Monday, October 25, 2010

PARADIGMA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI INDONESIA PASCA REFORMASI ANTARA MITOS DAN REALITAS

PARADIGMA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
PASCA REFORMASI ANTARA MITOS DAN REALITA

Selengkapnya Click DISINI
BAB I
PENDAHULUAN

Problema-problema pendidikan kita semakin kompleks dan semakin serat  dengan tantangan. Kebijakan dan program-program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, nampak tidak memberi jawaban solutif terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan yang berkembang.  Kebijakan dan perubahan-perubahan pendidikan kita, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai.
Akibatnya, upaya-upaya perbaikan pendidikan yang dilaksanakan selama ini, seakan-akan berada di antara “mitos” dan “realitas”. Di satu sisi, perbaikan pendidikan dinyatakan sebagai sub-sistem pembangunan nasional sebagai identitas sistem secara keseluruhan, tetapi di sisi lain program-programnya tidak memiliki konsep yang cukup jelas untuk menjawab paradigma pembangunan yang berorientasi pada pola dan permasalahan kehidupan global yang menuntut kontribusi pendidikan yang dinamis dan bervariasi.[1] Untuk itu,  arah kebijakan pendidikan kedepan, seharusnya  ditujukan untuk merubah “mitos” menjadi “realitas”  perubahan pendidikan di Indonesia.
Gambaran di atas, menunjukkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia memang begitu dilematis. Artinya, di satu sisi, tuntutan kualitas pendidikan perlu dikatrol setinggi-tingginya untuk mengejar ketertinggalan begitu jauh dengan negara-negara lain. Sementara disi lain, dana operasional yang tersedia untuk bidang pendidikan begitu terbatas.  Perlu diakui bahwa pemerintah, sebenarnya telah mengalokasi sejumlah jenis bantuan untuk dana operasional pendidikan sekolah. Tetapi bantuan tersebut hanya cukup untuk menutup biaya minimal bagi kegiatan-kegiatan pendidikan. Sementara kegiatan yang sifatnya penunjang atau pengembangan, dirasakan belum optimal dan hal ini berakibat pada upaya peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Kebijakan  Pendidikan di Indonesia
            Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan aspek-aspek rohaniyah dan jasmaniyah juga harus secara bertahap.[2] Ada beberapa ahli fisafat memberi arti “pendidikan”: Salah satunya adalah Herman H. Horne, pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitar, dengan sesama manusia, dan dengan tabiat tertinggi dari kosmos. Dalam pengertian ini maka proses tersebut menyangkut proses seseorang menyesuaikan dirinya dengan dunia sekitarnya. Oleh karena itu, bila pengertian diatas dijadikan landasan pemikiran filosofis, maka secara ideal, filsafat pendidikan mengakui bahwa manusia itu harus menemukan dirinya sendiri sebagai suatu bagian yang integral dari alam rohani.[3]
Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab, jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia.  Dengan ilustrasi ini, maka  baik pemerintah maupun masyarakat berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia. “Sistem pendidikan yang dibangun harus disesuaikan dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat menghasilkan outcome yang relevan dengan tuntutan zaman.[4]



Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam sistem pendidikan nasional.  Perubahan sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan kita pun menyesuaikan dengan model otonomi. Kebijakan otonomi di bidang pendidikan otonomi pendidikan kemudian banyak membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan kita. Kebijakan tersebut masih sangat baru, maka sudah barang tertentu banyak kendala yang masih belum terselesaikan. 
Otonomi yang didasarkan pada   UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat kaitanya dengan desentralisasi. Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas, demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-insan yang “berkualitas”. Oleh karena itu, rekonstruksi dan reformasi dalam Sistem Pendidikan Nasional dan Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah dirumuskan misi pendidikan nasional kita,  yaitu mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia
Babarapa kalangan pakar dan praktisi pendidikan, mencermati kebijakan otonomi pendidikan sering dipahami sebagai indikasi kearah “liberalisasi” atau lebih parah lagi dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi pendidikan”. Hal ini, menurut Suyanto, semakin dikuatkan dengan terbentuknya Badan Hukum Pendidikan [BHP] yang oleh beberapa pengamat dianggap sebagai pengejawantahan dari sistem yang mengarah pada “liberalisasi pendidikan”
Berbagai problem fundamental yang dihadapi pendidikan nasional saat ini, yang tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita jalan. Seperti persoalan anggaran pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan output pendidikan kita yang masih sangat rendah kualitasnya. Problem-problem pendidikan yang bersifat metodik dan strategik yang membuahkan output yang sangat memprihatinkan. Output, pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat mandiri, karena memang tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, output yang pernah mengenyam pendidikan, menjadi “pengangguran terselubung”.

B.     Pengalaman Pendidikan Pasca Reformasi
Kebijakan pendidikan kita, berpikir dalam acuan keseragaman.  Dapat dikatakan bahwa selama ini kebijakan pendidikan semuanya terpusat. Kurikulum ditetapkan di pusat, tenaga pendidikan ditentukan dari pusat, sarana dan prasarana pendidikan diberikan dari pusat, dana pendidikan ditentukan dari pusat, semuanya diseragamkan dari pusat.  Maka yang terjadi adalah masyarakat jadi pasif tidak tahu dan tidak dapat berkecimpung di dalam kehidupan pendidikan anak-anak mereka. Padahal, masyarakat  memiliki harapan dan dampak terhadap upaya pendidikan di Indonesia , walaupun mereka mempunyai perbedaan dalam status sosial, peranan dan tanggungjawab.  Hal yang sangat ironis lagi, adalah menempatkan pendidikan sebagai kerja “non akademik”, pendidikan diselenggarakan dengan “otorita” kekuasaan “administratif-birokratis”, belum menempatkan pendidikan sebagai kerja “akademik” dan penyelenggaraan pendidikan dibawah “otorita keilmuan”.
Sistem pendidikan kita terlihat masih bersifat tambal sulam, mulai dari kebijakan kurikulum, manajemen, sistem pembelajaran, tuntutan kualitas guru, tuntutan fasilitas dan dana pendidikan, kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai. Sementara  secara umum, pendidikan seringkali dipandang sebagai investasi modal jangka panjang yang harus mampu membekali “pembelajar” untuk menghadapi kehidupan masa depannya.  Pendidikan harus mampu mencerahkan “pembelajar” dari ketidak tahuan menjadi tahu dan memberdayakan, artinya pendidikan  mampu membuat “pembelajar” berhasil dalam kehidupan.  Maka, berbicara soal pendidikan adalah bicara “soal kualitas kehidupan “pembelajar”, soal kualitas sumberdaya manusia [SDM], yang akan menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi bangsa Indonesia untuk ikutan bergulir sejajar dengan bangsa lain. 
C.     Perubahan Paradigma Pendidikan Pasca Reformasi
Pada era reformasi, masyarakat Indonesia  menginginkan perubahan dalam semua aspek kehidupan bangsa. Berbagai terobosan telah dilakukan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain diperlukan paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan perubahan masyarakat tersebut. Katakan saja, pembaharuan pada sektor pendidikan yang memiliki peran strategis dan fungsional juga memerlukan paradigma baru yang harus menekankan pada perubahan cara berpikir dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan.
Paradigma tersebut harus berimplikasi pada perubahan perspektif dalam pembangunan pendidikan, mulai dari perspektif yang menganggap pendidikan sebagai sektor pelayanan umum ke perspektif pendidikan sebagai suatu investasi produk yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di berbagai bidang kehidupan.  Sebab pendidikan bukan bidang yang terlepas dari “kehidupan” lainnya
Paradigma pendidikan dalam pembangunan yang diikuti para penentu kebijakan pemerintah kita dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis.
Dalam hal ini, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu.  Hal ini, memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal kita akan mampu mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem dunia kerja yang semakin kompleks. Tetapi, mungkin saja pendidikan kita tidak mempu menjawab tantangan tersebut, sebab pada kenyataannya, kemampuan kompetensi yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Akhir dari tulis ini, paparan yang dikemukakn di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan nasional kita perlu adanya filosofi, visi, dan misi pendidikan Indonesia yang dapat menggambarkan paradigma yang relevan dengan jiwa reformasi yang di dalamnya telah tumbuh sistem demokratisasi dan kebebasan yang beradab dan beraklak yang sedang kita kembangkan sekarang ini dalam berbagai bentuk.  Maka sudah tentu dalam aspek politik pendidikan dan Kebudayaan harus mendukung jiwa reformasi tersebut, sehingga pendidikan di Indonesia dapat mewujudkan manusia Indonesia Baru yang berkepribadian kuat, berkualitas, kritis, inivatif, toleransi dalam fluralisme dan siap bersaing dengan dunia luar.

BAB III

PENUTUP

Sebagai catatan akhir, terlepas dari banyak problem yang dihadapi pendidikan nasional kita, namun semua itu tidak boleh menyurutkan semangat kita.  Bagaimanapun,  harus diakui bahwa pendidikan nasional merupakan “investasi” bagi masa depan bangsa.   Melalui pendidikan, masa depan bangsa dapat dirancang sebaik mungkin dengan cara mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan dasar ini, kita harus berusaha untuk : Pertama, “mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia”.  Kedua,  perlu meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa. Ketiga, mengembangkan pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang dapat mengembangkan harkat dan martabat manusia (human dignity), dan mempersiapkan menusia menjadi khalifah  (manizing human). Keempat,  dalam menyongsong berbagai kecenderungan yang aktual tidak ada alternatif lain selain perlu penataan kembali terhadap dunia pendidikan mulai dari filsafat.

DAFTAR PUSTAKA

Ade Cahyana, From: <http://www. depdiknas. go. id/Jurnal/>., akses, Senin,16/03/200, jam.19.30
Koran Kompas, 4 September 2004
Khoirun Rosyadi, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Puataka Belajar, 2004
H.M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta,1987




[1] Ade Cahyana, From: <http://www. depdiknas. go. id/Jurnal/>., akses, senin,16/03/2009 jam.19.30].
[2] Khoirun Rosyadi, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Puataka Belajar, 2004. Hal. 135
[3] H.M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta,1987, Hal. 11-12
[4] Koran Kompas, 4 September 2004

No comments: