PERSANGKAAN DALAM HUKUM ACARA PERADILAN ISLAM
Selengkapnya silahkan click DISINI
A. Pengertian Persangkaan
dalam Hukum Acara Peradilan Islam
Di dalam hukum acara Islam
alat bukti persangkaan dikenal dengan sebutan qari>nah}. Qari>nah
secara bahasa diambil
dari kata “muqara>nah}” yang berarti musahabah dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan pengertian atau petunjuk.[1] Secara istilah qari>nah} diartikan dengan :
الادلة التى
يستنبطها القاضى من وقائع الدعوى واحوالها باجتهاد[2]
Menurut Raihan Rasyid yang
dimaksudkan dengan qari>nah} di dalam istilah hukum adalah hal-hal yang mempunyai hubungan atau
pertalian yang erat sedemikian rupa terhadap sesuatu sehingga dapat memberikan
petunjuk.[3]
B. Landasan Hukum
Adapun dasar hukum mengenai
alat bukti persangkaan dalam hukum acara Islam terdapat di dalam al-Qur’an,
yakni:
ان كان قميصه
قد من قبل فصدقت و هو من الكاذبين[4]
ان فى ذالك
لايات للمتوسمين[5]
ولونشاءلارينكهم
فلعرفتهم بسيماهم[6]
يحسبهم الجاهل
اغنياء من التعفف تعرفهم بسيماهم[7]
Ayat-ayat al-Qur’an tersebut di atas adalah
ayat-ayat yang menjadi landasan hukum ataupun dasar pijakan dari qari>nah}
sebagai alat bukti di
dalam hukum acara peradilan Islam.
C. Penggunaan Persangkaan
Serta Posisinya dalam Hukum Acara Islam
Persangkaan atau qari>nah}
di dalam hukum acara peradilan Islam adalah
merupakan salah satu alat bukti yang sah di antara sekian banyak alat bukti
yang ada dalam hukum acara Islam. Menurut Roihan Rasyid tidak semua qari>nah}
dapat dijadikan sebagai alat bukti, melainkan
hanya qari>nah} yang jelas saja, yang dalam hukum acara
peradilan Islam disebut qari>nah} wad}i>h}ah yang dapat
dijadikan sebagai dasar pemutus, walaupun hanya atas satu qari>nah}
wad}i>h}ah tanpa didukung oleh alat bukti yang lain.[8] Dengan kata lain bahwa qari>nah}
wad}i>h}ah ini dapat berdiri sendiri, tidak memerlukan perantara alat bukti lain dalam
penerapannya sebagai alat bukti di dalam persidangan.
Qari>nah}
itu terbagi menjadi dua, yakni :
- Qari>nah} Qanuniyyah||{{{{{{ yakni qari>nah} yang ditentukan oleh undang-undang. Adapun pengertian daripada persangkaan undang-undang yakni persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu.
Menurut M. Nur Rasaid, tentang menarik persangkaan
menurut undang-undang ini haruslah dianggap sebagai perbandingan saja, yang
oleh Hakim harus dipertimbangkan apakah dalam suatu kasus tertentu berlaku
ketentuan tersebut.[9]
- Qarinah} Qad}aiyyah} yakni qari>nah} yang merupakan hasil kesimpulan hakim setelah dilakukan pemeriksaan perkara.[10] Pengertian persangkaan hakim adalah: persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta yang bersumber dari fakta yang terbukti dalam persidangan sebagai pangkal titik tolak menyusun persangkaan. Persangkaan ini adalah persangkaan yang diserahkan kepada pertimbangan hakim sepenuhnya.
Di dalam sejarah hukum acara
peradilan Islam telah banyak sekali kasus-kasus serta permasalahan yang
diputuskan melalui bukti persangkaan. Baik itu semasa hidupnya para Nabi dan
Rasul, ataupun pada masa setelahnya. Akan tetapi perlu diketahui, bahwasanya
dalam hukum Islam tidak dikenal pembagian hukum seperti halnya yang terdapat
dalam hukum positif yang digolongkan menjadi hukum pidana dan hukum perdata.
Sehingga contoh-contoh kasus yang terdapat di bawah ini apabila dimasukkan ke
ranah hukum perdata terdapat contoh-contoh pidana dan perdata. Di antara
contoh-contoh permasalahan yang diputus melalui
bukti persangkaan adalah sebagai berikut:
1. Dalam kasus sengketa anak
Dalam kasus ini adalah dicontohkan kasus
persengketaan anak pada masa Nabi Sulaiman AS. Yakni ada dua orang perempuan
yang bersengketa masalah anak. Keduanya mengaku bahwa anak tersebut adalah anak
mereka. Maka Sulaiman berucap, ”sebaiknya kamu berdua datang kepadaku dengan
membawa sebilah pisau, yang dengan pisau itu aku akan membelah bayi ini menjadi
dua bagian yang masing-masing diantara kamu akan memperoleh satu bagian.” mendengar
ucapan Sulaiman itu, Penggugat bersedia melakukannya. Sedangkan Tergugat
berkeberatan dan menyatakan, ”jangan anda lakukan itu, semoga Allah SWT
merahmatimu, sesungguhnya bayi itu anak Penggugat.” Dengan mendengar
pernyataan Tergugat itu, Sulaiman memutuskan bahwa anak yang disengketakan itu
adalah anak siTergugat.
Sulaiman mengambil dalil bahwa raut muka
Penggugat yang ceria dan kerelaannya melakukan perintahnya adalah menunjukkan
bahwa sang Penggugat menyimpan maksud jahat, di mana untuk mencapai maksud dan
tujuannya dia sanggup dan rela melakukan apa saja. Sedangkan dari pernyataan
Tergugat telah terungkap, bahwa dia tidak sanggup menyakiti badan jasmani anak
yang disengketakan, dia lebih memilih melepaskannya. Sikap Tergugat ini
merupakan bukti bahwa dia benar-benar ibu kandung anak yang disengketakan itu.
Karena seorang ibu yang mengandung dan melahirkan pasti memiliki kasih sayang
yang ditanamkan Allah ke dalam hatinya terhadap anak yang dikandung dan
dilahirkannya itu. Dan yang demikian itu telah ditunjukkan oleh sikapnya yang
rela menderita berpisah dengan anak kandungnya demi keselamatan buah hatinya
tersebut, dan bukanlah sebaliknya.
Sikap kontroversi dari dua orang perempuan
yang bersengketa masalah anak itu telah dipahami oleh Sulaiman sebagai indikasi
yang sangat kuat untuk memutuskan, bahwa anak yang disengketakan itu adalah
anak kandung Tergugat.[11]
2. Dalam kasus Yusuf dengan
Zulaikhah
Kisah ini diabadikan di dalam al-Qur’an
surat Yusu>f ayat 23-28.
Yakni diceritakan ketika Qitfir, suami Zulaikha pergi, Zulaikha mengajak dan
memaksa Yusuf untuk berbuat mesum, akan tetapi Nabi Yusuf tidak mau, lalu berlarilah Nabi Yusuf menuju
pintu untuk keluar dari rumah. Tiba di pintu baju Nabi Yusuf ditarik dari
belakang oleh Zulaikha sehingga koyak baju Yusuf, dan tepat pada waktu itu suami
Zulaikha tiba dari bepergian. Karena tertangkap basah, Zulaikha mengadu kepada
suaminya bahwa Yusuf mengajaknya dan memaksanya untuk berbuat mesum. Pada saat
yang kritis itu, berkatalah seorang bayi yang masih dalam buaian dari keluarga
Zulaikha: ”jika baju Yusuf koyak di bagian muka berarti Yusuflah yang salah,
tetapi jika koyak di bagian belakang berarti Yusuflah yang benar.” lantas
suami Zulaikha melihat baju Yusuf, ternyata koyak di bagian belakang, berarti
Yusuflah yang benar.[12]
3. Dalam perkara tindak
kejahatan miras
Umar bin Khatab dan Ibnu Mas’ud telah
menjatuhkan putusan hukuman had[13] terhadap seorang lelaki
yang diketahui secara nyata mulutnya berbau minuman keras dan muntah minuman
keras. Terhadap putusan ini tidak ada seorangpun yang menentangnya. Karena
putusan tersebut telah dijatuhkan berdasarkan indikatornya yang sangat kuat.[14]
4. Dalam perkara tindak
kejahatan penggelapan barang
Nabi Muhammad SAW memerintahkan Zuber
menyidik Tersangka paman Hayyi bin Akhtab yang diduga melakukan tindak pidana penggelapan terhadap harta
Hayyi bin Akhtab, dengan jalan menyiksanya agar mau mengeluarkannya. Penyiksaan
ini dilakukan karena diketahui adanya indikator yang sangat kuat yang memberi
petunjuk, bahwa dia adalah pelakunya. Nabi bersabda kepada Zuber, ”limit waktunya
begitu singkat, sedangkan harta yang dihabiskan dalamlimit waktu tersebut
begitu banyak.”
Kasus posisinya adalah sebagai berikut,
ketika Rasulullah melakukan invasi ke Khaibar. Sebagian penduduknya melakukan
perlawanan, dan sebagian lainnya menyerah secara damai. Sisi kota yang
penduduknya menyerah secara damai telah diduduki oleh Rasulullah, sedangkan
sisi kota yang penduduknya melakukan perlawanan, telah dikepung dan dihalau
oleh Rasulullah beserta pasukannya ke Khaibar selama empat belas hari. Di
antara mereka adalah orang-orang Yahudi Bani Nadhir. Ketika itu mereka membawa
harta kekayaan yang amat banyak berupa mas dan intan yang dimasukkan ke dalam
kantong kulit sapi. Karena merasa terdesak, mereka kemudian bernegoisasi dengan
Rasulullah. Bani Abu Huqaiq mengirim dutanya dengan membawa pesan permohonan
perdamaian kepada Rasulullah. Permohonan perdamaian mereka telah diterima oleh
Rasulullah dengan syarat, mereka harus meninggalkan seluruh harta kekayaannya
dan keluar dari Khaibar dengan pakaian yang melekat di tubuhnya semata,
jika mereka melanggar perjanjian
tersebut, maka suaka politik akan dicabut.
Mereka mnerima syarat-syarat yang diajukan
oleh Rasulullah. Akan tetapi ternyata mereka mengingkari perjanjiannya dengan
menggelapkan harta kekayaannya berupa mas dan intan yang mereka masukkan ke
dalam kantong kulit sapi yang dibawa oleh Hayyi dari Nadhir tersebut di atas.
Rasulullah mencurigai kalau kantong kulit sapi beserta segala isinya itu telah
digelapkan oleh paman Hayyi bin Akhtab ketika dihalau ke Khaibar, karena
Rasulullah melihat dia telah berjalan mondar-mandir di sekitar gua. Maka
Rasulullah bertanya kepada paman Hayyi, ”apa yang kamu lakukan terhadap
kantong kulit sapi beserta segala isinya yang dibawa oleh Hayyi dari Nadhir?
Dia menjawab, ”kami membelanjakannya untuk keperluan hidup dan biaya perang.
”Rasulullah berkata, limit waktunya begitu singkat, sedangkan harta yang
dibelanjakan begitu banyak.”
Kemudian Rasulullah menyerahkan paman
Hayyi kepada Zuber untuk disiksa agar bersedia menerangkan yang sebenarnya.
Oleh karena paman Hayyi tidak mengaku, para sahabat pun memeriksa gua tersebut.
Mereka menemukan di dalam gua itu sebuah kantong kulit sapi beserta segala
isinya. Maka Rasulullah memutuskan hukuman mati terhadap dua orang laki-laki
dari Bani Abul Huqaiq, salah satunya adalah suami Shafiyah, yang dinilai telah
melanggar janji yang diucapkannya.[15]
Contoh-contoh di atas adalah contoh
kasus-kasus yang diputuskan berdasarkan bukti persangkaan. Para imam dan
khalifah selalu menjatuhkan putusan berupa hukuman potong tangan terhadap
Terdakwa yang diketahui secara nyata barang curiannya berada di tangannya.
Bukti persangkaan dari indikator-indikator
seperti dalam kasus-kasus tersebut di atas menempati kedudukan alat bukti yang
lebih kuat dari keterangan saksi dan pengakuan. Keterangan saksi dan pengakuan
merupakan berita yang mengandung nilai-nilai kebohongan dan kebenaran.
Sedangkan barang bukti yang berada di tangan merupakan alat bukti yang yang
nyata dan tidak diragukan lagi. Seseorang ketika melihat ada korban mati
terbunuh dengan darah tercecer, dan dilihatnya ada seorang lelaki lain yang
berdiri di atas kepala korban memegang sebilah pedang yang terhunus berlumuran
darah, maka adakah dia akan meragukan untuk mengatakan kalau lelaki itu
pembunuhnya? Faktanya lelaki itu telah memegang barang bukti berupa alat yang
digunakan untuk membunuhnya.[16]
Suatu putusan yang dijatuhkan berdasarkan
bukti persangkaan dari indikatornya yang nyata tidak dapat dikatakan sebagai
putusan yang menyimpang. Karena, sekiranya gugatan Penggugat tidak benar, tentulah gugatan itu
ditolak oleh Tergugat dengan sumpahnya. Dan jika tergugat menolak mengangkat
sumpah, maka penolakannya itu merupakan indikator nyata yang menunjukkan
kebenaran gugatan Penggugat. Dengan demikian asas praduga tak bersalah harus
dikalahkan. Banyak implikasi dan indikasiyang lebih kuat, selain sikap menolak
mengangkat sumpah, yang dapat ditangkap oleh indra.[17]
Para Hakim yang cerdas serta arif bijaksana dapat membebaskan hak-hak rakyat yang terampas dengan
memperhatikan qarinah} - qarinah} yang jelas
adanya, maka para hakim tidak lagi meminta bukti kesaksian dan juga tidak
meminta suatu pengakuan.[18] Hakim wajib untuk selalu
mencari kebenaran, sehingga hakim harus menjauhkan segala sesuatu yang dapat
mengganggu fikirannya. Dia tidak boleh memutus dikala amat marah ataupun lapar,
dikala sedih yang mencemaskan, amat takut, mengantuk, panas dingin atau sibuk
hatinya sehingga hal hal itu akan memalingkannya dari pengetahuan yang benar
dan pemahaman yang cermat.[19]
Diriwayatkan bahwa ada seorang perempuan
datang menghadap Umar bin Khatab lalu ia mengadukan hal suaminya dan ia berkata: suamiku adalah sebaik-baik penduduk
bumi, ia sembahyang di malam hari sampai subuh, dan berpuasa sampai sore, lalu
perempuan itu nampak malu dengan menghentikan pembicaraannya. Kemudian khalifah
Umar berkata: semoga Allah memberi balasan baik kepadamu, sungguh engkau telah
berbuat kepada kami. Setalah perempuan itu berpaling, maka berkatalah Ka’ab bin
Sur Al Azdi: Hai Amirul Mukminin, perempuan itu telah selesai mengadu kepada
tuan. Umar bertanya, lalu apa yang ia maksudkan? Ka’ab menjawab: tentang
suaminya. Umar berkata lagi: aku belum mengerti. Kemudian Umar berkata kepada
Ka’ab: adililah mereka! Ka’ab menjawab: apakah aku akan mengadili sedangkan
engkau ada? Umar berkata: sungguh engkau memiliki kecerdasan yang tidak aku
miliki. Ka’ab berkata: sesungguhnya Allah berfirman: (artinya) ”Maka
kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai, dua, tiga atau empat”[20],
lalu berkatalah Ka’ab kepada suami dari perempuan tersebut: berpuasalah
tiga hari dan berbukalah sehari, dan sembahyang tiga malam dan berilah
kesempatan semalam untuk istrimu! Kemudian Khalifah Umar berkata: inilah hal
yang lebih menakjubkan sejak semula, lalu Ka’ab diangkat sebagai Hakim di
Basrah.[21]
Dari contoh-contoh konkret di atas,
tergambarlah bahwa betapa banyaknya perkara yang dapat diselesaikan dengan
mempergunakan qari>nah} , padahal semua itu tanpa mendasarkan pada alat bukti yang lain. Karena
begitu besar peranannya dalam membantu menegakkan keadilan, maka di Mesir
misalnya, dalam Undang-undang Nomor 147 Tahun 1949, tentang Acara Perdata, qari>nah}
diterima sebagai alat bukti. Yang terdiri dari
Qari>nah Qod}oiyyah yakni qari>nah} yang merupakan hasil kesimpulan hakim setelah dilakukan pemeriksaan perkara
dan Qari>nah Qonuniyyah yakni qari>nah} yang ditentukan oleh undang-undang. Begitu
pula dalam Undang-undang Nomor 78 Tahun 1931 tentang Mahkamah Syari’ah, qari>nah}
dipakai sebagai alat bukti.[22]
[1]
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum
Positif, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm.88.
[2] Nashr Farid Washil, Nazhariyyah ad Da’wa
wa al Istbat fii al-Fiqhi…, (Kairo :
Daaru asy Syuruq. 2002), hlm.147.
[3] Roihan
A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Edisi Baru), (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007), hlm. 174.
[8] Roihan
A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan....., hlm. 174.
[10] Anshoruddin,
Hukum Pembuktian Menurut Hukum....., hlm.88.
[11] Ibnu
Qayyim al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, alih bahasa Adnan
Qohar, cet.ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.3-4.
[12] Roihan
A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan....., hlm. 174.
Had adalah
hukuman yang sudah ditentukan syara’ untuk jenis kejahatan tertentu
Muhammad
Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khatab ra, (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 1999), hlm. 95.
[14]
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan....., hlm.7.
[15] Ibid,
hlm.8-10.
[16] Ibid,
hlm.7.
[17]
Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, alih bahasa Imron
A.M, cet.ke-4, (Surabaya: PT Bina ilmu, 1993), hlm. 120.
[19] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,
alih bahasa Mudzakir AS, jilid ke-14, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), hlm.28.
[20] An-Nisa’
(4): 3.
[22]
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan....., hlm. 176.
No comments:
Post a Comment