebih melembaga dari area, walaupun  akibatnya ia harus beradapan dengan harimau. Tapi di alam modern, reaksi itu lebih melembaga. Sistem moder tidak mnyingkir tapi justru menghadapi dan menjinakkan pola kekuasaan yang memiliki watak menindas lewat seperangkat kaedah hukum yang dinamakan konstitusi.
            Sebagai sebuah negara modern, konstitusi Indonesia dengan tegas menggariskan bahwa salah satu ciri dari sistem pemerintahan Indonesia adalah menganut asas negara hukum dan bukan negara kekuasaan.
            Berdasarkan ketentuan konstitusi tersebut berarti pemerintah mempunyai kekuasaan yang terbatas dan tidak dibenarkan sewenang-wenang[5]) . Asas yang dianut tersebut haruslah tercermin dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia, hukum harus mengendalikan kekuasaan, bukan sebaliknya hukum dipecundarngi oleh kekuasaan.
            Dalam konteks ini pertanyaan yang muncul adalah mengapa kekausaan harus dikendalikan, jawabnya sederhana karena menurut Lord Acton kekuasaan itu cendeurng untuk disalah gunakan (Power tend to currupt). Maka disinilah perlu peran hukum untuk mengendalikan kekuasaan itu.
            Hukum (konstitusi) dibuat adalah untuk membatasi kekuasaan dalam negara.[6])  Perkataan kekuasaan disini sama dengan power, masalah kekuasaan dalam negara (the power ot the state) banyak dibicarakan oleh sarjana-sarjana ilmu politik dan kekuasaan itu sendiri identik dengan politik. Oleh karena kekuasaan identik dengan politik, atau setidaknya karena politik atau setiap aktivitas politik selalu bertujuan untuk mencapai kekuasaan, maka dapat dibuat suatu analigi :: Politic Tend to Currupt, politik itu punya kecendeurngan untuk korup/disalahgunakan. Oleh karena itu agar atau kekuasaan itu tidak liar dan tidak disalahgunakan, maka hukum harus mengendalikan kekuasaan itu, tegasnya hukum harus supreme untuk keperluan pembatasan kekuasaan. Karena kalau hukum tidak supreme maka pengikat Niccolo Machiavelli dengan ajarannya “het doel heilight de mid delen” tujuan menghalalkan segala cara akan bertambah panjang. Karena itu dalam praktek atau permainan politik segala etika politik dan segala aturan permainan atau segala macam aturan hukum haruslah dihormati dan ditegakkan.
            Satu hal yang tidak dapat disangkal betapapun ketatnya hukum, dengan segala macam aturan permainan, etika dan semacamnya, namun akhirnya hukum tidak berdaya  dalam menghadapi power play yang tidak mengindahkan hukum. Hal ini tidak boleh terjadi, karena apabila terjadi itu artinya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip negara hukum yang digariskan dalam konsep kenegaraan kita.
            Oleh karenanya, maka demi tegaknya hukum dan demi terlaksananya cita-cita negara hukum dan demokrasi yang selaras dengan cita-cita dan kemajuan reformasi maka pemerintah hendaknya dapat bertindak secara ideal, yaikni harus sesuai dengan garis yang telah ditetapkan sehinga tegaknya hukum dan kepastian hukum dalam menuju kepada keadilan hukum oleh rakyat dapat dirasakan. [7])  Tegasnya dalam prakrek penyelenggaraan negara ketentuan-ketentuan hukum harus dihormati, harus ditegakkan oleh pemerintah atau penyelengara negara.
            Dalam negara hukum Indonesia tidak boleh terjadi hukum berdiri sendiri pada satu sisi sementara kekuasaan dengan angkuhnya seolah-olah menantang hukum disisi lain.
            Hal demikian itu tidak sesuai dengan prinsip –prinsip negara hukum yang diamanatkan dalam konstitusi kita UUD 1945. Karena itu komitmen yang telah disepakati pada orde baru hendaknya selalu diusahakan untuk dipatuhi dalam praktek ketatanegaraan, sehingga dengan demikian prinsip “Rule of Law dapat bar-benar ditegakkan bukan rule of power yang dipertahankan.
            Dengan menggaris bawahi prinsip Indonesia adalah negara konstitusional, konstitusi kita UUD 1945 telah menempatkan hukum dalam posisi supreme dan menentukan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
            Dari sudut pandang konstitusional tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa hukum dapat dianggap sebagai salah satu dari tujuan bangsa Indonesia mendirikan negara ini. Dalam kaitan itu konsep kenegaraan kita antara lain menentukan bahwa pemerintah Indonesia menganut paham konstitusional, constutusionalism, suatu pemerintahan yang dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang teramat dalam konstitusi.
            Dalam negara yang bersistem konstitusional atau berhukum dasar terdapat suatu hierarchie perundang-undangan dimana undang-undang dasar berada di puncak piramida, sedang ketentuan-ketentuan yang lain berada di bawah konstitusi.[8])  
            Dari apa yang dikemukakan diatas jelas bagi kita bahwa UUD 1945 merupakan peraturan perundang-undangan yang tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan demikian dalam hal suatu Undang-Undang yang berada dibawah kedudukan UUD 1945 haruslah berkiblat kepada UUD 1945 dan secara material tidak boleh bertentangan dan atau menyimpang dari padanya. Demikian juga dalam praktek penyelenggaraan negara haruslah mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945. Praktek penyelenggaraan negara yang tidak berdasarkan UUD 1945 adalah inkonstitusional dan harus dicegah. Dari uraian tersebut dapatlah dipahami bahwa baik secara tersirat maupun tersurat UUD 1945 menghendaki tegaknya supremasi hukum dalam negara kita. Adapun supremasi hukum di Indonesia ada pada UUD 1945 itu sendiri.
            Namun demikian, karena UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang mengatur dasar-dasar kehidupan bernegara hanya dalam garis besarnya saja, masih harus kita pertanyakan sejauhmana ajaran kenegaraan (Staatleer) yang bercita-cita negara hukum (rechtstaat) itu telah dikembangkan melalui politik hukum (rrechts politiek), perundang-undangan (legislatif) dalam pelaksanaan hukum.
            Politik hukum disini dimaksudkan sebagai kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku untuk mengatur berbagai hal kemasyarakatan dan kenegaraan. Agar kebijakan politik tidak bergesar dari konstitusi, maka penting dalam hal ini untuk menemukan politik hukum negara kita yang terdapat dalam UUD 1945 maupun yang terdapat pada sumber konstitusional lainnya seperti GBHN misalnya.
           


*)   Disampaikan pada Seminar Hukum Indonesia 2000 oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Univesitas Muhammadiyah Surakarta, tanggal 31 Mei 2000
**)   Dosen Tetap Fakultas Hukum UII Yogyakarta
[1])  Penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara Angka I
[2])  Prof. Padmo Wahyono, SH., Negara Republik Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982, Hal. 17.

[3]) Ibid, hal. 18
[4])  Bertrand Russel, Kekuasaan : Sebuah Analisis Sosial Baru¸Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1988, hal, 211,


[5]) Mirriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1977, Hal. 57,
[6]) Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konsstitusi, Alumni Bandung, 1978, Hal. 45.
[7])  Haris Soche, Supremasi Hukum dan Prinsip demokrasi Indonesia, Hanindita, Yogyakarta, 1985 hal 20.

[8]) Ismail Suny, Mekhanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, 1978, Hal. 47.

No comments: