REVITALISASI DAN REVALIDASI PANCASILA
(Tinjauan dari Sudut Yuridis Ketatanegaraan*)
Oleh : Prof. Dr. Dahlan Thaib, S.H, MSi**)
Selengkapnya DOWNLOAD DISINI
I
Lima puluh delapan tahun yang lalu negarawan pendiri NKRI telah bersepakat merumuskan Pancasila dasar negara yang monomental, penuh dan syarat dengan simbol dan mitos. Dengan segala macam tantangan dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain Pancasila telah berperan mengikat dan menyatukan masyarakat Indonesia yang pluralistik, dan menumbuhkan perasaan kebangsaan yang mendalam.
Sebagai dasar negara yang dijabarkan dalam konstitusi, simbol dan mitos itu tidak cukup, sebab tidak ada satu sistem ketatanegaraan, yuridis ketatanegaraan. yang digambarkan dalam konstitusi atau UUD sudah sempurna pada saat dilahirkan, karena ia adalah produk zamannya. Karenanya ada dua hal yang perlu diperhatikan apabila makalah ini ditinjau dari aspek yuridis ketatanegaraan.
Pertama, dalam rangka revitalisasi dan revalidasi Pancasila sebagai dasar negara, menurut kacamata pandang ketatanegaraan, hukumlah yang memimpin semua program-program.
Kedua; dalam dinamika kehidupan ketatanegaraan Indonesia mendatang Pancasila tetap merupakan cita hukum atau rechts Idee dari bangsa Indonesia. Cita hukum (Rechts Idee) Pancasila ini harus menjadi acuan bagi semua peraturan Perundang-undangan Indonesia lainnya artinya semua peraturan perundang-undangan Indonesia tidak boleh bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum (Rechts Idee).
II
Dari apa yang dikemukakan di atas tentang cita hukum (rechts Idee) Pancasila, maka dengan mudah kita ketahui bahwa Indonesia secara implisit berpahamkan kebangsaan. Paham ini rumusan dari hasil pemikiran pendahuluan kita, diilhami oleh Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928 yang mengetengahkan prinsip kemerdekaan dengan landasan satu bangsa satu negara dan satu bahasa.
Dunia kini telah berubah, Iptek berkembang sangat pesat. Sejalan dengan itu, pola dan falsafah hidup manusia pun berubah, terutama di bidang teknologi, ekonomi dan politik. Lewat banyak pernyataan para pakar, bahwa sekarang riwayat negara bangsa berakhir (the end of nation state) dan dunia memasuki dunia tanpa batas (border lees world). Karena itu membicarakan revitalisasi dan revalidasi Pancasila, pertanyaan yang timbul mampukah Pancasila menyongsong perubahan dan perkembangan yang demikian pesat tersebut.
Masalah dari aspek yuridis ketatanegaraan adalah bagaimanakah merevitalisasi Pancasila dalam proses legislatif atau pembuatan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara.
Setiap rakyat Indonesia yang sadar dan yakin akan jatidirinya sebagai bangsa, tentu menginginkan Pancasila sebagai Dasar Negara, cita hukum (rechts Idee) menuju kearah persatuan dan kesatuan bangsa dapat terus dipertahankan. Namun pergeseran nilai sangat mungkin terjadi, akibat pengaruh negatif era globalisasi. Bukan tidak mungkin salah satu tantangan yang dihadapi bangsa kita pada era globalisasi adalah dipermasalahkannya dasar-dasar sistem ketatanegaraan yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman, bahkan bertentangan dan menghambat perkembangan upaya individual. Karena itu bagi bangsa Indonesia, tentu tak akan ada pilihan lain kecuali meningkatkan pemahaman kita pada dasar-dasar sistem ketatanegaraan yang telah kita anut berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tanpa didasarkan pada pemahaman tersebut, tujuan nasional mustahil tercapai.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia telah membuktikan betapa di tengah-tengah tantangan dan cobaan yang berat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila dan UUD 1945 telah membuktikan keampuhannya. Dan yang juga penting kita yakini ialah bahwa Pancasila sebagai landasan ketatanegaraan kita dapat menyongsong kehidupan bangsa dan negara Indonesia pada masa mendatang.
III
Dari aspek yuridis ketatanegaraan, Pancasila sebagai dasar negara dijabarkan dalam UUD 1945. Selanjutnya agar UUD 1945 sebagai penjabaran Pancasila dapat menyongsong masa depan, mengikuti perkembangan zaman dan dinamika masyarakat, maka ketentuan-ketentuan tentang kehidupan berbangsa dan bernegara diserahkan kepada undang-undang. Undang-undang sebagai pelaksana ketentuan-ketentuan konstitusi yang juga penjabaran dari Pancasila itu sendiri lebih mudah mengikuti perkembangan zaman dan dinamika masyarakat.
Karenanya, apa yang harus dipertahankan adalah nilai-nilai dasarnya, sedangkan implementasinya (dalam bentuk undang-undang) harus dinamis, disesuaikan dengan dinamika masyarakat, dengan kondisi yang ada. Itulah sebenarnya strategi kita kedepan dalam rangka pemahaman kita lebih lanjut tentang Pancasila sebagai ideologi terbuka yang selama ini sering kita dengar.
Suatu ideologi perlu mengandung tiga dimensi penting di dalam dirinya agar supaya ia dapat memelihara relevansinya yang tinggi/kuat terhadap perkembang aspirasi masyarakatnya dan tuntutan-tuntutan zaman. Kehadiran ketiga dimensi yang saling berkaitan, saling mengisi dan saling memperkuat itu akan menjadikannya suatu ideologi yang kenyal dan tahan uji dari masa ke masa. Ketiga dimensi itu:
1) Dimensi realita,
2) Dimensi idealisme, dan
3) Dimensi fleksibelitas (pengembangan).1)
Dari ketiga dimensi ideologi tersebut, penjelasan pokok mengenai pengertian Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah bahwa nilai dasarnya tetap, namun penjabarannya dapat dikembangkan secara kreatif dan dinamis sesuai dengan kebutuhan dinamika perkembangan masyarakat Indonesia sendiri.
Hal ini berarti bahwa pemahaman kita selanjutnya tentang Pancasila sebagai Ideologi terbuka harus dikaitkan dengan UUD 1945 yang menjabarkan nilai-nilai yang dikandung sila-silanya dalam pasal-pasalnya dan selanjutnya interpretasi terhadap pasal-pasalnya tersebut dipertajam dengan berbagai undang-undang sesuai dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat, terlebih-lebih di dalam menghadapi tantangan-tantangan besar ke depan.
Dengan menegaskan Pancasila sebagai ideology yang terbuka, disatu pihak kita diharuskan mempertajam kesadaran akan nilai-nilai dasarnya yang bersifat abadi, di lain pihak di dorong untuk mengembangkan secara kreatif dan dinamis untuk menjawab kebutuhan zaman.2)
IV
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, betapapun pentingnya nilai-nilai dasar tersebut belum operasional. Agar nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila itu operasional, maka memerlukan penjabaran lanjut, sebagai arahan untuk kehidupan nyata.
Penjabaran lanjut ini kita namakan nilai instrumental.
Menurut teori ilmu hukum nilai instrumental harus mengacu kepada nilai-nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamis dapat dilaksanakan melalui, peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya.
Sesuai dengan asas kedaulatan rakyat yang dianut oleh UUD 1945, maka tidak dapat tidak syarat yang harus dipenuhi dalam penjabaran ini, yaitu disepakati oleh seluruh rakyat tidak boleh ada pemaksanaan kehendak oleh kekuatan apapun juga baik perorangan maupun golongan.
Banyak konsep perlu ditinjau kembali dan dikaji ulang beberapa mungkin perlu diubah, beberapa lagi perlu dikembangkan, beberapa lagi perlu ditinggalkan, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Oleh sebab itu dalam menghadapi tantangan-tantangan ke depan kita perlu mengembangkan konsep-konsep yang relevan sesuai perkembangan zaman dan dinamika masyarakat.
Namun demikian perubahan kearah perbaikan dan pengembangan berbagai segi kehidupan kenegaraan pada masa yang akan datang sebagaimana dikemukakan di atas harus tetap didasarkan pada cita hukum (rechts Idee) Pancasila.
*) Disampaikan dalam Seminar Nasional “Kapasitas Pancasila Menghadapi Krisis Multi Dimensi”, yang diselenggarakan oleh LPPKB, Yogyakarta, 5 April 2003
**) Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta
1) Alfian, Ideologi, Idealisme dan Integrasi Nasional, (Prisma, No. 8 Agustus 1986)
2) Pancasila sebagai Ideologi, BP7 Pusat 1996, Penyunting Oetojo Oesman dan Alfian , Hal. 405.
No comments:
Post a Comment