Thursday, December 16, 2010

PERSANGKAAN DALAM HUKUM ACARA PERADILAN ISLAM


PERSANGKAAN DALAM HUKUM ACARA PERADILAN ISLAM

Selengkapnya silahkan click DISINI

A.     Pengertian Persangkaan dalam Hukum Acara Peradilan Islam
Di dalam hukum acara Islam alat bukti persangkaan dikenal dengan sebutan qari>nah}. Qari>nah secara bahasa diambil dari kata “muqara>nah}” yang berarti musahabah dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan pengertian atau petunjuk.[1] Secara istilah  qari>nah} diartikan dengan :

الادلة التى يستنبطها القاضى من وقائع الدعوى واحوالها باجتهاد[2]

Menurut Raihan Rasyid yang dimaksudkan dengan qari>nah} di dalam istilah hukum adalah hal-hal yang mempunyai hubungan atau pertalian yang erat sedemikian rupa terhadap sesuatu sehingga dapat memberikan petunjuk.[3]

B.     Landasan Hukum
Adapun dasar hukum mengenai alat bukti persangkaan dalam hukum acara Islam terdapat di dalam al-Qur’an, yakni:

ان كان قميصه قد من قبل فصدقت و هو من الكاذبين[4]

ان فى ذالك لايات للمتوسمين[5]

ولونشاءلارينكهم فلعرفتهم بسيماهم[6]

يحسبهم الجاهل اغنياء من التعفف تعرفهم بسيماهم[7]
    
   Ayat-ayat al-Qur’an tersebut di atas adalah ayat-ayat yang menjadi landasan hukum ataupun dasar pijakan dari qari>nah} sebagai alat bukti di dalam hukum acara peradilan Islam.

C.     Penggunaan Persangkaan Serta Posisinya dalam Hukum Acara Islam
Persangkaan atau qari>nah}  di dalam hukum acara peradilan Islam adalah merupakan salah satu alat bukti yang sah di antara sekian banyak alat bukti yang ada dalam hukum acara Islam. Menurut Roihan Rasyid tidak semua qari>nah}  dapat dijadikan sebagai alat bukti, melainkan hanya qari>nah}  yang jelas saja, yang dalam hukum acara peradilan Islam disebut qari>nah} wad}i>h}ah  yang dapat dijadikan sebagai dasar pemutus, walaupun hanya atas satu qari>nah} wad}i>h}ah  tanpa didukung oleh alat bukti yang lain.[8] Dengan kata lain bahwa qari>nah} wad}i>h}ah  ini dapat berdiri sendiri, tidak memerlukan perantara alat bukti lain dalam penerapannya sebagai alat bukti di dalam persidangan.
Qari>nah}  itu terbagi menjadi dua, yakni :
  1. Qari>nah} Qanuniyyah||{{{{{{  yakni qari>nah}  yang ditentukan oleh undang-undang. Adapun pengertian daripada persangkaan undang-undang yakni persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu.
Menurut M. Nur Rasaid, tentang menarik persangkaan menurut undang-undang ini haruslah dianggap sebagai perbandingan saja, yang oleh Hakim harus dipertimbangkan apakah dalam suatu kasus tertentu berlaku ketentuan tersebut.[9]
  1. Qarinah} Qad}aiyyah}  yakni qari>nah}  yang merupakan hasil kesimpulan hakim setelah dilakukan pemeriksaan perkara.[10] Pengertian persangkaan hakim adalah: persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta yang bersumber dari fakta yang terbukti dalam persidangan sebagai pangkal  titik tolak menyusun persangkaan. Persangkaan ini adalah persangkaan yang diserahkan kepada pertimbangan hakim sepenuhnya.
Di dalam sejarah hukum acara peradilan Islam telah banyak sekali kasus-kasus serta permasalahan yang diputuskan melalui bukti persangkaan. Baik itu semasa hidupnya para Nabi dan Rasul, ataupun pada masa setelahnya. Akan tetapi perlu diketahui, bahwasanya dalam hukum Islam tidak dikenal pembagian hukum seperti halnya yang terdapat dalam hukum positif yang digolongkan menjadi hukum pidana dan hukum perdata. Sehingga contoh-contoh kasus yang terdapat di bawah ini apabila dimasukkan ke ranah hukum perdata terdapat contoh-contoh pidana dan perdata. Di antara contoh-contoh permasalahan yang diputus melalui  bukti persangkaan adalah sebagai berikut:
1.      Dalam kasus sengketa anak
Dalam kasus ini adalah dicontohkan kasus persengketaan anak pada masa Nabi Sulaiman AS. Yakni ada dua orang perempuan yang bersengketa masalah anak. Keduanya mengaku bahwa anak tersebut adalah anak mereka. Maka Sulaiman berucap, ”sebaiknya kamu berdua datang kepadaku dengan membawa sebilah pisau, yang dengan pisau itu aku akan membelah bayi ini menjadi dua bagian yang masing-masing diantara kamu akan memperoleh satu bagian.” mendengar ucapan Sulaiman itu, Penggugat bersedia melakukannya. Sedangkan Tergugat berkeberatan dan menyatakan, ”jangan anda lakukan itu, semoga Allah SWT merahmatimu, sesungguhnya bayi itu anak Penggugat.” Dengan mendengar pernyataan Tergugat itu, Sulaiman memutuskan bahwa anak yang disengketakan itu adalah anak siTergugat.
Sulaiman mengambil dalil bahwa raut muka Penggugat yang ceria dan kerelaannya melakukan perintahnya adalah menunjukkan bahwa sang Penggugat menyimpan maksud jahat, di mana untuk mencapai maksud dan tujuannya dia sanggup dan rela melakukan apa saja. Sedangkan dari pernyataan Tergugat telah terungkap, bahwa dia tidak sanggup menyakiti badan jasmani anak yang disengketakan, dia lebih memilih melepaskannya. Sikap Tergugat ini merupakan bukti bahwa dia benar-benar ibu kandung anak yang disengketakan itu. Karena seorang ibu yang mengandung dan melahirkan pasti memiliki kasih sayang yang ditanamkan Allah ke dalam hatinya terhadap anak yang dikandung dan dilahirkannya itu. Dan yang demikian itu telah ditunjukkan oleh sikapnya yang rela menderita berpisah dengan anak kandungnya demi keselamatan buah hatinya tersebut, dan bukanlah sebaliknya.
Sikap kontroversi dari dua orang perempuan yang bersengketa masalah anak itu telah dipahami oleh Sulaiman sebagai indikasi yang sangat kuat untuk memutuskan, bahwa anak yang disengketakan itu adalah anak kandung Tergugat.[11]
2.      Dalam kasus Yusuf dengan Zulaikhah
Kisah ini diabadikan di dalam al-Qur’an surat Yusu>f ayat 23-28. Yakni diceritakan ketika Qitfir, suami Zulaikha pergi, Zulaikha mengajak dan memaksa Yusuf untuk berbuat mesum, akan tetapi Nabi Yusuf  tidak mau, lalu berlarilah Nabi Yusuf menuju pintu untuk keluar dari rumah. Tiba di pintu baju Nabi Yusuf ditarik dari belakang oleh Zulaikha sehingga koyak baju Yusuf, dan tepat pada waktu itu suami Zulaikha tiba dari bepergian. Karena tertangkap basah, Zulaikha mengadu kepada suaminya bahwa Yusuf mengajaknya dan memaksanya untuk berbuat mesum. Pada saat yang kritis itu, berkatalah seorang bayi yang masih dalam buaian dari keluarga Zulaikha: ”jika baju Yusuf koyak di bagian muka berarti Yusuflah yang salah, tetapi jika koyak di bagian belakang berarti Yusuflah yang benar.” lantas suami Zulaikha melihat baju Yusuf, ternyata koyak di bagian belakang, berarti Yusuflah yang benar.[12]
3.      Dalam perkara tindak kejahatan miras
Umar bin Khatab dan Ibnu Mas’ud telah menjatuhkan putusan hukuman had[13] terhadap seorang lelaki yang diketahui secara nyata mulutnya berbau minuman keras dan muntah minuman keras. Terhadap putusan ini tidak ada seorangpun yang menentangnya. Karena putusan tersebut telah dijatuhkan berdasarkan indikatornya yang sangat kuat.[14]
4.      Dalam perkara tindak kejahatan penggelapan barang
Nabi Muhammad SAW memerintahkan Zuber menyidik Tersangka paman Hayyi bin Akhtab yang diduga melakukan  tindak pidana penggelapan terhadap harta Hayyi bin Akhtab, dengan jalan menyiksanya agar mau mengeluarkannya. Penyiksaan ini dilakukan karena diketahui adanya indikator yang sangat kuat yang memberi petunjuk, bahwa dia adalah pelakunya. Nabi bersabda kepada Zuber, ”limit waktunya begitu singkat, sedangkan harta yang dihabiskan dalamlimit waktu tersebut begitu banyak.”
Kasus posisinya adalah sebagai berikut, ketika Rasulullah melakukan invasi ke Khaibar. Sebagian penduduknya melakukan perlawanan, dan sebagian lainnya menyerah secara damai. Sisi kota yang penduduknya menyerah secara damai telah diduduki oleh Rasulullah, sedangkan sisi kota yang penduduknya melakukan perlawanan, telah dikepung dan dihalau oleh Rasulullah beserta pasukannya ke Khaibar selama empat belas hari. Di antara mereka adalah orang-orang Yahudi Bani Nadhir. Ketika itu mereka membawa harta kekayaan yang amat banyak berupa mas dan intan yang dimasukkan ke dalam kantong kulit sapi. Karena merasa terdesak, mereka kemudian bernegoisasi dengan Rasulullah. Bani Abu Huqaiq mengirim dutanya dengan membawa pesan permohonan perdamaian kepada Rasulullah. Permohonan perdamaian mereka telah diterima oleh Rasulullah dengan syarat, mereka harus meninggalkan seluruh harta kekayaannya dan keluar dari Khaibar dengan pakaian yang melekat di tubuhnya semata, jika  mereka melanggar perjanjian tersebut, maka suaka politik akan dicabut.
Mereka mnerima syarat-syarat yang diajukan oleh Rasulullah. Akan tetapi ternyata mereka mengingkari perjanjiannya dengan menggelapkan harta kekayaannya berupa mas dan intan yang mereka masukkan ke dalam kantong kulit sapi yang dibawa oleh Hayyi dari Nadhir tersebut di atas. Rasulullah mencurigai kalau kantong kulit sapi beserta segala isinya itu telah digelapkan oleh paman Hayyi bin Akhtab ketika dihalau ke Khaibar, karena Rasulullah melihat dia telah berjalan mondar-mandir di sekitar gua. Maka Rasulullah bertanya kepada paman Hayyi, ”apa yang kamu lakukan terhadap kantong kulit sapi beserta segala isinya yang dibawa oleh Hayyi dari Nadhir? Dia menjawab, ”kami membelanjakannya untuk keperluan hidup dan biaya perang. ”Rasulullah berkata, limit waktunya begitu singkat, sedangkan harta yang dibelanjakan begitu banyak.”
Kemudian Rasulullah menyerahkan paman Hayyi kepada Zuber untuk disiksa agar bersedia menerangkan yang sebenarnya. Oleh karena paman Hayyi tidak mengaku, para sahabat pun memeriksa gua tersebut. Mereka menemukan di dalam gua itu sebuah kantong kulit sapi beserta segala isinya. Maka Rasulullah memutuskan hukuman mati terhadap dua orang laki-laki dari Bani Abul Huqaiq, salah satunya adalah suami Shafiyah, yang dinilai telah melanggar janji yang diucapkannya.[15]
Contoh-contoh di atas adalah contoh kasus-kasus yang diputuskan berdasarkan bukti persangkaan. Para imam dan khalifah selalu menjatuhkan putusan berupa hukuman potong tangan terhadap Terdakwa yang diketahui secara nyata barang curiannya berada di tangannya.
Bukti persangkaan dari indikator-indikator seperti dalam kasus-kasus tersebut di atas menempati kedudukan alat bukti yang lebih kuat dari keterangan saksi dan pengakuan. Keterangan saksi dan pengakuan merupakan berita yang mengandung nilai-nilai kebohongan dan kebenaran. Sedangkan barang bukti yang berada di tangan merupakan alat bukti yang yang nyata dan tidak diragukan lagi. Seseorang ketika melihat ada korban mati terbunuh dengan darah tercecer, dan dilihatnya ada seorang lelaki lain yang berdiri di atas kepala korban memegang sebilah pedang yang terhunus berlumuran darah, maka adakah dia akan meragukan untuk mengatakan kalau lelaki itu pembunuhnya? Faktanya lelaki itu telah memegang barang bukti berupa alat yang digunakan untuk membunuhnya.[16]
Suatu putusan yang dijatuhkan berdasarkan bukti persangkaan dari indikatornya yang nyata tidak dapat dikatakan sebagai putusan yang menyimpang. Karena, sekiranya gugatan  Penggugat tidak benar, tentulah gugatan itu ditolak oleh Tergugat dengan sumpahnya. Dan jika tergugat menolak mengangkat sumpah, maka penolakannya itu merupakan indikator nyata yang menunjukkan kebenaran gugatan Penggugat. Dengan demikian asas praduga tak bersalah harus dikalahkan. Banyak implikasi dan indikasiyang lebih kuat, selain sikap menolak mengangkat sumpah, yang dapat ditangkap oleh indra.[17]
Para Hakim yang cerdas serta arif  bijaksana dapat membebaskan  hak-hak rakyat yang terampas dengan memperhatikan qarinah} - qarinah}  yang jelas adanya, maka para hakim tidak lagi meminta bukti kesaksian dan juga tidak meminta suatu pengakuan.[18] Hakim wajib untuk selalu mencari kebenaran, sehingga hakim harus menjauhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu fikirannya. Dia tidak boleh memutus dikala amat marah ataupun lapar, dikala sedih yang mencemaskan, amat takut, mengantuk, panas dingin atau sibuk hatinya sehingga hal hal itu akan memalingkannya dari pengetahuan yang benar dan pemahaman yang cermat.[19]
Diriwayatkan bahwa ada seorang perempuan datang menghadap Umar bin Khatab lalu ia mengadukan hal suaminya dan ia  berkata: suamiku adalah sebaik-baik penduduk bumi, ia sembahyang di malam hari sampai subuh, dan berpuasa sampai sore, lalu perempuan itu nampak malu dengan menghentikan pembicaraannya. Kemudian khalifah Umar berkata: semoga Allah memberi balasan baik kepadamu, sungguh engkau telah berbuat kepada kami. Setalah perempuan itu berpaling, maka berkatalah Ka’ab bin Sur Al Azdi: Hai Amirul Mukminin, perempuan itu telah selesai mengadu kepada tuan. Umar bertanya, lalu apa yang ia maksudkan? Ka’ab menjawab: tentang suaminya. Umar berkata lagi: aku belum mengerti. Kemudian Umar berkata kepada Ka’ab: adililah mereka! Ka’ab menjawab: apakah aku akan mengadili sedangkan engkau ada? Umar berkata: sungguh engkau memiliki kecerdasan yang tidak aku miliki. Ka’ab berkata: sesungguhnya Allah berfirman: (artinya) ”Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai, dua, tiga atau empat”[20], lalu berkatalah Ka’ab kepada suami dari perempuan tersebut: berpuasalah tiga hari dan berbukalah sehari, dan sembahyang tiga malam dan berilah kesempatan semalam untuk istrimu! Kemudian Khalifah Umar berkata: inilah hal yang lebih menakjubkan sejak semula, lalu Ka’ab diangkat sebagai Hakim di Basrah.[21]
Dari contoh-contoh konkret di atas, tergambarlah bahwa betapa banyaknya perkara yang dapat diselesaikan dengan mempergunakan qari>nah} , padahal semua itu tanpa mendasarkan pada alat bukti yang lain. Karena begitu besar peranannya dalam membantu menegakkan keadilan, maka di Mesir misalnya, dalam Undang-undang Nomor 147 Tahun 1949, tentang Acara Perdata, qari>nah}  diterima sebagai alat bukti. Yang terdiri dari Qari>nah Qod}oiyyah  yakni qari>nah}  yang merupakan hasil kesimpulan hakim setelah dilakukan pemeriksaan perkara dan Qari>nah Qonuniyyah  yakni qari>nah}  yang ditentukan oleh undang-undang. Begitu pula dalam Undang-undang Nomor 78 Tahun 1931 tentang Mahkamah Syari’ah, qari>nah}  dipakai sebagai alat bukti.[22]


[1]   Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm.88.
[2]   Nashr Farid Washil, Nazhariyyah ad Da’wa wa al Istbat fii al-Fiqhi…, (Kairo :   Daaru asy Syuruq.   2002), hlm.147.
[3]   Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Edisi Baru), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 174.
[4]   Yusu>f (12) : 26.
[5]   Al-Hijr (15) : 75.
[6]   Muhammad (47) : 30.
[7]   Al-Baqara{>h (2) : 273.

[8]   Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan....., hlm. 174.
[9]   M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet.ke-3 (Jakarta, Sinar Grafika: 2003) hlm.42.
[10]   Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum....., hlm.88.
[11]   Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, alih bahasa Adnan Qohar, cet.ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.3-4.
[12]   Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan....., hlm. 174.
[13]                                                                              الحد  عقوبة مقد رة شرعا لجر يمة معينة
Had adalah hukuman yang sudah ditentukan syara’ untuk jenis kejahatan tertentu
Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khatab ra, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1999), hlm. 95.

[14]   Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan....., hlm.7.
[15]   Ibid, hlm.8-10.
[16]   Ibid, hlm.7.
[17]   Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, alih bahasa Imron A.M, cet.ke-4, (Surabaya: PT Bina ilmu, 1993), hlm. 120.
[18]   Ibid, hlm.121.
[19]   Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa Mudzakir AS, jilid ke-14, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), hlm.28.

[20]  An-Nisa’ (4): 3.
[21]   Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam....., hlm. 121-122.
[22]   Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan....., hlm. 176.

No comments: