KREDIT
(AL-QARD) DALAM ISLAM
Selengkapnnya
Click DISINI
A. Kredit
1.
Pengertian
Kredit dilihat dari segi bahasa
mengandung arti kepercayaan, nama baik, pinjaman uang[1].
Dari pemahaman terhadap pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dasar
kredit adalah kepercayan. Seseorang atau suatu badan yang memberikan kredit,
percaya bahwa penerima kredit dimasa mendatang akan sanggup memenuhi segala
sesuatu yang telah dijanjikan.[2]
Apa yang telah dijanjikan untuk dipenuhi itu dapat berupa barang, uang, ataupun
jasa.[3]
Istilah kredit juga berasal dari
bahasa lain “Creditum” yang berarti kepercayaan akan
kebenaran. Dalam praktek sehari-hari pengertian ini selanjutnya berkembang
lebih luas lagi yaitu, kredit adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu
pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan jangka waktu yang disepakati.[4]
Perjanjian kredit atau
perjanjian pinjaman uang juga tercantum dalam Kitab undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerd) yaitu pasal 1754 yang berbunyi:
Pinjam-meminjam
ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan pihak yang lain suatu
jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan syarat
bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari
macam dan keadaan yang sama pula.[5]
Sedangkan menurut Undang-undang no. 10
Tahun 1989 dinyatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.[6]
Pengertian kredit dalam arti ekonomi
yaitu suatu penundaan pembayaran. Artinya uang atau barang diterima sekarang
dan dikembalikan pada masa yang akan datang. Kredit juga dapat diartikan sebagai
suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu
akan dikembalikan lagi pada masa yang akan datang disertai dengan suatu kontra
prestasi berupa bunga.[7]
Dari beberapa pendapat tentang arti
kredit diatas dapat disimpulkan bahwa kredit adalah hutang-piutang antara pihak
yang satu dengan pihak yang lain, dimana pihak peminjam (debitur) berkewajiban membayar atau melunasi
hutangnnya setelah jangka waktu tertentu.
2.
Unsur-unsur
dan Prinsip-prinsip Kredit
Jika
dilihat dari pengertiannya, ada beberapa unsur yang terkandung dalam pemberian
suatu fasilitas kredit. Adapun unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Kepercayaan
Yaitu suatu
keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa uang, barang atau
jasa) akan benar-benar diterima kembali dimasa tertentu dimasa datang.
Kepercayaan ini diberikan oleh bank, dimana sebelumnya sudah dilakukan
penelitian penyelidikan tentang nasabah baik secara intern maupun ekstern.
Penelitian dan penyelidikan tentang kondisi masa lalu dan sekarang terhadap
nasabah pemohon kredit.
b.
Kesepakatan
Disamping unsur percaya di dalam kredit juga mengandung unsur
kesepakatan antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit. Kesepakatan ini
dituangkan dalam suatu perjanjian yang masing-masing pihak menandatangani hak
dan kewajibannya masing-masing.
c.
Jangka waktu
Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka
waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu
tersebut bisa berbentuk jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang.
d.
Resiko
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu
resiko tidak tertagihnya/ macet pemberian kredit. Semakin panjang suatu kredit
semakin besar resikonya, demikian pula sebaliknya. Resiko ini menjadi tanggungan
bank, baik resiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai, maupun oleh resiko
yang tidak sengaja. Misalnya terjadi bencana alam atau bangkrutnya usaha
nasabah tanpa ada unsur kesengajaan lainnya.
e.
Balas jasa
Merupakan
keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang dikenal dengan
nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan biaya administrasi kredit ini
merupakan keuntungan bank. Sedangkan bagi bank yang berdasarkan prinsip
syari’ah balas jasanya ditentukan dengan bagi hasil.[8]
Agar kegiatan perkreditan
dapat terlaksana dengan baik, maka ada beberapa prinsip yang perlu dipenuhi
sebelum kredit disalurkan. Adapun prinsip-prinsip tersebut dikenal dengan
istilah “5 C”, yaitu:
a. Character
Suatu keyakinan bahwa sifat atau watak
dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya, hal
ini tercermin dari si nasabah baik yang bersifat latar belakang pekerjaan
maupun yang bersifat pribadi seperti: cara atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga,
hoby dan social standing-nya. Ini semua merupakan ukuran “kemauan”
membayar.
b. Capacity
Untuk melihat nasabah dalam
kemampuannya dalam bidang bisnis yang dihubungkan dengan pendidikannya,
kemampuan bisnis juga diukur dengan kemampuannya dalam memahami tentang
ketentuan- ketentuan pemerintah. Begitu pula dengan kemampuannya dalam
menjalankan usahanya selama ini. Pada akhirnya akan terlibat “kemampuannya”
dalam mengembalikan kredit yang disalurkan.
c. Capital
Untuk melihat penggunaan modal apakah
efektif, dilihat laporan keuangan (neraca dan laporan rugi laba) dengan
melakukan pengukuran seperti dari segi likuiditas, solvabilitas,
rentabilitas dan ukuran lainnya. Capital juga harus dilihat dari
sumber mana saja modal yang ada sekarang ini.
d. Collateral
Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat
fisik maupun non-fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang
diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya, sehingga jika terjadi
suatu masalah maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat
mungkin.
e. Condition
Dalam menilai kredit hendaknya juga
dinilai kondisi ekonomi dan politik sekarang dan di masa akan datang sesuai
dengan sektor masing-masing, serta prospek usaha dari sektor yang ia jalankan.
Penilaian prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki
prospek yang baik, sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif
kecil.[9]
3.
Tujuan dan
Fungsi Kredit
Pemberian suatu fasilitas kredit
mempunyai tujuan tertentu. Tujuan dari kredit adalah memperoleh hasil berupa
keuntungan yang diperoleh dari pengambilan jasa.[10]
Tujuan dari pemberian kredit tersebut tidak akan terlepas dari misi lembaga
keuangan yang bersangkutan. Adapun tujuan utama pemberian kredit adalah:[11]
a.
Mencari
keuntungan
Dalam dunia bisnis, pada
umumnya kredit diberikan untuk memperoleh hasil berupa keuntungan atas
pemberian jasa. Hasil tersebut pada umumnya berbentuk bunga yang diterima bank
sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada
nasabah. Dalam perbankan yang menggunakan prinsip syari’ah keuntungan yang
diperoleh atas jasa peminjaman uang diistilahkan dengan imbalan atau “bagi
hasil”.
b.
Membantu Usaha
Nasabah
Yaitu membantu usaha nasabah yang
memerlukan dana, baik dana investasi maupun untuk modal kerja.[12]
Dengan dana tersebut pihak debitur akan dapat mengembangkan dan memperluas
usahanya.
c.
Membantu
Pemerintah
Bagi pemerintah, semakin
banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka akan semakin bernilai
positif mengingat semakin banyak kredit berarti ada peningkatan pembangunan di
berbagai sektor.
Disamping memiliki tujuan-tujuan sebagaimana di atas, pemberian
fasilitas kredit juga memiliki beberapa fungsi antara lain:
a.
Untuk
meningkatkan daya guna uang
Adanya kredit dapat meningkatkan daya guna uang maksudnya jika uang
hanya disimpan saja tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan
diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang
atau jasa oleh si penerima kredit.
b.
Untuk
meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan
beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya sehingga suatu daerah yang
kekurangan uang dengan memperoleh kredit maka daerah tersebut akan memperoleh
tambahan uang dari daerah lainnya
c.
Meningkatkan
peredaran barang
Kredit dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu
wilayah ke wilayah lainnya, sehingga jumlah barang yang beredar dari satu
wilayah ke wilayah lainnya bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan barang
yang beredar.
d.
Sebagai alat
stabilitas ekonomi
Pemberian kredit dapat dikatakan sebagai stabilitas ekonomi karena
dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan
oleh masyarakat. Kemudian kredit dapat pula membantu dalam mengekspor barang
dari dalam negeri ke luar negeri sehingga meningkatkan devisa negara.
e.
Untuk
meningkatkan kegairahan berusaha
Bagi si penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan kegairahan
dalam berusaha, apalagi bagi nasabah yang modalnya memang pas-pasan.
f.
Untuk
meningkatkan pemerataan pendapatan
Semakin banyak kredit yang disalurkan maka akan semakin baik
terutama dalam hal meningkatkan pendapatan. Jika sebuah kredit diberikan untuk
membangun pabrik, maka pabrik tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja, sehingga
dapat pula mengurangi pengangguran.[13]
Selanjutnya kredit juga mempunyai
fungsi praktis, diantaranya relatif mudah diperoleh jika memang usahanya feasible
(benar-benar dapat dikerjakan), dan biaya untuk memperoleh kredit (bunga,
administrasi expense) dapat diperkirakan dengan tepat sehinggga memudahkan para
pengusaha menyusun rencana kerjanya untuk masa yang akan datang.[14]
B.
Kredit
Dalam Fiqh Mu’a>malah (Qard})
1.
Pengertian,
Dasar Hukum dan Hikmah
a.
Pengertian
Al-qard} secara bahasa (etimologis) berarti potongan (ﻊﻄﻘﻟﺍ)
yaitu istilah yang diberikan untuk sesutau yang diberikan sebagai modal usaha.
Sesuatu itu disebut qard} sebab ketika seseoarang memberikannya sebagai
modal usaha, maka sesuatu itu terputus atau terpotong. Sehubungan dengan itu,
aktivitas pencarian modal diistilahkan dengan (ﺽﺍﺭﻘﺘﺴﻹﺍ).[15]
Adapun al-qard} secara
istilah (terminologis) para ulama berbeda pendapat sesuai dengan
mazhabnya masing-masing.
1) Maz\hab H{anafi>
Mereka berpendapat bahwa qard}}
adalah sesuatu yang diberikan sebagai modal untuk dijalankan dengan syarat
bahwa harta itu ketika dikembalikan kepada pemiliknya harus semisal. Batasan
semisal adalah asal jenisnya tidak jauh berbeda. Kategori ini meliputi kesamaan
untuk ditakar, ditimbang dan dihitung jumlahnya.[16]
2) Maz\hab Ma>liki>
Mereka berpendapat bahwa qard}
adalah penyerahan dari seseorang kepada pihak lain berupa sesuatu yang bernilai
kebendaan.. Pemberian modal yang bagi
pemberinya berhak mengambil barang tersebut dari orang yang mendapatkan modal.
Pengertian
tersebut dapat dijelaskan lebih rinci sebagai berikut :
i.
Sesuatu itu bernilai
kebendaan dan bukan merupakan hal yang remeh.
ii.
Pemberian
bersifat murni, maksudnya seluruh keuntungan atau manfaat dari modal itu
kembali atau menjadi milik pihak yang menjalankan usaha.
iii.
Tidak mengijinkan
transaksi peminjaman yakni penerima modal tersebut tidak mempunyai kebebasan
dalam memanfaatkan modal tersebut sebagaimana seorang peminjam.
iv.
Menggambil barang
pengganti. Hal ini sebagai pembeda dengan hibah yakni suatau pemberian yang
tidak mengharapkan adanya pengganti.
v.
Barang pengganti
tidak berbeda jenis dengan modal. Hal ini dimaksudkan sebagai pembeda dari
transaksi salam.[17]
3) Maz\hab Sya>fi’i>
Mereka berpendapat bahwa qard}
adalah sesuatu yang diberikan sebagai pinjaman modal. Qard} merupakan
pemberian pinjaman modal yang bersifat menjalankan kebaikan/ sosial. Qard}
bisa dipersamakan dengan transaksi salaf yaitu pemilikan sesuatu untuk
diberikan kembali dengan sesuatu yang serupa menurut kebiasaan yang berlaku.[18]
4) Maz\hab H{ambali>
Mereka berpendapat bahwa qard}
adalah menyerahkan modal pinjaman kepada orang yang menggunakannya dan modal
itu akan dikembalikan berupa barang penggantinya. Qard bagi mereka merupakan
jenis dari transaksi salaf. Sebab penerimaan modal pinjaman mengambil
manfaat dari modal tersebut. Hal ini merupakan transaksi yang lazim terjadi.
Jika modal telah diserahkan maka pemberi modal tidak boleh mengambil manfaat
dari modal tersebut, sebab modal itu
tidak lagi menjadi miliknya, namun ia berhak mendapat gantinya.[19]
5) Abu> Sura>’i> Abd
al-Ha>di>
Menurutnya qard} atau pinjaman
adalah suata transaksi yang menyempurnakan jalan pemilikan harta kepada pihak
lain secara sukarela untuk dikembalikan lagi kepadanya dengan hal yang serupa
atau seseorang menyerahkan harta kepada pihak lain untuk dimanfaatkan dan
kemudian orang tersebut mengembalikan penggantinya.[20]
6) Sayyid Sa>biq
Menurut beliau qard} adalah
harta yang diberikan seorang pemberi pinjaman kepada orang yang meminjam untuk
kemudian dikembalikan yang semisal setelah mampu.[21]
Dari beberapa pendapat
tentang definisi qard} di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kredit atau qard}
adalah sutau transaksi atau perikatan antara pihak kreditur (pemberi pinjaman)
dengan debitur (penerima pinjaman) berupa uang atau barang yang merupakan suatu
jenis pinjaman pendahuluan untuk kepentingan peminjam dengan maksud akan
mengembalikan yang semisal sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati,
misalnya satu minggu, satu bulan, enam bulan atau satu tahun.
Dengan demikian praktek
perkreditan yang dilakukkan para usahawan kecil melalui program Kredit Usaha
Mikro di Perum Pegadaian Cabang Ngupasan Yogyakarta, jika ditinjau dari fiqh
Islam dapat dikategorikan ke dalam qard yaitu adanya modal berupa uang
yang diberikan oleh pihak pegadaian kepada para nasabah untuk mengembangkan
usahanya dengan kewajiban mengembalikannya pada waktu yang telah disepakati.
b. Dasar Hukum
1). Ayat al-Qur’an
Ayat-ayat al-Qur’an yang mendasari
kredit (qard}) ini diantaranya:
(a). Al-Baqarah (2): 245.
1. من ذاالذي يقرض الله قرضا حسنا فيضعفه له أضعافا كثيرة والله يقبض
2. ويبصط وإليه ترجعون [22]
(b).
Al-Muzzamil (73): 20.
3. وأقيمواالصلاة وأتوالزكاة وأقرضواالله قرضا حسنا وماتقدموا لأنفسكم من خير تجدوه
4. عند الله هو خيرا وأعظم أجرا وأستغفروا الله إن الله غفور رحيم [23]
E.
2). Hadis Nabi SAW
(a). Hadis riwayat al-Bukha>ri>
و من كان في حاجة اخيه كا ن الله في حاجته ومن فرج عن مسلم قرضا كربة فرج
الله كربة من كربات يوم القيامة[24]
(b). Hadis riwayat Ibn Ma>jah
Dari
keterangan-keterangan di atas, jelaslah bahwa qard} ada dalam ajaran Islam. Lebih dari itu Allah
SWT akan memberikan pahala yang berlipatganda bagi mereka yang meng-qirad}-kan harta di jalan-Nya. Qirad}
juga merupakan pekerjaan yang mulia, sehingga bisa menolong kesusahan orang
lain. Orang yang membantu sesamanya dalam kesusahan niscaya Allah SWT akan
menolongnya di akhirat kelak.
3). Ijma>’
Para ulama sepakat bahwa qard} merupakan
perbuatan yang dibenarkan. Hal ini didasari oleh tabiat manusia yang tidak bisa
hidup tanpa bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala
barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu pinjam-memnjam sudah menjadi suatu
bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.[26]
c. Hikmah
Hikmah adanya qar}d (pinjaman
modal) adalah menghilangkan kesusahan, memberi bantuan bagi yang membutuhkan
dan menguatkan rasa cinta kasih di antara sesama manusia.[27]
Orang yang menghilangkan kesusahan dari orang yang membutuhkan akan menjadi
orang yang dekat dengan rahmat Allah.[28]
Disamping itu qard juga dapat melunakkan hati, menyuburkan kasih sayang dan
sebagainya. Sifat-sifat yang demikian merupakan sifat yang sangat diharapkan
dalam pergaulan hidup manusia di manapun
juga.
2.
Rukun dan Macam-macam Qard}
a.
Rukun dan
Syarat Qard}
Rukun dan syarat merupakan sesuatu yang harus ada
dalam setiap perjanjian dalam mu’amalat. Adapun rukan dan syarat perjanjian
kredit (qard}) adalah sebagai berikut:
a) Adanya pihak yang memberikan pinjaman (kreditur) dan
pihak menerima pinjaman (debitur) yang disyaratkan harus orang yang cakap untuk
melakukan tindakan hukum.
b) Obyek (barang yang dipinjam).
Barang yang
dipinjam disyaratkan berbentuk barang yang dapat diukur atau diketahui jumlah maupun nilainya. Disyaratkan
hal ini agar pada waktu pembayarannya tidak menyulitkan, sebab harus sama
jumlah atau nilainya dengan jumlah atau nilai barang yang diterima.
c) Lafaz\ yaitu adanya
pernyataan (i>ja>b-qabu>l) baik dari pihak yang meberikan
pinjaman (kreditur) maupun dari pihak yang menerima pinjaman (debitur).[29]
[1] M. Dahlan al-Bairy, Kamus Ilmiah Popular (Surabaya: Arkola,
1994), hlm. 377. Begitu pula dalam bahasa latin kredit berarti “credere”,
yang artinya percaya. Maksud dari percaya bagi si pemberi kredit adalah ia
percaya kepada penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan
dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit merupakan
penerimaan kepercayaan sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai
jangka waktu. Lihat Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, edisi
revisi, cet. ke-6 (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 93.
[2] Thomas Suyatno, dkk., Dasar-dasar Perkreditan , cet. ke-5
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 12.
[3] Indra Darmawan, Pengantar Uang dan Perbankan, cet. ke-1
(Jakarta: Rineka Cipta 1992), hlm.88. Kredit dapat diartikan sebagai metode
penjualan barang dengan pembayaran angsuran atau ditangguhkan, pinjaman yang pengembaliannya dilakukan
secara berangsur. Lihat Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer (Jakarta: Modern English Press, 1991), hlm. 776.
[4] Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersial,
cet. ke-3 (Yogyakarta: BPFE, 1989), hlm. 9.
[5] Subekti dan Tjitro Sudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
cet. ke-31 (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2001), hlm.451.
[6] Undang-undang No. 10 Tahun 1989 tentang Perbankan, pasal 1 ayat
(11).
[7] Muhdarsyah Sinungan, Dasar-dasar, hlm. 11-12.
[8] Kasmir, Bank, hlm. 94- 95.
[9] Ibid., hlm. 104- 105.
[10] Muchdarsyah, Dasar-dasar, hlm.14.
[11] Kasmir,Bank, hlm. 96.
[12] Kredit investasi biasanya digunakan untuk keperluan usaha/ membayar
proyek/ pabrik baru/ untuk keperluan rehabilitasi. Misalnya untuk membangun
pabrik atau membeli mesin-mesin. Pendek kata pemakaiannya untuk suatu periode
yang relatif lebih lama. Kredit modal kerja merupakan kredit yang digunakan
untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya.misalnya untuk
membeli bahan baku,
membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses produksi
perusahaan. Dilihat dari segi tujuannya, kedua kredit tersebut termasuk kredit
produktif. Ibid, hlm. 99-100.
[13] Ibid, hlm. 97- 98.
[14] Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen, hlm.56.
[15] Ali>
Fikri>, al-Mu’a>mala>t al-Ma>diyah al-Adabiyyah (Kairo: Mustafa al-Bab al- Halabi, 1357), I: 344.
[16] Abd.
al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘Ala> Maz\a>hib al-Arba’ah (Mesir:
al-Maktabah al-Tija>riyyah al-Kubra>, t.t.), II: 338.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid., hlm, 339.
[20] Abu> Sura>’i> Abd. al-Ha>di>, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa: Muhammad Thalib
(Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hlm. 125.
[22] Al-Baqarah (2): 245.
[23] Al-Muzzamil ( 73): 20.
[24] Abu>
Abdi>llah Muh}ammad Ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, S{ah}I>h}
al-Bukha>ri> (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: 66. Hadis
dari Abdullah ibn Umar. Hadis ini dnilai s}ah}i>h} oleh para ulama.
[25] Abu>
Abdilla>h Muh}ammad Ibn Yazi>d al-Qazwimi> Ibn Ma>jah, Sunan Ibn
Ma>jah (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.), II: 81. Hadis dari Ibn Mas’ud. Ada yang menilai hadis ini h}asan.
[26] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek,
(Jakarta: Gema
Insani, 2001), hlm. 135.
[28] Ali>
Ah}mad al-Jurjawi>, Hikmat al-Tasyri>’ wa Falsafatuhu (t.t.p.:Dar al-Fikr, t.t.),
II: 185.
[29] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian
Dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafindo,1996), hlm. 137.
No comments:
Post a Comment