PENGARUH
KONFIGURASI POLITIK
TERHADAP
PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM*)
Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan
Thaib, SH., MSi.**)
Selengkapnya Click DISINI
I
Dengan
munculnya Orde Reformasi di tanah air kita pada akhir Mei tahun 1998, tuntutan
yang bergema adalah tuntutan untuk menegakkan Rule of Law penegakan Supremasi
Hukum dan tuntutan kehidupan ketatanegaraan yang konstitusional. Tuntutan itu
adalah wajar mengingat pengalaman sejarah yang pahit dan traumatis di kala
hukum atau konstitusi tidak berdaya berhadapan dengan kekuasaan yang nyaris menimbulkan
bencana nasional, menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa.
II
Gema tuntutan penegakan
supermasi hukum hingga dewasa ini tidak hanya sekedar dilatarbelakangi oleh
sejarah ketatanegaraan Indonesia yang tranmatis di kala hukum tidak berdaua berhadapan
dengan kekuasaan, tetapi terlebih karena secara kosntitusional prinsip negara
hukum, bukan negara kekuasaan, merupakan prinsip-prinsip konstitusi yang harus
ditegakkan. Berangkat dari asumsi tersebut kiranya tidaklah berlebihan apabila
ada usaha-usaha untuk mengevaluasi sejauh mana komitmen berbangsa dan bernegara
yang sesuai dengan prinsi-prinsip hukum atau konstitusi dilaksanakan dalam
praktek ketatanegaraan pada era reformasi dewasa ini. Dan apa yang
dilakukan oleh HMI dalam forum ini merupakan sikap HMI yang positif kearah itu.
III
Secara
tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 Negara Indonesia berdasarkan atas
hukum (Rechtstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat)[1])
Dari
prinsip Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum dapat dikemukakan
dua pemikiran yaitu :
Pertama, bahwa kekuasaan
tertinggi di dalam negara Indonesia ialah hukum yang dibuat oleh rakyat melalui
wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Jadi suatu kedaulatan hukum sebagai
penjelmaan lebih lanjut dari paham Kedaulatan Rakyat. Juga disini digunakan
istilah berdasarkan atas hukum, sehingga negara yang berdasarkan atas hukum
dapat diartikan adalah negara hukum yang semurni-murninya.[2])
Diapakinya
istilah Rechtstaat/Negara Hukum di dalam kurung untuk dibelakang istilah
“berdasarkan atas hukum”, sebagai penjelasan haruslah kita artikan bahwa
pengertian Negara hukum dapat kita pakai sejauh unsur-unsur dari pengertian
tersebut dapat mendukung ide bernegara kita.
Pemikiran
kedua yang dapt dijelaskan dari apa yang
tersirat dalam aturan pokok sistem pemerintahan negara yang pertama
ialah bahwa sistem pemerintahan negara atau cara-cara pengendalian negara
memerlukan kekuasaan (power/match). Namun dari anak kalimat yang
berbunyi tidak berdasarkan atas asas kekuasaan belaka dapat kita simpulkan
bawha tidak ada sesuatu kekuasanpun di Indonesia yang tidak berdasarkan hukum.[3])
Sejarah
konstitusi kita memang pada akhirnya menunjukkan adanya nuansa dalam memahami
pengertian Negara Hukum, baik dalam pencanangannya di dalam Undang-Undang Dasar
maupun dalam praktek ketatanegaraan. Namun betapapun perbedaan pemahaman itu
terjadi, ada kesatuan pikiran bahwa hukum harus membatasi kekuasaan.
Sebagaimana dikemukakan pada
pendahuluan tulisan ini bahwa perjalanan sejarah ketatanegaraan kita
menunjukkan bagaimana hubungan hukum dan kekuasaan itu tidak imbang. Kekuasaan
mensubordinasi hukum baik dalam bentuk produk legal formal
maupun dalam bentuk praktek ketatanegaraan yang bertolak belakang dengan
amanat konstitusi kita UUD 1945.
Alasan pembenar yang digunakan adalah perkembangan zamanlah yang
menghendaki ke arah tersubordinasinya hukum di bawah kekuasaan demi survivenya
negara Republik Indonesia. Karena itu penyimpangan dari semangat konstitusi
adalah harga yang harus dibayar. Alasan riskan ini tidak boleh terulang lagi
untuk menjawab permasalahan-permasalahan ketatanegaraan yang terus akan
berkembang karena tuntutan zaman dan kondisi politik dari periode ke periode.
Karena itu pula tuntutan akan kepastian hukum dalam praktek penyelenggaraan
negara adalah tuntutan konstitusional yang bergema dalam rangka menegakkan
prinsip-prinsip negara hukum.
Pada
akhirnya sampai seberapa jauh Indonesia bisa dikatakan sebagai suatu negara
hukum yang demokratis, tolok ukurnya adalah sejauhmana pelaksanaan supremasi
hukum dalam praktek penyelengaraan negara.
IV
Ketika
lewat dekat Gunung Thai, Konfusius melihat seorang wanita sedang menangis
terisak-isak di sebuah kuburan. Sang guru pun membelokkan kendaraannya,
mendekati orang itu. Ia menitahkan Tze Lu mencari tahu apa gerangan yang
terjadi. Anda meratap seperti orang yang tertimpa kemalangan bertubi-tubi, kata
Tze Lu mencari tahu apa gerangan yang
terjadi. Memang benar jawab wanita itu. Suatu ketika ayah suami saya dibunuh
oleh seekor harimau disini. Suami saya juga dibunuh, dan sekarang anak
laki-laki saya mati dengan cara yang sama. Alangkah kejamnya harimau itu. Sang
guru menjadi heran dan bertanya, lalu mengapa anda tidak meninggalkan tempat
ini ? Bukankah sejak dulu anda menetap di daerah lain ? Sang wanitapun menjawab
, “Saya tetap memilih tinggal disini. Sungguhpun banyak harimau, tapi di daerah
ini pemeirntahannya merenung dan akhirnya mengucapkan sebuah petuah . “Catatlah
: dan camkan ini anak-anaku, perintah yang menindas memang mengerikan dari pada
harimau.[4])
(….. tidak bisa di baca kalimat
ini…..halaman 5 pada konsep)
reaksi terhadap bahaya itu,
sangwanita memilih menyingkir dari area, walaupun akibatnya ia harus berhadapan
dengan harimau. Tapi di alam moder, reaksi itu lebih melembaga dari area,
walaupun akibatnya ia harus beradapan
dengan harimau. Tapi di alam modern, reaksi itu lebih melembaga. Sistem moder
tidak mnyingkir tapi justru menghadapi dan menjinakkan pola kekuasaan yang
memiliki watak menindas lewat seperangkat kaedah hukum yang dinamakan
konstitusi.
Sebagai
sebuah negara modern, konstitusi Indonesia dengan tegas menggariskan bahwa
salah satu ciri dari sistem pemerintahan Indonesia adalah menganut asas negara
hukum dan bukan negara kekuasaan.
Berdasarkan
ketentuan konstitusi tersebut berarti pemerintah mempunyai kekuasaan yang
terbatas dan tidak dibenarkan sewenang-wenang[5])
. Asas yang dianut
tersebut haruslah tercermin dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaraan
Indonesia, hukum harus mengendalikan kekuasaan, bukan sebaliknya hukum
dipecundarngi oleh kekuasaan.
Dalam konteks ini pertanyaan
yang muncul adalah mengapa kekausaan harus dikendalikan, jawabnya sederhana
karena menurut Lord Acton kekuasaan itu cendeurng untuk disalah gunakan (Power
tend to currupt). Maka disinilah perlu peran hukum untuk mengendalikan
kekuasaan itu.
Hukum
(konstitusi) dibuat adalah untuk membatasi kekuasaan dalam negara.[6])
Perkataan kekuasaan disini sama
dengan power, masalah kekuasaan dalam negara (the power ot the state)
banyak dibicarakan oleh sarjana-sarjana ilmu politik dan kekuasaan itu sendiri
identik dengan politik. Oleh karena kekuasaan identik dengan politik, atau
setidaknya karena politik atau setiap aktivitas politik selalu bertujuan untuk
mencapai kekuasaan, maka dapat dibuat suatu analigi :: Politic Tend to Currupt, politik itu punya
kecendeurngan untuk korup/disalahgunakan. Oleh karena itu agar atau kekuasaan
itu tidak liar dan tidak disalahgunakan, maka hukum harus mengendalikan
kekuasaan itu, tegasnya hukum harus supreme untuk keperluan pembatasan
kekuasaan. Karena kalau hukum tidak supreme maka pengikat Niccolo
Machiavelli dengan ajarannya “het doel heilight de mid delen” tujuan menghalalkan segala cara akan
bertambah panjang. Karena itu dalam praktek atau permainan politik segala
etika politik dan segala aturan permainan atau segala macam aturan hukum
haruslah dihormati dan ditegakkan.
Satu hal yang tidak dapat
disangkal betapapun ketatnya hukum, dengan segala macam aturan permainan, etika
dan semacamnya, namun akhirnya hukum tidak berdaya dalam menghadapi power play yang tidak
mengindahkan hukum. Hal ini tidak boleh terjadi, karena apabila terjadi itu
artinya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip negara hukum yang digariskan dalam
konsep kenegaraan kita.
Oleh
karenanya, maka demi tegaknya hukum dan demi terlaksananya cita-cita negara
hukum dan demokrasi yang selaras dengan cita-cita dan kemajuan reformasi maka
pemerintah hendaknya dapat bertindak secara ideal, yaikni harus sesuai dengan
garis yang telah ditetapkan sehinga tegaknya hukum dan kepastian hukum dalam
menuju kepada keadilan hukum oleh rakyat dapat dirasakan. [7])
Tegasnya dalam prakrek
penyelenggaraan negara ketentuan-ketentuan hukum harus dihormati, harus
ditegakkan oleh pemerintah atau penyelengara negara.
Dalam
negara hukum Indonesia tidak boleh terjadi hukum berdiri sendiri pada satu sisi
sementara kekuasaan dengan angkuhnya seolah-olah menantang hukum disisi lain.
Hal
demikian itu tidak sesuai dengan prinsip –prinsip negara hukum yang diamanatkan
dalam konstitusi kita UUD 1945. Karena itu komitmen yang telah disepakati pada
orde baru hendaknya selalu diusahakan untuk dipatuhi dalam praktek
ketatanegaraan, sehingga dengan demikian prinsip “Rule of Law dapat bar-benar ditegakkan
bukan rule of power yang dipertahankan.
Dengan
menggaris bawahi prinsip Indonesia adalah negara konstitusional, konstitusi
kita UUD 1945 telah menempatkan hukum dalam posisi supreme dan menentukan dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dari
sudut pandang konstitusional tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa hukum
dapat dianggap sebagai salah satu dari tujuan bangsa Indonesia mendirikan
negara ini. Dalam kaitan itu konsep kenegaraan kita antara lain menentukan
bahwa pemerintah Indonesia menganut paham konstitusional, constutusionalism, suatu
pemerintahan yang dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang teramat dalam
konstitusi.
Dalam
negara yang bersistem konstitusional atau berhukum dasar terdapat suatu
hierarchie perundang-undangan dimana undang-undang dasar berada di puncak
piramida, sedang ketentuan-ketentuan yang lain berada di bawah konstitusi.[8])
Dari
apa yang dikemukakan diatas jelas bagi kita bahwa UUD 1945 merupakan peraturan
perundang-undangan yang tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan
demikian dalam hal suatu Undang-Undang yang berada dibawah kedudukan UUD 1945
haruslah berkiblat kepada UUD 1945 dan secara material tidak boleh bertentangan
dan atau menyimpang dari padanya. Demikian juga dalam praktek penyelenggaraan
negara haruslah mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD
1945. Praktek penyelenggaraan negara yang tidak berdasarkan UUD 1945 adalah
inkonstitusional dan harus dicegah. Dari uraian tersebut dapatlah dipahami
bahwa baik secara tersirat maupun tersurat UUD 1945 menghendaki tegaknya supremasi
hukum dalam negara kita. Adapun supremasi hukum di Indonesia ada pada UUD 1945
itu sendiri.
Namun
demikian, karena UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang mengatur
dasar-dasar kehidupan bernegara hanya dalam garis besarnya saja, masih harus
kita pertanyakan sejauhmana ajaran kenegaraan (Staatleer) yang
bercita-cita negara hukum (rechtstaat) itu telah dikembangkan melalui
politik hukum (rrechts politiek), perundang-undangan (legislatif)
dalam pelaksanaan hukum.
Politik
hukum disini dimaksudkan sebagai kebijakan politik yang menentukan aturan hukum
apa yang seharusnya berlaku untuk mengatur berbagai hal kemasyarakatan dan
kenegaraan. Agar kebijakan politik tidak bergesar dari konstitusi, maka penting
dalam hal ini untuk menemukan politik hukum negara kita yang terdapat dalam UUD
1945 maupun yang terdapat pada sumber konstitusional lainnya seperti GBHN
misalnya.
*) Disampaikan
pada Seminar Hukum Indonesia 2000 oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum
Univesitas Muhammadiyah Surakarta, tanggal 31 Mei 2000
**) Dosen Tetap Fakultas Hukum UII Yogyakarta
[1]) Penjelasan UUD
1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara Angka I
[2]) Prof. Padmo
Wahyono, SH., Negara Republik Indonesia,
Rajawali, Jakarta,
1982, Hal. 17.
[3]) Ibid, hal. 18
[4]) Bertrand
Russel, Kekuasaan : Sebuah Analisis Sosial Baru¸Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
1988, hal, 211,
[5]) Mirriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,
Gramedia, Jakarta,
1977, Hal. 57,
[6]) Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konsstitusi,
Alumni Bandung, 1978, Hal. 45.
[7]) Haris Soche, Supremasi
Hukum dan Prinsip demokrasi Indonesia,
Hanindita, Yogyakarta, 1985 hal 20.
[8]) Ismail Suny, Mekhanisme Demokrasi Pancasila,
Aksara Baru, Jakarta,
1978, Hal. 47.
No comments:
Post a Comment