RELASI ISLAM DAN NEGARA
Selengkapnya Click DISINI
A.
Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia.
Wacana tentang makna,
penafsiran dan fungsi pancasila telah menjadi perdebatan sepanjang sejarah
perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa ini merdeka, perdebatan ini
selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan politisi Indonesia sampai saat
ini. Apalagi didorong dengan lahirnya beberapa Partai Islam, permintaan
diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD), munculnya teroris-teroris
yang berkedok Islam, laskar serta
organisasi yang bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrir,
Jaringan Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). Selain itu yang paling jelas
menjadi indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan
berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari‘at Isla>m
dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.[i]
Hal ini juga sering
terjadi dalam wacana politik Indonesia di penghujung tahun 1990-an yang juga
sibuk memperdebatkan ideologi dan peristiwa-peristiwa politik yang pernah
terjadi dalam sejarah bangsa ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan
negara, peran ABRI dalam politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan
negara ini.[ii]
Dalam skripsi ini penyusun menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu
mengenai hubungan Islam dan negara.
Untuk memperjelas
tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam merespon perdebatan
Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi empat tahap. Tahap pertama,
1912 hinggga proklamasi kemerdekaan, tahap kedua 1945-1955, tahap ketiga,
1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai sekarang.[iii]
Akan tetapi penulis akan memfokuskan asal-usul lahirnya perdebatan Islam dan
negara sepanjang sejarah perpolitikkan Indonesia secara global.
Perdebatan ini mulai
aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan kemerdekaan yang diharapkan,[iv]
dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan dalam
pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944
yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam "waktu dekat".[v]
Akan tetapi kalau kita
teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara Islam dan negara di Nusantara ini
sudah berlangsung lama sebelum Indonesia merdeka yakni di bawah tekanan
kolonial Belanda dan Jepang, namun demikian untuk melacak isu tentang istilah
negara Islam di Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini
yang diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Surjopronoto
dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu kekuasaan atau
pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an.[vi]
Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een Islamietsche regeering (Suatu
Pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah een eigen Islamietisch
bestuur onder een eigen vlag (Suatu kekuassan Islam di bawah benderanya
sendiri) semua ini digunakan untuk menciptakan kekuasaan Islam di Indonesia
yang substansinya sebagai alat mencapai kemerdekaan.[vii]
Barangkali wacana dan
teori tentang Negara Islam ini belum banyak ditulis secara terperinci oleh
pemimpin Islam pada saat itu, sehingga dalam sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini
terkesan begitu aktual diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul
pertama kalinya dalam panggung politik Indonesia.
Anggota BPUPKI ini
terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang akhirnya mengalami kesulitan
dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa’) posisi
masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka yang ingin
menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua, mereka yang
menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling emosional dan
konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara.[viii]
Badan penyelidik ini
mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama, dari 29 Mei - 2 Juni
1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini Soekarno membuat pidato yang
sangat berpengaruh tentang dasar negara dan kemudian dikenal dengan Lahirnya
Pancasila.[ix]
Sedangkan pada sidang kedua,10-14 Juni 1945 membahas tentang isi
konstitusi negara yang akan dibentuk.[x]
Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan keras di antara para
anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang diwakili Abdoel Kahar Moezakkir
dengan cita-cita ideologi Islamnya dan kalangan nasionalis diwakili oleh
Soekarno yang cenderung netral terhadap agama. Masalah yang sangat krusial dan
mengundang perdebatan dalam sidang ini adalah
tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan integritas
agama, budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan kegagalan Badan
Penyelidik yang terus-menerus semakin memanas maka para anggota mengambil iniasiatif
dengan membentuk panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.[xi]
Semula anggota BPUPKI ini
berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam orang yang kebanyakan berasal dari Jawa
dan satu orang lagi dari Jepang yakni Ichibangase yang menjabat sebagai
ketua yunior dan anggota luar biasa, untuk mengamati secara lebih detail
keanggotaan Badan Penyelidik ini maka penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito,
dari 68 anggota BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi
politik Islam yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal
dari kelompok nasionalis-sekuler.[xii]
Statistik ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya representasi dari
masing-masing kelompok itu.
Di antara wakil dari kelompok
Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo,
K.H. Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim,
Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil
dari kelompok nasionalis, antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno,
Mohammad Hatta, Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr.
Buntaran Martoatmojo dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI
dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa
kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis. [xiii]
Akan tetapi karena
banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah dikhawatirkan akan membawa
kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas perdebatan yang semakin memanas)
maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI yang hanya terdiri dari 9 orang itu,
yaitu: empat orang dari kalangan Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim,
Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis
(Soekarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).[xiv]
Dalam panitia ini, Islam
politik mempunyai kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara,
sebab menurutnya yang paling banyak berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
adalah kelompok Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari
kelompok nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam
badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang membentuk
“Panitia Sembilan” di atas.
Pada tanggal 21 Juni 1945
BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari‘at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”,[xv]
kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya
saat itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945
yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah menghapuskan Piagam
Jakarta tersebut.[xvi]
Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama dalam perjuangan
politiknya.
Diterimanya pancasila
sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari pertentangan dan
sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi dengan
kepentingan lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam
sebagai dasar negara dalam mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila.
Keinginan keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang
mayoritas kemerdekaan, pancasila sendiri
menyimpan dua faktor yang sangat debatable. Pertama, tentang
kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna penting pancasila
jika dibanding dengan agama.[xvii]
Kompromi politik dalam
bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu
bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang
mewajibkan umat Islam menjalankan Syari‘at Isla>m
dirasakan oleh kawasan Timur Indonesia sebagai sikap
diskriminatif terhadap pemeluk agama lain.[xviii]
Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita
politiknya pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari
pembukaan UUD 1945.
Peristiwa ini dikenal
sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang merupakan pengganti
dari BPUPKI yang telah dibubarkan. Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21
orang, kemudian atas usul Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang
menarik dicermati dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari
organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman
Singodimedjo.[xix]
Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak melawan
penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.
Sidang PPKI pada 18
Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih presiden dan wakilnya,
kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan wakil PPKI saat itu yaitu
Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno mewakili kultur Jawa sedangkan
Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang saja latar belakang Hatta ini bisa
dijadikan pelebur sikap keras Ki Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan
rumusan Piagam Jakarta. Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi
konsistensi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui
Hatta yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera
berhasil melunakan sikap keras Ki Bagus
dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila Ketuhanan itu diganti dengan
Yang Maha Esa.[xx]
Akar perdebatan ini tidak
lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu, yaitu Nasionalis dan Islam.[xxi]
Golongan nasionalis adalah kelompok yang berprinsip bahwa ad-Din wa
ad-Daulah (agama dan negara) harus
dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi agama
hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan
pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan masalah politik yang berurusan
dengan duniawi.[xxii]
Sementara itu golongan Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini
Islam) tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka
tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga
hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.[xxiii]
Indikasi pertarungan
ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an dari kasus retaknya hubungan
Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus Jawi
Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan peristiwa itu
perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti Tjokroaminoto, Agus
Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-tokoh Nasionalis-sekuler yang
diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan lain-lain, Polemik inilah yang
kemudian berlanjut sampai sekarang.[xxiv]
Di sisi lain, konsep
“Piagam Madinah” dan praktek pemerintahan Islam pada zaman Rasulullah, sahabat
dan komunitas muslim lainnya juga ikut
mempengaruhi lahirnya perdebatan Islam dan negara di Indonesia, sebab munculnya terma
Piagam Jakarta di Indonesia sedikit banyak terinspirasi dari konsep Piagam
Madinah yang pasti tidak bisa lepas dari persinggungan wacana politik Islam
yang telah berlaku di bangsa Arab itu. Selain itu praktik pemerintahan Negara Turki yang
memisahkan negara dan agama juga ikut mewarnai perdebatan ini.[xxv]
Jadi, untuk memaparkan
secara lebih jelas pemikiran politik tokoh Islam dan keterkaitan mereka dalam
memperjuangkan negara berdasarkan Islam di Indonesia, perlu penyusun bahas
secara singkat tentang teori-teori yang diajukan para intelektual muslim.
Secara umum pemikiran
politik Muslim bisa diklasifikasikan menjadi tiga teori.[xxvi]
Pemikiran pertama berpendapat bahwa negara dan agama tidak harus dipisahkan,
karena Islam merupakan agama yang integral dan komprehensif dalam mengatur
kehidupan baik urusan duniawi maupun ukhrawi, oleh sebab itu menurut pandangan
ini konstitusi negara harus didasarkan pada Islam. Tokoh teori ini antara lain
, Abu A’la Maududi[xxvii]
(1903-1979) dari Pakistan
yang memimpin Jamiy‘ah al-Isla>m, Sayyid Qutb[xxviii]
(1906-1966) dan para ideolog lain Ikhwan al-Muslimin[xxix]
dari Mesir. Baik Jam‘iyah al-Isla>m maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan Fundamentalis di
Iran, Pakistan dan Saudi Arabia, hal ini bisa dilihat dari jargon politiknya
bahwa ad-Din wa ad-Daulah (agama dan
Negara) tidak bisa dipisahkan.[xxx]
Pandangan komprehensif ini dikutip dari nash al-Qur’an[xxxi]:
ياأيهاالذ ين أمنوا ادخلوا فىالسلم كآّفة ولا
تتبعوا خطوات الشيطـن إنّه لكم عدوّ مّبين.! (البقرة :٢٠٨)
Menurut teori yang
kedua, agama dan negara harus dipisahkan, urusan agama sebatas pada urusan
pibadi dan ukhrawi tidak perlu mencampuri urusan politik. Oleh sebab itu
konstitusi negara dalam pandangan ini tidak harus didasarkan pada Islam, namun
pada nilai sekuler, contoh konkret teori ini adalah negara Turki Modern. Teori
ketiga, sepakat dengan adanya pemisahan antara agama dan negara dalam arti
konstitusi negara tidak harus didasarkan Islam, akan tetapi nilai agama harus
menjadi ruh kehidupan masyarakat
bernegara,[xxxii]
Ketiga teori ini mewakili
pilihan-pillihan yang dapat menentukan karakteristik struktur sosial dan
politik negara-negara muslim dunia dalam menghadapi tantangan modernitas.
Terutama teori pertama ini sangat kuat mewarnai pemikiran politik muslim Indonesia
tahun 1940-an dan 1950-an, karena dalam sidang BPUPKI 1945 maupun konstituante
(1956-1959) para pemimpin muslim berjuang keras agar Islam dijadikan dasar
negara.[xxxiii]
Selain itu tidak ada indikasi yang tampak bahwa pemikiran politik
nasionalis-muslim Indonesia saat itu,
dipengaruhi oleh Kemal Attaturk ataupun Ali Abd al-Raziq (1888-1966) yang
berpendapat bahwa Nabi tidak pernah berupaya membangun sebuah negara, beliau
hanyalah seorang utusan yang dikirim oleh Tuhan semata.
Dengan mempertimbangkan
faktor-faktor di atas, konflik ideologi antara kaum nasionalis-sekuler dan
nasionalis-muslim bisa diperkirakan sejak menjelang kemerdekaan (Sidang BPUPKI).
Melengkapi data sebelumnya, pada tanggal 31-Mei 1945 Soepomo lebih mendukung
gagasan Hatta yang mengusulkan bentuk Indonesia sebagai negara kesatuan
daripada keinginan umat Islam dalam meletakkan dasar negara , yakni memisahkan
negara dari persoalan agama.[xxxiv]
Menurut Soepomo sendiri,
jika negara Islam diciptakan di Indonesia
maka sudah pasti persoalan minoritas, persoalan kelompok-kelompok kecil agama
dan yang lainnya akan muncul. Meskipun Islam menjamin kelompok agama lain
sebaik mungkin, kelompok kecil ini tidak akan merasakan keterlibatannya dalam
negara, karena cita-cita negara Islam tidak sesuai dengan cita-cita negara
kesatuan yang diharapkan bersama.[xxxv]
Pada tahun 1953 Soekarno
juga mengungkapkan kekhawatirannya secara terbuka tentang implikasi-implikasi negative
yang muncul, apabila umat Islam Indonesia
tetap memaksakan kehendaknya (negara Islam), yakni pengakuan Islam secara legal
formal di negara ini.[xxxvi]
Dengan mengingat kekhawatiran yang diungkapkan Hatta pada tahun 1945, Soekarno mengatakan bahwa ia cemas, kalau
banyak bagian negara Republik Indonesia memisahkan diri, atau negara bekas
jajahan Hindia Belanda seperti Irian Barat juga tidak ikut menggabungkan diri
dengan Indonesia yang ber-ruh Islami ini.[xxxvii]
Melihat keberatan
kelompok nasionalis-muslim terhadap Negara Sekuler mengharuskan kita meninjau
kembali sejarah Islam yang menyatukan pemahaman antara agama (di>n)
dan negara (daulah). Istilah “negara” dalam bahasa Indonesia mempunyai
arti; pertama, organisasi di suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Kedua, kelompok sosial yang
menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga
politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat
sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.[xxxviii]
Dalam Bab ini penyusun
merasa perlu mengkaji pula istilah-istilah dalam kajian politik Islam seperti
daulah, khalifah, imamah dan kesultanan yang seringkali dikonotasikan dengan istilah negara. Di samping itu teori-teori
tersebut paling tidak ikut mempengaruhi pemikiran politik Islam di Indonesia.
a.
Daulah.
Istilah daulah berasal
dari bahasa Arab yang bermakna bergilir, beredar dan berputar (rotate,
alernate, take turns or Occur priodically).[xxxix]
menurut Olaf Schuman istilah “daulah” sama dengan “dinasti atau wangsa” yang berarti sistem
kekuasaan yang berpuncak pada seorang pribadi dan didukung oleh keluarganya
atau clanya.[xl]
Jadi dalam konteks sekarang istilah tersebut bisa diartikan negara, selain itu
Paham ini juga erat dengan paham Da>r al-Isla>m yang bermakna bahwa
kekuasaan tertinggi terletak di tangan seorang penguasa muslim yang
memberlakukan Hukum Islam sebagai hukum utama di dalam wilayahnya.[xli]
Menurut sejarah istilah
ini pertama kali digunakan dalam politik Islam ketika masa kemenangan kekhalifahan
dinasti Abbasiyyah pada pertengahan abad delapan.[xlii]
Kalau memang istilah ini pernah ada, berarti masa itu terdapat pada daullah
Umayyah yang kemudian begilir pada keluarga Bani Abbas (Daulah Abbasiyyah).[xliii]
b.
Khilafah.
Istilah “Khila>fah”
berasal dari bahasa arab yang bermakna perwakilan atau pergantian. Dalam
perspektif politik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus
elit politik (ijma‘) dan pemberian legitimasi (Bay‘ah).[xliv]
Oleh sebab itu sudah menjadi hal yang lazim dalam pemilihan pemimpin Islam
bahwa pemilihan pemimpin ditetapkan oleh elit politik melalu ijma‘
kemudian baru di Bay‘ah , menurut
Harun Nasution sistem ini menyerupai dengan sistem republik daripada sistem
kerajaan, karena pemimpin dalam hal ini dipilih bukan merupakan sistem monarkhi
yang bersifat turun-temurun.[xlv]
Sistem khilafah ini
pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah
Abu Bakar, dalam pidato inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah
Rasul Allah dalam artian sebagai “Pengganti Rasulullah” yang bertugas
meneruskan misi-misinya.[xlvi]
Sedangkan menurut Bernard Lewis istilah khalifah muncul pertama kali pada masa
pra-Islam abad ke-6 Masehi dalam suatu prasasti Islam di Arabia.[xlvii]
c.
Imamah.
Selain kedua istilah di
atas, “imamah” dalam kajian Islam juga sering digunakan sebagai teori yang
menyerupai makna negara. Menurut Mawardi, imam bisa dimaknai khalifah, raja,
sultan atau kepala negara, dengan demikian menurut Munawir Sjadzali, Mawardi
memberikan ruang bagi agama suatu jabatan politik yaitu kepala negara.[xlviii]
Sementara menurut Taqiyuddin an-Nabhani, imamah dan khilafah merupakan dua
istilah yang sama maknanya, karena khilafah adalah suatu kepemimpinan yang
berlaku secara umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan
hukum-hukum syari’at
dan mensyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.[xlix]
Pada dasarnya teori
imamah lebih banyak berkembang di aliran syi’ah daripada aliran sunni, dalam
aliran Syi’ah Imama>h menekankan dua
rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian Imam (‘ismah).[l]
d.
Kesultanan.
Adapun istilah kesultanan
seringkali diartikan kekuasaan dalam kitab al-Qur’an, menurut Lewis ada seorang
penulis dari kelompok scribal, Abd Hamid, yang hidup pada awal abad
kedelapan, secara umum menggunakan istilah sultan untuk pemerintah.[li]
Dari uraian di atas,
tampak bahwa istilah negara dalam Islam memiliki beberapa sinonim di antaranya Daulah,
Khila>fah, Ima>mah dan S{ult}aniyyah, oleh sebab itu merupakan
hal yang lazim kalau wacana Negara Islam selalu hangat untuk diperdebatkan,
karena secara de facto ternyata Islam mempraktekkan beberapa istilah
yang bersinonom dengan konsep negara, sedangkan
secara konseptual atau de jure Islam memang tidak mengenal konsep
negara yang detail. Namun demikian patut diteliti apakah teori-teori tersebut
untuk konteks modern saat ini bisa dikategorikan sebuah konsep negara.
Mengingat wacana negara
Islam di Indonesia selalu menjadi perdebatan panjang dalam sejarah didirikannya
negara ini, sejak pra-kemerdekaan sampai sekarang. Patut dicari apa sebenarnya
yang membuat tokoh muslim berkeinginan keras meletakkan Islam sebagai dasar
negara Indonesia?
Salah satu jawaban atas pertanyaan ini, yaitu karena mereka bertujuan
menerapkan Syari‘at secara efektif di seluruh penjuru wilayah negara, M.
Natsir salah satu tokoh Islam yang kontra dengan gagasan Soekarno mengklaim
bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu cita-cita Islam oleh sebab itu
pencapaian kemerdekaan Indonesia merupakan bagian integral dari perjuangan
Islam untuk menerapkan Syari‘at.[lii]
Tampaknya klaim ini
didasarkan pada kenyataan saat itu, bahwa umat Islam Indonesia sebagai kelompok
mayoritas mempunyai peran yang sangat besar dalam memperjuangkan kemerdekaan
bangsa ini. Untuk mendukung opini ini bisa dilihat dari semangat jihad Islam yang terukir dalam sejarah tanah air ini,
seperti Sultan Babullah dari Ternate, Sultan Hasanuddin dari Makassar, Pangeran Diponegoro (pemimpin
Perang Diponegoro 1825-1830, Imam Bonjol (pemimpin Perang Padri 1921-1937),
Teuku Umar, Tjut Nya’Dien dan Tengku Tjhik di Tiro (pemimpin Perang Aceh tahun
1872-1912).[liii]
Di samping itu terdapat juga ulama-ulama Jawa, salah satunya Syekh Hayim
Asy’ari yang terkenal dengan “Resolusi Jihadnya”.
Selain alasan di atas,
kekecewaan umat Islam atas dihapuskannya “Piagam Jakarta” bisa juga dipahami
melalui berbagai organisasi kultural dan ekonomis Islam yang telah didirikan
jauh sebelum Indonesia merdeka, apalagi organisasi tersebut banyak memberi
konstribusi dalam kemerdekaan ini, misalnya Sarekat Islam (didirikan tahun 1912), gerakan Modernis
Muhammadiyah (yang juga didirikan tahun 1912, dan organisasi Tradisionalis NU
(didirikan 1926).[liv]
Menurut hemat penyusun organisasi ini merupakan alat konsolidasi yang sangat
efektif saat itu.
Meski dalam kenyataanya
umat Islam merupakan mayoritas dalam bangsa ini dan organisasi Islam memainkan
peran penting pada masa kemerdekaan, menurut Fred von den Mehden "Indonesia
sebagai satu bangsa Islam tidak seluruhnya sepakat dengan apa yang harus
dilakukan sebagai pemeluk Islam”.[lv]
Hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran dan praktik agama
yang dikerjakan, sebagaimana yang dinyatakan Cliford Geertz bahwa rakyat
Indonesia terbagi menjadi tiga aliran atau trikotomi, yaitu Priyayi,
Santri dan Abangan.[lvi]
Perbedaan relegius dan
politik dalam komunitas Muslim tampak jelas dalam wacana pancasila, Seperti
halnya yang penyusun bahas di atas. Dengan demikian suatu dinamika “Islam
versus Pancasila” telah mempengaruhi sebagian besar perdebatan dan wacana
pemikiran politik Indonesia
sepanjang tahun 1980-an sampai 1990-an.[lvii]
Sebagaimana yang akan dibahas dalam bab-bab berikut, dinamika ini memiliki
implikasi-implikasi penting bagi perpolitikan nasional.
Dalam catatan sejarah,
tuntutan-tuntutan Islam politik atas negara sangat tampak dalam pemberontakkan
Darul Islam melawan Pemerintahan Pusat antara tahun 1948-1962.[lviii]
Akibat serangan pemberontakan ini, bentuk konkret ancaman “ekstrem kanan”
(istilah yang secara resmi dipakai untuk menunjuk fundamentalisme Islam di era
Orde Baru) semakin jelas. Djohan Effendi menambahkan bahwa Darul Islam
mempertinggi kecurigaan militer bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara
partai-partai Islam dengan pemberontak Darul Islam. Satu-satunya perbedaan,
menurut pihak militer adalah bahwa yang pertama memperjuangkan negara Islam
dengan jalan legal, sedangkan yang kedua dengan kekuatan illegal.[lix]
Deliar Noer, tidak
sepakat dengan cara pandang militer ini, baginya cita-cita partai Islam ini
dilakukan secara demokratis. Jadi tentu berbeda dengan gerakan Darul Islam yang
dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo, gerakan ini menggunakan kekerasan dan
mementingkan simbol-simbol, seperti nama Darul Islam, istilah Imam
untuk Kepala negara dan lain sebagainya,
Sedangkan partai Islam lebih pada substansi tujuan. Dalam kasus ini gerakan
Kartosuwiryo tidak berkesempatan mengembangkan pemikiran substansi tujuannya
karena terburu menggunakan kekerasan.[lx]
Peristiwa ini sedikit banyak menumbuhkan citra negatif pada sebagian kalangan
bangsa kita dalam merespon hubungan Islam dan negara, yang kemudian berdampak
negatif pula terhadap cita-cita dan perjuangan partai-partai Islam selama ini.
Dan saat itu, citra
negatif ini digunakan untuk mendeskriditkan kedudukan partai Masyumi[lxi]
dan umat Islam secara umum. Padahal dalam kasus DI ini secara perlahan-lahan
juga ditunggangi oleh golongan yang tidak bersimpati terhadap RI, di antaranya
orang-orang Belanda seperti Jungschlager, Schmidt, dan Van Kleef. Selain itu
masalah pemberontakan PRRI/Permesta (1958-1961) juga sering dihubungkan dengan
cita-cita Islam sehingga membuat partai Masyumi dibubarkan (tahun 1960),
walupun banyak orang Kristen yang terlibat di dalamnya karena tokoh-tokoh
cabang Parkindo dan komandan daerah yang beragama Kristen jelas-jelas menyokong
pemberontakan ini.[lxii]
Posisi Islam semakin
mengkhawatirkan ketika Soekarno
membubarkan partai Islam terbesar, Masyumi, karena dituduh terlibat dalam
pemberontakan regional berideologi Islam. Dalam usaha menyeimbangkan
kekuatan-kekuatan ideologis antara Islam, nasionalisme, dan komunisme Soekarno tidak hanya menganjurkan konsep
Pancasila, melainkan juga sebuah konsep NASAKOM,[lxiii]
yang akhirnya malah menimbulkan struktur politis dan ideologis yang labil pada
awal tahun 1960-an karena masing-masing kepentingan politisnya jelas saling berlawanan.[lxiv]
Demikian pembahasan
asal-usul perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Semoga prawacana ini
akan lebih memudahkan kita dalam memahami bab-bab berikutnya.
B.
Tipologi Pemikiran Relasi Islam dan Negara.
Islam di Indonesia dewasa
ini tidak lepas dari dinamika pemikiran dan gerakan pembaharuan, di antaranya
dipengaruhi ide-ide pembaharuan Abduh yang dianggap rasional-liberal,
dan kemudian di Indonesia
berpadu dengan faham Wahabiyyah yang skriptural-formal.[lxv]
Di sisi lain, masih terdapat kuatnya madzhab
yang dilestarikan oleh para kyai melalui pesantren, yang dianggap sebagai basis
kelompok tradisionalis Islam. Dengan adanya dialektika modernis versus
tradisionalis inilah yang akhirnya melahirkan pemikiran neo-modernisme Islam Indonesia.
Sebelum membahas lebih
jauh, penyusun ingin mempertegas antara Islam dan pemikiran Islam. Menurut
Moslem Abdurrahman “Islam” adalah wahyu, sedangkan “pemikiran Islam” adalah
kebenaran subjektif yang dihasilkan dari penangkapan seseorang terhadap pesan
obyektif Tuhan.[lxvi]
Sebagai kebenaran subjektif pemikiran Islam bisa berubah-rubah sesuai dengan
konteks dan perkembangan pemahaman seseorang tersebut terhadap pesan Tuhan.
Oleh sebab itu untuk memamahami tokoh pemikir Islam harus diletakkan pada
kerangka Ijtiha>d.
Suatu hal yang wajar
sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia
wacana relasi Islam dan negara mendapatkan komentar, kritik dan debat yang
tajam karena masalah ini termasuk kategori Ijtiha>d seseorang dalam memahami teks Tuhan.
Pada tahun 1940-an sampai
1990-an sering terjadi perdebatan hangat mengenai masalah tersebut, Seperti
yang penyusun bahas sebelumnya. Padahal perdebatan ini sudah pernah menemukan
titik temunya, yaitu dalam konsep “Piagam Jakarta”, yang kemudian dianulir
sehari setelah kemerdekaan. Upaya penyelesaian masalah tersebut pada sidang
konstituante kandas di tengah jalan karena dipotong oleh Soekarno melalui Dekrit 1959. Demikian pula
yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru, yang sengaja menutupi kemungkinan-kemungkinan pembicaraan mengenai persoalan tersebut.
Diawali perdebatan antara
Natsir dan Soekarno, akhirnya Islam
mencari jalannya sendiri dalam kehidupan sosial politiknya dengan cara yang
bisa dibilang formalistik, agar kehadirannya tidak hanya dirasakan tapi juga
diakui. Dalam pandangan umum, langkah-langkah ini telah menempatkan Islam dalam
posisi antagonistik vis-a-vis negara dengan seluruh implikasinya.[lxvii]
Akhirnya, situasi inilah
yang mendorong pemikir Islam Indonesia
generasi kedua (sejak tahun 1970-an), yang kemudian sering disebut sebagai
kelompok “Islam kultural”. Dalam pandangan ini Islam politik merupakan sesuatu
yang sulit untuk dijual karena trauma politik yang membekas para aktivis
politik saat itu, baik dari pihak Islam politik maupun negara. Untuk itu
generasi kedua ini tidak menginginkan Islam dijadikan sebuah ideologi, dengan
memfokuskan pada bidang garapan “transformasi sosial” yang disesuaikan dengan
kebutuhan tertentu. Di antaranya pandangan dasar Nurcholish Madjid yang
mengemukakan desakralisasi; Abdurrahman Wahid dengan gagasan Pribumisasi Islam,[lxviii]
Dawam Rahardjo yang menggeluti Masyarakat pedesaan melalui pesantren; dan
Munawir Sjadzali yang menyatakan perlunya melihat Islam dalam konteks
Indonesia.[lxix]
Sebenarnya kalau dilihat
dari aspek politik, aktivitas Islam kultural dan Islam politik mempunyai
persamaan, karena kalangan inilah yang meletakkan dasar-dasar kehidupan politik
yang demokratis, dengan menonjolkan aspek-aspek keadilan, musyawarah, dan
egalitarianisme yang disesuaikan dengan spirit Islam. Lebih spesifik
dalam pembahasan ini, Munawir Sjadzali mengklasifikasikan relasi Islam dan
negara menjadi tiga kategori.
Pertama, aliran konservatif, yang
berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan
manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan
memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan
Al-Maududi. Kedua, aliran modernis, yang berpendapat bahwa Islam
tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai
etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Ketiga,
aliran sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut
aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama
aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein[lxx]
Akan tetapi dalam
tipologi ini, penyusun akan mengkaji pada kategori kedua, yakni aliran
Modernis, yang kemudian penyusun klasifikasikan kembali menjadi dua aliran:
modernis dan neo-modernis. Pemetaan ini didasarkan pada analisa pemikiran yang telah
bekembang, bahwa pemikiran politik Islam di Indonesia memang tidak lepas dari
hubungan dialektis antara aliran tradisionalis dan modernis,[lxxi]
yang akhirnya melahirkan neo-modernisme tersebut.
Dalam pandangan politik
Islam, kelompok modernis biasanya menggunakan pendekatan struktural yang dapat
juga disebut sebagai kaum idealis, sementara kelompok neo-modernis menggunakan
pendekatan kultural yang biasa disebut kaum realistis atau akomodasionis.[lxxii]
1.
Perspektif
Modernisme.
Pemikiran modernisme
Islam sudah dimulai sejak abad ke 20-an sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1912
didirikan sarekat Islam, yakni sebuah organisasi politik Islam modern pertama
kali di Indonesia
yang didasarkan pada sebuah prinsip antipenjajahan.[lxxiii]
Di bawah pengaruh modernisme Islam, nilai-nilai demokrasi menjadi suatu yang
lazim di kalangan intelektual muslim prakemerdekaan.[lxxiv]
Menurut Mukti Ali,
munculnya Modernisme karena didorong kesadaran akan kemunduran umat Islam yang
disebabkan telah meninggalkan sumber ajaran al-Qur’an yang asli, Oleh sebab itu
kalangan modernisme seringkali menyerukan umat Islam untuk “kembali kepada
al-Qur’an dan sunnah secara murni”.[lxxv]
Sebagai reaksi terhadap Barat, wajar apabila kalangan modernisme mengagendakan
sebuah apologia melalui “ideologisasi Islam” bahwa Islam adalah agama
yang Ka>ffah.
Dalam konteks pembahasan,
perspektif ini dihadapkan penyusun pada pemikiran M. Natsir. Tokoh ini
dikategorikan dalam perspektif modernis karena gagasannya yang
rasional-fundamental, penulis katakan rasional-fundamental karena satu sisi
Natsir mengakui bahwa di dalam Islam juga mengandung unsur-unsur demokrasi,
dalam artian demokrasi adalah sistem pemerintahan yang bermanfaat bagi rakyat
atau dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat,[lxxvi]
sisi fundamentalnya, M. Natsir bersikap keras meletakkan Islam sebagai dasar
negara, dengan tujuan supaya ajaran Islam bisa laksanakan secara utuh dan
konsekuen dalam kehidupan bernegara.[lxxvii]
Ide-ide pemikiran
modernisme tentang Islam dan negara cenderung bercirikan konservatif, liberal
dan demokratis sosial.[lxxviii]
Di Indonesia sendiri menurut Dawam Rahardjo ciri yang menonjol dari kalangan
modernisme adalah “apologik”, pemurnian dan “skripturalistik”,[lxxix]
sedangkan dalam pandangan Liddle istilah modernisme dalam politik mempunyai dua
corak, pertama, “skripturalistis”-yang masih menginginkan bentuk negara
Islam dan berlakunya undang-undang Islam; kedua,
“substansialis”-kelompok ini lebih mengedepankan pada isi daripada bentuk.[lxxx]
Untuk memperjelas pada
pembahasan lebih lanjut, perlu penyusun
tegaskan bahwa yang dimaksud modernisme di sini adalah aliran pemikiran
yang selalu mengidealkan pemerintahan Islam, dengan tetap menerima sistem Barat
asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebenarnya secara genetik
kelompok ini sudah ada sebelum Orde Baru lahir, yaitu Masyumi dan Muhammadiyah.[lxxxi]
Kedua organisasi ini mempunyai pemikiran yang sama dalam memandang konsep
negara, menurut tokoh-tokoh modernis, Islam dan negara mempunyai hubungan
integral, tetapi bukan berarti menolak sistem Barat secara totalitas. Karena
menurut M. Natsir sendiri Islam memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan
yang sempurna, maka dari itu apabila negara Islam nanti didirikan boleh
mengadopsi sistem Barat asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.[lxxxii]
Pada intinya aliran
modernisme semacam ini mendukung negara Islam secara ideologis, karena baginya
secara tekstual, al-Qur’an dan Sunnah
telah menunjukkan perangkat dasar negara yang dapat diterapkan di zamannya.[lxxxiii]
Selain itu, masih ada alasan-alasan lain
yang akan dibahas dalam bab selanjutnya, mengapa tokoh modernisme seperti M.
Natsir ingin menjadikan Indonesia
sebagai negara Islam. Untuk lebih lengkapnya akan penyusun bahas dalam bab
selanjutnya.
2.
Perspektif Neo-Modernisme.
Pola pemikiran
neo-modernisme sangat identik dengan Fazlur Rahman, menurutnya meskipun di era
modern pemikiran modernisme memberikan sumbangan positif terhadap kebangkitan
Islam, tetapi aliran ini masih menunjukkan kelemahan-kelemahan tertentu, di
antaranya adalah kurangnya metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah,
dan terlalu apriori terhadap kekayaan potensi pemikiran Islam tradisional.[lxxxiv]
Lebih lanjut, Nurcholis
Madjid menyatakan bahwa meninggalkan tradisi lama akan menimbulkan jump to
conslusion (kesimpulan yang melompat), artinya mengambil pokoknya saja
tanpa memahami latar belakangnya,[lxxxv]
dengan meminjam istilah H.A.R. Gibb, dia mengkritik kaum modernisme Islam bahwa
kalangan ini menurutnya, akan terancam intellectual impoverisment
(pemiskinan intelektual), karena pemikiran-pemikirannya seringkali terjebak
pada proses pengambilalihan konsep-konsep Barat. Oleh sebab itu kaum
neo-modernisme menggunakan kaidah Islam klasik berikut ini, [lxxxvi] sebagai prinsip pengembangan pemikirannya. Yaitu:
المحافظـﺔ على القديم الصالح والأخذ
بالجديد الأصلح
Neo-Modernisme adalah
aliran pemikiran yang melakukan usaha-usaha untuk menemukan titik temu antara
kaum Islam tradisionalis dengan kaum Islam modernis.[lxxxvii]
Di Indonesia sendiri gagasan neo-modernisme Islam dimulai sejak tahun 1970-an,
sebagai pemikiran generasi kedua setelah modernisme yang mengarah pada Islam
politik, kemudian pada tahun 1980-an generasi kedua ini dikenal dengan sebutan
Islam kultural.[lxxxviii]
Menurut Greg Barton, ada lima ciri yang menonjol
dari aliran neo modernisme. Pertama, neo modernisme adalah gerakan
pemikiran progresif yang mempunyai sikap positif terhadap modernitas, perubahan
dan pembangunan. Kedua, aliran ini sangat berbeda dengan fundamentalisme
yang menganggap Barat sebagai ancaman bagi umat Islam. Neo-modernis justru
membela ide-ide liberal Barat, tetapi juga mengajukan argumentasi bahwa Islam
juga mempunyai kepedulian yang sama terhadap ide-ide Barat seperti demokrasi
dan hak-hak asasi manusia. Ketiga, neo-modernisme Islam mengarfimasi
semangat sekularisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena
menurutnya al-Qur’an dan Sunnah tidak pernah menyuruh mendirikan negara Islam. Keempat,
neo-modernisme sangat mengedepankan pemahaman Islam yang terbuka, inklusif dan
liberal, khususnya dalam merespon pluralisme masyarakat. Kelima, neo-modernisme
selalu berijtihad dalam membuat sintesis antara khazanah pemikiran Islam
tradisional dengan gagasan-gagasan Barat mengenai ilmu-ilmu sosial dan
humoniora.[lxxxix]
Banyak penulis yang
mengkategorikan tokoh-tokoh muslim Indonesia, seperti Nurcholish Madjid,
Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, dan Munawir Sjadzali masuk dalam aliran ini,
di antaranya.[xc]
Dalam pembahasan ini, corak pemikiran neo-modernisme akan penyusun hadapkan
dengan pemikiran Abdurrahman Wahid, ia seorang neo-modernis yang latar belakang
sosialnya berasal dari golongan tradisionalis, meskipun Abdurrahman Wahid
sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah di tahun 1990-an, tetapi
dia tergolong akomodasionis terhadap
sistem sosial yang berlaku di Indonesia.[xci]
Dalam memandang relasi
Islam dan negara, kalangan ini lebih suka menggunakan pendekatan kultural,
yakni dengan memerankan Islam sebagai “faktor komplementer” untuk mengembangkan
sosio-ekonomi, politik, dan moralitas bangsa. Di antara kalangan neo-modernis
yang paling utama mendukung pendekatan
kultural ini adalah Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid, meskipun mereka
tidak sepenuhnya sama dalam berpendapat, tetapi mereka menyadari bahwa secara
historis ekspresi Islam ideologis tidak pernah berhasil.[xcii]
Selain itu, menurut
Abdurrahman Wahid kalau Islam di Indonesia
dijadikan faktor alternatif, yakni diideologikan, maka fungsinya bisa
terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik
horizontal dan ancaman disintegrasi bangsa,[xciii]
hal yang senada diungkapkan oleh Nurcholish Madjid bahwa Islam bukanlah sebuah
ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu
setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.[xciv]
Meskipun demikian, bukan
berarti pemikir neo-modernisme ini mengabaikan aspek agama dalam politik,
karena dalam pemikirannya selalu mempertimbangkan aspek fiqih. Hal ini terlihat
dalam pemikiran Abdurrahman Wahid yang mengajukan dalil agar kebijaksanaan
pemerintah harus senantiasa disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan fiqih, dalam
kaidah fiqihnya "Tas}araf al
Ima>m manu>t}un bi al-Mas}lahah" (kebijaksanaan kepala pemerintah harus mengikuti
kesejahteraan rakyat)”.[xcv]
Pokok pikiran kedua
aliran ini, baik modernisme maupun neo-modernisme dalam memandang agama dan
negara sudah tentu berbeda, karena secara teoritis dalam konteks agama dan
negara kedua pemikiran tersebut memang terbagi dua, yakni idealistik dan
realistik. Dalam kerangka pemikiran idealistik dirumuskan sebuah sistem
negara yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Kelompok inilah yang kemudian
menggunakan Islam sebagai “tawaran alternatif” dan selanjutnya penyusun
kategorikan dalam “kelompok modernis”. Sementara pemikiran realistik lebih
tertarik menempatkan Islam sebagai “faktor komplementer”, yang menekankan pada
substansi bukan sebuah bentuk formal, [xcvi]
dan kemudian penyusun kategorikan sebagai kelompok neo-modernisme.
Sebenarnya kedua kelompok
di atas sama-sama menyadari bahwa di dalam al-Qur’an maupun Sunnah memang tidak
ada yang menyatakan untuk mendirikan negara Islam, akan tetapi dalam aksi
politiknya masing-masing berbeda.
Kelompok modernis lebih suka menggunakan pendekatan Islam politik dalam
kehidupan bernegara, karena untuk memberlakukan syari’ah pasti membutuhkan
kekuatan politik dan yang memiliki kekuatan itu adalah negara, sedangkan negara
dalam pandangan mereka adalah penjaga syari’ah.[xcvii]
Sementara generasi kedua,
neo-modernisme tidak tertarik dengan pendekatan Islam politik tetapi lebih pada
Islam kultural, yang menempatkan syari’ah sebagai tata nilai masyarkat dalam
kehidupan bernegara, karena pada dasarnya agama adalah urusan pribadi yang
tidak bisa diintervensi siapapun.
Dari uraian di atas, bisa
dimengerti mengapa persoalan agama dan negara di Indonesia selalu menjadi
pembicaraan hangat di kalangan intelektual muslim kita. Ini tidak lain karena
pengaruh geneologi pemikiran yang melatarbelakangi keduanya, baik itu faktor
organisasi ataupun studi yang dijalaninya.
[i] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno
Versus Natsir, cet. ke-1 (Bandung:
Teraju, 2002), hlm. xi
[iii] Tahap keempat ini masih dibagi lagi menjadi empat
era: 1965-1972 sebagai era mencari bentuk, 1973-1985 sebagai era partai
tunggal, 1985 1989 sebagai era transisi rekonsiliasi, dan 1990 sampai sekarang
sebagai era akomodasi, baca M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam
Politik, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 21.
[vi] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm.
Viii.
[vii] Ibid.
[ix]
Departemen Penerangan, Lahirnya Pancasila,
(Jakarta:). kalau memang tulisan Yamin tentang perdebatan sidang BPUPKI dapat
dipercaya maka lahirnya pancasila itu belum tentu gagasan Soekarno murni karena
sebelum Soekarno melahirkan konsep Pancasila , Yamin telah mengemukakan kelima
sila tesebut dalam pidatonya di depan sidang
Badan Penyelidik, yaitu: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke-Tuhanan,
peri kerakyatan , peri kesejahteraan rakyat yang juga meliputi keadilan sosial.
lihat, Muhamad Yamin, Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hlm. 87-21.
[x] Mengenai sidang BPUPKI terdapat perbedaan dalam
tenggang waktunya, dalam bukunya Deliar
Noer sidang pertama berlangsung dari 29-Mei-2 Juni 1945 dan sidang kedua dari
10-14 Juni 1945, sedangkan menurut Yamin sidang pertama berlangsung dari 29
Mei-1 Juni dan sidang keduanya berlangsung dari 10-16 Juli 1945, dikutip dari
karyanya Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana
Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1999), hlm. 17.
[xv] M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran,
hlm. 170.
[xvi] Ibid., hlm. 23.
[xvii] Deliar Noer, Islam, Pancasila dan
Asas Tunggal, (Jakarta: yayasan perkhidmatan, 1983), hlm.108.
[xviii] Hatta, Memoir, (Jakarta: Tintamas, 1978), hlm. 452-
458.
[xix] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Politik: Teori
Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, cet. ke-1 (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), hlm. 29.
[xx] Prawoto Mangkusasmito, Perumusan Historis,
hlm 21-22. Hatta, Memoir, hlm 457-458.
[xxi] Akan tetapi apabila diteliti lebih jauh
pertarungan ideologi yang menjadi pertimbangan dalam peletakkan dasar negara
saat itu bukan hanya ideologi nasionalis dan Islam, tetapi lebih besar dari itu
yaitu pertarungan dua ideologi besar dunia antara kapitalis dan komunis. Baca
Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm.17-24.
[xxii] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm.
4.
[xxiii] Ibid., lihat juga, Endang
Saefuddin Anshary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus
Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler, tentang Dasar Negara
Republik Indonesia 1949-1959, (Bandung: Pustaka Salman, 1981), hlm. 8.
[xxiv] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm 4
dan 54-55. Yang dimaksud nasionalis sekuler adalah kelompok pemimpin politik Indonesia
yang menolak secara tegas agama sebagai dasar negara, kelompok ini terdiri dari
muslim, katolik, protestan, Hindu dll. Meskipun secara personal mereka bukan
kaum sukularis dan kelompok yang tidak lepas dari sentimen, tendensi dan
afiliasi keagamaan. Mereka tetap memilih untuk tidak menggunakan agama sebagai
ideologi politik. Sebaliknya apa yang dimaksud nasionalis muslim adalah
kelompok pemimpin muslim yang menginginkan Islam harus dijadikan dasar negara,
karena bagi mereka agama dan politik tidak bisa dipisahkan, jelasnya bahwa
tidak ada pemisahan antara persoalan duniawi dan ukhrawi dalam ajaran Islam.
Baca, Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 5.
[xxv] Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 5, Soekarno, Memudahkan Pengertian Islam, di Bawah
Bendera Revolusi (Jakarta:Panitia di bawah bendera revolusi, 1994), hlm.
369- 402.
[xxvi] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1-2. M. Azhar,
Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997), hlm. 14. lihat juga Masykuri Abdillah,
Demokrasi di Persimpangan Makna, hlm. 57.
[xxvii] Maududi , Islamic Law
and Constitution, alih bahasa Khursihid Ahmad, edisi ke-10 (Lahore: Islamic
Publication, 1990), hlm. 203. Maududi
adalah seorang politikus dan pengarang yang terkenal dalam Islam, dia pernah
akan dijatuhi hukuman mati oleh penguasa karena aktivitas politiknya pada tahun
1953, namun hukuman tersebut dibatalkan atas desakan pemimpin dunia muslim pada
Pemerintahan Pakistan.
[xxviii] Pada tahun 1966, Sayyid Qutb dan beberapa pemimpin
Ikhwan al-Muslimun lainya ditangkap dan diadili, setelah Nasser
mengetahui rencana makar mereka dalam menjatuhkan rezim, salah satu karyanya
yaitu, Khas}ais} at-Tas}awwuri al-Isla>mi wa Muqawwamatuhu (Kairo: Issa al-Babi al-Halabi wa Shuraka’uhu, 1962); Hadha
al-Din, (Kairo: Dar al-Qalam, 1962).
[xxix] Tentang Ikwan al-Muslimun, bisa dibaca dalam karyanya,
Richard P. Mitcell, The Society of Muslim
Brothers, (Oxford: Oxford University Press, 1969).
[xxx] Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 37.
[xxxi] al-Baqarah (2): 208.
[xxxii] Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 38.
[xxxiii] Faisal Ismail, Ibid.
[xxxiv] Lihat Muhammad Hatta, Memoir, hlm. 456-458,
M. Yamin, Naskah Persiapan, Vol. I, hlm. 115.
[xxxv] Dikutip dari Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm.
40.
[xxxvi] Dikutip dari, Douglas E. Ramage. Percaturan
Politik, hlm. 29.
[xxxvii] Ibid.
[xxxviii] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-2, cet. ke-3
(Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 685.
[xxxix] Sebenarnya yang dimaksud bergilir, beredar dan
berputar adalah perputaran (legitimasi) kekuasaan dari yang lama (demisioner)
kepada yang baru diamanati oleh kekuasaan lama tersebut. Lihat Olaf Schumann, “Dilema Islam Kontemporer antara Masyarakat
Modern dan Negara Islam,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, No,
2, Vol I (Jakarta : Paramadina, 1999),
hlm. 57.
[xl] Olaf Schumann, Ibid., hlm. 59.
[xli] Ibid.
[xlii] Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih
bahasa Ihsan Ali Fausi, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 50.
[xliii] M. Din Syamsuddin, Etika
Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), hlm. 78.
[xliv] Hamid Enayat, alih bahasa Asep Hikmat, Reaksi
Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad ke 20,
(Bandung: Pustaka, 1998), hlm. 8.
[xlv] Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. ke-5 (Jakarta: UI Press, 1985), I:
95.
[xlvi] M. Din Syamsuddin, Etika Agama, hlm. 80.
[xlvii] Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, hlm.
61.
[xlviii] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,
hlm. 63.
[xlix] Dikutip dari Kamaruzzaman, Relasi Islam dan
Negara, hlm. 32. baca juga karya asli, Taqiyuddin
an-Nabhani, alih bahasa Moh. Magfur Wachid, Sistem Pemerintahan dan Realitas
Doktrin, Sejarah dan Doktrin, Sejarah Empirik, (Bangil: Al-Izzah,1996),
hlm. 39.
[l] Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni, hlm. 9.
M. Din Syamsuddin, Etika Agama, hlm. 79.
[li] Bernard Lewis, Bahasa Politik, hlm. 49.
[lii] Dikutip dari Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm.
41.
[liii] Ibid.
[liv] Deliar Noer, The
Modernist Muslim Movement in Indonesia,
1900-1942 (Singapura: Oxford University Press, 1973). Lihat juga Douglas
E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 26.
[lv] Fred von den Mehden, Religion
and Modernization in South East Asia Syracuse:
Syracause University Press, 1986), hlm. 184.
Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 27.
[lvi] Aliran santri menunjuk pada pemeluk Islam yang
taat dan setiap harinya dekat dengan prilaku spritual atau sosial yang
didasarkan pada al-Qur’an. Sementara Abangan adalah pemeluk Islam nominal, yang
bagi mereka Islam adalah lapisan terakhir yang menyelubungi
kepercayaan-kepercaaan relegius Hindu, Budha, dan kejawen. Baca, Douglas E.
Ramage. Ibid, hlm. 27.
[lvii] Douglas E. Ramage. Ibid, hlm. 28.
[lviii] Mengenai pemberontakan Darul Islam bisa dilihat B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia,
(The Hague: Martinus Nijhoff, 1971 dan 1982), hlm. 54-74.
[lix] Dikutip dari Douglas E. Ramage. Percaturan
Politik, hlm. 31. Djohan Effendi, The contribution
of the Islamic Parties to the Decline of Democracy in the 1950s, makalah
Confrence on Indonesia Democracy, Monash University, 18 Desember 1992.
[lx] Deliar Noer, Partai-Partai Islam, hlm. 430.
[lxi] NU saat itu masih bergabung dalam partai tersebut.
[lxii] Ibid.
[lxiii] NASAKOM, berarti persatuan antara nasionalisme,
agama dan komunisme. Konsep ini dimunculkan
Soekarno pada masa demokrasi terpimpin.
[lxiv] Douglas E. Ramage. Percaturan Politik, hlm.
34.
[lxv] Moslem Abdurrahman, Islam
Transformatif, cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 66.
[lxvi] Ibid., hlm. 67.
[lxvii] Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam,
Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?, cet. ke-1 (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 191.
[lxviii] Yang dimaksud Pribumisasi Islam adalah
bagaimana mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan
hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Jadi bukan meninggalkan
norma demi budaya, akan tetapi agar norma-norma itu menampung
kebutuhan-kebutuhan budaya dengan mempergunakan pemahaman nash, yaitu fiqih
dan qaidah fiqih. Lihat Abdurrahman Wahid,
“Pribumisasi Islam” dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta:
P3M, 1989), hlm. 83.
[lxix] Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam, hlm.
191.
[lxx] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,
hlm. 1-2.
[lxxi] Untuk lebih lengkapnya baca, Moslem Abdurrahman,
Menyimak Pemikiran Islam, dalam karyannya, Islam Transformatif,
hlm.62-114.
[lxxii] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan,
hlm. 227.
[lxxiii] Anders Uhlin,
alih Bahasa Rofik Suhud, Oposisi Berserak, Arus Deras Demokratisasi
Gelombang Ketiga di Indonesia, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 32
[lxxiv] Deliar Noer, Pengantar ke pemikiran politik,
(Jakarta: CV. Rajawali, 1983), hlm. 215-216.
[lxxv] Dikutip dari, Moslem Abdurrahman, Islam
Transformatif, hlm. 28.
[lxxvi] Moh. Mahfud MD, Konfigurasi Politik dan Hukum
pada Era Orde Lama Dan Orde Baru, dalam, M. AS. Hikam,dkk., Wacana
Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1999), hlm. 20.
[lxxvii] Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm.
98.
[lxxviii] Bahtiar Effendy dan Fachry Ali, Merambah Jalan
Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 171. Baca juga, Anders Uhlin, Oposisi
Berserak, hlm. 77.
[lxxix] M. Dawam Rahardjo, Intelektual Intelegensia dan
Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim.(Bandung:Mizan, 1993),
hlm. 284. lihat juga, M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran, hlm. 211.
[lxxx] Dikutip dari, M. Rusli Karim, Negara dan
Peminggiran, hlm. 211, lihat karya asli William Liddle, Media Dakwah
Scripturalism: One Form of Islamic Political Thought and Action in New Order
Indonesia. kertas kerja belum diterbitkan.
[lxxxi] Ibid.
[lxxxii] Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm.
70-72.
[lxxxiii] Ibid., hlm. 73.
[lxxxiv] Dikutip dari, Masykuri Abdillah, Demokrasi di
Persimpangan, hlm. 12.
[lxxxv] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman
Baru Islam, hlm. 178.
[lxxxvi] Ibid.
[lxxxvii] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan,
hlm. 11.
[lxxxviii] Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam,
hlm. 191.
[lxxxix] Dikutip dari, Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran
Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), hlm. 122.
[xc] Bahtiar Effendy, (RE) Politisasi Islam,
hlm. 191.
[xci] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan,
hlm. 18.
[xcii] Ibid., hlm. 239.
[xcv] Ibid., hlm. 170.
[xcvi] Ibid.
[xcvii] Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung:
Mizan, 1987), hlm. 41.
No comments:
Post a Comment